Minggu, 31 Januari 2016

Administrasi Kependudukan



Oleh Naim Emel Prahana

SETELAH digantinya format dan status Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi e-KTP dengan tujuan untuk tidak ada lagi penduduk yang memiliki KTP ganda. Ternyata, masalah penduduk Indonesia belum juga terdata pada data base yang akurat dan jelas. Padahal, jika pemerintah memang berkeinginan untuk mendata penduduknya melalui perangkat pemerintahan sampai ke RT. Mungkin tidak akan lebih dari dua bulan sudah akurat.

Sensus penduduk yang selama ini digunakan pemerintah untuk membuat database kependudukan masih jauh dari yang diinginkan. Masalahnya, di mana keruwetan masalah pendataan penduduk itu? Belum lagi masalah administrasi kependudukan yang tidak menjalankan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Masih banyaknya calo di kalangan aparat pemerintah, baik di tingkat kabupaten/kota, kecamatan dan kelurahan menjadi salah satu kendala tertib administrasi kependudukan sampai saat ini. Seharusnya administrasi pendataan penduduk harus dimulai dari tingkat RT dan seterusnya ke tingkat kabupaten/kota. Akan lebih baik, mudah, lancer, akurat dan dengan biaya yang rendah. Sekali lagi, pemerintah terlihat setengah hati untuk mendata penduduk melalui tahapan administrasi tersebut.

Sebab, sampai saat ini data penduduk yang digunakan masih dari Badan Statistik dan Kantor Keluarga Berencana. Kedua badan itu tidak pernah sinkron berkaitan jumlah penduduk di suatu wilayah. Namun, dalam kegiatan lainnya data yang tidak akurat itu menjadi pedoman pemerintah seperti pelaksanaan pemilu dan pemilukada sampai kepada pembuatan (penerbitan) monografi suatu daerah kabupaten/kota.

Harus diakui kinerja aparat pemerintah bidang administrasi kependudukan masih sangat rendah dan tidak terpola dengan baik. Hanya menerima apa adanya, tanpa melalui verifikasi kependudukan yang berdasarkan realitas penduduk di suatu wilayah.

Jika menyimak UU No 24 Tahun 2013 tentang perubahan UU No 28 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan pasal 14 disebutkan tentang “data perorangan” penduduk di suatu tempat. Sebanyak 31 item data harus ada pada seorang penduduk. Membaca pasal 14 UU No 24 tahun 2013 itu, secara mudah, gampang dan akurasi data penduduk dapat di-database-kan. Kenyataannya belum bias.

Kenapa belum bisa? Pertanyaan itulah yang sulit dijawab akibat pengurusan administrasi kependudukan banyak yang tidak prosedural. Artinya, banyak proses – tahapan yang ‘dilompati’ disebabkan banyaknya makelar pengurusan administrasi kependudukan yang kebanyakan berasal dari PNS yang bertugas di Kelurahan maupun di Kecamatan.

Beberapa waktu lalu, penulis berbincang dengan Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Sang kadis mengakui banyak lurah yang mengurus administrasi kependudukan warga tanpa melalui proses dan minta langsung ke bagian operator untuk diterbitkan KK maupun KTP. Jika permohonan ‘makelar’ si lurah atau pegawai PNSnya itu dikabulkan. Otomatis data kependudukan semakin tidak terdata baik. Sebab, seharusnya permohonan penerbitan KTP maupun KK dimulai dari surat keterangan pengurus RT. Data dari RT itulah kemudian diolah dan dinaikkan ke kantor Disdukcapil.

Sebab banyak data penduduk yang sudah tidak tepat lagi, padahal amanat pasal 14 itu jelas tentang “alamat sebelumnya dan alamat tinggal sekarang”. Jadi, penduduk yang pindah ke tempat lain dalam satu kabupaten/kota secara permanen, ternyata masih tetap beralamat di alamat sebelumnya. Tempat tinggal barunya tidak terdata akibat proses penerbitan KTP atau KK yang melompati tahapan proses yang dibenarkan oleh UU No 24 tahun 2013.

Masalah tersebut adalah satu dari sekian masalah pencatatan penduduk yang semakin semberawut berpotensi – dampaknya akan lebih rumit seperti data riil penduduk di suatu daerah, daftar mata pilih, dan lain sebagainya.

Tidak ada komentar: