Pegiat Hukum dan
Sosial Budaya
Biasanya tanggapan
atas rolling beberapa pejabat oleh kepala daerah. Apakah oleh kepala daerah
definitif maupun ‘penjabat’ (Pj) selalu diwarnai suara-suara sumbang. Baik di
kalangan pejabat/PNS maupun di tengah masyarakat. Suara pro dan kontra akhirnya
terangkum pada lembaran masalah like and
dislike.
Kenapa dampaknya
senantiasa diseret kepada suasana tindak kondusif – walaupun suasana itu tidak
muncul secara tertulis; protes! Tetapi, cerita dari mulut ke mulut sudah cukup
membuat kinerja para pejabat terganggu, hanya karena rolling (rotasi).
Padahal, rolling
tidak lain adalah penempatan bergilir seorang pejabat struktural maupun
fungsional dari satu jabatan tertentu ke jabatan lainnya yang ditetapkan dalam
sebuah ‘kebijakan’ yang sifatnya compulsary (wajib). Jika itu wajib,
tentu tidak menimbulkan suasana tidak kondusif. Sayangnya, selama ini rolling
diartikan sebagai kebijakan yang hanya dilihat dari suka atau tidak suka (like
and dislike) oleh kepala daerah.
Pengertian rolling
di tengah kehidupan PNS sering kabur dan disamakan dengan mutasi – yang
sebenarnya berbeda. Sebab, mutasi cenderung kepada perpindahan seorang PNS
(apakah dia pejabat atau bukan) berorientasi kepada teknis, yaitu bagaimana
mengatur mekanisme pemindahan pejabat yang terkena kebijakan perputaran
jabatan.
Menyimak
UU No 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) disebutkan setiap PNS
dapat dimutasi tugas dan/atau lokasi dalam 1 (satu) instansi pusat,
antarinstansi pusat, 1 (satu) instansi daerah, antarinstansi daerah,
antarinstansi pusan dan instansi daerah, dan ke perwakilan Negara Republik
Indonesia di luar negeri.
Dalam
amanat selanjutnya disebutkan mutasi PNS dalam satu instansi pusat atau
instansi daerah dilakukan oleh pejabat pembina kepegawaian; antarkabupaten/kota
dalam satu provinsi ditetapkan oleh gubernur setelah memperoleh pertimbangan
kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN); antarkabupaten/kota antarprvinsi, dan
antarprovinsi ditetapkan oleh Menteri PAN-RB setelah memperoleh
pertimbangan kepala BKN; mutasi PNS provinsi/kabupaten/kota ke Instansi Pusat
atau sebaliknya ditetapkan oleh Kepala BKN; dan mutasi PNS antar Instansi Pusat
ditetapkan oleh Kepala BKN.
Ada yang sangat menarik dari mutasi pejabat/PNS yang dilakukan selama
ini, khususnya oleh Gubernur atau bupati/walikota. Yang disebut-sebut sebagai
‘rolling’. Dalam UU No 5 tahun 2014 pasal 73 ayat (7) dikatakan bahwa ‘Mutasi’
PNS dilakukan dengan memperhatikan prinsip larangan konflik kepentingan. Dari
fakta dan dasar hukumnya, apakah mutasi (baca juga ‘rolling’) oleh gubernur
atau bupati/walikota selama ini sudah memenuhi kreteria pasal 73 tersebut?
Kepentingan dan Kekuatan
Faktanya; selama
ini terjadi persoalan manakala kepala daerah melakukan mutasi atau rolling PNS
di lingkungan kerjanya. Pertama; persoalan waktu – kurun waktu – tenggang waktu
dilakukannya rolling. Dalam UU No 5 tahun 2014, tidak disebutkan tentang
batasan waktu dilakukannya rolling. Hanya mengisyaratkan bahwa PNS
yang telah menunjukkan kesetiaan, pengabdian, kecakapan, kejujuran,
kedisiplinan, dan prestasi kerja dalam melaksanakan tugasnya dapat diberikan
penghargaan berupa: a. tanda kehormatan; b. kenaikan pangkat istimewa; c.
kesempatan prioritas untuk pengembangan kompetensi; dan/atau d. kesempatan
menghadiri acara resmi dan/atau acara kenegaraan.
Seharusnya
mutasi atau rolling PNS itu tidak hanya dilihat dari kebijakan Kepala Daerah
yang disebut-sebut sebagai hasil evaluasi dan penilaian Baperjakat (badan
pertimbangan jabatan dan kepangkatan). Yang hasil evaluasi dan penilaiannya,
tidak pernah dibuka secara publik, termasuk kepada pejabat/PNS yang akan
di-rolling. “Tahu-tahu terima undangan menghadiri acara pelantikan (bahasa
halus dari mutasi/rolling) PNS”
Kenyataannya
(fakta) memang mutasi/rolling itu cenderung mengandung unsur suka tidak suka
seorang kepala daerah berkaitan dengan beberapa faktor esensial bagi
kepentingan kepala daerah itu sendiri. Apalagi rolling dilakukan dalam waktu
yang sangat singkat, hanya dihitung dengan “hitungan bulan”
Rolling Kilat
Akhirnya-akhir ini
masyarakat terus dibuat tercengang oleh Gubernur DKI, Ahok yang terus menerus
merolling pejabat dan PNSnya dalam kurun waktu yangs angat cepat. Dan, di
Lampung (seperti di daerah lainnya) hal yang sama dilakukan para kepala daerah
(gubernur maupun bupati/walikota).
Sekedar untuk
diingatkan kembali, jika mutasi adalah perpindahan pekerjaan seseorang dalam
suatu organisasi yang memiliki tingkat level yang sama dari posisi perkerjaan
sebelum mengalami pindah kerja. Kompensasi gaji, tugas dan tanggung jawab yang
baru umumnya adalah sama seperti sedia kala. Mutasi atau rotasi kerja dilakukan
untuk menghindari kejenuhan karyawan atau pegawai pada rutinitas pekerjaan yang
terkadang membosankan serta memiliki fungsi tujuan lain supaya seseorang dapat
menguasai dan mendalami pekerjaan lain di bidang yang berbeda pada suatu
perusahaan. Hakekatnya mutasi adalah bentuk perhatian pimpinan terhadap
bawahan. Di samping perhatian internal, upaya peningkatan pelayanan kepada
masyarakat adalah bagian terpenting dalam seluruh pergerakan yang terjadi dalam
lingkup kerja pemerintahan.
Sehingga tujuan
mutasi ; Untuk meningkatkan poduktivitas kayawan; Untuk menciptakan
keseimbangan antar tenaga kerja dengan komposisi pekejaan atau jabatan; Untuk
memperluas atau menambah pengetahuan karyawan; Untuk menghilangkan rasa
bosan/jenuh tehadap pekerjaannya; Untuk memberikan perangsang agar karyawan mau
berupaya meningkatkan karir yang lebih tinggi; Untuk alat pendorong agar spirit
kerja meningkat melalui pesaingan terbuka; Untuk menyesuaikan pekerjaan dengan
kondisi fisik karyawan.
Oleh karena itu,
mutasi mempunyai sebab dan alasan, antara lain permintaan sendiri; adalah mutasi dilakukan atas keinginan sendiri
pejabat/PNS atau karywan sebuah perusahaan dengan mendapat persetujuan pimpinan
organisasi. Mutasi pemintaan sendiri pada umumnya hanya pemindahan
jabatan yang peringkatnya sama baik, anatrbagian maupun pindah ke tempat lain.
Kemudian alasan
mutasi adalah alih tugas produktif (ATP); adalah mutasi karena kehendak
pimpinanan perusahaan untuk meningkatkan produksi dengan menempatkan karywan
yang bersangkutan ke jabatan atau pekerjannya yang sesuai dengan kecakapannya.
Yang pertama memang
jarang terjadi, namun pasti ada mutasi karena permintaan sendiri. Kebanyakan
adalah yang kedua “alih tugas produktif” yang selama ini diketahui secara umum
oleh masyarakat sebagai rolling atau mutasi.
Karena
mutasi/rolling bersifat compulsary, bukan berarti dilakukan tanpa mempertimbangkan
berbagai aspek, khususnya waktu. Rolling hanya dalam waktu lima bulan tidak
memberikan dampak positif bagi pembinaan aparatur negara/pemerintahan;
pejabat/PNS. Karena waktunya singkat dan jika rolling dilakukan terus menerus
dalam waktu yang singkat, maka kinerja pejabat selalu mulai dari ‘nol’ dan
‘nol’. Itulah persaoalan selama ini.
Peningkatan
kinerja, etos kerja, profesionalisme seorang pejabat/PNS, belum muncul secara
maksimal. Kasus yang baru-baru ini terjadi di Lampung menjelang pemilukada 2015
adalah rame-ramenya ‘Pj’ bupati/walikota bahkan gubernur melakukan rolling
pejabat dan PNSnya. Padahal, untuk bupati/walikota sebelum dijabat ‘Pj’ sudah
melakukan rolling dan belum genap 2 bulan ‘Pj’ bupati/walikota kembali
merolling pejabat struktural dan fungsionalnya.
“Baru makan tiga
sendok sudah harus makan makanan lain yang disodorkan tuan rumah!”. Di situ
tidak ada lagi kenyamanan, yang ada hanya keterpaksaan. Padahal, mutasi itu
harus dilakukan dengan mempertimbangkan terjadinya konflik (UU No 5/2014).
Apalagi jika
penempatan pejabat dalam kasus rolling di daerah itu kontroversial dengan jurun
ilmu yang dimiliki oleh pejabat yang dirolling, sangat membutuhkan waktu lama
untuk penyesuaian. Sebab, semua pejabat bukan orang yang menguasai semua disiplin
ilmu, sehingga bisa ditempati di mana saja tanpa melalui pertimbangan yang
kemampuan dan ilmu si pejabat itu sendiri. Di samping pertimbangan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar