Kamis, 02 April 2009

Memainkan UU Narkotika

Oleh Naim Emel Prahana

SALAH seorang Direktur Narkoba Polda Lampung beberapa tahun lalu pernah bilang, “kasus narkoba terlihat meningkat karena polisi terus melakukan operasi penangkapan!”. Rasanya ungkapan yang disampaikan kepada calon TOT narkoba se Lampung itu hanya sebuah retorika untuk menjawab persoalan narkoba sebenarnya.
Narkoba meningkat di Indonesia bukan hanya karena selalu dilakukan operasi narkoba oleh aparat penegak. Tetapi kenyataannya memang penyalahgunaan narkoba sudah sedemikian meningkat di kalangan masyarakat Indonesia. Bukan hanya di kalangan masyarakat elite, tetapi sudah merangsek ke tengah-tengah masyarakat yang tidak baik ekonominya.
Persoalannya, apakah UU narkotika dan psikotropika yang dinilai cukup bagus itu sudah diterapkan sebenarnya oleh aparat penegak hukum atau tidak. Persoalannya, karena selama ini ada kesan dari kenyataan penanganan kasus-kasus narkoba. Baik di tingkat penyidik (polisi), penuntut (kejaksaan) maupun penbgambil keputusan (pengadilan), masih belum sinkron dengan apa yang diamanatkan oleh kedua UU tersebut.
Aparat penegak hukum kelihatannya masih silau (gugup) menegakkan aturan sebenarnya, jika berhadapan dengan tersangka kasus narkoba dari kalangan anak pejabat, pengusaha, petinggi Polri atau TNI. Namun, sangat tegas terhadap rakyat biasa yang tersangkut kasus narkoba.
Analisa kita semua itu terjadi karena uang dan jabatan. Rakyat biasa tidak memiliki uang dan jabatan. Kita dapat melihat kasus Roy Marten, Polo, Ahmad Albar dan sebagainya. Termasuk kasus yang di Lampung. Apakah mungkin kalau kita beberkan satu per satu kasus yang agak ‘aneh’ dapat mengembaliklan supremasi hukum di bidang pemberantasan narkoba?
Karena terjadi diskriminasi akibat uang dan jaban/kekuasaan, maka terjadi tuntutan yang sama dari kalangan rakyat biasa yang tertangkap narkoba, bukan karena kebiasaan. Tetapi, karena ingin memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, menjadi kurir, menjadi sales narkoba atau menjadi alat untuk mendapatkan uang lainnya. Misalnya pemandu lagu di karaoke. Ia terpaksa menenggak miras dan menelan inek karena permintaan yang menyewanya untuk bernyanyi.
Kita butuh revisi perundangan yang mengatur soal identifikasi produsen dan pengguna menjadi salah satu agenda utama pembaruan UU narkotika dan psikotropika tersebut. Sebab, kita tidak ingin terus mempersoalkan perlakuan hukum yang seakan tebang-pilih terhadap bandar-bandar dan produsen narkoba besar. Ia juga mengkritisi produk hukum Indonesia yang seolah dinakodai oleh kepentingan tertentu.
Memang hukum di Indonesia ini aneh, para kurir narkoba ditembak bahkan sampai mati dengan banyak alasan yang dibuat aparat kepolisian. Sementara, yang memproduksi narkoba tidak ditembak mati. Ada apa di balik itu semua? Kepentingan siapa yang dibela, apakah hanya karena kepentingan sumber pendapatan para petinggi penegak hukum atau kekuasaan?
Meningkatnya kasus nakoba akibat kesulitan ekonomi di Indonesia yang terus bertambah buruk dengan kinerja pemerintah yang hanya mementingkan golongannya sendiri. Sedangkan rakyat dijadikan proyek percontohan dengan berbagai dalih program pembangunan sosial ekonomi yang nyatanya tidak pernah merubah sosial ekonomi rakyat.

Nasib Rakyat Miskin

RAKYAT miskin di Indonesia saat ini benar-benar menjadi rakyat jelata tanpa perlindungan dan jaminan hak-hak yang sama seperti warga yang status sosialnya menengah ke atas. Dan, itu terjadi di semua sektor kehidupan warganegara. Sampai-sampai hak-hak yang harusnya mereka peroleh dan dapatkan, dirampok oleh warganegara kelas menengah dan the have akibat kangkalingkong dengan petugas pencatat jumlah penduduk.
Apalagi di bidang hukum, bantuan hukum bagi rakyat miskin yang tidak berdaya di semua kehidupannya sama sekali tidak ada. Selain itu, sulit mencari pengacara yang mau memberikan bantuan secara cuma-cuma kepada rakyat miskin. Boleh dibilang tidak ada pengacara yang mau memberiukan bantuan hukum kepada rakyat miskin dengan cuima-cuma.
Masalah itu disinggung pihak YLBHI, yang meminta segera dibuat undang-undang mengenai bantuan hukum. Yang anggarannya disusun dan berada dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang mengalokasikan dana untuk bantuan hukum secara cuma-cuma bagi rakyat miskin.
Bukian hanya akhirnya ini saja, banyak kasus hukum yang merugikan masyarakat miskin. Kondisi itu diperparah dengan ketidaktahuan terhadap berbagai informasi hukum, sehingga sering mereka dibodohi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kita ambil contoh saja tahun 2008 dari 80 kasus yang ditangani YLBHI dan disidangkan, tidak sampai 10 persen yang bisa dimenangkan.
Sehingga timbul pameo di kalangan YLBHI, bahwa bagi mereka, menang itu istimewa. Kalau kalah, ya, biasa. Pemasalahan utama, misalnya dalam kasus penggusuran, mereka (rakyat miskin) tidak mempunyai bukti berupa sertifikat tanah atas lahan yang mereka tempati.
Bukan di bidang hukum saja, di bidang lain seperti pendidikan, sosial, keagamaan, adat istiadat, hiburan serta bidang lainnya. Rakyat miskin tidak pernah dipandang oleh masyarakat luas, apalagi oleh pemerintah. Kalaupun ada, misalnya dibidang kesehatan, rakyat miskin terombang-ambing oleh prosedur yang ’direkayasa’ untuk menerima pasien warga miskin dalam pengurusan gakin, raskin dan sebagainya.
Akibatnya, terjadilah kasus-kasus busung lapar, penyakit yang tidak pernah bisa diobatai, karena tidak ada uang. Lalu, banyak anggota keluarga miskin akhirnya terjebak dalam tindakan kriminal, dan jika itu terjadi maka mereka akan menjadi korban penegakan hukum dalam sistem penegakan hukum di negara hukum Indonesia ini.
Permasalahan seperti dalam kasus pertanahan, perburuhan, dan penangkapan yang semena-mena, terjadi di mana-mana, sepertinya tidak ada kontrol sosial terhadap pelaksanaan tugas dari aparat penegak hukum. Hak-hak masyarakat miskin yang dijamin seperti dalam pasal 16 dan 26 Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang menyatakan, siapa saja memiliki persamaan kedudukan di depan hukum. Justru yang menghalanginya adalah aparat penegak hukum itu sendiri dengan pengertian dan pengetahuan hukum yang tidak pas atau sengaja diplesetkan, karena kepentingan uang.
Kita semakin prihatin di negara yang berdasarkan hukum itu penegakan hukumnya malah menyandarkan kepada ada tidaknya uang oleh petugas, mulai dari petugas kepolisian, kejaksaan sampai ke pengadilan.nep.

Daftar Pemilih Tetap

Oleh Naim Emel Prahana

ENTAH apa lagi yang harus dibenahi, di mana-mana terjadi manipulasi angka dalam jumlah yang cukup signifikan, semacam daftar pemilih tetap (DPT). Itu, mengisyaratkan bahwa pemilu dan pilkada yang selama ini disleneggarakan di Indonesia penuh dengan kecurangan.
Tidak bisa dibayangkan, kabupaten Ngawi, Jawa Timur lebih dari separuh jumlah mata pilihnya adalah mata pilih ganda, demikian pula Trenggalek. Dan, mungkin di Lampung pun demikian. Metoda atau pola bagaimana agar pemilu di Indonesia ini benar-benar bersih, jujur, adil dan bebas dan rahasia.
Tapi, jika terjadi pemalsuan data, pihak manakah yang paling bertanggungjawab dalam hal itu, sehingga persoalan-persoalan di Indonesia bisa dituntaskan. Tidak ada lagi dendam mendendam antar genarasi. Untuk sementara, kita harus mengakui kalau pemerintahlah yang harus bertanggungjkawab atas manipulasi DPT tersebut. Tentu saja hal itu terkait keinginan pihak penguasa ingin berkuasa kembali.
Akibat tidak pernah selesainya persoalan pemilu dan pilkada di Indonesia, maka krisis multidimensional tidak akan pernah tuntas, walaupun SBY sebagai ketua dewan pembina Partai Demokrat berbusa-busa mengeluarkan pernyataan dalam kampanye partainya sebagaimana kita saksikan di layar televisi.
Kalau DPT sangat diragukan dan itu sangat berpeluang telah terjadi pada pemilu-pemilu sebelum ini. Jumlah PNS saja di Indonesia tidak pernah terdata dengan baik dan selalu datanya berbeda dari sayu instansi terkait dengan instansi terkait lainnya. Jika hal itu tidak pernah akan dapat diselesaikan dengan kualitas penyelenggaraan pemerintahan. Maka sudah pasti pemborosan anggaran pada APBN setiap tahunnya akan merusak sistem pembangunan di negeri ini.
Bermula perbedaan mencolok antara data BKKBN dengan Kantor Statistik, maka semua menjadi persoalan. Belum lagi persoalan lain yang sudah mengakar di bumi Indoensia seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, penyalahgunaan fasilitas negara dan penyelewengan lainnya yang kita temui dan hadapi setiap hari.
Sebagai negara besar dilihat dari luas wilayahnya, besar jumlah penduduknya. Tetapi Indonesia kerdil dalam berpikir dan bekerja. Mental dan sikap nasionalisme dalam kehidupan masyarakat sehari-hari msangat tidak memadai dengan keagunangan nama bangsa Indonesia. Tapi, masihkan ada harapan yang oprtimis digantungkan dari proses demokrasi yang sedang berjalan saat ini?
Tentu masih, dengan catatan agar penegakan hukum harus benar-benar dilakukan dan pelaksanaan tugas aparat keamanan dan ketertiban, jangan bermain retorika bisnis dalam menangani kasus-kasus yang terjadi, terutama menyangkut PNS dan pejabat yang jika terjadi kasus, urusannya harus ada izin presiden.
Untuk itu, soal DPT pemerintah harus bertanggungjawab. Bukan suatu hal yang sulit untuk membongkar kasus tersebut, siapa yang membuat DTP yang salah itu. Apakah melacak si pembuat data kok sulit amat sih! Bagaimana melacak kegiatan-kegiatan spionase di dalam negeri, kan lebih rumit dari melacak pembuat DPT palsu itu.
Sekali lagi pemerintah, kapan dan siapa saja yang pemerintah di Indonesia memang tidak berkeinginan untuk memajukan bangsa ini. Mereka hanya ingin memajukan bangsa mereka sendiri, yaitu keluarga dan kaum kerabat pejabat saja. Dan, itulah biangkeladi rusaknya bangsa ini dengan makin merosotnya kualitas manusia yang ada. Nep

Daftar Pemilih Tetap

Oleh Naim Emel Prahana

ENTAH apa lagi yang harus dibenahi, di mana-mana terjadi manipulasi angka dalam jumlah yang cukup signifikan, semacam daftar pemilih tetap (DPT). Itu, mengisyaratkan bahwa pemilu dan pilkada yang selama ini disleneggarakan di Indonesia penuh dengan kecurangan.
Tidak bisa dibayangkan, kabupaten Ngawi, Jawa Timur lebih dari separuh jumlah mata pilihnya adalah mata pilih ganda, demikian pula Trenggalek. Dan, mungkin di Lampung pun demikian. Metoda atau pola bagaimana agar pemilu di Indonesia ini benar-benar bersih, jujur, adil dan bebas dan rahasia.
Tapi, jika terjadi pemalsuan data, pihak manakah yang paling bertanggungjawab dalam hal itu, sehingga persoalan-persoalan di Indonesia bisa dituntaskan. Tidak ada lagi dendam mendendam antar genarasi. Untuk sementara, kita harus mengakui kalau pemerintahlah yang harus bertanggungjkawab atas manipulasi DPT tersebut. Tentu saja hal itu terkait keinginan pihak penguasa ingin berkuasa kembali.
Akibat tidak pernah selesainya persoalan pemilu dan pilkada di Indonesia, maka krisis multidimensional tidak akan pernah tuntas, walaupun SBY sebagai ketua dewan pembina Partai Demokrat berbusa-busa mengeluarkan pernyataan dalam kampanye partainya sebagaimana kita saksikan di layar televisi.
Kalau DPT sangat diragukan dan itu sangat berpeluang telah terjadi pada pemilu-pemilu sebelum ini. Jumlah PNS saja di Indonesia tidak pernah terdata dengan baik dan selalu datanya berbeda dari sayu instansi terkait dengan instansi terkait lainnya. Jika hal itu tidak pernah akan dapat diselesaikan dengan kualitas penyelenggaraan pemerintahan. Maka sudah pasti pemborosan anggaran pada APBN setiap tahunnya akan merusak sistem pembangunan di negeri ini.
Bermula perbedaan mencolok antara data BKKBN dengan Kantor Statistik, maka semua menjadi persoalan. Belum lagi persoalan lain yang sudah mengakar di bumi Indoensia seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, penyalahgunaan fasilitas negara dan penyelewengan lainnya yang kita temui dan hadapi setiap hari.
Sebagai negara besar dilihat dari luas wilayahnya, besar jumlah penduduknya. Tetapi Indonesia kerdil dalam berpikir dan bekerja. Mental dan sikap nasionalisme dalam kehidupan masyarakat sehari-hari msangat tidak memadai dengan keagunangan nama bangsa Indonesia. Tapi, masihkan ada harapan yang oprtimis digantungkan dari proses demokrasi yang sedang berjalan saat ini?
Tentu masih, dengan catatan agar penegakan hukum harus benar-benar dilakukan dan pelaksanaan tugas aparat keamanan dan ketertiban, jangan bermain retorika bisnis dalam menangani kasus-kasus yang terjadi, terutama menyangkut PNS dan pejabat yang jika terjadi kasus, urusannya harus ada izin presiden.
Untuk itu, soal DPT pemerintah harus bertanggungjawab. Bukan suatu hal yang sulit untuk membongkar kasus tersebut, siapa yang membuat DTP yang salah itu. Apakah melacak si pembuat data kok sulit amat sih! Bagaimana melacak kegiatan-kegiatan spionase di dalam negeri, kan lebih rumit dari melacak pembuat DPT palsu itu.
Sekali lagi pemerintah, kapan dan siapa saja yang pemerintah di Indonesia memang tidak berkeinginan untuk memajukan bangsa ini. Mereka hanya ingin memajukan bangsa mereka sendiri, yaitu keluarga dan kaum kerabat pejabat saja. Dan, itulah biangkeladi rusaknya bangsa ini dengan makin merosotnya kualitas manusia yang ada. Nep

Ketua KPU Harus Diganti

Oleh Naim Emel Prahana

ORANG bijak pernah bilang sama Edwin Hanibal dan Pattimura, agar cerdik, cerdas dan pandai menghadapi situasi menjelang pemilu 2009, terutama pembentukan tim seleksi (Timsel) calon anggota KPU dan penetapan anggota KPU kabupaten/kota se Lampung. Sayangnya, keduanya seperti hero sendiri di tengah kekuasaan Allah SWT.
Keterlibatan keduanya dalam penseleksian calon anggota timsel dan anggota KPU sangat erat dan kuat sekali pertaliannya, bahkan unsur KKN sangat melekat. Tapi, kedua sosok muda itu makin menampakkan keblingerannya atas status dan jabatan yang dipegang. Saran dan kritik maupun masukan tidak digubris. Hanya bermanis-manis dimulut, tanpa realisasi. Tidak ada nilai persahabatan, saling menghormati dan saling terbuka di antara keduanya.
Kinbi, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merekomendasikan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lampung, Edwin Hanibal diberhentikan terkait rekrutmen KPU tujuh kabupaten/kota tahun lalu. Bawaslu juga, mengusulkan anggota KPU Pattimura dicopot dalam kasus yang sama. Sementara itu, dua anggota KPU Lampung lain, Nanang Trenggono dan Sholihin, diusulkan agar diperiksa Dewan Kehormatan (DK) KPU karena dianggap turut dalam rapat pleno penetapan anggota KPU kabupaten/kota.
Semua tahu sepak terjang ketua KPU dan anggota KPU Lampung, Edwin Hanibal dan Pattimura. Terutama dalam kasus pilkada di Lampung Utara, kemudian bagaimana keduanya tidak mengindahkan Peraturan KPU No 13/2007 tentang ekrutmen anggota timsel. Bahkan melecehkan lembaga legislatif yang dipercayai untuk memilih dan menetapkan 2 calon timsel dari preofesional dan akademik.
Bukan hanya kode etik yang dilanggar oleh Edwin Hanibal dan Pattimura sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Panwaslu Provinsi Lampung, tetapi telah memperkosa Hak Azasi Manusia dan menghilangkan kesempatan setiap warganegara yang inginb mendapatkan pekerjaan.
Setting Edwin Hanibal dan Pattimura untuk mengoalkan anggota KPU pro mereka dan dapat diatur, sudah lama mereka kemas dan beraksi sejak diumumkannya wacana penerimaan anggota timsel kabupaten/kota se Lampung. Sayang sekali, walaupun KPU Pusat mengetahui sepak terjang ketua dan anggota KPU provinsi Lampung, Edwin anibal dan Pattimura sudah jauh melampaui kewenangannya. Toh, sampai sekarang tidak ada tindak lanju atas pengaduan yang diterima KPU Pusat sepanjang 2008.
Dan, anggota KPU kabupaten/kota yang ditetapkan oleh KPU Lampung memang banyak yang terlibat parpol, dan penetapan anggota timsel tanpa melalui mekanisme dan prosedure perundang-undangan seperti yang dilakukan di Metro, sudah membuktikan keduanya memang harus dicopot dari jabatannya.
Termasuk nggota yang lain dan termasuk Ny Handi. Di sisi lain KPU Lampung memang tidak netral sebagai wasit, banyak kasus yang terjadi seperti penggelembungan surat pendukung calon gubernur beberapa waktu lalu. Sebab, kalau berdasarkan bukti otentik yang sah, calon gubernur dari jalur independen tida bisa mengikuti proses pilgub. Karena, banyak dukungan via fotocopy KTP adalah aspal.
Tapi, sudahlah. Kita relakan saja penggantian ketua dan anggota KPU Lampung, agar pemilu 2009 berjalan sebagaimana mestinya, dan jauh dari trik politik yang tidak netral. Termasuk DPT yang saat ini masih dipersoalkan di seluruh Indonesia. Bawaslu sudah bekerja atas nama rakyat Lampung dan DK KPU harus segera memutuskan rekomendasi itu.

Ketua KPU Harus Diganti

Oleh Naim Emel Prahana

ORANG bijak pernah bilang sama Edwin Hanibal dan Pattimura, agar cerdik, cerdas dan pandai menghadapi situasi menjelang pemilu 2009, terutama pembentukan tim seleksi (Timsel) calon anggota KPU dan penetapan anggota KPU kabupaten/kota se Lampung. Sayangnya, keduanya seperti hero sendiri di tengah kekuasaan Allah SWT.
Keterlibatan keduanya dalam penseleksian calon anggota timsel dan anggota KPU sangat erat dan kuat sekali pertaliannya, bahkan unsur KKN sangat melekat. Tapi, kedua sosok muda itu makin menampakkan keblingerannya atas status dan jabatan yang dipegang. Saran dan kritik maupun masukan tidak digubris. Hanya bermanis-manis dimulut, tanpa realisasi. Tidak ada nilai persahabatan, saling menghormati dan saling terbuka di antara keduanya.
Kinbi, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merekomendasikan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lampung, Edwin Hanibal diberhentikan terkait rekrutmen KPU tujuh kabupaten/kota tahun lalu. Bawaslu juga, mengusulkan anggota KPU Pattimura dicopot dalam kasus yang sama. Sementara itu, dua anggota KPU Lampung lain, Nanang Trenggono dan Sholihin, diusulkan agar diperiksa Dewan Kehormatan (DK) KPU karena dianggap turut dalam rapat pleno penetapan anggota KPU kabupaten/kota.
Semua tahu sepak terjang ketua KPU dan anggota KPU Lampung, Edwin Hanibal dan Pattimura. Terutama dalam kasus pilkada di Lampung Utara, kemudian bagaimana keduanya tidak mengindahkan Peraturan KPU No 13/2007 tentang ekrutmen anggota timsel. Bahkan melecehkan lembaga legislatif yang dipercayai untuk memilih dan menetapkan 2 calon timsel dari preofesional dan akademik.
Bukan hanya kode etik yang dilanggar oleh Edwin Hanibal dan Pattimura sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Panwaslu Provinsi Lampung, tetapi telah memperkosa Hak Azasi Manusia dan menghilangkan kesempatan setiap warganegara yang inginb mendapatkan pekerjaan.
Setting Edwin Hanibal dan Pattimura untuk mengoalkan anggota KPU pro mereka dan dapat diatur, sudah lama mereka kemas dan beraksi sejak diumumkannya wacana penerimaan anggota timsel kabupaten/kota se Lampung. Sayang sekali, walaupun KPU Pusat mengetahui sepak terjang ketua dan anggota KPU provinsi Lampung, Edwin anibal dan Pattimura sudah jauh melampaui kewenangannya. Toh, sampai sekarang tidak ada tindak lanju atas pengaduan yang diterima KPU Pusat sepanjang 2008.
Dan, anggota KPU kabupaten/kota yang ditetapkan oleh KPU Lampung memang banyak yang terlibat parpol, dan penetapan anggota timsel tanpa melalui mekanisme dan prosedure perundang-undangan seperti yang dilakukan di Metro, sudah membuktikan keduanya memang harus dicopot dari jabatannya.
Termasuk nggota yang lain dan termasuk Ny Handi. Di sisi lain KPU Lampung memang tidak netral sebagai wasit, banyak kasus yang terjadi seperti penggelembungan surat pendukung calon gubernur beberapa waktu lalu. Sebab, kalau berdasarkan bukti otentik yang sah, calon gubernur dari jalur independen tida bisa mengikuti proses pilgub. Karena, banyak dukungan via fotocopy KTP adalah aspal.
Tapi, sudahlah. Kita relakan saja penggantian ketua dan anggota KPU Lampung, agar pemilu 2009 berjalan sebagaimana mestinya, dan jauh dari trik politik yang tidak netral. Termasuk DPT yang saat ini masih dipersoalkan di seluruh Indonesia. Bawaslu sudah bekerja atas nama rakyat Lampung dan DK KPUharus segera memutuskan rekomendasi itu.

Bandarlampung—Jakarta

Oleh Naim Emel Prahana
MAU cepat ke Jakarta dan bergengsi? Naiklah pesawat terbang dengan waktu tempuh sekitar 37 menit. Artinya lebih lama 23 menit kalau naik bis AC jurusan Rajabasa—Metro. Apalagi mobil pengantar dan penjemput di Bandara Branti, keren-keren dan elite-elite. Tentu orang yang naik pesawat terbang ke Jakarta adalah orang-orang berduit alias warga yang punya harta banyak?
Itulah asumsinya. Harga tiket pesawat terbang dengan jarak tempuh sekitar 37 menit itu rata-rata (minimum) Rp Rp 320.000,- dan maksimumnya tidak pernah bisa dipukul rata. Sebab, “semua terserah gua!” Pagi hari bisa Rp 290.000,- mines bording pas, siangnya bisa tiket dijual Rp 475.000,-mines bording pas.
Dapat dibayangkan pula kalkulasi cost yang ditimbulkan sekali jalan ke Jakarta via udara. Ongkos pesawat + bording pas + taksi di Jakarta ke alamat tujuan + lain-lainnya. Jika diwujudkan dalam angka kalau kita mengambil pukul rata adalah Rp 320.000,- + Rp 30.000,-+ Rp 80.000,- + lain-lain Rp 40.000,-= Rp 470.000,-Bagaimana kalau tiket pesawat Branti—Soekarno Hatta dijual dengan harga Rp 475.000,- belum ditambah bording pas, taksi dan lain-lain?
Kesan kita, “waduh gila amat tu tiket pesawat!” Dan coba membandingkannya dengan tarif Jakarta—Surabaya yang jarak tempuhnya sekitar 90 menit dengan harga rata-rata (minimun) Rp 250.000,- mines bording pas dan taksi dan lain-lain. Atau Jakarta—Bengkulu yang jarak tempuhnya 2 X lipat dari jarak tempuh Branti—Soekarno-Hatta. Tiket pesawat Bengkulu—Jakarta saja dipukul rata Rp 290.000,- sekali jalan (min bording pas, taksi dan lainnya).
Atau kita bandingkan harga tiket Jakarta—Medan? Waduh Lampung—Jakarta memecahkan rekor tiket pesawat termahal di negeri ini setelah di daerah pedalaman Irian Jaya (Papua). Sementara kalau kita menyewa sebuah helikopter seharinya hanya Rp 100.000.000,-
Dan, jika kita naik bis ke Jakarta dari Bandarlampung secara estafet uang Rp 100.000,- masih sisa sekitar Rp 20.000,-dengan catatan waktu sekitar 6—8 jam perjalanan. Tapi, walaupun mahal harga tiket yang juga tidak pernah ada standarnya itu, koki masih banyak saja yang ke Jakarta via udara. Kayakah mereka, atau oranmg-orang elitekah mereka?
Seperti kalau naik pesawat ke Surabaya dari Jakarta, alangkah banyaknya para pembantu rumah tangga yang naik pesawat. Artinya, harga tiketnya relatif murah. Kalau pembantu rumah tangga asal Lampung kerja di Jakarta yang mudik naik pesawat, wah bisa berabe dan gaji bulanannya tidak bakal cukup. Sebab, lain dengan naik pesawat Jakarta—Surabaya.
Sebenarnya ingin dipertanyakan, siapakah yang menetapkan tarif pesawat terbang di Indonesia ini. Sejauhmana kewenangan pemerintah atas tarif pesawat terbang tersebut. Apakah hanya sebagai penonton atau bahkan jadi pemain juga. Belum ada yang menanyakan hal itu. Yang ada penumpang menanyakan pelayanan awak pesawat atau hilangnya barang bawaan melalui kargo pesawat.
Dalam kontek turunnya harga BBM dan situasi buruk ekonomi dunia Internasional sekarang ini, apakah tidak baik kalau soal harga tiket pesawat diatur sedemikian rupa, dilihat jarak tempuhnya dan biaya parkir di setiap bandara yang disinggahi sebuah pesawat terbang.nep

Non Fasilitas Negara

Oleh Naim Emel Prahana
TIDAK ada yang perlu ditakuti bagi peserta pemilu 2009 sebagai anggota legislatif dan kampanye partai politik. Termasuk penggunaan fasiulitas negara oleh caleg yang kebetulan isteri pejabat yang memegang banyak jabatan nonstruktural di pemerintahan. Seperti ketua Dekranasda, ketua TP PKK, ketua Darma Wanita dan sebagainya.
Ancaman sanksi bagi mereka yang memegang jabatan tertsebut yang kebetulan nyaleg oleh pimpinannya, jangan takut. Cuma gertak sambal yang penting ada surat ke luar si ketua di pusat. Walaupun di sini kita mendialogka fenomena yang sangat jelas yang dikaburkan itu.
Misalnya ketua dan pengurus PKK hingga ke kecamatan tidak dibenarkan (dilarang) untuk menjadi caleg. Kalau dia tetap sebagai ketua atau pengurus PKK di suatu daerah. Baiklah sekarang, karena sosoknya tetap ngotot ingin jadi caleg. Maka ia tinggalkan jabatannya sebagai ketua Dekranasda atau TP PKK atau Darma Wanita.
Persoalannya, bagaimana membedakan apakah ia menggunakan fasilitas negara atau tidak? Ketika dia mundur dari (misal) ketua PKK, tapi ia masih memegang jabatan sebagai ketua Dekranasda yang juga punya kendaraan dinas. Jika ia menggunakan mobil Dekranasda tidak menggunakan mobil plat merah PKK, apakah itu termasuk dilarang yang masuk dalam kategori fasilitas negara?
Atau begini, seseorang caleg yang menggunakan fasilitas negara itu kan bukan hanya bentuk mobil, motor, rumah dinas atau atribut dinas. Tetapi fasilitas lainnya yang digolongkan fasilitas negara tidak boleh dimanfaakan si caleg isteri pejabat tadi. Misalnya kampanye di Posyandu dengan mengumpulkan warga atas nama gerakan kasih sayang ibu. Lalu kepada mereka yang datang setelah diminta tolong dukungan suaranya, diberikan uang di dalam amplop masing-masing (katakanlah demikian) Rp 10.000,-
Apakah itu tergolong fasilitas negara yang dimanfaatkan oleh si isterio pejabat tadi? Atau ia menghadap ke Panwaslu mengakui tidak menggunakan fasilitas negara, akan tetapi ia membawa mbil dinas berplat merah? Kita yakin dan pasti aturan soal fasilitas negara itu sudah jelas, namun memang dibuat tidak jelas dengan banyak retorika, alasan dan alibi.
Apalagi yang namanya isteri pejabat yang tengah berkuasa, ia mampu menundukkan kekuasaan suaminya ada pada dirinya juga. Sehingga kalau ia memerintahkan pegawai dilingkungan kerja suaminya (Pemda), si pegawai atau pejabat aktif pasti takut. Karena yang memerintah itu adalah isteri kepala daerah (isteri gubernur/wakil, isteri bupati/wakil bupati atau isteri walikota atau isteri wakil walikota).
Sekarang, apakah modal anggota Panwaslu itu sudah cukup mengarah ke sana, sehingga praktek kotor yang dilarang oleh UU Pemilu dapat dikenai sanksi yang tegas, pasti tanpa kompromi—asal memiliki data yang cukup. Namun, data yang sudah cukup jangan dibilang masih kurang lengkap, karena ada kepentingan-kepentingan di balik itu semua.
Di sisi lain, kekhawatiran kita akan penyalahgunaan fasilitas negara bukan hanya tersebut di atas saja. akan tetapi, bisa juga berbentuk keuangan organisasi semacam PKK, Dekranasda dan Darma Wanita dipergunakan untuk kepentingan si caleg yang isteri pejabat tadi, termasuk dana-dana bantuan yang diberikan pemerintah.
Oleh karenanya, pihak BPK atau KPK atau polisi harus turun tangan melakukan penyelidikan terhadap keuangan PKK, Darma Wanita dan Dekranasda yang ketuanya menjadi caleg pada pemilu 2009 ini. Lebih baik mengantisipasi lebih awal ketimbang mengobati organ yang sudah sakit.nep.

“Selamat Berkampanye”

Oleh Naim Emel Prahana
PAGI hari ini adalah hari pertama masa kampanye secara resmi bagi calon legislatif atau lebih ngetrend disebut ‘caleg’. Hari pertama masa kampanye versi undang-undang pemilu itu, tentunya tidak disia-siakan para caleg DPR-RI, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Artinya, secara resmi pula Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) mulai bekerja, mengawasi, mengintip, memberi sanksi dan memasukkan para penggar ke sel yang berjeruji besi. Demikian pula KPU dan pemerintah. begitu idealnya proses pemilu ‘demokrasi’ di Indonesia. Seperti tidak ada celah kelemahan apapun dari aturan yang sudah dibuat.
Mungkin itulah hebatnya Indonesia yang menurut penelitian di luar negeri adalah bangsa yang sangat pintar membuat proposal dan undang-undang. Namun, pelaksanaanya tidak sehebat dan sepintar mereka menuliskan rangkaian kata dan kalimat dalam kumpulan perundang-undangan.
Belum diketahui persis bentuk acara kampoanye yang dikemas oleh para caleg. Apakah sama dengan para calon gubernur, bupati dan walikota dalam momentum pilkada, atau bagaimana rupanya kampanye resmi itu. Bukan apa-apa, kita ingin mengetahui, apa yang dimaksudkan oleh pemerintah dengan masa kampanye pemilu itu. Termasuk kampanye yang akan dilakukan oleh parpol mulai hari ini.
Dan, apakah selama ini pemasangan stiker, baleho, spanduk, banner, selebaran, sosialisasi kepada masyarakat, rupa-rupa bantuan kepada kelompok masyarakat, iklan di media massa ‘bukan’ bentuk kampanye? Apapun alasan para caleg, rasanya itulah kampanye yang sebenarnya, dan masa kampanye yang ditetapkan pemerintah hanyalah proyek bagi Panwaslu dan KPU untuk melakukan lobi-lobi dan negosiasi politik yang ujung-ujungnya adalah uang.
Alasanya, adalah pelanggaran kampanye. Bisa jadi pasal-pasal itu akan meramaikan media massa. Tetapi, tindak lanjutnya masih diragukan. Bukankah kita sudah dua kali melakukan pemilu langsung! Rasanya cerminan-cerminan pemilu 1999 dan 2004 tidak jauh berbeda dengan pemilu 2009 ini. Yang pasti, caleg nomor urut satu tidak lagi bisa melenggang begitu saja duduk di kursi legislatif sebagaimana pemilu 1999 dan 2004. sebab, sistem yang dipakai untuk mendapatkan status anggota DPR dan DPRD adalah digunakannya sistem suara terbanyak.
Jadi, perjuangan dan pengorbanan benar-benar menentukan berapa suara yang diperoleh dan didukung oleh populeritas si caleg itu sendiri. Karena rakyat dominan melihat figur caleg, kewaspadaan caleg harus benar-benar dilakukan. Kalau tidak, mungkin uang ratusan juta yang sudah dikeluarkan akan menimbulkan masalah. Jika tidak duduk di kursi anggota legislatif. Sebab, uang bukan jaminan bahwa seseorang yang banyak mengeluarkan uang secara otomatis akan mendapat suara terbanyak, demikian pula penyebaran informasi pencalegan dari berbagai media, juga bukan jaminan. Namun, kalau tidak ada publikasi apapun yang kemungkinan tidak akan dikenal oleh rakyat saat melakukan pencontrengan (pencoblosan) tanggal 9 April 2009 nanti.
Jadi, bagaimana sebaiknya si caleg dalam masa kampanye resmi ini? Yah, harus ulet, gaul, tidak menebar janji dan tidak mengucapklan kata-kata tidak pantas kepada masyarakat. Karena, kata-kata itu akan menghilangkan suara yang diharapan. “Selamat berkampanye” nep.

Demokrasi "Homo”

Oleh Naim Emel Prahana
PESTA uang adalah hajat demokrasi dalam penyelenggaraan pemilu 2009. Pemilu yang akan memilih, menempatkan dan melegalkan seseorang menjadi wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat; baik untuk DPR-RI, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ada seorang penyair bilang, “merubah nasib menjadi caleg!”
Perubahan yang menelan korban, dengan perjuangan keras dan pengorbanan itu memang berlangsung cuma lima tahun. Tapi, selama 5 tahun itu seorang anggot legislatif memainkan peranan pribadi dan keluarganya. Bahkan, peran yang diperankan terkadang sudah tidak ada lagi kaitannya dengan amanah dan status sebagai wakil rakyat.
Bagaimana pun saya sebagai anggota legislatif adalah sudah ‘kedaulatan’ pribadi. Bukankah waktu menjadi caleg dalam proses pemilu saya sudah memberikan uang kepada rakyat yang berhak memilih. Bahkan, saya sudah membantu beberapa masjid, dan bantuan lain berupa baju kaos, buku yasin, kalender, stiker, baleho dan bantuan penyelenggaraan berbagai acara?
“Wajar kalau sudah saatnya saya mendapat imbalan yang pantas atasd pengorbanan dan perjuangan saya yang sudah mengeluarkan uang ratusan juta untuk jadi secara legal sebagai wakil rakyat. Apalagi sekarang menggunakan sistem suara terbanyak.”
Dari rangkaian kata-kata itu mengandung maksud dan tujuan yang tersirat dan tersurat, bahwa adalah wajar kalau sudah jadi anggota legislatif mendapat jatah proyek secara rutin, mendapat fee berbagai proyek besar, mendapat uang jalan ketika studi banding dan sebagainya.
Itulah imbalan jerih payah dan harga yang sudah dibeli sebelum pemilu berlangsung. Sebab, saat sosialisasi caleg untuk pemilu, rakyat sudah banyak menyodorkan proposal dan minta bantuan berupa uang dan barang. Kalau tidak diberikan, maka mereka hanya mendukung sebatas mulut. Diberikan uang pun tidak jaminan mereka yang terima uang akan memberikan suaranya kepada yang memberi uang.
“Saya diperas!”
Maka, wajarlah kalau selama saya duduk di kursi legislatif, saya juga dengan cara saya yang cerdas, juga akan melakukan pemerasan, agar uang yang sudah dikeluarkan dapat kembali sebagaimana mestinya. Seperti halnya calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil dan walikota/wakil walikota. Dalam siaran berita radio kemarin disebutkan, demokrasi di Indonesia tidak jelas. Karena banyak pejabat pemerintah yang menjadi ketua parpol. Akibatnya, kata berita tadi (14/3), tugas-tugas kepemrintahan terbengkalai karena sang menteri (pejabat) lebih mementingkan parpol, terutama saat masa kampanye.
“Adalah sulit dibedakan antara pejabat pemerintah dengan ketua parpol dan akibatnya, banyak fasilitas negara yang dipergunakan tidak dalam tugas-tugas kenegaraan atau penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan pejabat yang juga ketua parpol.
Kemarin, hari pertama masa kampanye secara terbuka sesuai dengan peraturan pemilu. Padahal, kampanye tidak terbuka sudah lama dilakukan, jauh sebelum masa kampanye terbuka diresmikan. Dari berbagai rangakain kejadian, sudah seharusnya UU Pemilu harus dirubah total, untuk menyikapi penyalahgunaan kewenangan pejabat dan tidak asal menjadi caleg. Terutama mereka yang basisnya adalah “mak jelas” sebelumnya.
Kita harap memang, kecerdasan rakyat semakin membaik dari tidur panjangnya akibat kebiasaan dijajah oleh materi dan bangsa asing, jika sudah sadar, maka dimungkinkan anggota legislatif hasiul pemilui 2009 akan lebih berkualitas.nep