Oleh Naim Emel Prahana
PERS disebut-sebut sebagai kekuatan keempat dio suatu negara dapat dibuktikan kebenarannya. Bahkan, tanpa pers pembangunan tidak akan ada artinya di tengah kehidupan masyarakat. Sebaliknya pers juga membutuhkan masyarakat dan hal-hal lainnya sebagaimana masyarakat membutuhkan dukungan bagi kelangsungan hidup di muka bumi ini.
Tetapi, betapapun hebatnya eksistensi pers, tentu ada batas-batas yang harus dihargai, dihormati dan dipatuhi oleh pers. Pers bukanlah sebuah retorika sebab pers adalah karya jurnalistik yang nilainya sangat tinggi. Jika pers disebut sebagai salah satu kekuasaan di suatu negara, itu perlu diklarifikasi sebaik-baiknya. Sehingga arti dan tujuan pers itu saendiri tidak ke luar dari garis-garisnya.
Bahkan, yang cenderung terjadi akhir-akhir ini adalah kecenderungan pers menjadi pengadil—pengadilan terhadap hal-hal yang baru disangkakan dan sedang dalam proses hukum. Betapapun tingginya nilai dan kedudukan pers. Tetapi, akan akan jatuh juga ketika kalangan pers sendiri tidak menghormatinya.
Dan, itu harus diketahui, dipahami dan dijalankan oleh insan pers dan diketahui, dipahami dan dimaklumi oleh masyarakat luas. Sehingga akan terjadi perimbangan kedudukan dan status. Sebagai contoh pers tidak menghormati nilai-nilai dirinya sendiri, terjadi ketika suatu penerbitan pers melakukan kontrol sosialnya yang rada-rada ‘dendam’ terjadi kasus insan pers yang terjadi di penerbitan pers lainnya.
Saling menghargai dan menghormati sesama penerbitan pers, termasuk personilnya adalah sesuatu yang mutlak diperlukan dalam membangun pers yang sehat dalam semua faktor. Yang patut dan harus ditandai oleh pers adalah orang-orang yang tidak pernah membangun kehidupan pers tetapi dalam aksi dan aktivitas sehari-harinya sering mengaku sebagai insan pers.
Dan., itu banyak merugikan pers itu sendiri akibat adanya perbuatan pemerasan, tindakan ancaman, tindakan kekerasan dan tindakan penipuan yang menjadikan seseorang atau banyak orang dirugikan. Baik secara fisik mapun psikis, baik secara material maupun inmaterial.
Akhir-akhir ini dengan banyaknya muncul media massa cetak di hampir setiap daerah di Indonesia, pers dijadikan alat untuk memperkaya diri sendiri. Soal terbit atau tidak terbitnya media yang sudah diterbitkan, itu urusan belakang. Yang penting ada stempel redaksi lengkap dengan biro-bironya. Dengan stempel itu para insan persnya yang kebanyakan tidak pernah mengeyam proses sebagai seorang jurnalis melakuklan aksi dengan banyak tindakan yang justru melanggar hukum.
Misalnya secara rutin mengajukan proposal ke pemerintah daerah dan instansi lainnya. Kemudian mencvetak kalender dan dijual seperti menjual barang kebutuhan lainnya dengan harga yang sangat tinggi. Persoalan pers saat ini adalah persoalan jati diri dan sumber daya manusia.
Untuk itu pers dengan insan pers dan perangkatlainnya harus membenahi diri, agar mampu menghargai dunianya dengan sumberdaya manusia yang lebih baik, terdidik, trampil dan tidak menjadi corong penguasa atau sekelompok orang atau seseorang pejabat. Pers harus mengoreksi dirinya sendiri sebelum melakukan kontrol sosial yang lebih makro yang memiliki peluang konflik yang lebih besar.nep.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar