Sabtu, 20 September 2008

Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 3/habis)

Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 3/habis)
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi pers pemerhati masalah sosial budaya dan hukum

Contohnya, penggunaan bahasa yang tidak lagi mengikuti norma-norma yang lazim. Kita disodorkan karya-karya terburuk di bidang bahasa oleh para wartawan media massa tertentu saat ini yang jumlahnya cukup banyak. Di Lampung saja, tidak ada satupun media cetak kelompok terbitan mingguan atau tabloid yang eksis terbit tiap minggu. Padahal, media cetaknya menulis format nama yang jelas “Surat Kabar Mingguan” , Tabloid yang terbit tiap minggu, 2 X seminggu, 1 X sebulan. Nyatanya, mereka sendiri melanggar komitmen jadwal penerbitan. Sampai kepada pelanggaran UU No 40/1999 tentang kewajiban mencantumkan nama dan alamat percetakannya.

Keempat, kebebasan pers yang mengacu kepada UU No 40/1999 tidak disertai peningkatan kualitas sebagian besar penerbitan pers di tanah air. Terbitnya surat-surat kabar mingguan di daerah atau di Jakarta kebanyakan tidak mempedulikan rambu-rambu pers yang ada. Dan, sebuah mingguan diterbitkan tanpa tiang pancang yang kokoh. Wajar, apabila beberapa kali terbit, langsung nyungsep (tenggelam, red) ke dasar sungai.
Fenomena dunia pers Indonesia saat ini memang menjadi perhatian hampir semua pihak dan insan pers beserta perangkat organisasinya pada akhirnya, banyak yang tidak berdaya menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi pada pers. Baik masalah internal maupun menghadapi masalah eksternal. Persoalan (masalah) internal dapat dikelompokkan lagi ke beberapa faktor.
Pembentuakan—pemekaran organisasi wartawan hingga ke tingkat kabupaten/kota, nyatanya tidak membawa angin segar terhadap kehidupan insan pers dengan kualitas profesi dan pelaksanaan tugas yang proporsional. Itu berarti pencerahan dan peningkatan kehidupan pers di daerah terabaikan secara otomatis, manakala kepentingan oknum-oknum pengurus organisasi kewartawanan lebih dominan ketimbang mengurus kepentingan organisasi wartawan.
Kelima, kehidupan insan pers yang menjadi penghuni pers saat ini cenderung mencari keselamatan diri sendiri. Baik organisasi wartawannya maupun insan persnya sendiri. Upaya menyelamatkan diri sendiri itu terlihat jelas. Di daerah, seorang wartawan berupaya dengan segala cara untuk mendapatkan sandaran pribadi kepada pemerintah (unsur muspida), atau kepada oknum-oknum pejabatnya. Dengan asumsi, jika mereka lebih dekat dengan pemerintah beserta unsurnya dan kepada individu pejabat di daerah mereka dapat menuntaskan persoalan himpitan ekonomi sampai kepada faktor keamanan dan kenyamanan menjalankan profesi jurnalistik.
Asumsi itu mendapat sambutan baik dari para pejabat di daerah. Karena, tidak sedikit pejabat di daerah menganggap seseorang wartawan itu ‘sukses’ dan ‘berhasil’ manakala pemberitaan-pemberitaannya sesuai dengan kehendak para pejabat. Tidak boleh ada kritik, tidak boleh ada kontrol sosial pelaksanaan roda pemerintahan di daerah, apalagi menyangkut kebijakan oknum pejabat. Arti kata, keberhasilan dan kesuksesan seseorang wartawan di daerah menurut sebagian besar pejabat adalah ketika seseorang wartawan mampu membungkamkan dirinya untuk tidak melakukan pemberitaan sebagaimana mestinya.
Strategi pemerintah daerah beserta pejabatnya untuk meredam ketajaman pena wartawan, diakui tidak lagi seperti di zaman orde baru. Namun, dampak yang ditimbulkan sangat membelenggu kehidupan pers itu sendiri. Untuk media-media massa yang terbit rutin, diupayakan terjalinnya kerjasama melalui kontrak kerja ‘berlangganan’ untuk sekian oplahnya setiap hari. Jika kontrak kerjasama itu tercapai, maka habislah profesi wartawan yang medianya sudah teken MoU dengan pemerintah daerah.
Berita-berita yang muncul senantiasa informasi-informasi tentang puji-pujian terhadap pelaksanaan program-program pemerintah, terhadap pejabat tertentu dan menutup pintu erat-erat tertutup aspirasi masyarakat tentang kejanggalan-kejanggalan program tertentu pemerintah. Di situ terjadi pembelengguan diri sediri oleh wartawan karena faktor finansil dan kenyamanan melaksanakan profesi. Berarti, si wartawan-wartawan seperti itu telah secara langsung menjual harga dirinya, profesionalismenya dan moralnya kepada kepentingan-kepentingan sesaat.

Demikian halnya terhadap keberadaan wartawan di tengah meriahnya pilkada di suatu daerah. Dengan mencondongkan atau membungkukkan diri kepada salah satu calon. Ditargetkan tujuan-tujuan tertentu dari sikap tersebut. Pertama, mengharapkan kucuran dana selama proses pilkada berlangsung—setidak-tidaknya dapat menerbitkan medianya sesuai jadwal dan kebutuhan sang calon kepala daerah yang memberikan dana. Kedua, dengan diterbitkan medianya melalui dana kucuran sang calon kepala daerah. Imbalannya adalah, bagaimana melakukan teror dan penyebaran informasi buruk kepada calon kepala daerah lainnya.
Atau memberikan porsi ‘mengada-ada’ berita besar si calon yang memberikan kucuran dana. Dengan membesar-besarkan si calon dan mengecilkan calon lainnya sekecil-kecilnya di mata publik. Kecenderungan yang terjadi saat ini di dunia pers kita, sangat memilukan. Trotorar pers yang sudah diundangkan atau peraturan kode etiknya sudah tidak diperhatikan lagi. Oleh karena itu, pemberitaan pers di era pilkada mempunyai peran besar terciptanya konflik di tengah masyarakat. Sebab, berita dan informasi yang disajikan banyak yang menyesatkan.
Dari sekian peristiwa, kejadian dan fenomena yang terjadi di dunia pers kita dewasa ini, perlu dibangun kembali kesepakatan untuk mendapatkan komitmen hukum yang jelas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pribadi-pribadi wartawan atau perusahaan pers yang menerbitkan media massa cetak, elektronik maupun visual.
Toleransi terhadap pribadi-pribadi wartawan yang merusak citra pers Nasional kita, harus ada ambang batasnya. Jika tidak ingin melihat kehancuran sistem pers kita di masa akan datang. Pasal standarisasi karya jurnalistik yang dibuat wartawan; harian, mingguan, tabloid atau majalah
Sebelum insan pers menuntut kebebasan, sangat diperlukan evaluasi di tubuh pers itu sendiri sebagaimana saya paparkan di atas. Dengan evaluasi, akan ditemukan pola apa untuk memperbaiki sistem dan mekanisme pers tersebut sebagaimana layaknya sebuah institusi yang berbasis profesi. Profesi itu mempunyai kode etik yang sudah disepakati. Jadi, mereka yang menyandang kartu pers yang tidak sama sekali membuat berita kurun waktu tertentu (misalnya, sebulan atau triwulan). Tanpa kompromi harus dikeluarka dari dunia pers. (habis)

Tidak ada komentar: