Kamis, 02 April 2009

Non Fasilitas Negara

Oleh Naim Emel Prahana
TIDAK ada yang perlu ditakuti bagi peserta pemilu 2009 sebagai anggota legislatif dan kampanye partai politik. Termasuk penggunaan fasiulitas negara oleh caleg yang kebetulan isteri pejabat yang memegang banyak jabatan nonstruktural di pemerintahan. Seperti ketua Dekranasda, ketua TP PKK, ketua Darma Wanita dan sebagainya.
Ancaman sanksi bagi mereka yang memegang jabatan tertsebut yang kebetulan nyaleg oleh pimpinannya, jangan takut. Cuma gertak sambal yang penting ada surat ke luar si ketua di pusat. Walaupun di sini kita mendialogka fenomena yang sangat jelas yang dikaburkan itu.
Misalnya ketua dan pengurus PKK hingga ke kecamatan tidak dibenarkan (dilarang) untuk menjadi caleg. Kalau dia tetap sebagai ketua atau pengurus PKK di suatu daerah. Baiklah sekarang, karena sosoknya tetap ngotot ingin jadi caleg. Maka ia tinggalkan jabatannya sebagai ketua Dekranasda atau TP PKK atau Darma Wanita.
Persoalannya, bagaimana membedakan apakah ia menggunakan fasilitas negara atau tidak? Ketika dia mundur dari (misal) ketua PKK, tapi ia masih memegang jabatan sebagai ketua Dekranasda yang juga punya kendaraan dinas. Jika ia menggunakan mobil Dekranasda tidak menggunakan mobil plat merah PKK, apakah itu termasuk dilarang yang masuk dalam kategori fasilitas negara?
Atau begini, seseorang caleg yang menggunakan fasilitas negara itu kan bukan hanya bentuk mobil, motor, rumah dinas atau atribut dinas. Tetapi fasilitas lainnya yang digolongkan fasilitas negara tidak boleh dimanfaakan si caleg isteri pejabat tadi. Misalnya kampanye di Posyandu dengan mengumpulkan warga atas nama gerakan kasih sayang ibu. Lalu kepada mereka yang datang setelah diminta tolong dukungan suaranya, diberikan uang di dalam amplop masing-masing (katakanlah demikian) Rp 10.000,-
Apakah itu tergolong fasilitas negara yang dimanfaatkan oleh si isterio pejabat tadi? Atau ia menghadap ke Panwaslu mengakui tidak menggunakan fasilitas negara, akan tetapi ia membawa mbil dinas berplat merah? Kita yakin dan pasti aturan soal fasilitas negara itu sudah jelas, namun memang dibuat tidak jelas dengan banyak retorika, alasan dan alibi.
Apalagi yang namanya isteri pejabat yang tengah berkuasa, ia mampu menundukkan kekuasaan suaminya ada pada dirinya juga. Sehingga kalau ia memerintahkan pegawai dilingkungan kerja suaminya (Pemda), si pegawai atau pejabat aktif pasti takut. Karena yang memerintah itu adalah isteri kepala daerah (isteri gubernur/wakil, isteri bupati/wakil bupati atau isteri walikota atau isteri wakil walikota).
Sekarang, apakah modal anggota Panwaslu itu sudah cukup mengarah ke sana, sehingga praktek kotor yang dilarang oleh UU Pemilu dapat dikenai sanksi yang tegas, pasti tanpa kompromi—asal memiliki data yang cukup. Namun, data yang sudah cukup jangan dibilang masih kurang lengkap, karena ada kepentingan-kepentingan di balik itu semua.
Di sisi lain, kekhawatiran kita akan penyalahgunaan fasilitas negara bukan hanya tersebut di atas saja. akan tetapi, bisa juga berbentuk keuangan organisasi semacam PKK, Dekranasda dan Darma Wanita dipergunakan untuk kepentingan si caleg yang isteri pejabat tadi, termasuk dana-dana bantuan yang diberikan pemerintah.
Oleh karenanya, pihak BPK atau KPK atau polisi harus turun tangan melakukan penyelidikan terhadap keuangan PKK, Darma Wanita dan Dekranasda yang ketuanya menjadi caleg pada pemilu 2009 ini. Lebih baik mengantisipasi lebih awal ketimbang mengobati organ yang sudah sakit.nep.

Tidak ada komentar: