Minggu, 31 Januari 2016

Persyaratan dan Mekanisme Pelayanan Pindah Datang



1.      Ketentuan Pelayanan Penduduk Pindah dan Penduduk Datang.
2.      Penduduk yang pindah ke luar Daerah wajib melapor kepada Lurah.
3.      Surat Keterangan Pindah dan Surat Keterangan Pindah Datang WNI berlaku selama 30 (tiga puluh) Hari Kerja.
4.      Pada saat diserahkan Surat Keterangan Pindah kepada Penduduk, KTP yang bersangkutan dicabut dan dimusnahkan oleh Dinas yang menerbitkan Surat Keterangan Pindah.
5.      Surat Keterangan Pindah berlaku sebagai KTP selama KTP baru belum diterbitkan.
6.      Bagi anak di bawah umur permohonan diajukan oleh Orangtua atau kuasa orang tuanya, dilengkapi Surat Kuasa Pengurusan dari Orangtua atau Wali Anak kepada pihak yang melakukan pengurusan atau Kepala Keluarga yang KKnya akan ditumpangi dilampiri foto copy KTP para pihak.
7.      Untuk mengantisipasi segala bentuk penyimpangan dalam pengurusan permohonan Surat Keterangan Pindah Datang antar Kab/Kota, antar Provinsi agar dilampirkan SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) dari daerah asal.

Klasifikasi Pindah:
Klasifikasi 1 : dalam satu Kelurahan.
Klasifikasi 2 : antar Kelurahan dalam satu Kecamatan.
Klasifikasi 3 : antar Kecamatan dalam satu kota Surakarta.
Klasifikasi 4 : antar Kabupaten/ kota dalam satu Provinsi.
Klasifikasi 5 : antar Provinsi dalam wilayah Indonesia

Jenis Kepindahan:
1.      Kepala keluarga.
2.      Kepala keluarga dan seluruh anggota keluarga.
3.      Kepala keluarga dan sebagian anggota keluarga.
4.      Anggota keluarga.

Persyaratan dan Mekanisme Penduduk Pindah:
Klasifikasi 1
Dalam Satu Kelurahan:
Persyaratan :
1.      Surat pengantar RT / RW.
2.      KK dan KTP.

Mekanisme :
1.      Penduduk dengan membawa Surat Pengantar RT/RW tujuan melapor ke Lurah.
2.      Penduduk mengisi dan menandatangani formulir permohonan pindah.
3.      Petugas registrasi kelurahan mencatat dalam Buku Harian Peristiwa Penting dan Kependudukan (BHPPK) dan Buku Induk Penduduk (BIP).
4.      Petugas registrasi melakukan verifikasi dan validasi data penduduk.
5.      Lurah atas nama Kepala Dinas menerbitkan dan menandatangani Surat Keterangan Pindah Datang.
6.      Petugas registrasi kelurahan mencatat dalam Buku Induk Penduduk dan Buku Mutasi Penduduk.
7.      Surat Keterangan Pindah Datang digunakan sebagai dasar proses perekaman dalam data base kependudukan, perubahan KK bagi kepala/anggota keluarga yang tidak pindah dan proses Penerbitan KK/KTP di alamat baru.

Klasifikasi 2:
Antar Kelurahan Dalam Satu Kecamatan:
Persyaratan:
1.      Surat pengantar RT / RW
2.      KK dan KTP.

Mekanisme:
Di daerah asal:
1.      Penduduk dengan membawa Surat Pengantar RT/RW melapor ke Lurah.
2.      Penduduk mengisi dan menandatangani formulir permohonan pindah.
3.      Petugas registrasi kelurahan mencatat dalam Buku Harian Peristiwa Penting dan Kependudukan (BHPPK) dan Buku Induk Penduduk (BIP).
4.      Petugas registrasi melakukan verifikasi dan validasi data penduduk
5.      Lurah atas nama Kepala Dinas menandatangani Surat Keterangan Pindah.
6.      Petugas registrasi kelurahan mencatat dalam Buku Induk Penduduk dan Buku Mutasi Penduduk.
7.      Surat Keterangan Pindah diserahkan kepada penduduk untuk dilaporkan pada Lurah Tujuan.
8.      Surat Keterangan Pindah digunakan sebagai dasar proses perekaman dalam data base kependudukan, perubahan KK bagi kepala/anggota keluarga yang tidak pindah.

Di daerah tujuan:
1.      Penduduk dengan membawa Surat Keterangan Pindah dan Surat Pengantar RT/RW tujuan melapor kepada Lurah Tujuan.
2.      Penduduk mengisi dan menandatangani formulir permohonan pindah datang untuk mendapatkan Surat Keterangan Pindah Datang.
3.      Petugas registrasi kelurahan mencatat dalam Buku Harian Peristiwa Penting dan Kependudukan (BHPPK) dan Buku Induk Penduduk (BIP).
4.      Petugas registrasi melakukan verifikasi dan validasi data penduduk.
5.      Lurah atas nama Kepala Dinas menerbitkan dan menandatangani Surat Keterangan Pindah Datang.
6.      Surat Keterangan Pindah Datang digunakan sebagai dasar proses perekaman dalam data base kependudukan dan proses Penerbitan KK/KTP di alamat baru.

Klasifikasi 3
Antar Kecamatan Dalam Satu Kota:
Persyaratan:
1.      Surat pengantar RT / RW.
2.      KK dan KTP.

Mekanisme:
Di daerah asal:
Di Kelurahan:
1.      Penduduk dengan membawa Surat Pengantar RT/RW lapor ke Lurah.
2.      Pendudukmengisi dan menandatangani formulir permohonan pindah.
3.      Petugas registrasi kelurahan mencatat dalam Buku Harian Peristiwa Penting dan Kependudukan (BHPPK) dan Buku Induk Penduduk (BIP).
4.      Petugas registrasi melakukan verifikasi dan validasi data penduduk.
5.      Lurah mengetahui dan membubuhkan tanda tangan pada Surat Pengantar RT/RW.
6.      Petugas registrasi kelurahan mencatat dalam Buku Induk Penduduk dan Buku Mutasi Penduduk.

Di Kecamatan:
1.      Petugas Kecamatan melakukan verifikasi dan validasi data penduduk.
2.      Camat atas nama Kepala Dinas menerbitkan dan menandatangani Surat Keterangan Pindah.
3.      Surat Keterangan Pindah diserahkan kepada penduduk untuk dilaporkan ke daerah tujuan.
4.      Surat Keterangan Pindah digunakan sebagai dasar perekaman dalam data base kependudukan dan perubahan KK bagi Kepala / Anggota Keluarga dalam KK yang tidak pindah.



Di Daerah Tujuan:
1.      Penduduk dengan membawa Surat Keterangan Pindah dan Surat Pengantar RT/RW tujuan melapor kepada Ketua RT dan Lurah Tujuan.
2.      Penduduk mengisi dan menandatangani formulir permohonan pindah datang untuk mendapatkan Surat Keterangan Pindah Datang.
3.      Petugas registrasi kelurahan mencatat dalam Buku Harian Peristiwa Penting dan Kependudukan (BHPPK) dan Buku Induk Penduduk (BIP).
4.      Petugas registrasi melakukan verifikasi dan validasi data penduduk.
5.      Lurah menandatangani Formulir Permohonan Pindah Datang
6.      Formulir Pindah Datang diserahkan kepada penduduk untuk diteruskan ke Camat.
7.      Petugas Kecamatan melakukan verifikasi dan validasi data penduduk.
8.      Camat atas nama Kepala Dinas menerbitkan dan menandatangani Surat Keterangan Pindah Datang.
9.      Surat Keterangan Pindah Datang digunakan sebagai dasar perekaman dalam data base kependudukan dan proses Penerbitan KK/KTP di alamat baru.

Klasifikasi 4
Antar Kabupaten /Kota Dalam Satu Provinsi dan Klasifikasi 5, Antar Provinsi
Dalam Satu Wilayah Indonesia:
Persyaratan:
1.      Surat pengantar RT / RW.
2.      KK dan KTP.

Mekanisme:
Di daerah asal:
Di Kelurahan:
1.      Penduduk dengan membawa Surat Pengantar RT/RW melapor ke Lurah.
2.      Penduduk mengisi dan menandatangani formulir permohonan pindah.
3.      Petugas registrasi kelurahan mencatat dalam Buku Harian Peristiwa Penting dan Kependudukan (BHPPK) dan Buku Induk Penduduk (BIP).
4.      Petugas registrasi melakukan verifikasi dan validasi data penduduk.
5.      Lurah menandatangani Surat Pengantar Pindah Antar Kab/Kota atau Antar Provinsi.
6.      Surat Pengantar Pindah diserahkan kepada Penduduk untuk diteruskan ke Camat.
7.      Petugas registrasi kelurahan mencatat dalam Buku Induk Penduduk dan Buku Mutasi Penduduk.

Di Kecamatan:
1.      Petugas Kecamatan melakukan verifikasi dan validasi data penduduk.
2.      Camat menandatangani Surat Pengantar Pindah Antar Kab/Kota atau Antar Provinsi.
3.      Surat Keterangan Pindah diserahkan kepada penduduk untuk diteruskan ke Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.

Di Dinas:
1.      Petugas Dinas melakukan verifikasi dan validasi data penduduk.
2.      Kepala Dinas menerbitkan dan menandatangani Surat Keterangan Pindah serta menyerahkan kepada penduduk untuk dilaporkan ke daerah tujuan.
3.      Surat Keterangan Pindah digunakan sebagai dasar perekaman dalam data base kependudukan dan perubahan KK bagi Kepala / Anggota Keluarga dalam KK yang tidak pindah.

SLOGAN TEATERIKAL



(Panggung, Penonton Dan Korupsi)
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi hukum, budaya dan sosial

Kita sering mendengar obrolan menjurus perdebatan di warung-warung atau di ruang-ruang kantor pemerintah tentang para pengguna anggaran enggan menggunakan anggaran yang sudah disediakan. Alasannya klasik sekali, “sering diperiksa oleh BPKL, Inspektorat, kepolisian dan kejaksaan!”. Pro kontra obrolan masyarakat itu sangat wajar dan mereka akhirnya sepakat mengatakan, “kenapa harus takut jika tidak melakukan penyimpangan dalam penggunaan anggaran di masing-masing satuan kerja”
Serangkaian obrolan yang akrab di telinga dalam kehidupan interaksi sosial membuat pikiran menjadi fokus. Di mana, budaya korupsi tahapan apapun dan berapapun jumlah masih belum bisa disingkirkan dari mental dan moral aparatur pemerintahan. Kemudian, budaya aparat penegak hukum yang menjadikan ‘kunjungan’ atau ‘pemeriksaan’ rutin ke suatu daerah yang menyembunyikan bahwa usai kunjungan – pemeriksaan oleh-olehpun dapat dan temuan bisa dijadikan lebih bagus dan rapih. Sekedar catatan-catatan yang tidak menakutkan.
Dan itu, kontras sekali dengan pernyataan-pernyataan aparat penegak hukum tentang pemberantasan korupsi serta baleho, spanduk, baner atau himbauan yang isinya “katakan tidak pada korupsi!” Hampir semua kepala dinas, badan dan instansi memasang publisitas itu di kantor masing-masing. Tidak berlebihan jika bandingkan dengan plakat yang dipasang ditumpukan sampah, “Jangan buang sampah sembarangan”. Toh, sampah tetap dibuang sembarangan, malah di tempat ada papan larangannya menjadi pilihan umum untuk membuang sampah.
Asumsi-asumsi dari aturan hukum yang ada tentang korupsi sudah seharusnya masyarakat tidak lagi melihat adanya beraneka ragam putusan pengadilan atas kasus korupsi di atas nilai Rp 1 miliar. Itu, de yure-nya. Tetapi fakta (de facta) sehari-hari putusan yang beragam tidak mencerminkan keadilan dan kenyamanan di tengah masyarakat, berulang terus diproduksi pihak pengadilan.
Salah satu dampaknya adalah satu kasus korupsi yang menyeret pejabat tinggi, pejabat daerah, pengusaha dan koleganya memakan waktu cukup lama dan memberikan bias kepada masyarakat tentang tidak mampunya aparat penegak hukum melakukan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya seperti diamanatkan oleh undang-undang.
Apakah mungkin para hakim di penagdilan negeri, pengadilan tinggi dan mahkamah agung menjalankan hukum positif Indonesia sebagai like and dislike. Atau bahkan lebih ekstrim lagi dipandang sebagai PAD – istilah presiden Joko Widodo kasus-kasusnya dijadikan ATM. Hanya para hakim – jaksa dan penydik polisilah yang mengetahui kebenaran asumsi-asumsi yang berkembang nyata di masyarakat.
Apalagi sekarang intuisi Polisi, Kejaksaan, Pengadilan sampai Mahkamah Agung bisa-bisa sampai di tangan presiden sangat tertutup terhadap proses peradilan atau upaya hukum yang ditentukan boleh dilakukan pihak-pihak berperkara. Akses informasi yang sudah dinyatakan harus terbuka, ternyata sangat tertutup. Kontrol sosial terhadap proses penegakan hukum akhirnya berjalan sesuai keinginan masing-masing. Termasuk kontrol sosial yang seharusnya baik dan benar oleh media massa. Harus mengakui kekuatan dan kekuasaan lembaga penegakan hukum di Indonersia.
Menulis atau berteriak tentang pasal-pasal hukum dari kitab hukum, undang-undang dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah belum cukup menyadarkan pihak penegak hukum, untuk menyadari betapa kuatnya ikatan lahir  bathin mereka kepada masyarakat umum.
Kalaborasi kelompok penguasa – masyarakat yang berkuasa sangat terasa menjadi salah satu hambatan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran hukum yang sesuai dengan kenyamanan yang harus didapatkan masyarakat umum.
Kalaborasi di situ tidak terbatas dengan status, tetapi ia diikatkan oleh kepentingan materi – itulah dalil umum tentang korupsi. Korupsi memang sudah mendarah-daging di masyarakat Indonesia, ia tidak hanya dimiliki oleh aparat penegak hukum, pejabat, pengusaha dan kaum the have (orang kaya).
Tetapi, korupsi sudah menjalar bak gurita mencengkramkan semua aspek kehidupan. Mulai dari kehidupan rumah tangga (keluarga), organisasi-organisasi di tingkat pelajar sampai mahasiswa dan alumninya. Dari LSM ‘ecek-ecek’ sampai organisasi profesi yang multinasional, seperti halnya juga organisasi pers yang diasumsikan sebagai lembaga kontrol sosial paling vokal, jujur dan terkontrol.
Kasus-kasus korupsi yang besar semakin ramai dibicarakan di media massa semakin banyak pihak yang mengeruk keuntungan dari publikasinya, termasuk kasus yang menimpa kalangan artis dari kejahatan narkoba, perkawinan dan perceraian sampai kasus prostitusinya. Tidak dapat disebutkan satu per satu – menunjukkan betapa merebak dan membudayanya korupsi di masyarakat Indonesia.
Jadi, korupsinya sudah masif dan terstruktur dengan baik seperti tender proyek setiap tahunnya selalu ditandai dengan korupsi - misalnya setoran 15 sampai 20 persen yang tidak ada sama sekali peraturan mengharuskan rekanan membayar uang setoran tersebut. Faktanya sangat jelas.
Kasus BLBI, Bank Century, Kompleks olahraga Hambalang, PON di Palembang, korupsi di Migas – Pertamina, dana haji dan pilkada serta lainnya yang sekarang masih digulirkan – dihadirkan di tengah masyarakat oleh Bareskrim, KPK, Kejaksaan semuanya berlatar belakang drama serial yang ditampilkan di atas panggung dengan teaterikal sangat menarik perhatian masyarakat.
Belum lagi kasus pembahasan dan pengesahan UU, Perda di daerah – semuanya bermuatan korupsi dengan setoran dari eksekutif ke legislatif tujuannya agar pengesahannya berjalan dengan baik. Termasuk proyek-proyek besar yang diusulkan – diperjuangkan anggota DPR-RI patut dicurigai sebagai gratifikasi mengarah kepada korupsi berjamaah.
Logika tololnya, jika pejabat dan PNS tidak melakukan korupsi – apa mungkin seorang pejabat kelas daerah kabupaten/kota mampu membeli mobil-mobil seharga di atas Rp 200 juta hanya hitungan bulan? Kecuali mereka dapat warisan orangtua yang jumlahnya miliaran rupiah. “Apa mungkin 90 persen pejabat di Indonesia, baik di pusat maupun di daerah itu mendapatkan warisan harta kekayaan orangtua yang jumlahnya besar?”
Fungsi LHKP – tentang kekayaan seorang pejabat bisa dipercayai 100 persen seperti tertera dalam laporannya? Jauhlah panggang dari api. Tetapi, apa sanksinya, tidak ada. Hanya kegaduhan politik sesaat.
Adalah menarik untuk disimak rilis Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang tunggakan kasus tindak pidana korupsi terbesar semester pertama 2015 di 10 Kejaksaan Tinggi. Disebutkan,  Kejati Jawa Timur menunggak 65 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp 269,1 miliar. Disusul tunggakan Kejati Sulawesi Selatan sebanyak 56 kasus kerugian negaranya mencapai Rp 97,1 miliar sebagaimana dikatakan Peneliti dan Divisi Investigasi ICW, Wana Alamsyah Sabtu (17/10/2015) lalu.
Kejati Sumatera Utara menempati urutan keempat dengan 51 kasus kerugian negara mencapai Rp 1,3 triliun, Kejati Jawa Barat menunggak 46 kasus dengan kerugian negara capai Rp 325,5 miliar. Lalu, Kejati Nangroe Aceh Darussalam (NAD) 46 kasus kerugian negara mencapai Rp 338,9 miliar. Disusul Kejati Riau 45 kasus (Rp 1,5 triliun), Kejati NTT 40 kasus (Rp 609,2 miliar), Kejati Jambi 39 kasus (Rp 64,5 miliar), Kejati Maluku 34 kasus (36,9 miliar) dan Kejati Jawa Tengah 29 kasus dengan kerugian negara ditaksir Rp 111,5 miliar.
Rasanya sudah cukup lama rakyat menjadi penonton teaterikal panggung korupsi dan sudah selayaknya ada revolusi pemerintahan yang bersih dan aparat pemerintah yang jujur dan memiliki nilai nasionalis tinggi untuk tidak meronggrong perekonomian bangsa dan negara.

Administrasi Kependudukan



Oleh Naim Emel Prahana

SETELAH digantinya format dan status Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi e-KTP dengan tujuan untuk tidak ada lagi penduduk yang memiliki KTP ganda. Ternyata, masalah penduduk Indonesia belum juga terdata pada data base yang akurat dan jelas. Padahal, jika pemerintah memang berkeinginan untuk mendata penduduknya melalui perangkat pemerintahan sampai ke RT. Mungkin tidak akan lebih dari dua bulan sudah akurat.

Sensus penduduk yang selama ini digunakan pemerintah untuk membuat database kependudukan masih jauh dari yang diinginkan. Masalahnya, di mana keruwetan masalah pendataan penduduk itu? Belum lagi masalah administrasi kependudukan yang tidak menjalankan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Masih banyaknya calo di kalangan aparat pemerintah, baik di tingkat kabupaten/kota, kecamatan dan kelurahan menjadi salah satu kendala tertib administrasi kependudukan sampai saat ini. Seharusnya administrasi pendataan penduduk harus dimulai dari tingkat RT dan seterusnya ke tingkat kabupaten/kota. Akan lebih baik, mudah, lancer, akurat dan dengan biaya yang rendah. Sekali lagi, pemerintah terlihat setengah hati untuk mendata penduduk melalui tahapan administrasi tersebut.

Sebab, sampai saat ini data penduduk yang digunakan masih dari Badan Statistik dan Kantor Keluarga Berencana. Kedua badan itu tidak pernah sinkron berkaitan jumlah penduduk di suatu wilayah. Namun, dalam kegiatan lainnya data yang tidak akurat itu menjadi pedoman pemerintah seperti pelaksanaan pemilu dan pemilukada sampai kepada pembuatan (penerbitan) monografi suatu daerah kabupaten/kota.

Harus diakui kinerja aparat pemerintah bidang administrasi kependudukan masih sangat rendah dan tidak terpola dengan baik. Hanya menerima apa adanya, tanpa melalui verifikasi kependudukan yang berdasarkan realitas penduduk di suatu wilayah.

Jika menyimak UU No 24 Tahun 2013 tentang perubahan UU No 28 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan pasal 14 disebutkan tentang “data perorangan” penduduk di suatu tempat. Sebanyak 31 item data harus ada pada seorang penduduk. Membaca pasal 14 UU No 24 tahun 2013 itu, secara mudah, gampang dan akurasi data penduduk dapat di-database-kan. Kenyataannya belum bias.

Kenapa belum bisa? Pertanyaan itulah yang sulit dijawab akibat pengurusan administrasi kependudukan banyak yang tidak prosedural. Artinya, banyak proses – tahapan yang ‘dilompati’ disebabkan banyaknya makelar pengurusan administrasi kependudukan yang kebanyakan berasal dari PNS yang bertugas di Kelurahan maupun di Kecamatan.

Beberapa waktu lalu, penulis berbincang dengan Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Sang kadis mengakui banyak lurah yang mengurus administrasi kependudukan warga tanpa melalui proses dan minta langsung ke bagian operator untuk diterbitkan KK maupun KTP. Jika permohonan ‘makelar’ si lurah atau pegawai PNSnya itu dikabulkan. Otomatis data kependudukan semakin tidak terdata baik. Sebab, seharusnya permohonan penerbitan KTP maupun KK dimulai dari surat keterangan pengurus RT. Data dari RT itulah kemudian diolah dan dinaikkan ke kantor Disdukcapil.

Sebab banyak data penduduk yang sudah tidak tepat lagi, padahal amanat pasal 14 itu jelas tentang “alamat sebelumnya dan alamat tinggal sekarang”. Jadi, penduduk yang pindah ke tempat lain dalam satu kabupaten/kota secara permanen, ternyata masih tetap beralamat di alamat sebelumnya. Tempat tinggal barunya tidak terdata akibat proses penerbitan KTP atau KK yang melompati tahapan proses yang dibenarkan oleh UU No 24 tahun 2013.

Masalah tersebut adalah satu dari sekian masalah pencatatan penduduk yang semakin semberawut berpotensi – dampaknya akan lebih rumit seperti data riil penduduk di suatu daerah, daftar mata pilih, dan lain sebagainya.

‘Makan’ Kampanye Terselubung



Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi hukum, budaya dan sosial

Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (pilkada – pemilukada) tinggal menghitung harinya sampai tanggal 9 Desember 2015 bulan depan. Ujian dan tantangan menghadapi pesta demokrasi tersebut semakin berat, terutama masalah politik uang dan sosialisasi barang dari psangan calon (paslon) yang jadi kontestan pilkada.
Berbagai peraturan pelaksana pilkada yang sudah diberlakukan, masih belum maksimal untuk mengawasi dan mengevaluasi serangkaian pilkada pada tahapan kampanye para paslon. Sebaik sebagus apapun peraturan diperuntukkan pada pilkada – masih juga menghadapi banyak kendala terhadap sepak terjang para paslon untuk meraup jumlah suara yang banyak.
Paslon pilkada sekarang ini sudah cerdas. Menghamburkan uang secara sporadis sudah ditinggalkan. Kampanye dilakukan secara sistimatis terarah dan terukur. Dengan cara demikian massa pendukung tidak merasa diperdayai dengan janji-janji serta pemberian berbentuk uang dan barang.
Kebanyakan paslon peserta pilkada serentak sangat berhitung – sebab, mencetak kaos demikian banyak dan diberikan secara obral kepada kelompok-kelompok masyarakat yang ada dan yang muncul saat pilkada berlangsung. Paslon dan tim suksesnya hanya mencetak kaos untuk anggota tim sukses saja. Demikian pula publikasi melalui atribut-atribut seperti, spanduk, baleho, banner, stiker dicetak terbatas. Lagi pula mereka terbentur kepada aturan main yang telah ditetapkan KPU untuk APK paslon.
Dengan banyaknya ketentuan hukum dan batasan proses kampanye telah memberikan inspirasi kepada paslon dan tim suksesnya untuk lebih pintar menyiasati peraturan kampanye.
Model kampanye door to door terlihat efektif menghadapi masyarakat. Tentu saja kader dan anggota tim sukses yang militan sangat dibutuhkan. Tahan malu, tahan diceramahi dan tahan melanggar etika bertamu di masyarakat.   
Kampanye door to door disertai bingkisan berupa sabun, gula, dan selebaran yang berisi visi dan misi paslon. Pola itu, sepintas sah-sah saja, tidak termasuk area politik uang – karena yang diberikan barang. Kedatangan ‘hadiah’ sepele di tengah ekonomi masyarakat kebanyakan merosot, tentu tidak ada yang menolak. Soal suara diberikan kepada siapa, hanya pemilihlah yang tahu persis.
Apakah mereka akan memberikan suara kepada paslon yang memberikan barang-barang tadi atau “salam tempel”, semuanya masih belum ada kepastian. Ada beberapa kejadian yang saya rekam langsung di tengah masyarakat selama ini tentang pemberian barang atau makan saat sosialisasi paslon.
Kami diundang untuk datang, ya kami datang,” kata seorang ibu di bilangan Hadimulyo Timur.
Bagaimana soal pilihan ibu?” tanya saya.
Ya, pak itu kan orang sini, dan juga orangtuanya dulu baik. Kami pilih itu aja,” katanya.
Lalu saya bertanya lagi, “Kan sudah dikasih makan kemarin?”. Ia pun menjawab, karena diundang, lalu dikasih makan ya kami makan di dalam tarub acara itu.
Kemudian si ibu itu bersama ibu yang lain dengan tegas mengatakan, “ala ngomong semua pembangunan jalan ia yang bayar, padahal itu kan pemerintah yang bangun,” kata si ibu tadi dengan pintarnya membaca suasana saat ia ikut diundang dalam acara sosialisasi salah satu paslon di sekitar rumah mereka.
Lugu, jujur tapi sangat cerdas melihat paslon pilkada serentak 9 Desember 2015 nanti. Mereka tak mudah dirayu, walau dengan bahasa yang penuh dengan kebohongan dari paslon itu sendiri. Kebohongan menghadapi pilkada bagi paslon adalah hal yang mereka anggap sah-sah saja. Tapi, paslon banyak yang lupa, bahwa masyarakat walau tidak membaca surat kabar, ternyata sudah tahu siapa paslon kepala daerah yang mencalonkan di daerah mereka.
Kampanye-kampanye terselubung memang menjadi strategi masing-masing paslon, dan tentunya kampanye demikian dikemas apik dala bahasa-bahasa yang tidak terlihat hubungannya sama sekali dengan kampanye terselubung. Apalagi, mendekati hari pemilihan dalam rangkaian Pilkada Serentak 9 Desember 2015. Modus-modus kampanye terselubung semakin marak. Seperti modus kampanye terselubung melalui makanan.
Ada lagi paslon yang getol datang pada kegiatan-kegiatan masyarakat seperti tahlilan, gotong royong, resepsi pernikahan, takziah, kendurenan dan sebagainya. Walau paslon itu tidak diundang. Seperti yang terjadi di Kota Metro. Ternyata ada paslon yang memang mengintruksikan kader dan tim suksesnya memantau setiap kegiatan di tengah masyarakat.
Kedatangannya di kegiatan masyarakat itu, hanya datang dan bersalaman, kemudian pulang. Soal pemberian ya sama dengan warga lainnya dalam acara resepsi, takziah ataupun gugur gunung warga. Uang yang diberikan sebatas Rp.100.000,- sampai Rp.300.000,-
Paslon itu memang tidak berkampanye dalam hal seperti memberikan sambutan, tetapi dengan tulisan diamplop yang tertulis namanya. Ia merasa sudah cukup mengenalkan diri di tengah masyarakat yang ia tidak kenal. Resiko modus kampanye seperti itu adalah jika pemberian yang disumbangkan sama dengan warga lainnya, maka cibiranlah yang dia terima. Dan, itu akan berpengaruh kepada jumlah suara yang akan diperoleh.
Ada hal yang sangat kontras antara peraturan-peraturan tentang pilkada dengan pelakanaan kampanye pilkada itu sendiri. Untuk pilkada serentak, KPU mengambil peran sangat aktif terutama mempersempit ruang gerak politik uang dari paslon. Sementara, para paslon berupaya untuk memaksimalisir kegiatan mereka dengan kemasan apik – walau kegiatan itu melanggar aturan. Namun, kemasan yang apik saat kampanye yang diganti namanya sosialisasi.
Modus politik uang tak terhindarkan. Modusnya memang tidak terlihat menghamburkan uang, akan tetapi uang digantikan dengan barang. Artinya, di sana memang setali tiga uang. Tetap saja politik uang.

Rolling Pejabat Versus Undang – Undang?



Oleh Naim Emel Prahana
Pegiat Hukum dan Sosial Budaya

Biasanya tanggapan atas rolling beberapa pejabat oleh kepala daerah. Apakah oleh kepala daerah definitif maupun ‘penjabat’ (Pj) selalu diwarnai suara-suara sumbang. Baik di kalangan pejabat/PNS maupun di tengah masyarakat. Suara pro dan kontra akhirnya terangkum pada lembaran masalah like and dislike.
Kenapa dampaknya senantiasa diseret kepada suasana tindak kondusif – walaupun suasana itu tidak muncul secara tertulis; protes! Tetapi, cerita dari mulut ke mulut sudah cukup membuat kinerja para pejabat terganggu, hanya karena rolling (rotasi).
Padahal, rolling tidak lain adalah penempatan bergilir seorang pejabat struktural maupun fungsional dari satu jabatan tertentu ke jabatan lainnya yang ditetapkan dalam sebuah ‘kebijakan’ yang sifatnya compulsary (wajib). Jika itu wajib, tentu tidak menimbulkan suasana tidak kondusif. Sayangnya, selama ini rolling diartikan sebagai kebijakan yang hanya dilihat dari suka atau tidak suka (like and dislike) oleh kepala daerah.
Pengertian rolling di tengah kehidupan PNS sering kabur dan disamakan dengan mutasi – yang sebenarnya berbeda. Sebab, mutasi cenderung kepada perpindahan seorang PNS (apakah dia pejabat atau bukan) berorientasi kepada teknis, yaitu bagaimana mengatur mekanisme pemindahan pejabat yang terkena kebijakan perputaran jabatan.
Menyimak UU No 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) disebutkan setiap PNS dapat dimutasi tugas dan/atau lokasi dalam 1 (satu) instansi pusat, antarinstansi pusat, 1 (satu) instansi daerah, antarinstansi daerah, antarinstansi pusan dan instansi daerah, dan ke perwakilan Negara Republik Indonesia di luar negeri.
Dalam amanat selanjutnya disebutkan mutasi PNS dalam satu instansi pusat atau instansi daerah dilakukan oleh pejabat pembina kepegawaian; antarkabupaten/kota dalam satu provinsi ditetapkan oleh gubernur setelah memperoleh pertimbangan kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN); antarkabupaten/kota antarprvinsi, dan antarprovinsi ditetapkan oleh Menteri PAN-RB setelah memperoleh pertimbangan kepala BKN; mutasi PNS provinsi/kabupaten/kota ke Instansi Pusat atau sebaliknya ditetapkan oleh Kepala BKN; dan mutasi PNS antar Instansi Pusat ditetapkan oleh Kepala BKN.
Ada yang sangat menarik dari mutasi pejabat/PNS yang dilakukan selama ini, khususnya oleh Gubernur atau bupati/walikota. Yang disebut-sebut sebagai ‘rolling’. Dalam UU No 5 tahun 2014 pasal 73 ayat (7) dikatakan bahwa ‘Mutasi’ PNS dilakukan dengan memperhatikan prinsip larangan konflik kepentingan. Dari fakta dan dasar hukumnya, apakah mutasi (baca juga ‘rolling’) oleh gubernur atau bupati/walikota selama ini sudah memenuhi kreteria pasal 73 tersebut?   

Kepentingan dan Kekuatan
Faktanya; selama ini terjadi persoalan manakala kepala daerah melakukan mutasi atau rolling PNS di lingkungan kerjanya. Pertama; persoalan waktu – kurun waktu – tenggang waktu dilakukannya rolling. Dalam UU No 5 tahun 2014, tidak disebutkan tentang batasan waktu dilakukannya rolling. Hanya mengisyaratkan bahwa PNS yang telah menunjukkan kesetiaan, pengabdian, kecakapan, kejujuran, kedisiplinan, dan prestasi kerja dalam melaksanakan tugasnya dapat diberikan penghargaan berupa: a. tanda kehormatan; b. kenaikan pangkat istimewa; c. kesempatan prioritas untuk pengembangan kompetensi; dan/atau d. kesempatan menghadiri acara resmi dan/atau acara kenegaraan.
Seharusnya mutasi atau rolling PNS itu tidak hanya dilihat dari kebijakan Kepala Daerah yang disebut-sebut sebagai hasil evaluasi dan penilaian Baperjakat (badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan). Yang hasil evaluasi dan penilaiannya, tidak pernah dibuka secara publik, termasuk kepada pejabat/PNS yang akan di-rolling. “Tahu-tahu terima undangan menghadiri acara pelantikan (bahasa halus dari mutasi/rolling) PNS”
Kenyataannya (fakta) memang mutasi/rolling itu cenderung mengandung unsur suka tidak suka seorang kepala daerah berkaitan dengan beberapa faktor esensial bagi kepentingan kepala daerah itu sendiri. Apalagi rolling dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, hanya dihitung dengan “hitungan bulan”

Rolling Kilat
Akhirnya-akhir ini masyarakat terus dibuat tercengang oleh Gubernur DKI, Ahok yang terus menerus merolling pejabat dan PNSnya dalam kurun waktu yangs angat cepat. Dan, di Lampung (seperti di daerah lainnya) hal yang sama dilakukan para kepala daerah (gubernur maupun bupati/walikota).
Sekedar untuk diingatkan kembali, jika mutasi adalah perpindahan pekerjaan seseorang dalam suatu organisasi yang memiliki tingkat level yang sama dari posisi perkerjaan sebelum mengalami pindah kerja. Kompensasi gaji, tugas dan tanggung jawab yang baru umumnya adalah sama seperti sedia kala. Mutasi atau rotasi kerja dilakukan untuk menghindari kejenuhan karyawan atau pegawai pada rutinitas pekerjaan yang terkadang membosankan serta memiliki fungsi tujuan lain supaya seseorang dapat menguasai dan mendalami pekerjaan lain di bidang yang berbeda pada suatu perusahaan. Hakekatnya mutasi adalah bentuk perhatian pimpinan terhadap bawahan. Di samping perhatian internal, upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat adalah bagian terpenting dalam seluruh pergerakan yang terjadi dalam lingkup kerja pemerintahan.
Sehingga tujuan mutasi ; Untuk meningkatkan poduktivitas kayawan; Untuk menciptakan keseimbangan antar tenaga kerja dengan komposisi pekejaan atau jabatan; Untuk memperluas atau menambah pengetahuan karyawan; Untuk menghilangkan rasa bosan/jenuh tehadap pekerjaannya; Untuk memberikan perangsang agar karyawan mau berupaya meningkatkan karir yang lebih tinggi; Untuk alat pendorong agar spirit kerja meningkat melalui pesaingan terbuka; Untuk menyesuaikan pekerjaan dengan kondisi fisik karyawan.
Oleh karena itu, mutasi mempunyai sebab dan alasan, antara lain permintaan sendiri;  adalah mutasi dilakukan atas keinginan sendiri pejabat/PNS atau karywan sebuah perusahaan dengan mendapat persetujuan pimpinan organisasi. Mutasi pemintaan sendiri pada umumnya  hanya pemindahan jabatan yang peringkatnya sama baik, anatrbagian maupun pindah ke tempat lain.
Kemudian alasan mutasi adalah alih tugas produktif (ATP); adalah mutasi karena kehendak pimpinanan perusahaan untuk meningkatkan produksi dengan menempatkan karywan yang bersangkutan ke jabatan atau pekerjannya yang sesuai dengan kecakapannya.
Yang pertama memang jarang terjadi, namun pasti ada mutasi karena permintaan sendiri. Kebanyakan adalah yang kedua “alih tugas produktif” yang selama ini diketahui secara umum oleh masyarakat sebagai rolling atau mutasi.
Karena mutasi/rolling bersifat compulsary, bukan berarti dilakukan tanpa mempertimbangkan berbagai aspek, khususnya waktu. Rolling hanya dalam waktu lima bulan tidak memberikan dampak positif bagi pembinaan aparatur negara/pemerintahan; pejabat/PNS. Karena waktunya singkat dan jika rolling dilakukan terus menerus dalam waktu yang singkat, maka kinerja pejabat selalu mulai dari ‘nol’ dan ‘nol’. Itulah persaoalan selama ini.
Peningkatan kinerja, etos kerja, profesionalisme seorang pejabat/PNS, belum muncul secara maksimal. Kasus yang baru-baru ini terjadi di Lampung menjelang pemilukada 2015 adalah rame-ramenya ‘Pj’ bupati/walikota bahkan gubernur melakukan rolling pejabat dan PNSnya. Padahal, untuk bupati/walikota sebelum dijabat ‘Pj’ sudah melakukan rolling dan belum genap 2 bulan ‘Pj’ bupati/walikota kembali merolling pejabat struktural dan fungsionalnya.
“Baru makan tiga sendok sudah harus makan makanan lain yang disodorkan tuan rumah!”. Di situ tidak ada lagi kenyamanan, yang ada hanya keterpaksaan. Padahal, mutasi itu harus dilakukan dengan mempertimbangkan terjadinya konflik (UU No 5/2014).
Apalagi jika penempatan pejabat dalam kasus rolling di daerah itu kontroversial dengan jurun ilmu yang dimiliki oleh pejabat yang dirolling, sangat membutuhkan waktu lama untuk penyesuaian. Sebab, semua pejabat bukan orang yang menguasai semua disiplin ilmu, sehingga bisa ditempati di mana saja tanpa melalui pertimbangan yang kemampuan dan ilmu si pejabat itu sendiri. Di samping pertimbangan lainnya.

Politik ‘Nasi” Bungkus vs se Kotak Nasi



Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi hukum dan pengamat sosial budaya

TERINGAT akan prinsip ekonomi; “dengan modal sekecil-kecilnya dapat untung sebesar-besarnya” pada saat persiapan dan tahapan pemilukada serentak digulirkan sampai saat ini. Pemilukada serentak dalam pelaksanaan para kontestannya, tidak banyak berubah. Sisi de yure (hukum) ada beberapa item baru yang ditetapkan pemerintah yang dijalankan pihak penyelenggara pemilukada. Tapi, persisnya memang tetap sama dengan pemilukada sebelum ini.
Pelaksanaan ketentuan-ketentuan dasar hukum pemilukada belum sepenuhnya dijadikan pedoman. Ada pedoman di balik layar yang lebih dominan dijalankan di tengah hirukpikuk kampanye para kontestan maupun kampanye formalitas yang difasilitasi oleh KPU dan Panwas bidang sosialisasi pemilukada.
Apakah masyarakat yang punya hak pilih (suara) dan yang tidak memilih sekarang ini sudah dapat dikategori “pemilih cerdas” – yang notabene bisa menghasilkan kepala daerah, juga cerdas? Tidak ada jawaban satupun yang dekat dengan kenyataan. Semua jawaban tergantung kubu – tim sukses masing-masing yang sudah klimaks mendukung masing-masing pasangan. “Sah-sah saja mau bicara apa dan dalilnya apa”
Catatan-catatan sebelum ini tentang pemilu legislatif, pemilihan presiden dan pemilukada pada intinya belum bergeser ke arah demokratisasi yang diamanatkan oleh undang-undang. Bisa jadi dari waktu ke waktu riil pelaksanaannya semakin tidak proporsional menjauhi sikap profesional. Namun demikian pemilukada tetap berlangsung.
Sekarang masyarakat diajak temu kangen, kumpul calon pemilih, temu warga pendukung jalur independen dan kampanye wajib bagi pasangan calon di lapangan terbuka atau gedung.
Mungkin yang tersirat dan yang tersurat beda pada tatatan realitasnya. Karena sudah kebiasaan disuguhi amplop, bahan makanan atau bahan pakaian (jadi atau belum jadi). Sekarang mah adem ayem. Mereka bilang, belum akan memberikan apa-apa, masih penggalangan. Kubu masyarakat bilang, “kita lihat saja, kalau nggak ada apa-apanya, yah terpaksa kita dukung yang lain!
Itu, di atas adalah bahasa yang merupakan ungkapan antara harapan dan kekecewaan masyarakat yang sudah dininabobokkan dan diperdayai selama berlangsungnya pemilukada langsung. Pemilih – warga demikian, sah-sah saja, kok! Selaras dengan kebiasaan calon terpilih (baik legislatif maupun kepala daerah) setelah terpilih mereka semakin jauh dari masyarakatnya.
Padahal, ketika mau meminta dukungan, mereka (baik legislatif maupun kepala daerah) tahan menyembah-nyembah datang door to door!. Bahasanyapun diucap sangat-sangat santun, draf program “jika mereka terpilih” luar biasa harapan yang dijanjikan.
Sekarang mah suasananya berbeda. Misalnya warga yang pulang dari temu warga dan paslon (pasangan calon) ketika ditegur warga lain yang nggak ikut, langsung dijawab, “Cuma dikasih nasi bungkus doang!”
“Masak iya sih?” tanya warga yang nggak ikut lagi.
“Bener, Cuma itu!”
Percakapan tersebut semakin mengarahkan, bahwa kebiasaan money politic dalam pemilukada sudah mendarah daging di tengah masyarakat. Siapa yang untung? Tentu saja para calon. Bagaimana dengan peraturan perundang-undangannya. Masih tetap diselimuti kabul tebal di musim kemarau.
Dari percakapan – percakapan soal pemilukada di tengah masyarakat. Catatan-catatan sebelumnya sangat gamplang dibeberkan dan disampaikan secara lisan pula dari mulut ke mulut. Dari kumpulan ke kumpulan warga. Baik mereka yang sering begadang main gaple atau catur di tingkat RT maupun di warung-warung ‘nongkrong’ di pasar.
Prinsip ekonomi di awal tulisan ini, sekarang jadi trend. “Se Kota versus Sebungkus Nasi” jadi landasan untuk merebut kekuasaan yang nantinya akan menguasai warga yang menerima dan yang tidak menerima se kota dan sebungkus nasi tadi. Pelayanan kepada rakyatpun disamaratakan. Baik kepada pendukung maupun warga yang tidak mendukung, aspirasi rakyat tetap jadi formalitas belaka.
Apalagi warga yang sepanjang harinya menunggu kiriman; uang, sabun, gula pasir, mentega, susu dan kaos, selembar kalender dan puncak penantian adalah kiriman pada saat “seragan fajar”. Betulkah serangan fajar menentukan kemenangan paslon? Bagaimana dengan ketentuan peraturan tentang item-item money politic? Sejauh mana sanksi, jika sampai batas yang telah ditentukan, paslon yang PNS, anggota DPR dan DPRD, pejabat BUMN dan BUMD, anggota TNI dan Polri. Demikian pula tentang laporan harta kekayaan pribadi(LHKP), termasuk masalah dana kampanye yang melebihi dari satu miliar? Persoalan siapakah jika terjadi demikian?
Atau bagaimana mungkin hanya “nasi kotak dan nasi bungkus” bisa ditukar dengan kekuasaan selama lima tahun dengan berbagai atribut dan sumber PADs (pemasukan asli diri sendiri). Jika dibentangkan benang uraiannya, memang tidak ketemu yang namanya paslon menang jadi kepala daerah akan memenuhi janji-janji politiknya kepada pendukung mereka. Bahasa pesimisnya adalah ketika paslon menang hanya ada dua pokok pikiran yang harus dipenuhi sebagai target.
Pertama: bagaimanapun caranya mereka harus mengembalikan cost (biaya) politik yang sudah dikeluarkan sebelum masa jabatan periode pertama mereka berakhir. Kedua: bagaimanapun caranya paslon yang menang itu memberikan kemudahan-kemudahan kepada kroni-kroninya, termasuk anak, isteri dan keluarga sendiri dalam banyak hal.
Jadi, kesimpulannya adalah nasi kotak dan nasi bungkus yang ditukarkan dengan kekuasaan selama lima tahun bukan menjadikan status pemilis sebagai pemilih cerdas dan kepala daerah yang dipilih, juga bukan kepala daerah yangt cerdas. Pelaksanaan defisini demokrasi telah menjadikan bonekaboneka—‘bonek’ dan jalur-jalur serangga tanah penmgrusak habitat di atas permukaan bumi.

Catatan Pinggir Di Sebuah Warung Bubur



Oleh Naim Emel Prahana

SUARA bernada tinggi itu tak begitu keras terdengar. Lantaran pembicaranya berada di pusat pasar yang penuh dengan keramaian. Serius tidak serius, tapi ‘serius’. Tidak serius, juga tidak juga! Orang bilang itu obrolan di warung. Bolehlah. Tapi, ada yang perlu dicatat – digaris bawahi dari obrolan semacam itu. Isinya konstektual sekali. Masalahnya, apakah itu mewakili lapisan masyarakat tertentu, atau tidak. Boleh dikesampingkan dulu.
Sebab, obrolan pasar atau ngobrol di warung kopi adalah pribadi-pribadi warga masyarakat, terkadang sangat informatif. Untuk banyak hal yang telah, sedang dan akan terjadi. Juga, ada benarnya obrolan di pasar di era global informasi itu ada kebodohan atau mungkin serangkaian informasi yang tengah terjadi di tengah masyarakat itu sendiri.
’Kayaknya begitu’. Apalagi suasana menjelang  pemungutan suara pemilukada (pilkada) serentak tanggal 9 Desember 2015 ini. Sepertinya, semua dikeluarkan. Mulai dari sendal, sepatu, sarung tangan, kaos-kaos kaki dan tangan. Topi dan tentunya pos anggaran untuk mengobrol tadi. Persis lahirnya banyak pengamat, motivator, inisiator atau penyambung lidah ’katanya’.
Itulah fenomena keterbukaan demokrasi dengan tingkat kemajuan melebihi kecepatan berjalannya kondisi di tengah masyarakat itu sendiri. Pemilihan kepala daerah disebut-sebut sebagai ’pilkada’ itu adalah bagian dari dinamika pembangunan karakter manusia. Over acting atau ada deleting tertentu. Itulah kewajaran bahwa tingkat pendidikan masyarakat sangat bervariatif.
Ngobrol di warung kopi pada umumnya melewati fase-fase perdebatan masalah tertentu. Bisa urgen bisa tidak masalahnya. Ketika itu memasuki wilayah demikian obrolan di warung kopi menjadi debat kusir yang tidak ada kesimpulannya. Kecuali memunculkan watak individu anggota masyarakat itu sendiri.

****

Dari situ akan muncul sikap individualisme yang tinggi. Mengarah kepada pengeritik dan penerima kritikan. Sebagian besar pasti menimbang, memperhatikan dan memutuskan debat kusir itu tidak perlu dibawa pulang ke rumah atau ke kantor. Tapi, tradisi lisan sering pula tidak menimbang, tidak memperhatikan dan tidak memutuskan isi debat itu secara bijak.
Terajilah sikut-sikutan berawal ngobrol di warung kopi. Apalagi pilkada serntak 9 Desember 2015 memunculkan lebih dari satu pasangan calon kepala daerah. Debat kusir, juga harus diakomodir sebagai proses demokratisasi di suatu masyarakat. Proses itu tidak bisa 100% mencapai garis finish. Setidak-tidaknya menjadi laga penting terhadap respon warga atas proses demokrasi tadi.
Standarisasi konteks obrolan pilkada memang tidak bisa dicapai dari ”obrolan di warung kopi”. Tapi, akan mencapai tujuannya, jika informasi itu memiliki banyak data riil yang disampaikan secara santun, beretika dan bermoral.
Yang bilang, ”Semua rakyat sudah ngecap politik di Indonesia itu jelek”
Adagium tersebut tidak benar. Sebab, dalam hal politik yang buruk selama ini, rakyat tidak menjeneralisir keburukan seorang politikus menjadi kejahatan politik secara keseluruhan. Banyak kasus politisi terjerat tindak pidana korupsi, narkoba, arogansi yang dipublikasikan secara luas tersebut.
Rakyat – masyarakat tidak ’lantas’ menyebut semua politisi atau diunia politik di Indonesia kacau balau, jahat, jelek, atau rusak! Masyarakat hanya mengaitkan dengan partai si politisi yang terjerat kasus hukum. Tapi, di lain sisi masyarakat tetap tidak memberikan lebel apa-apa terhadap politisi yang tidak bersalah.
Artinya, seperti anggota polisi terjerat kasus kejahatan. Maka, secara otomatis masyarakat menyebutkannya dengan ”kejahatan polisi” – korpnya dikait-kaitkan. Sedang anggota polisi lainnya, tidak. Tetap mereka hormati. Di situ tergambar jelas bahwa obrolan di warung kopi tidak ada jaminannya kalau apa yang disampaikan seseorang itu mewakili rakyat luat.
” Yang jelas mewakili karakternya sendiri!”

*****
Sama halnya, juga masalah apa yang menimpa beberapa da’i – uztad yang sering populer lewat acaranya di televisi atau beritanya di media cetak, elektronik dan media sosial. Masyarakat sudah cerdas, memilah, memilih dan menyimpulkan apa yang didengar, dilihat, ditemui atau dibaca masalahnya.
”Tidak serta merta,” demikian bisa disimpulkan. Sayangnya, kesimpulan yang baik dan benar itu, pada tahapan realitasnya selalu dibenturkan kepada individual yang mungkin memiliki karakter (sifat) yang temperamental, emosional, egois sehingga debat di warung kopi atau warung apa saja sering menimbulkan konflik komunikasi selanjutnya.
Pada tatanan obrolan masuk lebih dalam ke pemilukada. Salah satu yang selalu ikut serta dalam pembicaraan adalah money politic. Masyarakat hanya tahu ’suap’ dan tidak mau mengurus sebab akibatnya. Dalam pesta demokrasi seperti pilkada, ”uang berpengaruh besar terhadap kecenderungan warga menyanjung pasangan calon (paslon). Tapi, uang bukan jaminan sebuah kemenangan di pilkada
Demikianlah profile pemilik suara yang cerdas mengatakan debat kusir itu. Mereka akan terima dan menerima siapa yang akan memberikannya. Coblosan di kertas suara memiliki faktor pengaruh yang multifaktor. Apalagi pemilih yang hanya memberikan suara, tidak terkait dengan komunitas paslon pilkada.
Namun demikian, obrolan di warung kopi, warung apa saja (warung bubur, red) pasti memiliki nilai tersendiri terhadap apa yang sedang terjadi dan bagaimana kejadian selanjutnya. Masyarakat di pasar adalah ”masyarakat bebas”. Mereka bukan pemain, bukan politikus, bukan pengamat. Tetapi mereka setiap saat masuk ke wilayah pengamat, politikus maupun menjadi pemain yang bisa berperan dan bisa tidak. ”semua tergantung kepada sesuatu yang sedang terjadi!”
Asumsinya, bisakah masyarakat pada umumnya yang sudah menjadi cerdas ’memilih’ kemudian memilih ’pemimpin’ yang standarnya sudah cerdas juga? Di situ akan berlaku hukum relativitas.