Minggu, 31 Januari 2016

Rolling Pejabat Versus Undang – Undang?



Oleh Naim Emel Prahana
Pegiat Hukum dan Sosial Budaya

Biasanya tanggapan atas rolling beberapa pejabat oleh kepala daerah. Apakah oleh kepala daerah definitif maupun ‘penjabat’ (Pj) selalu diwarnai suara-suara sumbang. Baik di kalangan pejabat/PNS maupun di tengah masyarakat. Suara pro dan kontra akhirnya terangkum pada lembaran masalah like and dislike.
Kenapa dampaknya senantiasa diseret kepada suasana tindak kondusif – walaupun suasana itu tidak muncul secara tertulis; protes! Tetapi, cerita dari mulut ke mulut sudah cukup membuat kinerja para pejabat terganggu, hanya karena rolling (rotasi).
Padahal, rolling tidak lain adalah penempatan bergilir seorang pejabat struktural maupun fungsional dari satu jabatan tertentu ke jabatan lainnya yang ditetapkan dalam sebuah ‘kebijakan’ yang sifatnya compulsary (wajib). Jika itu wajib, tentu tidak menimbulkan suasana tidak kondusif. Sayangnya, selama ini rolling diartikan sebagai kebijakan yang hanya dilihat dari suka atau tidak suka (like and dislike) oleh kepala daerah.
Pengertian rolling di tengah kehidupan PNS sering kabur dan disamakan dengan mutasi – yang sebenarnya berbeda. Sebab, mutasi cenderung kepada perpindahan seorang PNS (apakah dia pejabat atau bukan) berorientasi kepada teknis, yaitu bagaimana mengatur mekanisme pemindahan pejabat yang terkena kebijakan perputaran jabatan.
Menyimak UU No 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) disebutkan setiap PNS dapat dimutasi tugas dan/atau lokasi dalam 1 (satu) instansi pusat, antarinstansi pusat, 1 (satu) instansi daerah, antarinstansi daerah, antarinstansi pusan dan instansi daerah, dan ke perwakilan Negara Republik Indonesia di luar negeri.
Dalam amanat selanjutnya disebutkan mutasi PNS dalam satu instansi pusat atau instansi daerah dilakukan oleh pejabat pembina kepegawaian; antarkabupaten/kota dalam satu provinsi ditetapkan oleh gubernur setelah memperoleh pertimbangan kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN); antarkabupaten/kota antarprvinsi, dan antarprovinsi ditetapkan oleh Menteri PAN-RB setelah memperoleh pertimbangan kepala BKN; mutasi PNS provinsi/kabupaten/kota ke Instansi Pusat atau sebaliknya ditetapkan oleh Kepala BKN; dan mutasi PNS antar Instansi Pusat ditetapkan oleh Kepala BKN.
Ada yang sangat menarik dari mutasi pejabat/PNS yang dilakukan selama ini, khususnya oleh Gubernur atau bupati/walikota. Yang disebut-sebut sebagai ‘rolling’. Dalam UU No 5 tahun 2014 pasal 73 ayat (7) dikatakan bahwa ‘Mutasi’ PNS dilakukan dengan memperhatikan prinsip larangan konflik kepentingan. Dari fakta dan dasar hukumnya, apakah mutasi (baca juga ‘rolling’) oleh gubernur atau bupati/walikota selama ini sudah memenuhi kreteria pasal 73 tersebut?   

Kepentingan dan Kekuatan
Faktanya; selama ini terjadi persoalan manakala kepala daerah melakukan mutasi atau rolling PNS di lingkungan kerjanya. Pertama; persoalan waktu – kurun waktu – tenggang waktu dilakukannya rolling. Dalam UU No 5 tahun 2014, tidak disebutkan tentang batasan waktu dilakukannya rolling. Hanya mengisyaratkan bahwa PNS yang telah menunjukkan kesetiaan, pengabdian, kecakapan, kejujuran, kedisiplinan, dan prestasi kerja dalam melaksanakan tugasnya dapat diberikan penghargaan berupa: a. tanda kehormatan; b. kenaikan pangkat istimewa; c. kesempatan prioritas untuk pengembangan kompetensi; dan/atau d. kesempatan menghadiri acara resmi dan/atau acara kenegaraan.
Seharusnya mutasi atau rolling PNS itu tidak hanya dilihat dari kebijakan Kepala Daerah yang disebut-sebut sebagai hasil evaluasi dan penilaian Baperjakat (badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan). Yang hasil evaluasi dan penilaiannya, tidak pernah dibuka secara publik, termasuk kepada pejabat/PNS yang akan di-rolling. “Tahu-tahu terima undangan menghadiri acara pelantikan (bahasa halus dari mutasi/rolling) PNS”
Kenyataannya (fakta) memang mutasi/rolling itu cenderung mengandung unsur suka tidak suka seorang kepala daerah berkaitan dengan beberapa faktor esensial bagi kepentingan kepala daerah itu sendiri. Apalagi rolling dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, hanya dihitung dengan “hitungan bulan”

Rolling Kilat
Akhirnya-akhir ini masyarakat terus dibuat tercengang oleh Gubernur DKI, Ahok yang terus menerus merolling pejabat dan PNSnya dalam kurun waktu yangs angat cepat. Dan, di Lampung (seperti di daerah lainnya) hal yang sama dilakukan para kepala daerah (gubernur maupun bupati/walikota).
Sekedar untuk diingatkan kembali, jika mutasi adalah perpindahan pekerjaan seseorang dalam suatu organisasi yang memiliki tingkat level yang sama dari posisi perkerjaan sebelum mengalami pindah kerja. Kompensasi gaji, tugas dan tanggung jawab yang baru umumnya adalah sama seperti sedia kala. Mutasi atau rotasi kerja dilakukan untuk menghindari kejenuhan karyawan atau pegawai pada rutinitas pekerjaan yang terkadang membosankan serta memiliki fungsi tujuan lain supaya seseorang dapat menguasai dan mendalami pekerjaan lain di bidang yang berbeda pada suatu perusahaan. Hakekatnya mutasi adalah bentuk perhatian pimpinan terhadap bawahan. Di samping perhatian internal, upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat adalah bagian terpenting dalam seluruh pergerakan yang terjadi dalam lingkup kerja pemerintahan.
Sehingga tujuan mutasi ; Untuk meningkatkan poduktivitas kayawan; Untuk menciptakan keseimbangan antar tenaga kerja dengan komposisi pekejaan atau jabatan; Untuk memperluas atau menambah pengetahuan karyawan; Untuk menghilangkan rasa bosan/jenuh tehadap pekerjaannya; Untuk memberikan perangsang agar karyawan mau berupaya meningkatkan karir yang lebih tinggi; Untuk alat pendorong agar spirit kerja meningkat melalui pesaingan terbuka; Untuk menyesuaikan pekerjaan dengan kondisi fisik karyawan.
Oleh karena itu, mutasi mempunyai sebab dan alasan, antara lain permintaan sendiri;  adalah mutasi dilakukan atas keinginan sendiri pejabat/PNS atau karywan sebuah perusahaan dengan mendapat persetujuan pimpinan organisasi. Mutasi pemintaan sendiri pada umumnya  hanya pemindahan jabatan yang peringkatnya sama baik, anatrbagian maupun pindah ke tempat lain.
Kemudian alasan mutasi adalah alih tugas produktif (ATP); adalah mutasi karena kehendak pimpinanan perusahaan untuk meningkatkan produksi dengan menempatkan karywan yang bersangkutan ke jabatan atau pekerjannya yang sesuai dengan kecakapannya.
Yang pertama memang jarang terjadi, namun pasti ada mutasi karena permintaan sendiri. Kebanyakan adalah yang kedua “alih tugas produktif” yang selama ini diketahui secara umum oleh masyarakat sebagai rolling atau mutasi.
Karena mutasi/rolling bersifat compulsary, bukan berarti dilakukan tanpa mempertimbangkan berbagai aspek, khususnya waktu. Rolling hanya dalam waktu lima bulan tidak memberikan dampak positif bagi pembinaan aparatur negara/pemerintahan; pejabat/PNS. Karena waktunya singkat dan jika rolling dilakukan terus menerus dalam waktu yang singkat, maka kinerja pejabat selalu mulai dari ‘nol’ dan ‘nol’. Itulah persaoalan selama ini.
Peningkatan kinerja, etos kerja, profesionalisme seorang pejabat/PNS, belum muncul secara maksimal. Kasus yang baru-baru ini terjadi di Lampung menjelang pemilukada 2015 adalah rame-ramenya ‘Pj’ bupati/walikota bahkan gubernur melakukan rolling pejabat dan PNSnya. Padahal, untuk bupati/walikota sebelum dijabat ‘Pj’ sudah melakukan rolling dan belum genap 2 bulan ‘Pj’ bupati/walikota kembali merolling pejabat struktural dan fungsionalnya.
“Baru makan tiga sendok sudah harus makan makanan lain yang disodorkan tuan rumah!”. Di situ tidak ada lagi kenyamanan, yang ada hanya keterpaksaan. Padahal, mutasi itu harus dilakukan dengan mempertimbangkan terjadinya konflik (UU No 5/2014).
Apalagi jika penempatan pejabat dalam kasus rolling di daerah itu kontroversial dengan jurun ilmu yang dimiliki oleh pejabat yang dirolling, sangat membutuhkan waktu lama untuk penyesuaian. Sebab, semua pejabat bukan orang yang menguasai semua disiplin ilmu, sehingga bisa ditempati di mana saja tanpa melalui pertimbangan yang kemampuan dan ilmu si pejabat itu sendiri. Di samping pertimbangan lainnya.

Tidak ada komentar: