Sabtu, 20 September 2008

Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 1)

Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 1)
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi pers pemerhati masalah sosial budaya dan hukum

DENGAN perasaan berat-berat ringan untuk mengupas realitas kehidupan para wartawan dewasa ini—terkait parca gerakan reformasi tahun 1998-an. Wartawan yang menghidupkan serta menghiasi dunia pers itu, merupakan pelaku kontrol yang efektif mengkritisi pelaksanaan roda pemerintahan dari berbagai aspek. Misalnya, aspek hukum, aspek agama, aspek profesi (onal), aspek norma sosial, aspek politik, aspek seni dan budaya dan aspek lainnya.
Di dalam UU No 40/1999 tentang Pers, juga di dalam aturan main perusahaan pers sudah sangat diketahui dan jelas. Bahwa, wartawan itu memiliki pendapatan dari hasil kerjanya yang memberikan report kepada penerbitan pers berupa informasi-informasi yang dilakukannya secara rutin.
Tetapi, pada garis horizontal maupun vertikal hampir sebagian besar wartawan di Indonesia tidak memiliki pendapatan (gaji) tetap sebagai imbalan tugas yang dikerjakannya secara rutinitas tadi. Kondisi itu, akan diperburuk lagi setelah reformasi, usaha untuk menerbitkan media cetak, elektronik dan audio visual sungguh-sungguh mudah dan gampang. Artinya, modal tetap sebagai faktor utama terbiatnya sebuah media. Sudah tidak jadi standar lagi.
Dengan modal sejutaan, seseorang atau sekelompok orang yang sepakat menerbitkan media cetak. Sudah dapat memiliki dan menerbitkan koran. Terutama koran kategori Mingguan atau Tabloid. Modal nekat dibarengi perilaku urakan, kekerasan, intimidasi atas nama pers menjadi “modal utama” . Persoalan, apakah kru media cetaknya memiliki SDM yang maksimal, itu tidak penting dan memang tidak digubris.
Fenomena dunia pers dewasa ini seperti uraian singkat di atas. Sudah menjadi trade mark di dunia pers kita yang terus menuntut kebebasan, kebebasan dan kebebasan yang luar biasa. Tanpa diimbangi pemenuhan tentang hak dan kewajiban. Seperti rangkuman hasil diskusi bertema “Wartawan Menjadi TS” yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalistik Indoensia (AJI) bersama Bengkel Jurnalistik (Sabtu, 28/6-2008) lalu di Bandarlampung.
Berbagai kajian, masukan, saran dan kritik terhadap pers, khususnya personifikasi wartawan dikedepankan. Intinya, apa yang terjadi terhadap profesi wartawan saat ini merupakan akibat dari rendahnya kesejahteraan wartawan, kurangnya modal menerbitkan media cetak, tidak adanya sanksi tegas terhadap pelanggaran profesi wartawan dan lainnya.
Barangkali, mendengar dan berupaya memahami bacaan terhadap perilaku insan pers kita (wartawan), siapapun menjadi gregetan banget! Terlebih lagi, wartawan-wartawan yang juga terjun ke dunia Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai upaya menghindari benturan-benturan sanksi hukum atas perbuatan-perbuatan yang atas nama jurnalistik. Tetapi, di lapangan lebih kepada sikap dan fungsi aparat penegak hukum; arogan, premanisme dan ancaman.
Lampung Post Minggu (Minggua, 20/6) kemarin menurunkan berita utama halaman berjudul “Diintimidasi Wartawan, Kakek Nekat Minum Racun!” (hal 3). Dapat dibayangkan, apa kerja seorang wartawan sehingga mengintimidasi korban pelecehan seksual. Bahkan, sesumbar akan menghukum ayah korban pelecehan seksual tersebut (kejadian di Lampung Timur).
Saya pikir semua perilaku itu, termasuk di Lampung Timur tersebut merupakan tindakan kejahatan. Bukan tindakan jurnalistik. Perbuatan kejahatan yang berlindung di balik status pers—wartawan itu sebenarnya merupakan tindak kejahatan yang serius. Dan, merupakan akibat rekrutmen wartawan yang tidak bagus. Hanya rekrutmen berdasarkan;” Kamu mau jadi wartawan, syaratnya siap mengedarkan koran, dan kartu pers bisa dimiliki apabila kamu bayar sekian ratus ribu........dan sebagainya”.
Wartawan dengan pola rekrutmen tidak benar itu, dalam melaksanakan tugasnya di lapangan, tidak diberi apa-apa. Kecuali kartu pers, bahkan, mereka tidak mengerti jurnalistik itu sendiri. Apalagi membuat berita yang layak dan merupakan karya jurnalistik.
Dunia pers kita semakin terseret ke dunia yang kacau balau. Sayangnya, begitu menjamur penerbitan media cetak. Fungsi Dewan Pers, Organisasi Kewartawanan, Kode Etik Jurnalistik dan aturan hukum yang berlaku. Selalu gagal menghadang perilaku yang jelas-jelas melanggar hukum tersebut.
Saat ini, ada beberapa masalah pokok yang digandrungi wartawan yang kondisinya hampir merata di seluruh pelosok tanah air. Pertama: dalam menjalankan profesinya banyak pribadi wartawan berperan sebagai aparat penegak hukum. Tindakan itu semata-mata untuk mendapatkan sejumlah uang.
Kedua, dalam menjalankan profesinya banyak pribadi wartawan melakukan tindakan-tindakan premanisme. Seperti sebelum bertemu dengan pejabat, harus menenggak minuman keras terlebih dahulu. Dengan maksud agar memiliki tingkat keberanian yang luar biasa. Sampai-sampai mengkonsumsi narkoba (misal inek/ekstasi, shabu). Kecenderungan itu dilakukan pribadi-pribadi wartawan untuk ia berharap, agar dirinya ditakuti dan selalu berani.
Ketiga, dalam menjalankan profesinya banyak pribadi-pribadi wartawan atas nama jurnalistik membawa pula bendera LSM. Maksudnya, data LSM itu disodorkan kepadanya sebagai jurnalis kemudian mendatangi pejabat atau dinas/instansi yang mempunyai masalah versi mereka.
Kondisi umum seperti itu memang tidak sehat, cenderung tidak menjalankan profesi jurnalistik walau mengatasnamakan pers. Misalnya ketika menjadi makelar proyek atau pengaman seorang rekanan untuk mendapatkan proyek. Jika tersandung masalah hukum. Begitu enteng dan mudahnya beralasan, bahwa mereka sedang menjalankan profesi jurnalistik? Padahal, itu hanyalah akal-akalan agar lepas dari jeratan hukum. Yang lebih kronisnya lagi, aparat penegak hukum (yang asli, polisi, kejaksaan dan TNI) begitu saja percaya diakalin demikian.
Keempat, banyak pribadi-pribadi wartawan itu menjadi mediator penyelesaian kasus-kasus dengan sejumlah imbalan uang. Mereka beranggapan dengan menyandang status wartawan (pers), orang akan ngeri dan takut dan kasusnya bisa diselesaikan. Termasuk wartawan yang menjadi ujung tombak untuk menggolkan diterimanya seseorang siswa di sekolah yang dikehendakinya.
Kecenderungan keempat di atas setiap hari kita hadapi, setiap hari kita baca beritanya ada saja wartawan yang berurusan dengan pihak berwajib karena melakukan kegiatan yang bukan kegiatan jurnalistik.
Kelima, saat ini banyak pribadi-pribadi wartawan membuat LSM sendiri. Dengan statusnya sebagai wartawan—walau tidak / jarang membuat berita dan punya LSM. Kecenderungan selanjutnya mereka secara rutin rata-rata 2 X sebulan mengajukan proposal minta bantuan ke pemerintah daerah di mana mereka bertugas dan berdomisili. Bahkan, proposal yang mereka buat dan ajukan bisa melebar ke pemerintah daerah lainnya. Itu, bukan soal boleh atau tidaknya melakukan kegiatan demikian.
Tetapi, bisakah kita sinkronisasikan kegiatan-kegiatan non jurnalistik atas nama jurnalistik itu ke dalam bentuk kegiatan rutin wartawan? Belum lagi pribadi-pribadi wartawan yang jelas, konkrit dan nyata melakukan tindakan sebagai pelaku penyebar ancaman kepada para pejabat yang tujuannya hanyalah sejumlah uang. (bersambung)

Tidak ada komentar: