Oleh Naim Emel Prahana
PERBEDAAN mencolok lahirnya produk undang-undang (aturan hukum) di Indonesia, antara zaman orde lama, orde baru dan orde reformasi sangat terasa. Di zaman orde lama, apapun bentuk dan sistem pemerintah yang sering berubah. Produk UU dibuat dan diberlakukan “untuk kepentingan bangsa dan negara”.
Lain halnya pada zaman orde baru dan orde reformasi sekarang ini. UU dibuat karena kepentingan elite politik di dalam partai politik. Produk seperti itu, mengisyaratkan telah terjadi krisis dan semangat nasional di kalangan masyarakat elite Indonesia. Banyak produk yang dinilai sangat lemah, karena substansinya tidak lebih tidak kurang untuk kepentingan orang-orang berkuasa.
Apalagi produk di tingkat Inpres, Keppres, PP dan yang paling kentara adalah produk hukum yang berada di balik “Surat Edaran” para menteri atau Surat Keputusan bersama. Kondisi demikian mengakibatkan banyaknya produk hukum yang tiak dijalankan sebagaimana mestinya. Sebab, roh kepentingan elite politik dan pejabat di tingkat pusat tidak sama dengan roh dan kebutuhan di tingkat lokal.
Seperti halnya UU Pornografi No 44/2008 yang sejak diwacanakan sudah membuat peta konflik di tengah masyarakat yang bhinneka tunggal ika itu. UU Kepolisian yang baru yang polisi disebut bukan militer (terp[isah dari TNI), ternyata sikap dan pelaksanaan tugasnya tidak berubah sama sekali. UU Otonomi Daerah, UU Pemilu, UU tentang KPU , UU KDRT dan sebagainya.
Untuk UU Pornografi yang saat ini tengah digugat, bukan lantaran masyarakat Indoneia tidak mau taat dengan nilai dan norma-norma keagamaan dalam kehidupan sosialnya. Akan tetapi, banyak pasal yang hanya menjadi perpanjangan kepentingan elite politik di tanah air. Serunya, UU Pornografi itu di sejumlah daerah ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah (Perda) tentan pelacuran.
Keduanya tidak bisa diterapkan, karena pihak pelaksana daripada UU itu selain tidak konsisten, juga menjadikan peraturan hukum itu untuk kepentingan korps, oknum dan kekayaan pribadi. Mungkin itulah yang menyebabkan UU Pornografi digugat 28 elemen masyarakat, seperti masyarakat Sulawesi Utara (Sulut), seniman dan penulis, ELSAM, The Wahid Institute Foundation, dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).
Para penggugat di Mahkamah Konstitusi pada umumnya menyatakan UU No 44/2008 dari sisi substansi cacat hukum dan mengancam terlaksananya hak konstitusional pemohon secara bebas. Beberapa pasal yang dituding cacat hukum dalam UU No 44/2008 itu, antara lain Pasal 1 ayat (1) mengenai definisi pornografi, Pasal 4 ayat (1) soal mengesankan ketelanjangan, Pasal 20 dan Pasal 21 tentang keterlibatan masyarakat, serta Pasal 43 mengenai mewajibkan bukti ke pihak yang berwajib.
UU itu banyak melanggar hak asasi manusia dan prinsip negara hukum, seperti UU tentang KDRT yang telah menghilangkan hak dan kekuasaan seorang kepala rumah tangga (keluarga). Secara langsung maupun tidak langsung lahirnya banyak produk UU yang kemudian digugat karena diniai cacat hukum merupakan akibat salah pilih anggota legislatif tahun 1999 dan 2004 lalu. Untuk itu, wajar dalam pemilu 2009 ini masyarakat jangan asal pilihcaleg, karena berakibat fatal di kemudian hari. Sebab, untuk mencabut dan menghentikan sebuah produk UU tidak gampang, membutuhkan banyak faktor pendukung dan dana yang sangat besar. Di lain sisi, UU itu bukan arena politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar