Kamis, 02 April 2009

Napi Menjadi Caleg

Oleh Naim Emel Prahana

INI barangkali puncak kehebatan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin Prod DR Mahfud MD yang mengeluarkan amar putusan terhadap UU No 10/2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPRD dan DPD dan UU No 12/2008 tentang pemerintah daerah terhadap UUD 1945.
Kenapa dikatakan sebagai puncak kehebatan MK? Karena, ketika narapidana (napi) diizinkan untuk menjadi calon legislatif (caleg), bagaimana hubungannya dengan kebijakan Polri yang mengeluarkan Surat Keterangan Catatan Kriminal (SKCK) di berbagai keperluan warga negara?
SKCK dapat membatalkan seseorang yang ingin menjadi caleg, sementara MK mengizinkan napi menjadi caleg. Asumsinya, bagaimana SKCK itu? Bagaimana seorang napi yang masih di dalam penjara bisa menjadi caleg. Betapa runyamnya hukum di Indonesia ini, sehingga ada kesan kepentingan kelompok lebih dihormati kepentingan kepentingan rakyat luas (umum).
Sangat jelas amar keputusan MK tentang napi boleh menjadi caleg karena permohonan uji materi yang disampaikan oleh Rbertus Aji Sa’im—caleg dari PDIP daerah Pagar Alam, Sumatera Selatan. Langkahnya menjadi caleg terganjal oleh pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g UU Pemilu anggota DPR, DPRD dan DPD.
Dalam diktumnya MK menegaskan, UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat sebagai berikut : tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih, berlaku dengan jangka waktu hanya lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya, mantan narapidana harus secara jujur membuka jati dirinya kepada publik, dan bukanlah sebagai pelaku kejahatan yang dilakukan berulang-ulang.
Saat ini rakyat Indonesia menghadapi pilihan yang sulit, penegakan hukum yang rancu, dan aturan hukum yang ada pengecualiaannya. Oleh karena itu, apa mungkin reformasi bidang hukum di Indosia akan berjakan sebagai digembar-gemborkan oleh pemerintah dan politisi di Senayan?
Akibat aturan hukum yang tidak pasti, tumpang tindih, lemah dan disertai dengan aparat hukum yang kalah pamor dengan uang dan jabatan membuat rakyat semakin apatius terhadap penegakan hukum di Indonesia. Sebab, rasa keadilan yang dirasakan tidak ada sama sekali.
Kelemahan penegakan dan aparat penegak hukum itu yang dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk kepentingan kelompok dan dirinya sendiri. Seperti saat sekarang, alangkah banyaknya caleg yang membantu menguruskan kasus-kasus masyarakat maupun kepentingan masyarakat dengan harapan ia akan mendulang suara pada hari pencontrengan tanggal 9 April 2009—beberapa lagi.
Kalau itu yang menjadi faktor sulitnya hukum ditegakkan di Indonesia ini, alangkah baiknya UU yang banyak tentang hukum, apalagi PP, Perpers, Kepres, Surat Edaran yang kedudukannya di bawah UU harus dimusnahkan. Mengaculah kepada KUHP dan KUHAP serta UU Perkawinan No 1/1974 saja.
Seharusnya makin banyak produk UU, semakin baik pelaksanaan penegakan hukumnya oleh penegak hukum. Namun, yang terjadi hanya sebaliknya. Korupsi saja saat ini dapat diretorikakan oleh Pemda menjadi bukan korupsi, tersangka narkoba dapat diretorikakan menjadi “perlu direhabilitasi”, sehingga tidak terjerak hukum.hahahaaaaaaa.

Tidak ada komentar: