Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi
hukum, budaya dan sosial
Kita sering mendengar obrolan menjurus perdebatan di
warung-warung atau di ruang-ruang kantor pemerintah tentang para pengguna
anggaran enggan menggunakan anggaran
yang sudah disediakan. Alasannya klasik sekali, “sering diperiksa oleh BPKL,
Inspektorat, kepolisian dan kejaksaan!”. Pro kontra obrolan masyarakat itu
sangat wajar dan mereka akhirnya sepakat mengatakan, “kenapa harus takut jika
tidak melakukan penyimpangan dalam penggunaan anggaran di masing-masing satuan
kerja”
Serangkaian obrolan yang akrab di telinga dalam
kehidupan interaksi sosial membuat pikiran menjadi fokus. Di mana, budaya
korupsi tahapan apapun dan berapapun jumlah masih belum bisa disingkirkan dari
mental dan moral aparatur pemerintahan. Kemudian, budaya aparat penegak hukum
yang menjadikan ‘kunjungan’ atau ‘pemeriksaan’ rutin ke suatu daerah yang
menyembunyikan bahwa usai kunjungan – pemeriksaan oleh-olehpun dapat dan temuan
bisa dijadikan lebih bagus dan rapih. Sekedar catatan-catatan yang tidak
menakutkan.
Dan itu, kontras sekali dengan pernyataan-pernyataan
aparat penegak hukum tentang pemberantasan korupsi serta baleho, spanduk, baner
atau himbauan yang isinya “katakan tidak pada korupsi!” Hampir semua kepala
dinas, badan dan instansi memasang publisitas itu di kantor masing-masing.
Tidak berlebihan jika bandingkan dengan plakat yang dipasang ditumpukan sampah,
“Jangan buang sampah sembarangan”. Toh, sampah tetap dibuang sembarangan,
malah di tempat ada papan larangannya menjadi pilihan umum untuk membuang
sampah.
Asumsi-asumsi dari aturan hukum yang ada tentang
korupsi sudah seharusnya masyarakat tidak lagi melihat adanya beraneka ragam
putusan pengadilan atas kasus korupsi di atas nilai Rp 1 miliar. Itu, de yure-nya. Tetapi fakta (de facta) sehari-hari putusan yang
beragam tidak mencerminkan keadilan dan kenyamanan di tengah masyarakat,
berulang terus diproduksi pihak pengadilan.
Salah satu dampaknya adalah satu kasus korupsi yang
menyeret pejabat tinggi, pejabat daerah, pengusaha dan koleganya memakan waktu
cukup lama dan memberikan bias kepada masyarakat tentang tidak mampunya aparat
penegak hukum melakukan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya seperti
diamanatkan oleh undang-undang.
Apakah mungkin para hakim di penagdilan negeri,
pengadilan tinggi dan mahkamah agung menjalankan hukum positif Indonesia
sebagai like and dislike. Atau bahkan
lebih ekstrim lagi dipandang sebagai PAD – istilah presiden Joko Widodo
kasus-kasusnya dijadikan ATM. Hanya para hakim – jaksa dan penydik polisilah
yang mengetahui kebenaran asumsi-asumsi yang berkembang nyata di masyarakat.
Apalagi sekarang intuisi Polisi, Kejaksaan,
Pengadilan sampai Mahkamah Agung bisa-bisa sampai di tangan presiden sangat
tertutup terhadap proses peradilan atau upaya hukum yang ditentukan boleh
dilakukan pihak-pihak berperkara. Akses informasi yang sudah dinyatakan harus
terbuka, ternyata sangat tertutup. Kontrol sosial terhadap proses penegakan
hukum akhirnya berjalan sesuai keinginan masing-masing. Termasuk kontrol sosial
yang seharusnya baik dan benar oleh media massa. Harus mengakui kekuatan dan
kekuasaan lembaga penegakan hukum di Indonersia.
Menulis atau berteriak tentang pasal-pasal hukum dari
kitab hukum, undang-undang dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah belum cukup menyadarkan pihak penegak hukum, untuk menyadari betapa
kuatnya ikatan lahir bathin mereka kepada
masyarakat umum.
Kalaborasi kelompok penguasa – masyarakat yang
berkuasa sangat terasa menjadi salah satu hambatan untuk menegakkan keadilan
dan kebenaran hukum yang sesuai dengan kenyamanan yang harus didapatkan
masyarakat umum.
Kalaborasi di situ tidak terbatas dengan status,
tetapi ia diikatkan oleh kepentingan materi – itulah dalil umum tentang
korupsi. Korupsi memang sudah mendarah-daging di masyarakat Indonesia, ia tidak
hanya dimiliki oleh aparat penegak hukum, pejabat, pengusaha dan kaum the have (orang kaya).
Tetapi, korupsi sudah menjalar bak gurita
mencengkramkan semua aspek kehidupan. Mulai dari kehidupan rumah tangga
(keluarga), organisasi-organisasi di tingkat pelajar sampai mahasiswa dan
alumninya. Dari LSM ‘ecek-ecek’ sampai organisasi profesi yang multinasional,
seperti halnya juga organisasi pers yang diasumsikan sebagai lembaga kontrol
sosial paling vokal, jujur dan terkontrol.
Kasus-kasus korupsi yang besar semakin ramai
dibicarakan di media massa semakin banyak pihak yang mengeruk keuntungan dari
publikasinya, termasuk kasus yang menimpa kalangan artis dari kejahatan
narkoba, perkawinan dan perceraian sampai kasus prostitusinya. Tidak dapat
disebutkan satu per satu – menunjukkan betapa merebak dan membudayanya korupsi
di masyarakat Indonesia.
Jadi, korupsinya sudah masif dan terstruktur dengan
baik seperti tender proyek setiap tahunnya selalu ditandai dengan korupsi -
misalnya setoran 15 sampai 20 persen yang tidak ada sama sekali peraturan
mengharuskan rekanan membayar uang setoran tersebut. Faktanya sangat jelas.
Kasus BLBI, Bank Century, Kompleks olahraga Hambalang,
PON di Palembang, korupsi di Migas – Pertamina, dana haji dan pilkada serta
lainnya yang sekarang masih digulirkan – dihadirkan di tengah masyarakat oleh
Bareskrim, KPK, Kejaksaan semuanya berlatar belakang drama serial yang
ditampilkan di atas panggung dengan teaterikal sangat menarik perhatian
masyarakat.
Belum lagi kasus pembahasan dan pengesahan UU, Perda
di daerah – semuanya bermuatan korupsi dengan setoran dari eksekutif ke
legislatif tujuannya agar pengesahannya berjalan dengan baik. Termasuk proyek-proyek
besar yang diusulkan – diperjuangkan anggota DPR-RI patut dicurigai sebagai
gratifikasi mengarah kepada korupsi berjamaah.
Logika tololnya, jika pejabat dan PNS tidak melakukan
korupsi – apa mungkin seorang pejabat kelas daerah kabupaten/kota mampu membeli
mobil-mobil seharga di atas Rp 200 juta hanya hitungan bulan? Kecuali mereka
dapat warisan orangtua yang jumlahnya miliaran rupiah. “Apa mungkin 90 persen
pejabat di Indonesia, baik di pusat maupun di daerah itu mendapatkan warisan
harta kekayaan orangtua yang jumlahnya besar?”
Fungsi LHKP – tentang kekayaan seorang pejabat bisa
dipercayai 100 persen seperti tertera dalam laporannya? Jauhlah panggang dari
api. Tetapi, apa sanksinya, tidak ada. Hanya kegaduhan politik sesaat.
Adalah menarik untuk disimak rilis Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang
tunggakan kasus tindak pidana korupsi terbesar semester pertama 2015 di 10
Kejaksaan Tinggi. Disebutkan, Kejati
Jawa Timur menunggak 65 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp 269,1
miliar. Disusul tunggakan Kejati Sulawesi Selatan sebanyak 56 kasus kerugian
negaranya mencapai Rp 97,1 miliar sebagaimana dikatakan Peneliti dan Divisi
Investigasi ICW, Wana Alamsyah Sabtu (17/10/2015) lalu.
Kejati Sumatera Utara menempati urutan keempat dengan
51 kasus kerugian negara mencapai Rp 1,3 triliun, Kejati Jawa Barat menunggak
46 kasus dengan kerugian negara capai Rp 325,5 miliar. Lalu, Kejati Nangroe
Aceh Darussalam (NAD) 46 kasus kerugian negara mencapai Rp 338,9 miliar.
Disusul Kejati Riau 45 kasus (Rp 1,5 triliun), Kejati NTT 40 kasus (Rp 609,2
miliar), Kejati Jambi 39 kasus (Rp 64,5 miliar), Kejati Maluku 34 kasus (36,9
miliar) dan Kejati Jawa Tengah 29 kasus dengan kerugian negara ditaksir Rp
111,5 miliar.
Rasanya sudah cukup lama rakyat menjadi penonton
teaterikal panggung korupsi dan sudah selayaknya ada revolusi pemerintahan yang
bersih dan aparat pemerintah yang jujur dan memiliki nilai nasionalis tinggi
untuk tidak meronggrong perekonomian bangsa dan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar