Kamis, 02 April 2009

Memainkan UU Narkotika

Oleh Naim Emel Prahana

SALAH seorang Direktur Narkoba Polda Lampung beberapa tahun lalu pernah bilang, “kasus narkoba terlihat meningkat karena polisi terus melakukan operasi penangkapan!”. Rasanya ungkapan yang disampaikan kepada calon TOT narkoba se Lampung itu hanya sebuah retorika untuk menjawab persoalan narkoba sebenarnya.
Narkoba meningkat di Indonesia bukan hanya karena selalu dilakukan operasi narkoba oleh aparat penegak. Tetapi kenyataannya memang penyalahgunaan narkoba sudah sedemikian meningkat di kalangan masyarakat Indonesia. Bukan hanya di kalangan masyarakat elite, tetapi sudah merangsek ke tengah-tengah masyarakat yang tidak baik ekonominya.
Persoalannya, apakah UU narkotika dan psikotropika yang dinilai cukup bagus itu sudah diterapkan sebenarnya oleh aparat penegak hukum atau tidak. Persoalannya, karena selama ini ada kesan dari kenyataan penanganan kasus-kasus narkoba. Baik di tingkat penyidik (polisi), penuntut (kejaksaan) maupun penbgambil keputusan (pengadilan), masih belum sinkron dengan apa yang diamanatkan oleh kedua UU tersebut.
Aparat penegak hukum kelihatannya masih silau (gugup) menegakkan aturan sebenarnya, jika berhadapan dengan tersangka kasus narkoba dari kalangan anak pejabat, pengusaha, petinggi Polri atau TNI. Namun, sangat tegas terhadap rakyat biasa yang tersangkut kasus narkoba.
Analisa kita semua itu terjadi karena uang dan jabatan. Rakyat biasa tidak memiliki uang dan jabatan. Kita dapat melihat kasus Roy Marten, Polo, Ahmad Albar dan sebagainya. Termasuk kasus yang di Lampung. Apakah mungkin kalau kita beberkan satu per satu kasus yang agak ‘aneh’ dapat mengembaliklan supremasi hukum di bidang pemberantasan narkoba?
Karena terjadi diskriminasi akibat uang dan jaban/kekuasaan, maka terjadi tuntutan yang sama dari kalangan rakyat biasa yang tertangkap narkoba, bukan karena kebiasaan. Tetapi, karena ingin memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, menjadi kurir, menjadi sales narkoba atau menjadi alat untuk mendapatkan uang lainnya. Misalnya pemandu lagu di karaoke. Ia terpaksa menenggak miras dan menelan inek karena permintaan yang menyewanya untuk bernyanyi.
Kita butuh revisi perundangan yang mengatur soal identifikasi produsen dan pengguna menjadi salah satu agenda utama pembaruan UU narkotika dan psikotropika tersebut. Sebab, kita tidak ingin terus mempersoalkan perlakuan hukum yang seakan tebang-pilih terhadap bandar-bandar dan produsen narkoba besar. Ia juga mengkritisi produk hukum Indonesia yang seolah dinakodai oleh kepentingan tertentu.
Memang hukum di Indonesia ini aneh, para kurir narkoba ditembak bahkan sampai mati dengan banyak alasan yang dibuat aparat kepolisian. Sementara, yang memproduksi narkoba tidak ditembak mati. Ada apa di balik itu semua? Kepentingan siapa yang dibela, apakah hanya karena kepentingan sumber pendapatan para petinggi penegak hukum atau kekuasaan?
Meningkatnya kasus nakoba akibat kesulitan ekonomi di Indonesia yang terus bertambah buruk dengan kinerja pemerintah yang hanya mementingkan golongannya sendiri. Sedangkan rakyat dijadikan proyek percontohan dengan berbagai dalih program pembangunan sosial ekonomi yang nyatanya tidak pernah merubah sosial ekonomi rakyat.

Tidak ada komentar: