Oleh Naim Emel Prahana
SETELAH digantinya format dan status Kartu Tanda
Penduduk (KTP) menjadi e-KTP dengan tujuan untuk tidak ada lagi penduduk yang
memiliki KTP ganda. Ternyata, masalah penduduk Indonesia belum juga terdata
pada data base yang akurat dan jelas. Padahal, jika pemerintah memang
berkeinginan untuk mendata penduduknya melalui perangkat pemerintahan sampai ke
RT. Mungkin tidak akan lebih dari dua bulan sudah akurat.
Sensus penduduk yang selama ini digunakan pemerintah untuk membuat database kependudukan masih jauh dari
yang diinginkan. Masalahnya, di mana keruwetan masalah pendataan penduduk itu?
Belum lagi masalah administrasi kependudukan yang tidak menjalankan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Masih banyaknya calo di kalangan aparat pemerintah, baik di tingkat
kabupaten/kota, kecamatan dan kelurahan menjadi salah satu kendala tertib
administrasi kependudukan sampai saat ini. Seharusnya administrasi pendataan
penduduk harus dimulai dari tingkat RT dan seterusnya ke tingkat
kabupaten/kota. Akan lebih baik, mudah, lancer, akurat dan dengan biaya yang
rendah. Sekali lagi, pemerintah terlihat setengah hati untuk mendata penduduk
melalui tahapan administrasi tersebut.
Sebab, sampai saat ini data penduduk yang digunakan masih dari Badan
Statistik dan Kantor Keluarga Berencana. Kedua badan itu tidak pernah sinkron
berkaitan jumlah penduduk di suatu wilayah. Namun, dalam kegiatan lainnya data
yang tidak akurat itu menjadi pedoman pemerintah seperti pelaksanaan pemilu dan
pemilukada sampai kepada pembuatan (penerbitan) monografi suatu daerah
kabupaten/kota.
Harus diakui kinerja aparat pemerintah bidang administrasi kependudukan
masih sangat rendah dan tidak terpola dengan baik. Hanya menerima apa adanya,
tanpa melalui verifikasi kependudukan yang berdasarkan realitas penduduk di
suatu wilayah.
Jika menyimak UU No 24 Tahun 2013 tentang perubahan UU No 28 tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan pasal 14 disebutkan tentang “data perorangan”
penduduk di suatu tempat. Sebanyak 31 item data harus ada pada seorang
penduduk. Membaca pasal 14 UU No 24 tahun 2013 itu, secara mudah, gampang dan
akurasi data penduduk dapat di-database-kan. Kenyataannya belum bias.
Kenapa belum bisa? Pertanyaan itulah yang sulit dijawab akibat pengurusan
administrasi kependudukan banyak yang tidak prosedural. Artinya, banyak proses
– tahapan yang ‘dilompati’ disebabkan banyaknya makelar pengurusan administrasi
kependudukan yang kebanyakan berasal dari PNS yang bertugas di Kelurahan maupun
di Kecamatan.
Beberapa waktu lalu, penulis berbincang dengan Kepala Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil. Sang kadis mengakui banyak lurah yang mengurus administrasi
kependudukan warga tanpa melalui proses dan minta langsung ke bagian operator
untuk diterbitkan KK maupun KTP. Jika permohonan ‘makelar’ si lurah atau
pegawai PNSnya itu dikabulkan. Otomatis data kependudukan semakin tidak terdata
baik. Sebab, seharusnya permohonan penerbitan KTP maupun KK dimulai dari surat
keterangan pengurus RT. Data dari RT itulah kemudian diolah dan dinaikkan ke
kantor Disdukcapil.
Sebab banyak data penduduk yang sudah tidak tepat lagi, padahal amanat
pasal 14 itu jelas tentang “alamat sebelumnya dan alamat tinggal sekarang”.
Jadi, penduduk yang pindah ke tempat lain dalam satu kabupaten/kota secara
permanen, ternyata masih tetap beralamat di alamat sebelumnya. Tempat tinggal
barunya tidak terdata akibat proses penerbitan KTP atau KK yang melompati
tahapan proses yang dibenarkan oleh UU No 24 tahun 2013.
Masalah tersebut adalah satu dari sekian masalah pencatatan penduduk yang
semakin semberawut berpotensi – dampaknya akan lebih rumit seperti data riil
penduduk di suatu daerah, daftar mata pilih, dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar