Kolom Naim Emel Prahana
PEMILIHAN Presiden (pilpres) Indonesia sudah selesai dengan menyisakan penantian hasil dan penyelesaian atas pelanggaran-pelanggaran selama pilpres berlangsung. Dalam kontek itu, trotoar independensi dan netralitas pelaksana pilpres akan diuji. Terutama KPU, Bawaslu, dan Polri. Sikap gentlement, jujur, transparan yang disertai rasa tanggungjawab moral dan mertabat harus menjadi pedoman utama.
Terlepas dari pro dan kontra menanggapi hasil quickcount pilpres ada baiknya seluruh masyarakat di Indonesia menyadari, khususnya partai politik dengan elite politiknya, barisan tim sukses para pasangan capres dan cawapres dari pusat sampai ke tingkat kecamatan. Hasil pencapaian perolehan suara masing-masing capres sangat erat kaitannya dengan mekanisme kerja, keseriusan dan manajemen tim sukses secara berjenjang dan berantai.
Terkait dengan besarnya dana kampanye masing-masing capres, yaitu Mega-Pro Rp 257.600.050.000,- SBY—Boediono Rp 200.470.446.232,- dan JK—Win Rp 83.327.864.390,- sehingga jumlah keseluruhannya Rp 541.398.360.522,- itu, jika benar-benar digunakan untuk berkampanye. Khususnya di daerah, maka hasil yang dipeoleh sangat maksimal—bukan seperti hasil yang ada saat ini.
Sayangnya, parpol dan elite politik pada jajaran parpol pendukung Mega—Pro dan JK—Win di lapangan tengah dan bagian pertahanan belakang (kalau diibaratkan pertandingan sepakbola), nyaris tidak ada kerja. Bahkan, bendera parpol pendukung capres pun tidak terlihat. Di mana uang yang ratusan miliar itu? Terutama dijajaran Partai Golkar, seperti di Lampung.
Selama proses kampanye capres, elite parpol di Lampung tidak bekerja. Mereka hanya mengandalkan iklan di media massa elektronik maupun cetak. Selebihnya mereka tidur pulas sambil menonton berita di televisi. Elite parpol dan tim sukses pasangan capres terutama Tim Sukses Mega—Pro dan JK—Win semuanya numpang bangek. Tidak ada rasa tanggungjawab sama sekali, baik sebagai ketua dan pengurus parpol maupun sebagai barisan tim sukses.
Sangat memprihatinkan kinerja elite parpol dan anggota tim sukses di proses pilpres 2009 lalu. Mereka hanya menggrogoti uang capres dan cawapres tanpa merasa malu, tanpa memiliki moral dan mental sebagai anak bangsa yang lahir dari perjuangan yang sangat berat sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Kalau terjadi reorganisasi ditubuh parpol seperti Golkar di Lampung, Hanura, Gerindra dan PDI-Perjuangan adalah hal yang sangat-sangat wajar memiliki alasan yang kuat untuk mengganti semua ketua-ketua parpol pendukung Mega-Pro dan JK-Win. Jika tidak, imbasnya memasuki wilayah pilkada yang tahun 2010 di Lampung akan digelar beberapa pilkada, seperti di Kota Metro, Bandarlampung, Lampung Timur, Lampung Tengah, Lampung Selatan.
Masyarakat Lampung butuh pemimpin parpol yang bertanggungjawab, bukan hanya sekedar memamerkan atribut, arogansi dan kesewenang-wenangandan sering membuat pernyataan di media yang cenderung berbohong kepada publik. Yang sering membuat manuver hukum yang mencari dan mempertahankan populeritas yang tidak populer.
Akibat konkrit tidak sinerjisnya parpol dan elite parpol, tim sukses para capres di daerah, pencapaian suara dalam pilpres tidak maksimal, karena dibiarkan begitu saja. siapa mau milih silakan, yang tidak memilih tidak ada upaya rekrut para pemilih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar