KEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang kian dekat dengan hari I Pilpres kian bermasalah, diputuskan boleh menggunakan KTP atau paspor bagi yang tidak tercantum namanya di DPT. Penggunaan KTP tersebut MK menggunakan dasar pasal 28 dan pasal 111 UU No 42/2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Amar putusan sidang rapat pleno terbuka MK ini, dinyatakan sudah sesuai dengan UU No 24/2003 tentang MK dengan Lembaran Negara (LN) Republik Indonesia tahun 2003 No 98, Tmbahan Lembaran Negara (TLN) Republik Indonesia No 4316. Apakah keputusan MK itu sudah menyelesaikan masalah DPT yang dimasalahkan? Tergantung. Bagaimana proses pelaksanaan pilpres dan hasilnya. Hanya apakah penggunaan KTP atau paspor itu sudah dibuat prosesnya sedemikian rupa. Sebab, dari jumlah pemilih pasti bertambah dan kemungkinan-kemungkinan KTP aspal atau paspor aspal bisa saja merusak mekanisme tambahan yang sudah dibuat dalam waktu relatif singkat itu.
Kalau terjadi kerusakan pada sistemnya nanti, apakah sudah diantisipasi imbas ke hasil pilpresnya. Misalnya kesalahan KPU yang mensosialisasikan pilpres dengan memberi contrengan pada gambar SBY—Boediono yang sangat fatal kesalahannya. Jika dimaafkan, namun pengaruh yang sudah disebarkan lewat spanduk dan stiker itu sudah mengakar pada sebagian pemilih.
Seperti itu memang sudah menjadi trend di masyarakat Indonesia. Yang penting berantem dulu, nantinya pasti dama dan ada yang mendamaikan dengan bahasa tuturnya, “saling memaafkan dan tidak ada gunanya konfrontasi antar masyarakat dan seterus” Akibat semua itu, penegakan hukum tidak jalan, rasa keadilan di tengah masyarakat menjadi tersumbat.
Bagaimana sebaiknya? Proses demokrasi jalan terus, proses penegakan hukum dipercepat dan proses pembangunan manusia Indonesia seutuhnya terus dipacu dan terus disadarkan tentang betapa penting artinya. Seperti sudah dimaklumi, kalau gaya hidup masyarakat Indonesia 10-an terakhir mengarah kepada glamourous life style,pPractise, pragmatic and secular sudah diambang batas penghancuran national building. National building dibangun merupakan suatu keharusan bagi bangsa dan suatu negara yang memiliki keragaman etnis—suku bangsa.
Jika tidak, kekuatan perekat kesatuan dan persatuan bangsa akan menjadi sangat longgar dan mudah terjadinya konflik yang mengarah kepada perpecahan di dalam negeri sendiri. Sudah banyak contohnya, Uni Soviet, Yugoslawakia, India (Pakistan, India, Bangladesh dan Sri Lanka).
Indonesia dalam jejak perjalanannya dua puluh tahun terakhir menunjukkan gejala konflik yang menajam dan sulit dituntaskan, apalagi sudah memasuki atmosfir politik pemerintah yang cenderung menjalankan perekonomiannya secara liberal, kapital dan hanya mewakili kepentingan golongan minoritas (pejabat dan pengusaha).
Berkaitan dengan DPT bermasalah tak bermasal sekarang ini yang oleh banyak kalangan memang sengaja direncanakan oleh tim insumbent yang tengah memperjuangkan jabatan presiden untuk kedua kalinya. Masalah DPT sebenarnya adalah masalah kinerja dan sinerjis para pelaksana pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden atau pilkada yang rutin dilaksanakan. Yang penting bagaimana menanusiakan para panitianya dengan baik dengan terus memagang tegus independensi dan netralitas kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar