Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 2)
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi pers pemerhati masalah sosial budaya dan hukum
Tetapi, bisakah kita sinkronisasikan kegiatan-kegiatan non jurnalistik atas nama jurnalistik itu ke dalam bentuk kegiatan rutin wartawan? Belum lagi pribadi-pribadi wartawan yang jelas, konkrit dan nyata melakukan tindakan sebagai pelaku penyebar ancaman kepada para pejabat yang tujuannya hanyalah sejumlah uang.
DI SISI lain, wartawan dan atau pers, juga menghadapi ancaman yang serius dalam menjalankan kegiatan rutinnya. Terutama menyangkut kritik sosial yang ditujukan kepada pemerintah atau pengusaha yang notabene berada dalam lingkungan kekuasaan dan politik.
Dan itu, pernah dialami majalah dan koran Tempo ketika menghadapi bagaimana lingkaran ancaman berhadapan dengan pengusaha yang sangat dekat dengan susu kekuasaan seperti dengan Polri. Pasal-pasal jurnalistik dalam kasus majalah Tempo dengan pengusaha Tomy Winata, sangat tidak dipahami pihak pengadilan yang hanya menerapkan pasal-pasal ‘kerjasama’ dan KUHP. Padahal, jurnalistik memiliki pedoman dan acuan sebagaimana UU No 40/1999.
Kita menginginkan pelaksanaan profesi jurnalistik, selain diawasi oleh UU Pers, Dewan Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Masyarakat pun harus mampu mengkritisi dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan jurnalistik yang memiliki kecenderungan pelaksanaannya di luar aturan profesi.
Adalah sesuatu hal yang salah manakala wartawan mengaku sebagai pengawas penggunaan bantuan-bantuan pemerintah seperti dana DAK, BOS, Schoolgrand dan dana lainnya dengan meminta imbalan sejumlah uang. “Kalau tidak akan diberitakan!” demikian penyebaran ancaman kepada sekolah-sekolah, terutama di pelosok pedesaan.
Ketika kita membicarakan diri wartawan dan mengevaluasi kebebasan pers. Itu, bukan berarti kita menepuk “air didulang”. Tetapi, lebih kepada peringatan-peringatan atas kasus-kaus yang sudah dan mungkin akan terulang kembali kejadiannya. Walaupun tidak dapat dikesampingkan, soal kesejahteraan wartawan dalam menjalankan profesi persnya menjadi salah satu faktor; kenapa wartawan berbuat nekat dan mengklaim dirinya sebagai aparat penegak hukum, pengadil dan penjatuh sanksi hukuman.
Memang tepat Kode Etik Jurnalistik itu harus benar-benar meresap dalam sanuibari setiap insan pers dan warga masyarakat. Ketika terjadi pelanggaran kode etik jurnalistik. Kemanakah warga akan memberikan laporan, mengadu atau melakukan gugatan—jikapelanggaran itu sudah memasuki wilayah tindak pidana kriminal. Misalnya pemerasan, intimidasi, pelecehan seksual, penyalahgunaan dan peredaran narkoba dan sebagainya.
Perusahaan pers pun harus memberikan hak-hak wartawan semaksimal mungkin, walau kondisi permodalannya tidak cukup untuk diandalkan. Namun, mengeksploatasi wartawan tanpa memberikan kewajiban perusahaan pers, akan menjadi percepatan terjadinya tindak kriminal dilakukan insan pers atau terjadinya pelanggaran kode etik jurnalistik—kemudian menjurus kepada delik-delik pers.
Demikian pula pimpinan-pimpinan perusahaan pers harus melakukan filterisasi dalam rekrutmen wartawan atau karyawan persnya. Bagaimanapun sekarang, wartawan itu dituntut untuk dapat memahami dan menjalankan (mengoperasikan) teknologi yang dipergunakan oleh pers. Misalnya mampu mengetik di komputer, memahami dan dapat menjalankan proses internet dan memahami rambu-rambu pers yang sudah ada.
Jika tidak, maka kebebasan pers yang dituntut insan pers selama ini akan menjadi bumerang. Artinya, kebebasan pers itu akan dijadikan tameng untuk melagalkan tindakan-tindakan nonjurnalistik. Misalnya, wartawan juga merangkap jadi LSM, menjadi pemborong, menjadi makelar kasus, menjadi bandar narkoba dan sebagainya.
Dalam prosesi demokrasi, seperti pemelihan kepala daerah (pilkada) atau pemelihan umum (pemilu). Selayaknya insan pers tidak meninggalkan filosofi, bahwa wartawan adalah melaksanakan kegiatan rutinnya bidang jurnalistik. Kendati (bolah-boleh saja) ia dibebani banyak hal oleh pimpinan media massanya. Misalnya mendapatkan iklan, melemparkan sekian eksamplar korannya atas hasil wawancara dengan tokoh dan sebagainya.
Tetapi, tugas utamanya secara rutin memberikan informasi kepadsa masyarakat melalui media masanya jangan sampai lupa. Kemudian, pemahaman selaku TS I tim sukses) salah satu calon kepala daerah, tidak serta merta menjual ideologinya. Tidak serta merta membuat berita pilkada melulu pada balon pilkadanya yang ditim-sukseskan.
Sejauh ini, tidak ada larangan kepada insan pers untuk menjadi anggota tim TS para calon kepala daerah. Akan tetapi, tidak boleh meninggalkan prinsip-prinsip jurnalistik (termasuk filosofi jurnalistik beserta peraturan peundang-undangannya). Kita pahami, dirambahkan ke wilayah hukum politik praktis oleh seseorang wartawan, karena benturan ekonomi yang dihadapinya.
Oleh karenanya, segenap insan pers harus membangun komitmen menghadapi wartawan-wartawan yang nakal yang melakukan tindak perbuatan pidana dengan segala macam modus operandinya. Pertama: penerbitan pers harus benar-benar selektif merekrut dan menerima menetapkan wartawan medianya. Faktor pendidikan, moral, mental dan perilaku calon wartawan harus jadi perhatian utama.
Kedua: penerbitan pers harus melihat kemampuan dan ketrampilan si calon wartawannya (wartawannya). Jika tidak mampu menguasai sarana dan prasarana teknologi komunikasi. Barangkali perlu untuk tidak direkrut, daripada nantinya akan membuat media massa tempat ia bekerja mengalami kesulitan.
Sebagai catatan, hingga saat ini lebih dari 50% jumlah wartawan—khususnya di Lampung menjadi pelaku tindak pidana dengan berbagai pola tindakan yang dilakukan. Salah satu contohnya melakukan pemerasan terhadap kepala-kepala sekolah, khususnya di pedesaan menyangkut pengelolaan dan penggunaan dana BOS, DAK dan dana bantuan lainnya.
Pada saat itu, banyak wartawan bertindak sebagai polisi, jaksa, bahkan menjadi hakim—yang dapat membuat orang itu menjadi salah. Situasi dan kondisi demikian kita sadari sepenuhnya, bahwa mereka hanya menginginkan sejumlah uang. Kadang hanya cukup untuk rokok sebungkus, wartawan tertentu itupun sudah pergi.
Ketiga: wartawan yang sudah banyak melakukan kerusakan menjadi klop ketika media tempatnya bekerja pun seenaknya terbit. Terbiutnya media massa (cetaknya) digantungkan kepada musim proyek, musim pilkada, musim kucuran dana koperasi, musim kucuran dana bantuan dari pusat untuik daerah (dan untuk sekolah-sekolah), terbit ketika APBD sudah disahkan. Akibat proses penerbitan media massa di Indonesia kurang bagus sejak diberlakukannya UU No 40/1999, maka penerbitan media cetak (khususnya) mengalami kesemberonoan, kesewenang-wenangan. Tanpa mengindahkan etika pers yang ideal.
Contohnya, penggunaan bahasa yang tidak lagi mengikuti norma-norma yang lazim. Kita disodorkan karya-karya terburuk di bidang bahasa oleh para wartawan media massa tertentu saat ini yang jumlahnya cukup banyak. Di Lampung saja, tidak ada satupun media cetak kelompok terbitan mingguan atau tabloid yang eksis terbit tiap minggu. Padahal, media cetaknya menulis format nama yang jelas “Surat Kabar Mingguan” , Tabloid yang terbit tiap minggu, 2 X seminggu, 1 X sebulan. Nyatanya, mereka sendiri melanggar komitmen jadwal penerbitan. Sampai kepada pelanggaran UU No 40/1999 tentang kewajiban mencantumkan nama dan alamat percetakannya. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar