Kamis, 02 April 2009

Demokrasi "Homo”

Oleh Naim Emel Prahana
PESTA uang adalah hajat demokrasi dalam penyelenggaraan pemilu 2009. Pemilu yang akan memilih, menempatkan dan melegalkan seseorang menjadi wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat; baik untuk DPR-RI, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ada seorang penyair bilang, “merubah nasib menjadi caleg!”
Perubahan yang menelan korban, dengan perjuangan keras dan pengorbanan itu memang berlangsung cuma lima tahun. Tapi, selama 5 tahun itu seorang anggot legislatif memainkan peranan pribadi dan keluarganya. Bahkan, peran yang diperankan terkadang sudah tidak ada lagi kaitannya dengan amanah dan status sebagai wakil rakyat.
Bagaimana pun saya sebagai anggota legislatif adalah sudah ‘kedaulatan’ pribadi. Bukankah waktu menjadi caleg dalam proses pemilu saya sudah memberikan uang kepada rakyat yang berhak memilih. Bahkan, saya sudah membantu beberapa masjid, dan bantuan lain berupa baju kaos, buku yasin, kalender, stiker, baleho dan bantuan penyelenggaraan berbagai acara?
“Wajar kalau sudah saatnya saya mendapat imbalan yang pantas atasd pengorbanan dan perjuangan saya yang sudah mengeluarkan uang ratusan juta untuk jadi secara legal sebagai wakil rakyat. Apalagi sekarang menggunakan sistem suara terbanyak.”
Dari rangkaian kata-kata itu mengandung maksud dan tujuan yang tersirat dan tersurat, bahwa adalah wajar kalau sudah jadi anggota legislatif mendapat jatah proyek secara rutin, mendapat fee berbagai proyek besar, mendapat uang jalan ketika studi banding dan sebagainya.
Itulah imbalan jerih payah dan harga yang sudah dibeli sebelum pemilu berlangsung. Sebab, saat sosialisasi caleg untuk pemilu, rakyat sudah banyak menyodorkan proposal dan minta bantuan berupa uang dan barang. Kalau tidak diberikan, maka mereka hanya mendukung sebatas mulut. Diberikan uang pun tidak jaminan mereka yang terima uang akan memberikan suaranya kepada yang memberi uang.
“Saya diperas!”
Maka, wajarlah kalau selama saya duduk di kursi legislatif, saya juga dengan cara saya yang cerdas, juga akan melakukan pemerasan, agar uang yang sudah dikeluarkan dapat kembali sebagaimana mestinya. Seperti halnya calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil dan walikota/wakil walikota. Dalam siaran berita radio kemarin disebutkan, demokrasi di Indonesia tidak jelas. Karena banyak pejabat pemerintah yang menjadi ketua parpol. Akibatnya, kata berita tadi (14/3), tugas-tugas kepemrintahan terbengkalai karena sang menteri (pejabat) lebih mementingkan parpol, terutama saat masa kampanye.
“Adalah sulit dibedakan antara pejabat pemerintah dengan ketua parpol dan akibatnya, banyak fasilitas negara yang dipergunakan tidak dalam tugas-tugas kenegaraan atau penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan pejabat yang juga ketua parpol.
Kemarin, hari pertama masa kampanye secara terbuka sesuai dengan peraturan pemilu. Padahal, kampanye tidak terbuka sudah lama dilakukan, jauh sebelum masa kampanye terbuka diresmikan. Dari berbagai rangakain kejadian, sudah seharusnya UU Pemilu harus dirubah total, untuk menyikapi penyalahgunaan kewenangan pejabat dan tidak asal menjadi caleg. Terutama mereka yang basisnya adalah “mak jelas” sebelumnya.
Kita harap memang, kecerdasan rakyat semakin membaik dari tidur panjangnya akibat kebiasaan dijajah oleh materi dan bangsa asing, jika sudah sadar, maka dimungkinkan anggota legislatif hasiul pemilui 2009 akan lebih berkualitas.nep

Tidak ada komentar: