Kamis, 02 April 2009

Menggugat UU Pornografi

Oleh Naim Emel Prahana

PERBEDAAN mencolok lahirnya produk undang-undang (aturan hukum) di Indonesia, antara zaman orde lama, orde baru dan orde reformasi sangat terasa. Di zaman orde lama, apapun bentuk dan sistem pemerintah yang sering berubah. Produk UU dibuat dan diberlakukan “untuk kepentingan bangsa dan negara”.
Lain halnya pada zaman orde baru dan orde reformasi sekarang ini. UU dibuat karena kepentingan elite politik di dalam partai politik. Produk seperti itu, mengisyaratkan telah terjadi krisis dan semangat nasional di kalangan masyarakat elite Indonesia. Banyak produk yang dinilai sangat lemah, karena substansinya tidak lebih tidak kurang untuk kepentingan orang-orang berkuasa.
Apalagi produk di tingkat Inpres, Keppres, PP dan yang paling kentara adalah produk hukum yang berada di balik “Surat Edaran” para menteri atau Surat Keputusan bersama. Kondisi demikian mengakibatkan banyaknya produk hukum yang tiak dijalankan sebagaimana mestinya. Sebab, roh kepentingan elite politik dan pejabat di tingkat pusat tidak sama dengan roh dan kebutuhan di tingkat lokal.
Seperti halnya UU Pornografi No 44/2008 yang sejak diwacanakan sudah membuat peta konflik di tengah masyarakat yang bhinneka tunggal ika itu. UU Kepolisian yang baru yang polisi disebut bukan militer (terp[isah dari TNI), ternyata sikap dan pelaksanaan tugasnya tidak berubah sama sekali. UU Otonomi Daerah, UU Pemilu, UU tentang KPU , UU KDRT dan sebagainya.
Untuk UU Pornografi yang saat ini tengah digugat, bukan lantaran masyarakat Indoneia tidak mau taat dengan nilai dan norma-norma keagamaan dalam kehidupan sosialnya. Akan tetapi, banyak pasal yang hanya menjadi perpanjangan kepentingan elite politik di tanah air. Serunya, UU Pornografi itu di sejumlah daerah ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah (Perda) tentan pelacuran.
Keduanya tidak bisa diterapkan, karena pihak pelaksana daripada UU itu selain tidak konsisten, juga menjadikan peraturan hukum itu untuk kepentingan korps, oknum dan kekayaan pribadi. Mungkin itulah yang menyebabkan UU Pornografi digugat 28 elemen masyarakat, seperti masyarakat Sulawesi Utara (Sulut), seniman dan penulis, ELSAM, The Wahid Institute Foundation, dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).
Para penggugat di Mahkamah Konstitusi pada umumnya menyatakan UU No 44/2008 dari sisi substansi cacat hukum dan mengancam terlaksananya hak konstitusional pemohon secara bebas. Beberapa pasal yang dituding cacat hukum dalam UU No 44/2008 itu, antara lain Pasal 1 ayat (1) mengenai definisi pornografi, Pasal 4 ayat (1) soal mengesankan ketelanjangan, Pasal 20 dan Pasal 21 tentang keterlibatan masyarakat, serta Pasal 43 mengenai mewajibkan bukti ke pihak yang berwajib.
UU itu banyak melanggar hak asasi manusia dan prinsip negara hukum, seperti UU tentang KDRT yang telah menghilangkan hak dan kekuasaan seorang kepala rumah tangga (keluarga). Secara langsung maupun tidak langsung lahirnya banyak produk UU yang kemudian digugat karena diniai cacat hukum merupakan akibat salah pilih anggota legislatif tahun 1999 dan 2004 lalu. Untuk itu, wajar dalam pemilu 2009 ini masyarakat jangan asal pilihcaleg, karena berakibat fatal di kemudian hari. Sebab, untuk mencabut dan menghentikan sebuah produk UU tidak gampang, membutuhkan banyak faktor pendukung dan dana yang sangat besar. Di lain sisi, UU itu bukan arena politik.

Pers 4 Sehat 5 Sempurna

Oleh Naim Emel Prahana

PERS disebut-sebut sebagai kekuatan keempat dio suatu negara dapat dibuktikan kebenarannya. Bahkan, tanpa pers pembangunan tidak akan ada artinya di tengah kehidupan masyarakat. Sebaliknya pers juga membutuhkan masyarakat dan hal-hal lainnya sebagaimana masyarakat membutuhkan dukungan bagi kelangsungan hidup di muka bumi ini.
Tetapi, betapapun hebatnya eksistensi pers, tentu ada batas-batas yang harus dihargai, dihormati dan dipatuhi oleh pers. Pers bukanlah sebuah retorika sebab pers adalah karya jurnalistik yang nilainya sangat tinggi. Jika pers disebut sebagai salah satu kekuasaan di suatu negara, itu perlu diklarifikasi sebaik-baiknya. Sehingga arti dan tujuan pers itu saendiri tidak ke luar dari garis-garisnya.
Bahkan, yang cenderung terjadi akhir-akhir ini adalah kecenderungan pers menjadi pengadil—pengadilan terhadap hal-hal yang baru disangkakan dan sedang dalam proses hukum. Betapapun tingginya nilai dan kedudukan pers. Tetapi, akan akan jatuh juga ketika kalangan pers sendiri tidak menghormatinya.
Dan, itu harus diketahui, dipahami dan dijalankan oleh insan pers dan diketahui, dipahami dan dimaklumi oleh masyarakat luas. Sehingga akan terjadi perimbangan kedudukan dan status. Sebagai contoh pers tidak menghormati nilai-nilai dirinya sendiri, terjadi ketika suatu penerbitan pers melakukan kontrol sosialnya yang rada-rada ‘dendam’ terjadi kasus insan pers yang terjadi di penerbitan pers lainnya.
Saling menghargai dan menghormati sesama penerbitan pers, termasuk personilnya adalah sesuatu yang mutlak diperlukan dalam membangun pers yang sehat dalam semua faktor. Yang patut dan harus ditandai oleh pers adalah orang-orang yang tidak pernah membangun kehidupan pers tetapi dalam aksi dan aktivitas sehari-harinya sering mengaku sebagai insan pers.
Dan., itu banyak merugikan pers itu sendiri akibat adanya perbuatan pemerasan, tindakan ancaman, tindakan kekerasan dan tindakan penipuan yang menjadikan seseorang atau banyak orang dirugikan. Baik secara fisik mapun psikis, baik secara material maupun inmaterial.
Akhir-akhir ini dengan banyaknya muncul media massa cetak di hampir setiap daerah di Indonesia, pers dijadikan alat untuk memperkaya diri sendiri. Soal terbit atau tidak terbitnya media yang sudah diterbitkan, itu urusan belakang. Yang penting ada stempel redaksi lengkap dengan biro-bironya. Dengan stempel itu para insan persnya yang kebanyakan tidak pernah mengeyam proses sebagai seorang jurnalis melakuklan aksi dengan banyak tindakan yang justru melanggar hukum.
Misalnya secara rutin mengajukan proposal ke pemerintah daerah dan instansi lainnya. Kemudian mencvetak kalender dan dijual seperti menjual barang kebutuhan lainnya dengan harga yang sangat tinggi. Persoalan pers saat ini adalah persoalan jati diri dan sumber daya manusia.
Untuk itu pers dengan insan pers dan perangkatlainnya harus membenahi diri, agar mampu menghargai dunianya dengan sumberdaya manusia yang lebih baik, terdidik, trampil dan tidak menjadi corong penguasa atau sekelompok orang atau seseorang pejabat. Pers harus mengoreksi dirinya sendiri sebelum melakukan kontrol sosial yang lebih makro yang memiliki peluang konflik yang lebih besar.nep.

Napi Menjadi Caleg

Oleh Naim Emel Prahana

INI barangkali puncak kehebatan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin Prod DR Mahfud MD yang mengeluarkan amar putusan terhadap UU No 10/2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPRD dan DPD dan UU No 12/2008 tentang pemerintah daerah terhadap UUD 1945.
Kenapa dikatakan sebagai puncak kehebatan MK? Karena, ketika narapidana (napi) diizinkan untuk menjadi calon legislatif (caleg), bagaimana hubungannya dengan kebijakan Polri yang mengeluarkan Surat Keterangan Catatan Kriminal (SKCK) di berbagai keperluan warga negara?
SKCK dapat membatalkan seseorang yang ingin menjadi caleg, sementara MK mengizinkan napi menjadi caleg. Asumsinya, bagaimana SKCK itu? Bagaimana seorang napi yang masih di dalam penjara bisa menjadi caleg. Betapa runyamnya hukum di Indonesia ini, sehingga ada kesan kepentingan kelompok lebih dihormati kepentingan kepentingan rakyat luas (umum).
Sangat jelas amar keputusan MK tentang napi boleh menjadi caleg karena permohonan uji materi yang disampaikan oleh Rbertus Aji Sa’im—caleg dari PDIP daerah Pagar Alam, Sumatera Selatan. Langkahnya menjadi caleg terganjal oleh pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g UU Pemilu anggota DPR, DPRD dan DPD.
Dalam diktumnya MK menegaskan, UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat sebagai berikut : tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih, berlaku dengan jangka waktu hanya lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya, mantan narapidana harus secara jujur membuka jati dirinya kepada publik, dan bukanlah sebagai pelaku kejahatan yang dilakukan berulang-ulang.
Saat ini rakyat Indonesia menghadapi pilihan yang sulit, penegakan hukum yang rancu, dan aturan hukum yang ada pengecualiaannya. Oleh karena itu, apa mungkin reformasi bidang hukum di Indosia akan berjakan sebagai digembar-gemborkan oleh pemerintah dan politisi di Senayan?
Akibat aturan hukum yang tidak pasti, tumpang tindih, lemah dan disertai dengan aparat hukum yang kalah pamor dengan uang dan jabatan membuat rakyat semakin apatius terhadap penegakan hukum di Indonesia. Sebab, rasa keadilan yang dirasakan tidak ada sama sekali.
Kelemahan penegakan dan aparat penegak hukum itu yang dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk kepentingan kelompok dan dirinya sendiri. Seperti saat sekarang, alangkah banyaknya caleg yang membantu menguruskan kasus-kasus masyarakat maupun kepentingan masyarakat dengan harapan ia akan mendulang suara pada hari pencontrengan tanggal 9 April 2009—beberapa lagi.
Kalau itu yang menjadi faktor sulitnya hukum ditegakkan di Indonesia ini, alangkah baiknya UU yang banyak tentang hukum, apalagi PP, Perpers, Kepres, Surat Edaran yang kedudukannya di bawah UU harus dimusnahkan. Mengaculah kepada KUHP dan KUHAP serta UU Perkawinan No 1/1974 saja.
Seharusnya makin banyak produk UU, semakin baik pelaksanaan penegakan hukumnya oleh penegak hukum. Namun, yang terjadi hanya sebaliknya. Korupsi saja saat ini dapat diretorikakan oleh Pemda menjadi bukan korupsi, tersangka narkoba dapat diretorikakan menjadi “perlu direhabilitasi”, sehingga tidak terjerak hukum.hahahaaaaaaa.

Memainkan UU Narkotika

Oleh Naim Emel Prahana

SALAH seorang Direktur Narkoba Polda Lampung beberapa tahun lalu pernah bilang, “kasus narkoba terlihat meningkat karena polisi terus melakukan operasi penangkapan!”. Rasanya ungkapan yang disampaikan kepada calon TOT narkoba se Lampung itu hanya sebuah retorika untuk menjawab persoalan narkoba sebenarnya.
Narkoba meningkat di Indonesia bukan hanya karena selalu dilakukan operasi narkoba oleh aparat penegak. Tetapi kenyataannya memang penyalahgunaan narkoba sudah sedemikian meningkat di kalangan masyarakat Indonesia. Bukan hanya di kalangan masyarakat elite, tetapi sudah merangsek ke tengah-tengah masyarakat yang tidak baik ekonominya.
Persoalannya, apakah UU narkotika dan psikotropika yang dinilai cukup bagus itu sudah diterapkan sebenarnya oleh aparat penegak hukum atau tidak. Persoalannya, karena selama ini ada kesan dari kenyataan penanganan kasus-kasus narkoba. Baik di tingkat penyidik (polisi), penuntut (kejaksaan) maupun penbgambil keputusan (pengadilan), masih belum sinkron dengan apa yang diamanatkan oleh kedua UU tersebut.
Aparat penegak hukum kelihatannya masih silau (gugup) menegakkan aturan sebenarnya, jika berhadapan dengan tersangka kasus narkoba dari kalangan anak pejabat, pengusaha, petinggi Polri atau TNI. Namun, sangat tegas terhadap rakyat biasa yang tersangkut kasus narkoba.
Analisa kita semua itu terjadi karena uang dan jabatan. Rakyat biasa tidak memiliki uang dan jabatan. Kita dapat melihat kasus Roy Marten, Polo, Ahmad Albar dan sebagainya. Termasuk kasus yang di Lampung. Apakah mungkin kalau kita beberkan satu per satu kasus yang agak ‘aneh’ dapat mengembaliklan supremasi hukum di bidang pemberantasan narkoba?
Karena terjadi diskriminasi akibat uang dan jaban/kekuasaan, maka terjadi tuntutan yang sama dari kalangan rakyat biasa yang tertangkap narkoba, bukan karena kebiasaan. Tetapi, karena ingin memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, menjadi kurir, menjadi sales narkoba atau menjadi alat untuk mendapatkan uang lainnya. Misalnya pemandu lagu di karaoke. Ia terpaksa menenggak miras dan menelan inek karena permintaan yang menyewanya untuk bernyanyi.
Kita butuh revisi perundangan yang mengatur soal identifikasi produsen dan pengguna menjadi salah satu agenda utama pembaruan UU narkotika dan psikotropika tersebut. Sebab, kita tidak ingin terus mempersoalkan perlakuan hukum yang seakan tebang-pilih terhadap bandar-bandar dan produsen narkoba besar. Ia juga mengkritisi produk hukum Indonesia yang seolah dinakodai oleh kepentingan tertentu.
Memang hukum di Indonesia ini aneh, para kurir narkoba ditembak bahkan sampai mati dengan banyak alasan yang dibuat aparat kepolisian. Sementara, yang memproduksi narkoba tidak ditembak mati. Ada apa di balik itu semua? Kepentingan siapa yang dibela, apakah hanya karena kepentingan sumber pendapatan para petinggi penegak hukum atau kekuasaan?
Meningkatnya kasus nakoba akibat kesulitan ekonomi di Indonesia yang terus bertambah buruk dengan kinerja pemerintah yang hanya mementingkan golongannya sendiri. Sedangkan rakyat dijadikan proyek percontohan dengan berbagai dalih program pembangunan sosial ekonomi yang nyatanya tidak pernah merubah sosial ekonomi rakyat.

Nasib Rakyat Miskin

RAKYAT miskin di Indonesia saat ini benar-benar menjadi rakyat jelata tanpa perlindungan dan jaminan hak-hak yang sama seperti warga yang status sosialnya menengah ke atas. Dan, itu terjadi di semua sektor kehidupan warganegara. Sampai-sampai hak-hak yang harusnya mereka peroleh dan dapatkan, dirampok oleh warganegara kelas menengah dan the have akibat kangkalingkong dengan petugas pencatat jumlah penduduk.
Apalagi di bidang hukum, bantuan hukum bagi rakyat miskin yang tidak berdaya di semua kehidupannya sama sekali tidak ada. Selain itu, sulit mencari pengacara yang mau memberikan bantuan secara cuma-cuma kepada rakyat miskin. Boleh dibilang tidak ada pengacara yang mau memberiukan bantuan hukum kepada rakyat miskin dengan cuima-cuma.
Masalah itu disinggung pihak YLBHI, yang meminta segera dibuat undang-undang mengenai bantuan hukum. Yang anggarannya disusun dan berada dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang mengalokasikan dana untuk bantuan hukum secara cuma-cuma bagi rakyat miskin.
Bukian hanya akhirnya ini saja, banyak kasus hukum yang merugikan masyarakat miskin. Kondisi itu diperparah dengan ketidaktahuan terhadap berbagai informasi hukum, sehingga sering mereka dibodohi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kita ambil contoh saja tahun 2008 dari 80 kasus yang ditangani YLBHI dan disidangkan, tidak sampai 10 persen yang bisa dimenangkan.
Sehingga timbul pameo di kalangan YLBHI, bahwa bagi mereka, menang itu istimewa. Kalau kalah, ya, biasa. Pemasalahan utama, misalnya dalam kasus penggusuran, mereka (rakyat miskin) tidak mempunyai bukti berupa sertifikat tanah atas lahan yang mereka tempati.
Bukan di bidang hukum saja, di bidang lain seperti pendidikan, sosial, keagamaan, adat istiadat, hiburan serta bidang lainnya. Rakyat miskin tidak pernah dipandang oleh masyarakat luas, apalagi oleh pemerintah. Kalaupun ada, misalnya dibidang kesehatan, rakyat miskin terombang-ambing oleh prosedur yang ’direkayasa’ untuk menerima pasien warga miskin dalam pengurusan gakin, raskin dan sebagainya.
Akibatnya, terjadilah kasus-kasus busung lapar, penyakit yang tidak pernah bisa diobatai, karena tidak ada uang. Lalu, banyak anggota keluarga miskin akhirnya terjebak dalam tindakan kriminal, dan jika itu terjadi maka mereka akan menjadi korban penegakan hukum dalam sistem penegakan hukum di negara hukum Indonesia ini.
Permasalahan seperti dalam kasus pertanahan, perburuhan, dan penangkapan yang semena-mena, terjadi di mana-mana, sepertinya tidak ada kontrol sosial terhadap pelaksanaan tugas dari aparat penegak hukum. Hak-hak masyarakat miskin yang dijamin seperti dalam pasal 16 dan 26 Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang menyatakan, siapa saja memiliki persamaan kedudukan di depan hukum. Justru yang menghalanginya adalah aparat penegak hukum itu sendiri dengan pengertian dan pengetahuan hukum yang tidak pas atau sengaja diplesetkan, karena kepentingan uang.
Kita semakin prihatin di negara yang berdasarkan hukum itu penegakan hukumnya malah menyandarkan kepada ada tidaknya uang oleh petugas, mulai dari petugas kepolisian, kejaksaan sampai ke pengadilan.nep.

Daftar Pemilih Tetap

Oleh Naim Emel Prahana

ENTAH apa lagi yang harus dibenahi, di mana-mana terjadi manipulasi angka dalam jumlah yang cukup signifikan, semacam daftar pemilih tetap (DPT). Itu, mengisyaratkan bahwa pemilu dan pilkada yang selama ini disleneggarakan di Indonesia penuh dengan kecurangan.
Tidak bisa dibayangkan, kabupaten Ngawi, Jawa Timur lebih dari separuh jumlah mata pilihnya adalah mata pilih ganda, demikian pula Trenggalek. Dan, mungkin di Lampung pun demikian. Metoda atau pola bagaimana agar pemilu di Indonesia ini benar-benar bersih, jujur, adil dan bebas dan rahasia.
Tapi, jika terjadi pemalsuan data, pihak manakah yang paling bertanggungjawab dalam hal itu, sehingga persoalan-persoalan di Indonesia bisa dituntaskan. Tidak ada lagi dendam mendendam antar genarasi. Untuk sementara, kita harus mengakui kalau pemerintahlah yang harus bertanggungjkawab atas manipulasi DPT tersebut. Tentu saja hal itu terkait keinginan pihak penguasa ingin berkuasa kembali.
Akibat tidak pernah selesainya persoalan pemilu dan pilkada di Indonesia, maka krisis multidimensional tidak akan pernah tuntas, walaupun SBY sebagai ketua dewan pembina Partai Demokrat berbusa-busa mengeluarkan pernyataan dalam kampanye partainya sebagaimana kita saksikan di layar televisi.
Kalau DPT sangat diragukan dan itu sangat berpeluang telah terjadi pada pemilu-pemilu sebelum ini. Jumlah PNS saja di Indonesia tidak pernah terdata dengan baik dan selalu datanya berbeda dari sayu instansi terkait dengan instansi terkait lainnya. Jika hal itu tidak pernah akan dapat diselesaikan dengan kualitas penyelenggaraan pemerintahan. Maka sudah pasti pemborosan anggaran pada APBN setiap tahunnya akan merusak sistem pembangunan di negeri ini.
Bermula perbedaan mencolok antara data BKKBN dengan Kantor Statistik, maka semua menjadi persoalan. Belum lagi persoalan lain yang sudah mengakar di bumi Indoensia seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, penyalahgunaan fasilitas negara dan penyelewengan lainnya yang kita temui dan hadapi setiap hari.
Sebagai negara besar dilihat dari luas wilayahnya, besar jumlah penduduknya. Tetapi Indonesia kerdil dalam berpikir dan bekerja. Mental dan sikap nasionalisme dalam kehidupan masyarakat sehari-hari msangat tidak memadai dengan keagunangan nama bangsa Indonesia. Tapi, masihkan ada harapan yang oprtimis digantungkan dari proses demokrasi yang sedang berjalan saat ini?
Tentu masih, dengan catatan agar penegakan hukum harus benar-benar dilakukan dan pelaksanaan tugas aparat keamanan dan ketertiban, jangan bermain retorika bisnis dalam menangani kasus-kasus yang terjadi, terutama menyangkut PNS dan pejabat yang jika terjadi kasus, urusannya harus ada izin presiden.
Untuk itu, soal DPT pemerintah harus bertanggungjawab. Bukan suatu hal yang sulit untuk membongkar kasus tersebut, siapa yang membuat DTP yang salah itu. Apakah melacak si pembuat data kok sulit amat sih! Bagaimana melacak kegiatan-kegiatan spionase di dalam negeri, kan lebih rumit dari melacak pembuat DPT palsu itu.
Sekali lagi pemerintah, kapan dan siapa saja yang pemerintah di Indonesia memang tidak berkeinginan untuk memajukan bangsa ini. Mereka hanya ingin memajukan bangsa mereka sendiri, yaitu keluarga dan kaum kerabat pejabat saja. Dan, itulah biangkeladi rusaknya bangsa ini dengan makin merosotnya kualitas manusia yang ada. Nep

Daftar Pemilih Tetap

Oleh Naim Emel Prahana

ENTAH apa lagi yang harus dibenahi, di mana-mana terjadi manipulasi angka dalam jumlah yang cukup signifikan, semacam daftar pemilih tetap (DPT). Itu, mengisyaratkan bahwa pemilu dan pilkada yang selama ini disleneggarakan di Indonesia penuh dengan kecurangan.
Tidak bisa dibayangkan, kabupaten Ngawi, Jawa Timur lebih dari separuh jumlah mata pilihnya adalah mata pilih ganda, demikian pula Trenggalek. Dan, mungkin di Lampung pun demikian. Metoda atau pola bagaimana agar pemilu di Indonesia ini benar-benar bersih, jujur, adil dan bebas dan rahasia.
Tapi, jika terjadi pemalsuan data, pihak manakah yang paling bertanggungjawab dalam hal itu, sehingga persoalan-persoalan di Indonesia bisa dituntaskan. Tidak ada lagi dendam mendendam antar genarasi. Untuk sementara, kita harus mengakui kalau pemerintahlah yang harus bertanggungjkawab atas manipulasi DPT tersebut. Tentu saja hal itu terkait keinginan pihak penguasa ingin berkuasa kembali.
Akibat tidak pernah selesainya persoalan pemilu dan pilkada di Indonesia, maka krisis multidimensional tidak akan pernah tuntas, walaupun SBY sebagai ketua dewan pembina Partai Demokrat berbusa-busa mengeluarkan pernyataan dalam kampanye partainya sebagaimana kita saksikan di layar televisi.
Kalau DPT sangat diragukan dan itu sangat berpeluang telah terjadi pada pemilu-pemilu sebelum ini. Jumlah PNS saja di Indonesia tidak pernah terdata dengan baik dan selalu datanya berbeda dari sayu instansi terkait dengan instansi terkait lainnya. Jika hal itu tidak pernah akan dapat diselesaikan dengan kualitas penyelenggaraan pemerintahan. Maka sudah pasti pemborosan anggaran pada APBN setiap tahunnya akan merusak sistem pembangunan di negeri ini.
Bermula perbedaan mencolok antara data BKKBN dengan Kantor Statistik, maka semua menjadi persoalan. Belum lagi persoalan lain yang sudah mengakar di bumi Indoensia seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, penyalahgunaan fasilitas negara dan penyelewengan lainnya yang kita temui dan hadapi setiap hari.
Sebagai negara besar dilihat dari luas wilayahnya, besar jumlah penduduknya. Tetapi Indonesia kerdil dalam berpikir dan bekerja. Mental dan sikap nasionalisme dalam kehidupan masyarakat sehari-hari msangat tidak memadai dengan keagunangan nama bangsa Indonesia. Tapi, masihkan ada harapan yang oprtimis digantungkan dari proses demokrasi yang sedang berjalan saat ini?
Tentu masih, dengan catatan agar penegakan hukum harus benar-benar dilakukan dan pelaksanaan tugas aparat keamanan dan ketertiban, jangan bermain retorika bisnis dalam menangani kasus-kasus yang terjadi, terutama menyangkut PNS dan pejabat yang jika terjadi kasus, urusannya harus ada izin presiden.
Untuk itu, soal DPT pemerintah harus bertanggungjawab. Bukan suatu hal yang sulit untuk membongkar kasus tersebut, siapa yang membuat DTP yang salah itu. Apakah melacak si pembuat data kok sulit amat sih! Bagaimana melacak kegiatan-kegiatan spionase di dalam negeri, kan lebih rumit dari melacak pembuat DPT palsu itu.
Sekali lagi pemerintah, kapan dan siapa saja yang pemerintah di Indonesia memang tidak berkeinginan untuk memajukan bangsa ini. Mereka hanya ingin memajukan bangsa mereka sendiri, yaitu keluarga dan kaum kerabat pejabat saja. Dan, itulah biangkeladi rusaknya bangsa ini dengan makin merosotnya kualitas manusia yang ada. Nep

Ketua KPU Harus Diganti

Oleh Naim Emel Prahana

ORANG bijak pernah bilang sama Edwin Hanibal dan Pattimura, agar cerdik, cerdas dan pandai menghadapi situasi menjelang pemilu 2009, terutama pembentukan tim seleksi (Timsel) calon anggota KPU dan penetapan anggota KPU kabupaten/kota se Lampung. Sayangnya, keduanya seperti hero sendiri di tengah kekuasaan Allah SWT.
Keterlibatan keduanya dalam penseleksian calon anggota timsel dan anggota KPU sangat erat dan kuat sekali pertaliannya, bahkan unsur KKN sangat melekat. Tapi, kedua sosok muda itu makin menampakkan keblingerannya atas status dan jabatan yang dipegang. Saran dan kritik maupun masukan tidak digubris. Hanya bermanis-manis dimulut, tanpa realisasi. Tidak ada nilai persahabatan, saling menghormati dan saling terbuka di antara keduanya.
Kinbi, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merekomendasikan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lampung, Edwin Hanibal diberhentikan terkait rekrutmen KPU tujuh kabupaten/kota tahun lalu. Bawaslu juga, mengusulkan anggota KPU Pattimura dicopot dalam kasus yang sama. Sementara itu, dua anggota KPU Lampung lain, Nanang Trenggono dan Sholihin, diusulkan agar diperiksa Dewan Kehormatan (DK) KPU karena dianggap turut dalam rapat pleno penetapan anggota KPU kabupaten/kota.
Semua tahu sepak terjang ketua KPU dan anggota KPU Lampung, Edwin Hanibal dan Pattimura. Terutama dalam kasus pilkada di Lampung Utara, kemudian bagaimana keduanya tidak mengindahkan Peraturan KPU No 13/2007 tentang ekrutmen anggota timsel. Bahkan melecehkan lembaga legislatif yang dipercayai untuk memilih dan menetapkan 2 calon timsel dari preofesional dan akademik.
Bukan hanya kode etik yang dilanggar oleh Edwin Hanibal dan Pattimura sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Panwaslu Provinsi Lampung, tetapi telah memperkosa Hak Azasi Manusia dan menghilangkan kesempatan setiap warganegara yang inginb mendapatkan pekerjaan.
Setting Edwin Hanibal dan Pattimura untuk mengoalkan anggota KPU pro mereka dan dapat diatur, sudah lama mereka kemas dan beraksi sejak diumumkannya wacana penerimaan anggota timsel kabupaten/kota se Lampung. Sayang sekali, walaupun KPU Pusat mengetahui sepak terjang ketua dan anggota KPU provinsi Lampung, Edwin anibal dan Pattimura sudah jauh melampaui kewenangannya. Toh, sampai sekarang tidak ada tindak lanju atas pengaduan yang diterima KPU Pusat sepanjang 2008.
Dan, anggota KPU kabupaten/kota yang ditetapkan oleh KPU Lampung memang banyak yang terlibat parpol, dan penetapan anggota timsel tanpa melalui mekanisme dan prosedure perundang-undangan seperti yang dilakukan di Metro, sudah membuktikan keduanya memang harus dicopot dari jabatannya.
Termasuk nggota yang lain dan termasuk Ny Handi. Di sisi lain KPU Lampung memang tidak netral sebagai wasit, banyak kasus yang terjadi seperti penggelembungan surat pendukung calon gubernur beberapa waktu lalu. Sebab, kalau berdasarkan bukti otentik yang sah, calon gubernur dari jalur independen tida bisa mengikuti proses pilgub. Karena, banyak dukungan via fotocopy KTP adalah aspal.
Tapi, sudahlah. Kita relakan saja penggantian ketua dan anggota KPU Lampung, agar pemilu 2009 berjalan sebagaimana mestinya, dan jauh dari trik politik yang tidak netral. Termasuk DPT yang saat ini masih dipersoalkan di seluruh Indonesia. Bawaslu sudah bekerja atas nama rakyat Lampung dan DK KPU harus segera memutuskan rekomendasi itu.

Ketua KPU Harus Diganti

Oleh Naim Emel Prahana

ORANG bijak pernah bilang sama Edwin Hanibal dan Pattimura, agar cerdik, cerdas dan pandai menghadapi situasi menjelang pemilu 2009, terutama pembentukan tim seleksi (Timsel) calon anggota KPU dan penetapan anggota KPU kabupaten/kota se Lampung. Sayangnya, keduanya seperti hero sendiri di tengah kekuasaan Allah SWT.
Keterlibatan keduanya dalam penseleksian calon anggota timsel dan anggota KPU sangat erat dan kuat sekali pertaliannya, bahkan unsur KKN sangat melekat. Tapi, kedua sosok muda itu makin menampakkan keblingerannya atas status dan jabatan yang dipegang. Saran dan kritik maupun masukan tidak digubris. Hanya bermanis-manis dimulut, tanpa realisasi. Tidak ada nilai persahabatan, saling menghormati dan saling terbuka di antara keduanya.
Kinbi, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merekomendasikan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lampung, Edwin Hanibal diberhentikan terkait rekrutmen KPU tujuh kabupaten/kota tahun lalu. Bawaslu juga, mengusulkan anggota KPU Pattimura dicopot dalam kasus yang sama. Sementara itu, dua anggota KPU Lampung lain, Nanang Trenggono dan Sholihin, diusulkan agar diperiksa Dewan Kehormatan (DK) KPU karena dianggap turut dalam rapat pleno penetapan anggota KPU kabupaten/kota.
Semua tahu sepak terjang ketua KPU dan anggota KPU Lampung, Edwin Hanibal dan Pattimura. Terutama dalam kasus pilkada di Lampung Utara, kemudian bagaimana keduanya tidak mengindahkan Peraturan KPU No 13/2007 tentang ekrutmen anggota timsel. Bahkan melecehkan lembaga legislatif yang dipercayai untuk memilih dan menetapkan 2 calon timsel dari preofesional dan akademik.
Bukan hanya kode etik yang dilanggar oleh Edwin Hanibal dan Pattimura sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Panwaslu Provinsi Lampung, tetapi telah memperkosa Hak Azasi Manusia dan menghilangkan kesempatan setiap warganegara yang inginb mendapatkan pekerjaan.
Setting Edwin Hanibal dan Pattimura untuk mengoalkan anggota KPU pro mereka dan dapat diatur, sudah lama mereka kemas dan beraksi sejak diumumkannya wacana penerimaan anggota timsel kabupaten/kota se Lampung. Sayang sekali, walaupun KPU Pusat mengetahui sepak terjang ketua dan anggota KPU provinsi Lampung, Edwin anibal dan Pattimura sudah jauh melampaui kewenangannya. Toh, sampai sekarang tidak ada tindak lanju atas pengaduan yang diterima KPU Pusat sepanjang 2008.
Dan, anggota KPU kabupaten/kota yang ditetapkan oleh KPU Lampung memang banyak yang terlibat parpol, dan penetapan anggota timsel tanpa melalui mekanisme dan prosedure perundang-undangan seperti yang dilakukan di Metro, sudah membuktikan keduanya memang harus dicopot dari jabatannya.
Termasuk nggota yang lain dan termasuk Ny Handi. Di sisi lain KPU Lampung memang tidak netral sebagai wasit, banyak kasus yang terjadi seperti penggelembungan surat pendukung calon gubernur beberapa waktu lalu. Sebab, kalau berdasarkan bukti otentik yang sah, calon gubernur dari jalur independen tida bisa mengikuti proses pilgub. Karena, banyak dukungan via fotocopy KTP adalah aspal.
Tapi, sudahlah. Kita relakan saja penggantian ketua dan anggota KPU Lampung, agar pemilu 2009 berjalan sebagaimana mestinya, dan jauh dari trik politik yang tidak netral. Termasuk DPT yang saat ini masih dipersoalkan di seluruh Indonesia. Bawaslu sudah bekerja atas nama rakyat Lampung dan DK KPUharus segera memutuskan rekomendasi itu.

Bandarlampung—Jakarta

Oleh Naim Emel Prahana
MAU cepat ke Jakarta dan bergengsi? Naiklah pesawat terbang dengan waktu tempuh sekitar 37 menit. Artinya lebih lama 23 menit kalau naik bis AC jurusan Rajabasa—Metro. Apalagi mobil pengantar dan penjemput di Bandara Branti, keren-keren dan elite-elite. Tentu orang yang naik pesawat terbang ke Jakarta adalah orang-orang berduit alias warga yang punya harta banyak?
Itulah asumsinya. Harga tiket pesawat terbang dengan jarak tempuh sekitar 37 menit itu rata-rata (minimum) Rp Rp 320.000,- dan maksimumnya tidak pernah bisa dipukul rata. Sebab, “semua terserah gua!” Pagi hari bisa Rp 290.000,- mines bording pas, siangnya bisa tiket dijual Rp 475.000,-mines bording pas.
Dapat dibayangkan pula kalkulasi cost yang ditimbulkan sekali jalan ke Jakarta via udara. Ongkos pesawat + bording pas + taksi di Jakarta ke alamat tujuan + lain-lainnya. Jika diwujudkan dalam angka kalau kita mengambil pukul rata adalah Rp 320.000,- + Rp 30.000,-+ Rp 80.000,- + lain-lain Rp 40.000,-= Rp 470.000,-Bagaimana kalau tiket pesawat Branti—Soekarno Hatta dijual dengan harga Rp 475.000,- belum ditambah bording pas, taksi dan lain-lain?
Kesan kita, “waduh gila amat tu tiket pesawat!” Dan coba membandingkannya dengan tarif Jakarta—Surabaya yang jarak tempuhnya sekitar 90 menit dengan harga rata-rata (minimun) Rp 250.000,- mines bording pas dan taksi dan lain-lain. Atau Jakarta—Bengkulu yang jarak tempuhnya 2 X lipat dari jarak tempuh Branti—Soekarno-Hatta. Tiket pesawat Bengkulu—Jakarta saja dipukul rata Rp 290.000,- sekali jalan (min bording pas, taksi dan lainnya).
Atau kita bandingkan harga tiket Jakarta—Medan? Waduh Lampung—Jakarta memecahkan rekor tiket pesawat termahal di negeri ini setelah di daerah pedalaman Irian Jaya (Papua). Sementara kalau kita menyewa sebuah helikopter seharinya hanya Rp 100.000.000,-
Dan, jika kita naik bis ke Jakarta dari Bandarlampung secara estafet uang Rp 100.000,- masih sisa sekitar Rp 20.000,-dengan catatan waktu sekitar 6—8 jam perjalanan. Tapi, walaupun mahal harga tiket yang juga tidak pernah ada standarnya itu, koki masih banyak saja yang ke Jakarta via udara. Kayakah mereka, atau oranmg-orang elitekah mereka?
Seperti kalau naik pesawat ke Surabaya dari Jakarta, alangkah banyaknya para pembantu rumah tangga yang naik pesawat. Artinya, harga tiketnya relatif murah. Kalau pembantu rumah tangga asal Lampung kerja di Jakarta yang mudik naik pesawat, wah bisa berabe dan gaji bulanannya tidak bakal cukup. Sebab, lain dengan naik pesawat Jakarta—Surabaya.
Sebenarnya ingin dipertanyakan, siapakah yang menetapkan tarif pesawat terbang di Indonesia ini. Sejauhmana kewenangan pemerintah atas tarif pesawat terbang tersebut. Apakah hanya sebagai penonton atau bahkan jadi pemain juga. Belum ada yang menanyakan hal itu. Yang ada penumpang menanyakan pelayanan awak pesawat atau hilangnya barang bawaan melalui kargo pesawat.
Dalam kontek turunnya harga BBM dan situasi buruk ekonomi dunia Internasional sekarang ini, apakah tidak baik kalau soal harga tiket pesawat diatur sedemikian rupa, dilihat jarak tempuhnya dan biaya parkir di setiap bandara yang disinggahi sebuah pesawat terbang.nep