Minggu, 31 Januari 2016

SLOGAN TEATERIKAL



(Panggung, Penonton Dan Korupsi)
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi hukum, budaya dan sosial

Kita sering mendengar obrolan menjurus perdebatan di warung-warung atau di ruang-ruang kantor pemerintah tentang para pengguna anggaran enggan menggunakan anggaran yang sudah disediakan. Alasannya klasik sekali, “sering diperiksa oleh BPKL, Inspektorat, kepolisian dan kejaksaan!”. Pro kontra obrolan masyarakat itu sangat wajar dan mereka akhirnya sepakat mengatakan, “kenapa harus takut jika tidak melakukan penyimpangan dalam penggunaan anggaran di masing-masing satuan kerja”
Serangkaian obrolan yang akrab di telinga dalam kehidupan interaksi sosial membuat pikiran menjadi fokus. Di mana, budaya korupsi tahapan apapun dan berapapun jumlah masih belum bisa disingkirkan dari mental dan moral aparatur pemerintahan. Kemudian, budaya aparat penegak hukum yang menjadikan ‘kunjungan’ atau ‘pemeriksaan’ rutin ke suatu daerah yang menyembunyikan bahwa usai kunjungan – pemeriksaan oleh-olehpun dapat dan temuan bisa dijadikan lebih bagus dan rapih. Sekedar catatan-catatan yang tidak menakutkan.
Dan itu, kontras sekali dengan pernyataan-pernyataan aparat penegak hukum tentang pemberantasan korupsi serta baleho, spanduk, baner atau himbauan yang isinya “katakan tidak pada korupsi!” Hampir semua kepala dinas, badan dan instansi memasang publisitas itu di kantor masing-masing. Tidak berlebihan jika bandingkan dengan plakat yang dipasang ditumpukan sampah, “Jangan buang sampah sembarangan”. Toh, sampah tetap dibuang sembarangan, malah di tempat ada papan larangannya menjadi pilihan umum untuk membuang sampah.
Asumsi-asumsi dari aturan hukum yang ada tentang korupsi sudah seharusnya masyarakat tidak lagi melihat adanya beraneka ragam putusan pengadilan atas kasus korupsi di atas nilai Rp 1 miliar. Itu, de yure-nya. Tetapi fakta (de facta) sehari-hari putusan yang beragam tidak mencerminkan keadilan dan kenyamanan di tengah masyarakat, berulang terus diproduksi pihak pengadilan.
Salah satu dampaknya adalah satu kasus korupsi yang menyeret pejabat tinggi, pejabat daerah, pengusaha dan koleganya memakan waktu cukup lama dan memberikan bias kepada masyarakat tentang tidak mampunya aparat penegak hukum melakukan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya seperti diamanatkan oleh undang-undang.
Apakah mungkin para hakim di penagdilan negeri, pengadilan tinggi dan mahkamah agung menjalankan hukum positif Indonesia sebagai like and dislike. Atau bahkan lebih ekstrim lagi dipandang sebagai PAD – istilah presiden Joko Widodo kasus-kasusnya dijadikan ATM. Hanya para hakim – jaksa dan penydik polisilah yang mengetahui kebenaran asumsi-asumsi yang berkembang nyata di masyarakat.
Apalagi sekarang intuisi Polisi, Kejaksaan, Pengadilan sampai Mahkamah Agung bisa-bisa sampai di tangan presiden sangat tertutup terhadap proses peradilan atau upaya hukum yang ditentukan boleh dilakukan pihak-pihak berperkara. Akses informasi yang sudah dinyatakan harus terbuka, ternyata sangat tertutup. Kontrol sosial terhadap proses penegakan hukum akhirnya berjalan sesuai keinginan masing-masing. Termasuk kontrol sosial yang seharusnya baik dan benar oleh media massa. Harus mengakui kekuatan dan kekuasaan lembaga penegakan hukum di Indonersia.
Menulis atau berteriak tentang pasal-pasal hukum dari kitab hukum, undang-undang dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah belum cukup menyadarkan pihak penegak hukum, untuk menyadari betapa kuatnya ikatan lahir  bathin mereka kepada masyarakat umum.
Kalaborasi kelompok penguasa – masyarakat yang berkuasa sangat terasa menjadi salah satu hambatan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran hukum yang sesuai dengan kenyamanan yang harus didapatkan masyarakat umum.
Kalaborasi di situ tidak terbatas dengan status, tetapi ia diikatkan oleh kepentingan materi – itulah dalil umum tentang korupsi. Korupsi memang sudah mendarah-daging di masyarakat Indonesia, ia tidak hanya dimiliki oleh aparat penegak hukum, pejabat, pengusaha dan kaum the have (orang kaya).
Tetapi, korupsi sudah menjalar bak gurita mencengkramkan semua aspek kehidupan. Mulai dari kehidupan rumah tangga (keluarga), organisasi-organisasi di tingkat pelajar sampai mahasiswa dan alumninya. Dari LSM ‘ecek-ecek’ sampai organisasi profesi yang multinasional, seperti halnya juga organisasi pers yang diasumsikan sebagai lembaga kontrol sosial paling vokal, jujur dan terkontrol.
Kasus-kasus korupsi yang besar semakin ramai dibicarakan di media massa semakin banyak pihak yang mengeruk keuntungan dari publikasinya, termasuk kasus yang menimpa kalangan artis dari kejahatan narkoba, perkawinan dan perceraian sampai kasus prostitusinya. Tidak dapat disebutkan satu per satu – menunjukkan betapa merebak dan membudayanya korupsi di masyarakat Indonesia.
Jadi, korupsinya sudah masif dan terstruktur dengan baik seperti tender proyek setiap tahunnya selalu ditandai dengan korupsi - misalnya setoran 15 sampai 20 persen yang tidak ada sama sekali peraturan mengharuskan rekanan membayar uang setoran tersebut. Faktanya sangat jelas.
Kasus BLBI, Bank Century, Kompleks olahraga Hambalang, PON di Palembang, korupsi di Migas – Pertamina, dana haji dan pilkada serta lainnya yang sekarang masih digulirkan – dihadirkan di tengah masyarakat oleh Bareskrim, KPK, Kejaksaan semuanya berlatar belakang drama serial yang ditampilkan di atas panggung dengan teaterikal sangat menarik perhatian masyarakat.
Belum lagi kasus pembahasan dan pengesahan UU, Perda di daerah – semuanya bermuatan korupsi dengan setoran dari eksekutif ke legislatif tujuannya agar pengesahannya berjalan dengan baik. Termasuk proyek-proyek besar yang diusulkan – diperjuangkan anggota DPR-RI patut dicurigai sebagai gratifikasi mengarah kepada korupsi berjamaah.
Logika tololnya, jika pejabat dan PNS tidak melakukan korupsi – apa mungkin seorang pejabat kelas daerah kabupaten/kota mampu membeli mobil-mobil seharga di atas Rp 200 juta hanya hitungan bulan? Kecuali mereka dapat warisan orangtua yang jumlahnya miliaran rupiah. “Apa mungkin 90 persen pejabat di Indonesia, baik di pusat maupun di daerah itu mendapatkan warisan harta kekayaan orangtua yang jumlahnya besar?”
Fungsi LHKP – tentang kekayaan seorang pejabat bisa dipercayai 100 persen seperti tertera dalam laporannya? Jauhlah panggang dari api. Tetapi, apa sanksinya, tidak ada. Hanya kegaduhan politik sesaat.
Adalah menarik untuk disimak rilis Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang tunggakan kasus tindak pidana korupsi terbesar semester pertama 2015 di 10 Kejaksaan Tinggi. Disebutkan,  Kejati Jawa Timur menunggak 65 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp 269,1 miliar. Disusul tunggakan Kejati Sulawesi Selatan sebanyak 56 kasus kerugian negaranya mencapai Rp 97,1 miliar sebagaimana dikatakan Peneliti dan Divisi Investigasi ICW, Wana Alamsyah Sabtu (17/10/2015) lalu.
Kejati Sumatera Utara menempati urutan keempat dengan 51 kasus kerugian negara mencapai Rp 1,3 triliun, Kejati Jawa Barat menunggak 46 kasus dengan kerugian negara capai Rp 325,5 miliar. Lalu, Kejati Nangroe Aceh Darussalam (NAD) 46 kasus kerugian negara mencapai Rp 338,9 miliar. Disusul Kejati Riau 45 kasus (Rp 1,5 triliun), Kejati NTT 40 kasus (Rp 609,2 miliar), Kejati Jambi 39 kasus (Rp 64,5 miliar), Kejati Maluku 34 kasus (36,9 miliar) dan Kejati Jawa Tengah 29 kasus dengan kerugian negara ditaksir Rp 111,5 miliar.
Rasanya sudah cukup lama rakyat menjadi penonton teaterikal panggung korupsi dan sudah selayaknya ada revolusi pemerintahan yang bersih dan aparat pemerintah yang jujur dan memiliki nilai nasionalis tinggi untuk tidak meronggrong perekonomian bangsa dan negara.

Tidak ada komentar: