Sabtu, 20 September 2008

Budaya Uang Dalam Pemilu—Pilkada

Budaya Uang Dalam Pemilu—Pilkada
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi sosial politik, seni budaya dan praktisi pers

RIBUT pertama dalam tubuh partai politik ketika menghadapi pemeilihan umum (pemilu) atau pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah soal uang. Semua persoalan dalam menentukan kebijakan dan keputusan, senantiasa didapatkan setelah pertsoalan uang itu jelas. Padahal, kejelasan soal uang itu tetap sembunyi disembunyikan dominasinya.
Demikian pula, ketika bakal calon anggota legislatif, kepala daerah (sesuai tingkatannya sampai tingkat kaupaten/kota) dan calon presiden. Dominasi uang dalam prosesinya, sangat vital dan berperan besar untuk langkah seterusnya. Bahkan ada kesan yang menyebutkan, partai politik (parpol) telah merusak azas kekeluargaan dan demokrasi di Indonesia. Alasannya, karena orang-orang parpol menganggap uang adalah segala-galanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terlebih lagi dalam merebut kekuasaan di pemerintahan.
Kesimpulan kemudian mendapatkan, uang itu pulalah yang menyebabkan terjadinya konflik, perpecahan dalam tubuh parpol, hengkangnya beberapa pengurus dan kemudian (mungkin) membentuk parpol baru. Alasannya masih klasik, karena soal pembagian yang tidak merata—mereka yang ke luar mengatakan, untuk mentransparansikan manajemen keuangan. Tetapi, kebanyakan pada akhirnya, manajemen pengelolaan keuangan tetap menjadi “biang kerok” persoalan dalam tubuh parpol.
Sebagai gambaran, kita dapat melihat bagaimana perseteruan dalam tubuh PKB antara Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan keponakannya, Muhaimin. Yang semula hanya konflik soal figur ketua, soal keabsahan di Departemen Hukum dan HAM. Tapi, apa yang terjadi setelah konflik berkepanjangan itu masuh ke proses peradilan? Gus Dur dengan tegas mengatakan, Muhaimin harus mengembalikan uang kepadanya sebesar Rp 12 miliar rupiah. Lagi-lagi dan pada akhir konflik uanglah yang disebut-sebut.
Realitas sosial parpol di Indonesia itu, bukan isu atau pengalihan perhatian persoalan bangsa dan negara—sebagaimana diterapkan oleh pemerintah selama ini dan sampai sekarang. Tapi, betul-betul realitas kehidupan sosial dan parpol di Indonesia. Pemerintah seharusnya mampu membuat suatu rumusan yang kemudian dimasukkan ke dalam undang-undang yang berkaitan dengan parpol. Isinya, legalitas parpol baru bisa diakui setelah memiliki modal keuangan yang cukup.
Di sana, nantinya ada makna bahwa, pemerintah tidak lagi memberikan subsidi kepada parpol, baik bantuan langsung karena perolehan suara maupun bantuan-bantuan dalam bentuk lainnya yang selama ini dianggapkan oleh APBN atau APBD provinsi, kabupaten/kota di Indonesia.
Jika pemerintah sudah sepakat, betapa besarnya uang negara yang diperoleh dari rakyat yang dapat diselamatkan. Dan, sisi lainnya adalah parpol betul-betul mandiri mengatur rumah tangganya. Jika hal itu sudah dilakukan. Maka, demokrasi Indonesia akan benar-benar ada dan dapat diwujudkan. Kalau sampai sekarang belum ada bentuk demokrasi Indonesia yang digembar-gemborkan itu.

Itu artinya kita harus melihat sinkronisasi berdemokrasi tersebut. Berdemokrasi tidak harus menelan ongkos yang mahal (biaya tinggi). Demokrasi yang bergelimang uang adalah demokrasi yang tidak sehat. Demokrasi yang baik adalah ketika yang memiliki modal besar dengan yang pas-pasan dapat bersaing secara sehat. Di situ, aturan dalam kompetisi politik adalah masalahnya.
Ketika kemenangan dalam rivalitas politik ditentukan hanya oleh uang, maka aturan main dalam sistem demokrasi dapat dibeli. Praktik beli suara, beli kursi, dan beli pengaruh dalam politik menjadikan uang bukan lagi sebagai penyokong. Melainkan sudah menjadi persoalan besar. Pertautan kepentingan antara aktor politik dan pelaku ekonomi dimulai dengan praktik jual-beli posisi. Aktor politik yang butuh kemenangan akan dipasok oleh pelaku ekonomi dengan jumlah dana yang biasanya tidak sedikit sebagai modal untuk berkompetisi.
Posisi politik yang telah direbut melalui pembelian suara (money politics), akhirnya akan dipakai untuk mengembalikan modal, sekaligus mengkapitalisasinya melalui instrumen kebijakan negara. Dan, terakhir, negara bukan lagi sebagai representasi dari kepentingan publik yang luas, tetapi mengerucut hanya sebatas sarana memperluas kekuasaan, baik politik maupun ekonomi.
Tujuan akhir dari kekuasaan politik yang telah direbut dapat dipertahankan dan pada saat bersamaan kekuasaan ekonomi berekspansi. Masalahnya, kepentingan politik-bisnis yang mengendarai demokrasi prosedural semakin kuat cengkeramannya dalam situasi di mana masyarakat pemilihnya tidak memiliki daya tawar yang kuat. Hanya dengan bergerak melalui penyebaran uang ke berbagai kelompok masyarakat yang rentan kekuatan politik-bisnis dapat menguasai negara dan mengendalikan kebijakannya.
Parpol beserta calon pemimpin dalam pemilu dan pilkada yang menghambur-hamburkan uang untuk mendapatkan suara dan dengan suara yang banyak dapat dibeli, iapun terpilih menjadi pemimpin (anggota legislatif, presiden, gubernur, bupati/walikota) akan berusaha mengembalikan uang yang dikeluarkan yang jumlahnya miliaran rupiah bahkan, ratusan miliar, untuk dikumpulkan lain melalui kekuasaan yang sudah ia genggam.
Di situlah munculnya hukum kekusaan. Dengan memberikan uang banyak dengan pembagian yang sangat kecil kepada anggota masyarakat yang punya hak suara, ia akan memperoleh uang yang sangat besar jumlahnya tanpa didistribusikan lagi ke pihak lain. Cara berpolitik demikian sangatlah tidak kreatif, miskin inovasi, tidak komunikatif dalam menyampaikan ide dan janji.
Ia dapat terus bertahan jika demand side (sisi permintaan) dari masyarakat tidak berubah. Parpol dan politisinya tidak akan banyak melakukan kerja politik, kecuali sakadar menggelontorkan uang dalam janji-janji politik yang sangat bias dan tidak berwujud kepada kepentingan kesejahteraan rakyat atau bangsa.
Pemilih dalam pemilu dan pilkada harus belajar dari masa lalunya. Masa uji bagi penguasa baru yang dipilih melalui pemilu (lima tahun). Jika selama itu pemimpin yang diberi amanat tidak bijak dalam menjalankan tanggungjawabnya maka candu money politics dapat digunakan untuk melupakannya, meski hanya sesaat. Mewaspadai datangnya candu ini sama pentingnya dengan mengingat kembali janji kampanye para politisi.
Sebagai ingatan kita untuk mengembalikan azas kehidupan masyarakat Indonesia yang kekeluargaan dan musyawarah dan mufakat, perlu sekali membaca analisis supply and demand interaction pada ekonomi sebagai sarana menemukan titik ekuilibrium baru yang dapat digunakan dalam dunia politik.
Sebenarnya, pada saat ada pembiaran, masyarakat sudah tahu bahwa yang memberikan uang itu bukanlah tipe pemimpin yang baik atau dalam dunia umat kristen disebut sinterklas yang baik hati dengan pemberian-pemberiannya tanpa pamrih. Namun, di dalam prosesi pemilu dan pilkada, pemberian itu harus disertai manajemen pengembalian uang yang sudah dikeluarkan selama prosesi pemilu dan pilkada. Demokrasi gaya Indonesia itulah yang sangat merusak demokrasi yang sesungguhnya.
Sebab, untuk meningkatkan kualitas politik, harus dikesampingkan bahwa berpolitik itu adalah proyek demokrasi. Namun, berpolitik itu harus dicermati sebagai salah satu upaya mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan kesadaran nasional yang tinggi. Oleh karenanya, politik uang bukan jalan baik menuju kesadaran nasional untuk membangun bangsa dan negara itu selanjutnya.
Harus diakui, uang adalah pelancar rodanya organisasi, khususnya parpol. Akan tetapi, demand side dalam politik yang bergerak menggunakan kekuatan uang sebagai mesin politik terpenting. Filosofisnya, bahwa mereka yang berpengalaman dalam kekuasaan belum tentu yang paling baik. Oleh karena itulah dalam beberapa pilkada di beberapa daerah di Indonesia, banyak politisi yang incumbent mengalami kekalahan seperti di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali dan beberapa daerah lainnya.
Dan potret buram tersebut sekarang menghinggapi internal parpol Golkar, membuat internnya bergejolak. Untung saja, ketua umumnya adalah Wakil Presiden. Kalau tidak, Golkar sudah tercabik-cabik oleh politisinya sendiri. Sisi lain menanggapi kekalahan-kekalahan beruntun kader Golkar di beberapa pilkada membuat Yusuf Kalla minta kadernya untuk refleksi atas kegagalan Golkar dalam memenangi banyak pemilu lokal.
Orang Golkar atau masyarakat yang selama ini melihat Golkar adalah tempat orang-orang hebat dengan politiknya. Sebenarnya penglihatan itu untuk ukuran sekarang sudah salah. Sebab, demokrasi yang dipertahankan Golkar adalah sisa-sisa peninggalan masa jayanya di zaman orde baru. Di mana Golkar mampu mencengkramkan kekuasaannya melalui TNI dan pemerintah.
Kini, era itu sudah berakhir. Kecerdasan masyarakat—walau menerima politik uang dalam kampanye pemilu (nasional dan lokal), toh dalam pilihan—pemberian suaranya diarahkan kepada figur pemimpin. Bukan memilih parpol. Parpol dan politisi harus membenahi kulturnya, sekaligus untuk tidak lagi mengedepankan hanya uanglah yang paling penting dan berkuasa. Untuk itu perlu kerja politik yang terus-menerus.. Semangat untuk memobilisasi pemilih dengan pendekatan realitas program merupakan cermin ideologi parpol serta harus tertanam dalam sanubari pendukungnya. Sumbangan sukarela pendukung parpol dan kandidat akan memperkuat infrastruktur parpol tersebut.
Jika, parpol akan melakukan hal sebaliknya. Maka, uang yang telah lama menjadi model konvensional pemenangan pemilu—yang sebenarnya sudah lama pula merusak ideologi parpol. Alasannya, pembelian suara mendorong motivasi berpolitik sekadar untuk mendapatkan keuntungan dan malas untuk menjalankan kerja politik. Pendukung parpol pada akhirnya akan mengalami demoralisasi. Kemudian, korupsi menjadi praktik yang biasa terjadi dalam membelanjakan dana politik.
Sekali lagi diingatkan, situasi dan kondisi itu merupakan alarm bagi parpol yang terancam atas runtuhnya kekuasaan dan kekuatan parpol, sebab diantaranya karena pemilih telah mulai berpaling darinya. Perilaku pemilih yang mulai bergeser harus menjadi pelajaran berharga untuk pengurus parpol, agar dapat meningkatkan kualitas organisasinya dalam posisi penawaran kepada rakyat.

Defisit Moralisme Kekuasaan

Defisit Moralisme Kekuasaan
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi sosial politik, seni budaya dan praktisi pers

Negeri kita saat ini benar-benar seperti potret “panggung sandiwara”, sekian ratus pemimpinnya yang mengenakan topeng-topeng. Yang sulit dikenal raut wajahnya ketika marah, benci dan tersenyum. Sudah tak ada bedanya dengan penampilan kebanyakan wanita-wanitanya yang berbaju dan bercelana super ketat. Tapi, tubuhnya sudah sedemikian rapuh. Sehingga tidak ada isi otot dan bagian tubuh lainnya. Semua sudah sangat kendur.
Hampir tiada waktu, masyarakat dipertontonkan sandiwara perdebatan dalam naskah ‘permainan’ para badut. Padahal, masyarakat sudah lama memandang dengan sikap sinisme dan apatisme. Jika pandangan masyarakat itu sudah hampir menyentuh semua lapisan. Maka, apapun yang direncanakan, diprogramkan dan dilaksanakan. Pastilah gagal. Dan, kegagalan itu dalam naskah panggung sandiwara adalah tujuan para pemainnya.
Paradigma kekusaan yang dipertontonkan, kendati ancaman kritik pedas dari masyarakat. Namun, filosofi “biarkan anjing menggonggong, kafilah terus berlalu” sudah menjadi trade mark petinggi di negeri ini. Seperti kasus BLBI—ke dihentikannya kasus bertiras puluhan triliun itu kemudian kasus suap 600 ribu dolar dan sidang kasus tersebut yang melibatkan jaksa terbaik di Indonesia. Ternyata masih meragukan mengenai penegakan hukum kita. Rasa keadilan dan ketertindasan rakyat akibat kasus BLBI, Ayin hanya diancam hukuman 5 tahun penjara.
Sedangkan, eberapa jaksa agung muda yang terlibat kasus tersebut, hanya dikenakan sanksi administrasi internal Kejaksaan Agung belaka. Ironis memang, di tengah gencarnya propaganda pemberantasan korupsi. Kasus-kasus korupsi hanya dijadikan mainan aparat penegak hukum itu sendiri.
Korupsi dan suap merajalela, baik di DPR-RI, Mahkamah Agung, hingga ke dinas/istansi maupun badan serta perusahaan negara. Politik uang telah memberikan gambaran betapa bobroknya para elite pemimpin bangsa yang tengah berkuasa. Ilmu para koruptor kelas elite negeri kita ini, selalu menantang dan menyuarakan anti korupsi. Dan, jika tertangkap ulah nyeleneh dipertontonkan. Seperti, alasan sakit menjadi senjata mengulur-ulur waktu pemeriksaan terhadap diri mereka.
Moralisme para petinggi—pemimpin—politis negeri, sudah demikian lemah, sehingga tidak mampu melawan godaan materi atau harta benda duniawi. Alasan apapun, tidak akan mampu melawan alasan dan faktor moral yang lemah. Korupsi bukanlah akibat tekanan ekonomi belaka atau karena minimnya pemahaman agama. Korupsi disertai kolusi dan nepotisme, merupakan gaya hidup manusia Indonesia yang terkena dampak globalisasi dan disebabkan tidak mampu untuk mencitrakan diri dalam dirinya sendiri.
Soal kesulitan pemenuhan kebutuhan hidup, seperti diungkapkan oleh seorang dosen Universitas Muhammadiyah Metro (UMM) dalam diskusi belum lama ini, kecenderungan melakukan korupsi (+kolusi dan nepotisme) sangat kecil. Ditambah lagi karena merosotnya nilai-nilai pendidikan agama dalam masyarakat Indonesia.
Sulitnya kebutuhan hidup mempunyai kecenderungan yang sangat kecil terhadap praktek korupsi. Sebab, korupsi dilakukan oleh orang-orang yang mapan dalam kehidupannya. Karena mereka memiliki status sosial yang tinggi, seperti pejabat gubernur, bupati, walikopta beserta wakilnya beserta pejabat teras daerah lainnya. Termasuk para menteri dan pembantunya dan para pengusaha.
Kalau dikatakan mereka terdesak kebutuhan hidup. Sangatlah tipis teori tersebut. Faktor agama karena mereka tidak mau menyadari apa yang mereka sadari tentang perbuatan buruk yang merugikan orang banyak. Kemudian, adalah betul faktor keserakahan. Akan tetapi, serakah tanpa jabatan sosial, maka korupsi tidak akan terjadi seperti sekarang ini.
Korupsi yang dikenal sekarang—konotasinya berkaitan dengan uang. Padahal awalnya hanyalah akibat korupsi bentuk lain, yaitu korupsi waktu, korupsi jabatan, korupsi wewenang, korupsi undang-undang (peraturan) dan korupsi lainnya—yang kemudian dikenal dengan kolusi dan nepotisme.
Kalau di zaman orde baru tindak korupsi dilakukan secara teratur dan terorganisir dalam satu mata rantai kekuasaan. Tetapi, pasca reformasi, tindak pidana korupsi tidak lagi terorganisir sebagaimana di zaman orba. Akan tetapi, bisa diorganisir, terjadi karena individual dan kolektif tapi bukan suatu jaringan korupsi.
Saat ini tindakan korupsi sepertinya naskah film kolosal yang melibatkan banyak orang dan orangnya berasal dari klasifikasi sosial apapun. Korupsi selalu terencana dan terprogram dengan baik. Tidak mungkin korupsi itu hanya terjadi secara spontan yang nama spontan masuk dalam kategori maling, pencuri atau tindak kriminal biasa. Sedangkan korupsi—walau ada unsur ‘maling’ atau mengambil barang milik orang/badan/negara untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok. Tetapi, pengelompokannya tidak seperti tindak pidana mencuri ayam atau uang milik pemilik warung.
Sebenarnya, perbuatan korupsi itu diakibatkan karena ketidakmampuan seseorang atau kelompok untuk meminit kebutuhan hidup (life style) akibat pengaruh perkembangan dunia yang sedang dan sudah terjadi. Terutama gaya hidup yang memprioritaskan kebutuhan skundair atau tersier sebagai kebutuhan utama. Misalnya gaya hidup belanja di supermarket besar, gaya hidup weekend yang berlebihan dan trend pergaulan yang memakan biaya tinggi dan sebagainya.
Korupsi itu dapat terjadi kepada siapa saja, tidak hanya pejabat (pegawai pemerintah) tetapi siapapun yang tidak mampu mengendalikan kebutuhan hidupnya. Maka, pintu perbuatan korupsi akan mudah terbuka. Apalagi di tubuh partai politik yang rentan dengan gaya hidup selebritisnya. Demi memuluskan jalan menuju kekuasaan atau demi mempertahankan kekuasaan, teman yang baik pun boleh dikhianati. Karena dalam arena kekuasaan dan politik khususnya selalu berlaku adagium, "tidak ada teman abadi, yang ada adalah kepentingan". Atau dalam politik, kepentingan adalah panglima.
Demikian pula yang dimaksud dengan korupsi berjemaah. Artinya, sebagian besar masyarakat kita sudah mengalami kekurangan pemahaman soal etika moral dalam hidupnya (defisit). Karena estetika, etika dan moralnya terus berkurang, tidak pernah surplus. Akibatnya adalah ketidakmampuannya menghadapi rayuan duniawi dengan gaya hidup masyarakat yang gemerlapan.

Tidak ada jalan lain, untuk memulai jalan pintyas memberantas praktek korupsi (+kolusi dan nepotisme), mulai dari kontrol aktif masyarakat yang sudah demokratif, agar ruang demokrasi itu dapat digunakan sebaik mungkin untuk dijadikan deliberasi. Deliberasi adalah bentuk keterlibatan aktif rakyat dalam mengontrol dan mengawasi pelaksanaan jalannya pemerintahan (negara).
Mungkin ada baiknya mengutip pernyataan bijak soal moralitas tadi, menurut Immanuel Kant, hukum moral merupakan suatu kewajiban dan hukum batas moral. Duty and obligation are the only names 'for' our relation to the moral law.artinya penyelewengan moral itu yang sekian lama ditutup-tutupi penguasa dan kroninya, harus dibongkar habis melalui peran aktif masyarakat.
Moralitas seluruh bangsa akan teracuni jika tidak ada martabat dalam pemerintahan ( When there is a lack of honor in government, the morals of the whole people are piosened), demikian Herbert Hooenr presiden ke 31 AS mengungkapkan persoalan baik tidaknya pemerintah yang dikaitkan dengan martabat (moral). Ungkapan tajam Herbert itu dikatakannya tahun 1961. lalu, diktuip oleh harian The New York Time (edisi 9 Agustus 1961).
Komentar terkejam diperlihatkan oleh William Gladsrone—salah seorang Perdana Menteri Inggris tahun 60-an, yang mengatakan sejarah pemerintahan merupakan salah satu wajah paling bejat dari umat manusia. Sedangkan Karl Marx mendudukan moralitas manusia ke dalam bangunan atas ideologis yang hanya berfungsi melegitimasikan struktur-struktur kekuasaan yang mapan. Harapan bahwa perbaikan moralitas para penguasa akan menunjang perbaikan dalam kehidupan masyarakat, dianggap naif, kolot, tidak realistis, bahkan dicurigai sebagai ideologis sendiri.
Sejak saat itulah defisit yang akhirnya mengalirkan inflasi moralisme membuahkan praktek yang sama oleh inflasi penyelewengan, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para penguasa dan pengabaian terhadap nasib rakyat yang kurang beruntung.
(Bagaimanapun, moralitas tetap menjadi sosok yang abstrak, entah betapapun kerasnya ia disuarakan dan sangat gencar dalam wacana dan diskursus publik. Sebab, moralitas dalam konteks apa pun, terutama dalam konteks kekuasaan, bukan menyentuh unsur privat, melainkan justru bersentuhan dengan moralitas publik, seperti kejujuran, keterbukaan, keadilan, kesejahteraan dan kebaikan. Moralitas itu menjadi bermanfaat sejauh diakomodasikan dalam bentuk kontrol dan kritik publik dengan aturan main lain yang sifatnya "mengikat" diikuti segala sanksi hukumnya)—kata Direktur Social Development Center Jakarta beberapa waktu lalu yang mengutip teori Karl Marx.

Catatan Panjang Korupsi Kita

Catatan Panjang Korupsi Kita
Oleh Naim Emel Prahana

JALAN panjang mencapai hasil optimal penegakan supremasi hukum di Indonesia, masih sangat panjang. Seperti jalan yang sudah ditempuh dalam kaitannya “pemberantasan korupsi”. Ada banyak faktor yang perjalanan ke suprtemasi hukum secara ideal bisa dicapai bangsa ini.
Dari sekian upaya sejak masa orde lama hingga masa reformasi, pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia semakin ‘mengambang’ penanganannya. Diketahui ada beberapa lembaga pemberantasan korupsi yang masih dipelihara pemerintah. Antara lain; 1. Tim Tastipikor (Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi); 2. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi); 3. Kepolisian; 4. Kejaksaan; 5. BPKP. Sedangkan lembaga non-pemerintah seperti Media massa dan Organisasi massa—semisal ICW.

Dengan dasar hukum sejak orde lama Orde Lama awalnya menggunakan pasal KUHP dan UU 24/1960, 0rde baru menerbitkan dasar hukum UU 3/1971 , dan masa Reformasi meluncurkan pula dasar hukum pemberantasan korupsi dengan UU 31/1999 serta UU 20/2001.
Penanganan kasus korupsi yang membentang luas, butuh waktu, tenaga, pikiran dan dana, itu jika diefektifkan melalui suatu mekanisme dan sistem yang terpadu. Terutama antara lembaga pemerintah untuk pemberantasan korupsi (Tim Tastipikor, KPK, Kejaksaan, Polisi dan BPKP—yang sangat membutuhkan kesepahaman, untuk menghindari missaction (salah pengertian dalam penanganan di lapangan).
Namun, lembaga-lembaga di atas pun harus menghadapi sindikat peradilan hingga ke MA (Mahkamah Agung), MK (Mahkamah Konstitusi) dan KY (Komisi Yudisial). Dua kutub lembaga penegakan hukum di Indonesia itu, sepertinya tidak menghiraukan referensi hukum yang pernah diproses dan diputuskan oleh pengadilan. Akhirnya memunculkan image yang makin buruk di masyarakat.
Tanpa mengurangi arti dari tulisan ini, untuk tidak menyebut satu per satu kasus korupsi yang tertangani dan tersebar diberbagai sektor dan kasus korupsi yang tak pernah selesai diungkapkan dalam proses pemberantasan korupsi.
Karena, korupsi sangat erat dengan dunia birokrat, politik, pengusaha (pejabat publik (?)). Sodoran-sodoran atau pledoi (pembelaan) terhadap upaya pengungkapan dan proses hukum kasus korupsi, selalu menghiasi sistem demokrasi di Indonesia.
Jika menelaah unsur hukum dalam tindak pidana korupsi; perbuatan melawan hukum; - penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;-memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;-merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;-Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:-memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);-penggelapan dalam jabatan;-pemerasan dalam jabatan;-ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);-menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Seharusnya, pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia bisa mencapai 80%, yang hasil itu akan mempengaruhi penuntasan krisis multidimesional yang menimpa bangsa ini sejak 1999. Sayangnya, seperti di Jakarta, setiap hari penegakan disiplin lalulintas. Toh, kemacetan tetap terjadi di mana-mana. Yang akhirnya jalan macet tidak pernah tuntas dan itu merembet ke daereah hingga penyelenggaraan pemerintah terdepan, yaitu di kelurahan/pedesaan. Dalam mengelola/menggunakan berbagai dana bantuan.
Mungkin benar adanya, kondisi yang macet menuju penegakan supremasi hukum di Indonesia disebabkan hal klasik, yang sepanjang waktu diperdebatkan. Sampai kepada menerbitkan payung hukumnya berulang-ulang. Berarti, kelemahan yang sudah diketahui secara pasti, bisa jadi penegakan hukum atas kasus tindak pidana korupsi tak pernah terselesaikan—termasuk erat kaitannya dengan pejabat publik tadi.
Kelemahan-kelemahan itu, adalah pendukung maraknya korupsi seperti, keadaan yang mendukung munculnya tindak pidana korupsi, ditingkat kekuasaan pengambil keputusan di alam demokrasi, tidak bertanggungjawab langsung kepada rakyat, transparansi yang didengung-dengungkan pemerintah hanya slogan—sebenarnya nontranparancy. Kemudian dalam pemilu (termasuk pilkada) kehidupan politik terlalu besar mengeluarkan dana, tingginya volume KKN dalam hal peluncuran proyek-proyek besar yang anggarannya dari rakyat.

Kemudian, istilah pemerintah adalah kekuasaan, kekuasaan itu adalah benar, menjadikan makin lemahnya tertib hukum, rendahnya kadar profesi hukum dan kebebasan berpendapat melalui ‘kebebasan’ media massa terkebiri dengan kecondongan-kecondongan media massa saat ini kepada pemerintah atau pengusaha besar. Pemerintah selalu mengalihkan perhatian atas kasus-kasus yang terjadi dilingkungan dinas/instansi pemerintah atau menyangkut para pejabat dan keluarganya.
Sebenarnya, masyarakat sudah lama menginginkan perjuangan melawan tindak pindana korupsi berhasil mengamankan bangsa ini dari keterpurukan ekonomi, sampai saat ini. Namun, seperti diketahui berbagai lembaga, di samping lembaga pemerintah dan lembaga pemerintah nonstruktural serta lembaga non pemerintah dibentuk. Hasilnya belum terlihat sampai di level menengah.
Itu bersebab, sudah beberapa kali Transparency International dan PBB mengeluarkan daftar negara tertkorup di dunia dan negara yang paling bersih dari tindak pidana korupsi. Posisi Indonesia sangat, sangat memprihatinkan. Begitu luas cakupan tindak korupsi tersebut.
Kronisnya lagi, harapan untuk tegaknya supremasi hukum di Indonesia, selalu terganjal dialetika publik pemerintah. Puluhan jenis dan bentuk korupsi dengan ratusan modusnya; dari tingkat korupsi terberat hingga paling ringan yang gentanyangan di tengah masyarakat. Sampai kepada mengkorupsikan kriminalitas.
Oleh karenanya, pengutamaan penanganan kasus korupsi yang menjadi simbol hukum, ternyata penanganan kasus korupsi terlihat sebagai suatu proyek raksasa; di mana kebun-kebun besar yang digarap itu, ditargetkan akan menghasilkan panen yang cukup besar. Sama seperti proyek-proyek pemerintah yang selalu ‘mengambang’ jika ditemukan indikasi mark up, KKN dan korupsi.
Lebih parah lagi, ketika penanganan kasus korupsi masuk ke lembaga legislative, unsure kepentingan politik lebih besar ketimbang unsur kepentingan masyarakat luas. Kita belum tahu, bagaimana kelanjutan episode kasus jaksa Urip Tri Gunawan yang diduga menerima suap atas kasus BLBI untuk Bank BDNI miliknya Syamsul Nursalim beberapa hari lalu.
Karena cakupan korupsi itu sangat luas. Artinya tidak terbatas defenisi Korupsi dari bahasa Latin corruptio (corrumpere=busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Tetapi, bagaimana membuat solusi pemberantasan korupsi itu sendiri. Sebab, korupsi itu terkait erat dengan perilaku pejabat publik; politikus (politisi/pegawai negeri), dengan sadar secara tidak wajar dan ilegal memperkaya diri sendiri, dan atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka.
Jika demikian, maka sampai kepada kesimpulan bahwa, kejahatan korupsi merupakan tantangan paling serius terhadap pembangunan. Dan, kalau dikaitkan dengan politik, maka korupsi itu menghambat jalannya demokrasi dan good and clean governance (tata pemerintahan yang baik dan bersih)
Sepertinya, tindakan KPK masa Antasari harus didukung penuh, support (dukungan) itu setidaknya tidak membuat KPK dengan Antasari bangga. Sebab, seorang jaksa yang ditangkap. Akan muncul lagi jaksa-jaksa lain, hakim-hakim lain, polisi-polisi lain, pejabat pemerintah lain yang melakukan tindak yang sama (korupsi).

Artinya, jangan abaikan kepercayaan masyarakat atau jangan pula hanya sesaat melakukan gebrakan. Ketika pemerintah (dari presiden hingga menteri) turun tangan, lalu macet lagi ‘gebrakan’ tersebut. (penulis peminat masalah hukum, sosial politik dan praktisi pers)

Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 3/habis)

Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 3/habis)
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi pers pemerhati masalah sosial budaya dan hukum

Contohnya, penggunaan bahasa yang tidak lagi mengikuti norma-norma yang lazim. Kita disodorkan karya-karya terburuk di bidang bahasa oleh para wartawan media massa tertentu saat ini yang jumlahnya cukup banyak. Di Lampung saja, tidak ada satupun media cetak kelompok terbitan mingguan atau tabloid yang eksis terbit tiap minggu. Padahal, media cetaknya menulis format nama yang jelas “Surat Kabar Mingguan” , Tabloid yang terbit tiap minggu, 2 X seminggu, 1 X sebulan. Nyatanya, mereka sendiri melanggar komitmen jadwal penerbitan. Sampai kepada pelanggaran UU No 40/1999 tentang kewajiban mencantumkan nama dan alamat percetakannya.

Keempat, kebebasan pers yang mengacu kepada UU No 40/1999 tidak disertai peningkatan kualitas sebagian besar penerbitan pers di tanah air. Terbitnya surat-surat kabar mingguan di daerah atau di Jakarta kebanyakan tidak mempedulikan rambu-rambu pers yang ada. Dan, sebuah mingguan diterbitkan tanpa tiang pancang yang kokoh. Wajar, apabila beberapa kali terbit, langsung nyungsep (tenggelam, red) ke dasar sungai.
Fenomena dunia pers Indonesia saat ini memang menjadi perhatian hampir semua pihak dan insan pers beserta perangkat organisasinya pada akhirnya, banyak yang tidak berdaya menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi pada pers. Baik masalah internal maupun menghadapi masalah eksternal. Persoalan (masalah) internal dapat dikelompokkan lagi ke beberapa faktor.
Pembentuakan—pemekaran organisasi wartawan hingga ke tingkat kabupaten/kota, nyatanya tidak membawa angin segar terhadap kehidupan insan pers dengan kualitas profesi dan pelaksanaan tugas yang proporsional. Itu berarti pencerahan dan peningkatan kehidupan pers di daerah terabaikan secara otomatis, manakala kepentingan oknum-oknum pengurus organisasi kewartawanan lebih dominan ketimbang mengurus kepentingan organisasi wartawan.
Kelima, kehidupan insan pers yang menjadi penghuni pers saat ini cenderung mencari keselamatan diri sendiri. Baik organisasi wartawannya maupun insan persnya sendiri. Upaya menyelamatkan diri sendiri itu terlihat jelas. Di daerah, seorang wartawan berupaya dengan segala cara untuk mendapatkan sandaran pribadi kepada pemerintah (unsur muspida), atau kepada oknum-oknum pejabatnya. Dengan asumsi, jika mereka lebih dekat dengan pemerintah beserta unsurnya dan kepada individu pejabat di daerah mereka dapat menuntaskan persoalan himpitan ekonomi sampai kepada faktor keamanan dan kenyamanan menjalankan profesi jurnalistik.
Asumsi itu mendapat sambutan baik dari para pejabat di daerah. Karena, tidak sedikit pejabat di daerah menganggap seseorang wartawan itu ‘sukses’ dan ‘berhasil’ manakala pemberitaan-pemberitaannya sesuai dengan kehendak para pejabat. Tidak boleh ada kritik, tidak boleh ada kontrol sosial pelaksanaan roda pemerintahan di daerah, apalagi menyangkut kebijakan oknum pejabat. Arti kata, keberhasilan dan kesuksesan seseorang wartawan di daerah menurut sebagian besar pejabat adalah ketika seseorang wartawan mampu membungkamkan dirinya untuk tidak melakukan pemberitaan sebagaimana mestinya.
Strategi pemerintah daerah beserta pejabatnya untuk meredam ketajaman pena wartawan, diakui tidak lagi seperti di zaman orde baru. Namun, dampak yang ditimbulkan sangat membelenggu kehidupan pers itu sendiri. Untuk media-media massa yang terbit rutin, diupayakan terjalinnya kerjasama melalui kontrak kerja ‘berlangganan’ untuk sekian oplahnya setiap hari. Jika kontrak kerjasama itu tercapai, maka habislah profesi wartawan yang medianya sudah teken MoU dengan pemerintah daerah.
Berita-berita yang muncul senantiasa informasi-informasi tentang puji-pujian terhadap pelaksanaan program-program pemerintah, terhadap pejabat tertentu dan menutup pintu erat-erat tertutup aspirasi masyarakat tentang kejanggalan-kejanggalan program tertentu pemerintah. Di situ terjadi pembelengguan diri sediri oleh wartawan karena faktor finansil dan kenyamanan melaksanakan profesi. Berarti, si wartawan-wartawan seperti itu telah secara langsung menjual harga dirinya, profesionalismenya dan moralnya kepada kepentingan-kepentingan sesaat.

Demikian halnya terhadap keberadaan wartawan di tengah meriahnya pilkada di suatu daerah. Dengan mencondongkan atau membungkukkan diri kepada salah satu calon. Ditargetkan tujuan-tujuan tertentu dari sikap tersebut. Pertama, mengharapkan kucuran dana selama proses pilkada berlangsung—setidak-tidaknya dapat menerbitkan medianya sesuai jadwal dan kebutuhan sang calon kepala daerah yang memberikan dana. Kedua, dengan diterbitkan medianya melalui dana kucuran sang calon kepala daerah. Imbalannya adalah, bagaimana melakukan teror dan penyebaran informasi buruk kepada calon kepala daerah lainnya.
Atau memberikan porsi ‘mengada-ada’ berita besar si calon yang memberikan kucuran dana. Dengan membesar-besarkan si calon dan mengecilkan calon lainnya sekecil-kecilnya di mata publik. Kecenderungan yang terjadi saat ini di dunia pers kita, sangat memilukan. Trotorar pers yang sudah diundangkan atau peraturan kode etiknya sudah tidak diperhatikan lagi. Oleh karena itu, pemberitaan pers di era pilkada mempunyai peran besar terciptanya konflik di tengah masyarakat. Sebab, berita dan informasi yang disajikan banyak yang menyesatkan.
Dari sekian peristiwa, kejadian dan fenomena yang terjadi di dunia pers kita dewasa ini, perlu dibangun kembali kesepakatan untuk mendapatkan komitmen hukum yang jelas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pribadi-pribadi wartawan atau perusahaan pers yang menerbitkan media massa cetak, elektronik maupun visual.
Toleransi terhadap pribadi-pribadi wartawan yang merusak citra pers Nasional kita, harus ada ambang batasnya. Jika tidak ingin melihat kehancuran sistem pers kita di masa akan datang. Pasal standarisasi karya jurnalistik yang dibuat wartawan; harian, mingguan, tabloid atau majalah
Sebelum insan pers menuntut kebebasan, sangat diperlukan evaluasi di tubuh pers itu sendiri sebagaimana saya paparkan di atas. Dengan evaluasi, akan ditemukan pola apa untuk memperbaiki sistem dan mekanisme pers tersebut sebagaimana layaknya sebuah institusi yang berbasis profesi. Profesi itu mempunyai kode etik yang sudah disepakati. Jadi, mereka yang menyandang kartu pers yang tidak sama sekali membuat berita kurun waktu tertentu (misalnya, sebulan atau triwulan). Tanpa kompromi harus dikeluarka dari dunia pers. (habis)

Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 2)

Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 2)
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi pers pemerhati masalah sosial budaya dan hukum

Tetapi, bisakah kita sinkronisasikan kegiatan-kegiatan non jurnalistik atas nama jurnalistik itu ke dalam bentuk kegiatan rutin wartawan? Belum lagi pribadi-pribadi wartawan yang jelas, konkrit dan nyata melakukan tindakan sebagai pelaku penyebar ancaman kepada para pejabat yang tujuannya hanyalah sejumlah uang.
DI SISI lain, wartawan dan atau pers, juga menghadapi ancaman yang serius dalam menjalankan kegiatan rutinnya. Terutama menyangkut kritik sosial yang ditujukan kepada pemerintah atau pengusaha yang notabene berada dalam lingkungan kekuasaan dan politik.
Dan itu, pernah dialami majalah dan koran Tempo ketika menghadapi bagaimana lingkaran ancaman berhadapan dengan pengusaha yang sangat dekat dengan susu kekuasaan seperti dengan Polri. Pasal-pasal jurnalistik dalam kasus majalah Tempo dengan pengusaha Tomy Winata, sangat tidak dipahami pihak pengadilan yang hanya menerapkan pasal-pasal ‘kerjasama’ dan KUHP. Padahal, jurnalistik memiliki pedoman dan acuan sebagaimana UU No 40/1999.
Kita menginginkan pelaksanaan profesi jurnalistik, selain diawasi oleh UU Pers, Dewan Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Masyarakat pun harus mampu mengkritisi dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan jurnalistik yang memiliki kecenderungan pelaksanaannya di luar aturan profesi.
Adalah sesuatu hal yang salah manakala wartawan mengaku sebagai pengawas penggunaan bantuan-bantuan pemerintah seperti dana DAK, BOS, Schoolgrand dan dana lainnya dengan meminta imbalan sejumlah uang. “Kalau tidak akan diberitakan!” demikian penyebaran ancaman kepada sekolah-sekolah, terutama di pelosok pedesaan.
Ketika kita membicarakan diri wartawan dan mengevaluasi kebebasan pers. Itu, bukan berarti kita menepuk “air didulang”. Tetapi, lebih kepada peringatan-peringatan atas kasus-kaus yang sudah dan mungkin akan terulang kembali kejadiannya. Walaupun tidak dapat dikesampingkan, soal kesejahteraan wartawan dalam menjalankan profesi persnya menjadi salah satu faktor; kenapa wartawan berbuat nekat dan mengklaim dirinya sebagai aparat penegak hukum, pengadil dan penjatuh sanksi hukuman.
Memang tepat Kode Etik Jurnalistik itu harus benar-benar meresap dalam sanuibari setiap insan pers dan warga masyarakat. Ketika terjadi pelanggaran kode etik jurnalistik. Kemanakah warga akan memberikan laporan, mengadu atau melakukan gugatan—jikapelanggaran itu sudah memasuki wilayah tindak pidana kriminal. Misalnya pemerasan, intimidasi, pelecehan seksual, penyalahgunaan dan peredaran narkoba dan sebagainya.
Perusahaan pers pun harus memberikan hak-hak wartawan semaksimal mungkin, walau kondisi permodalannya tidak cukup untuk diandalkan. Namun, mengeksploatasi wartawan tanpa memberikan kewajiban perusahaan pers, akan menjadi percepatan terjadinya tindak kriminal dilakukan insan pers atau terjadinya pelanggaran kode etik jurnalistik—kemudian menjurus kepada delik-delik pers.
Demikian pula pimpinan-pimpinan perusahaan pers harus melakukan filterisasi dalam rekrutmen wartawan atau karyawan persnya. Bagaimanapun sekarang, wartawan itu dituntut untuk dapat memahami dan menjalankan (mengoperasikan) teknologi yang dipergunakan oleh pers. Misalnya mampu mengetik di komputer, memahami dan dapat menjalankan proses internet dan memahami rambu-rambu pers yang sudah ada.
Jika tidak, maka kebebasan pers yang dituntut insan pers selama ini akan menjadi bumerang. Artinya, kebebasan pers itu akan dijadikan tameng untuk melagalkan tindakan-tindakan nonjurnalistik. Misalnya, wartawan juga merangkap jadi LSM, menjadi pemborong, menjadi makelar kasus, menjadi bandar narkoba dan sebagainya.
Dalam prosesi demokrasi, seperti pemelihan kepala daerah (pilkada) atau pemelihan umum (pemilu). Selayaknya insan pers tidak meninggalkan filosofi, bahwa wartawan adalah melaksanakan kegiatan rutinnya bidang jurnalistik. Kendati (bolah-boleh saja) ia dibebani banyak hal oleh pimpinan media massanya. Misalnya mendapatkan iklan, melemparkan sekian eksamplar korannya atas hasil wawancara dengan tokoh dan sebagainya.
Tetapi, tugas utamanya secara rutin memberikan informasi kepadsa masyarakat melalui media masanya jangan sampai lupa. Kemudian, pemahaman selaku TS I tim sukses) salah satu calon kepala daerah, tidak serta merta menjual ideologinya. Tidak serta merta membuat berita pilkada melulu pada balon pilkadanya yang ditim-sukseskan.
Sejauh ini, tidak ada larangan kepada insan pers untuk menjadi anggota tim TS para calon kepala daerah. Akan tetapi, tidak boleh meninggalkan prinsip-prinsip jurnalistik (termasuk filosofi jurnalistik beserta peraturan peundang-undangannya). Kita pahami, dirambahkan ke wilayah hukum politik praktis oleh seseorang wartawan, karena benturan ekonomi yang dihadapinya.
Oleh karenanya, segenap insan pers harus membangun komitmen menghadapi wartawan-wartawan yang nakal yang melakukan tindak perbuatan pidana dengan segala macam modus operandinya. Pertama: penerbitan pers harus benar-benar selektif merekrut dan menerima menetapkan wartawan medianya. Faktor pendidikan, moral, mental dan perilaku calon wartawan harus jadi perhatian utama.

Kedua: penerbitan pers harus melihat kemampuan dan ketrampilan si calon wartawannya (wartawannya). Jika tidak mampu menguasai sarana dan prasarana teknologi komunikasi. Barangkali perlu untuk tidak direkrut, daripada nantinya akan membuat media massa tempat ia bekerja mengalami kesulitan.
Sebagai catatan, hingga saat ini lebih dari 50% jumlah wartawan—khususnya di Lampung menjadi pelaku tindak pidana dengan berbagai pola tindakan yang dilakukan. Salah satu contohnya melakukan pemerasan terhadap kepala-kepala sekolah, khususnya di pedesaan menyangkut pengelolaan dan penggunaan dana BOS, DAK dan dana bantuan lainnya.
Pada saat itu, banyak wartawan bertindak sebagai polisi, jaksa, bahkan menjadi hakim—yang dapat membuat orang itu menjadi salah. Situasi dan kondisi demikian kita sadari sepenuhnya, bahwa mereka hanya menginginkan sejumlah uang. Kadang hanya cukup untuk rokok sebungkus, wartawan tertentu itupun sudah pergi.
Ketiga: wartawan yang sudah banyak melakukan kerusakan menjadi klop ketika media tempatnya bekerja pun seenaknya terbit. Terbiutnya media massa (cetaknya) digantungkan kepada musim proyek, musim pilkada, musim kucuran dana koperasi, musim kucuran dana bantuan dari pusat untuik daerah (dan untuk sekolah-sekolah), terbit ketika APBD sudah disahkan. Akibat proses penerbitan media massa di Indonesia kurang bagus sejak diberlakukannya UU No 40/1999, maka penerbitan media cetak (khususnya) mengalami kesemberonoan, kesewenang-wenangan. Tanpa mengindahkan etika pers yang ideal.
Contohnya, penggunaan bahasa yang tidak lagi mengikuti norma-norma yang lazim. Kita disodorkan karya-karya terburuk di bidang bahasa oleh para wartawan media massa tertentu saat ini yang jumlahnya cukup banyak. Di Lampung saja, tidak ada satupun media cetak kelompok terbitan mingguan atau tabloid yang eksis terbit tiap minggu. Padahal, media cetaknya menulis format nama yang jelas “Surat Kabar Mingguan” , Tabloid yang terbit tiap minggu, 2 X seminggu, 1 X sebulan. Nyatanya, mereka sendiri melanggar komitmen jadwal penerbitan. Sampai kepada pelanggaran UU No 40/1999 tentang kewajiban mencantumkan nama dan alamat percetakannya. (bersambung)

Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 1)

Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 1)
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi pers pemerhati masalah sosial budaya dan hukum

DENGAN perasaan berat-berat ringan untuk mengupas realitas kehidupan para wartawan dewasa ini—terkait parca gerakan reformasi tahun 1998-an. Wartawan yang menghidupkan serta menghiasi dunia pers itu, merupakan pelaku kontrol yang efektif mengkritisi pelaksanaan roda pemerintahan dari berbagai aspek. Misalnya, aspek hukum, aspek agama, aspek profesi (onal), aspek norma sosial, aspek politik, aspek seni dan budaya dan aspek lainnya.
Di dalam UU No 40/1999 tentang Pers, juga di dalam aturan main perusahaan pers sudah sangat diketahui dan jelas. Bahwa, wartawan itu memiliki pendapatan dari hasil kerjanya yang memberikan report kepada penerbitan pers berupa informasi-informasi yang dilakukannya secara rutin.
Tetapi, pada garis horizontal maupun vertikal hampir sebagian besar wartawan di Indonesia tidak memiliki pendapatan (gaji) tetap sebagai imbalan tugas yang dikerjakannya secara rutinitas tadi. Kondisi itu, akan diperburuk lagi setelah reformasi, usaha untuk menerbitkan media cetak, elektronik dan audio visual sungguh-sungguh mudah dan gampang. Artinya, modal tetap sebagai faktor utama terbiatnya sebuah media. Sudah tidak jadi standar lagi.
Dengan modal sejutaan, seseorang atau sekelompok orang yang sepakat menerbitkan media cetak. Sudah dapat memiliki dan menerbitkan koran. Terutama koran kategori Mingguan atau Tabloid. Modal nekat dibarengi perilaku urakan, kekerasan, intimidasi atas nama pers menjadi “modal utama” . Persoalan, apakah kru media cetaknya memiliki SDM yang maksimal, itu tidak penting dan memang tidak digubris.
Fenomena dunia pers dewasa ini seperti uraian singkat di atas. Sudah menjadi trade mark di dunia pers kita yang terus menuntut kebebasan, kebebasan dan kebebasan yang luar biasa. Tanpa diimbangi pemenuhan tentang hak dan kewajiban. Seperti rangkuman hasil diskusi bertema “Wartawan Menjadi TS” yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalistik Indoensia (AJI) bersama Bengkel Jurnalistik (Sabtu, 28/6-2008) lalu di Bandarlampung.
Berbagai kajian, masukan, saran dan kritik terhadap pers, khususnya personifikasi wartawan dikedepankan. Intinya, apa yang terjadi terhadap profesi wartawan saat ini merupakan akibat dari rendahnya kesejahteraan wartawan, kurangnya modal menerbitkan media cetak, tidak adanya sanksi tegas terhadap pelanggaran profesi wartawan dan lainnya.
Barangkali, mendengar dan berupaya memahami bacaan terhadap perilaku insan pers kita (wartawan), siapapun menjadi gregetan banget! Terlebih lagi, wartawan-wartawan yang juga terjun ke dunia Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai upaya menghindari benturan-benturan sanksi hukum atas perbuatan-perbuatan yang atas nama jurnalistik. Tetapi, di lapangan lebih kepada sikap dan fungsi aparat penegak hukum; arogan, premanisme dan ancaman.
Lampung Post Minggu (Minggua, 20/6) kemarin menurunkan berita utama halaman berjudul “Diintimidasi Wartawan, Kakek Nekat Minum Racun!” (hal 3). Dapat dibayangkan, apa kerja seorang wartawan sehingga mengintimidasi korban pelecehan seksual. Bahkan, sesumbar akan menghukum ayah korban pelecehan seksual tersebut (kejadian di Lampung Timur).
Saya pikir semua perilaku itu, termasuk di Lampung Timur tersebut merupakan tindakan kejahatan. Bukan tindakan jurnalistik. Perbuatan kejahatan yang berlindung di balik status pers—wartawan itu sebenarnya merupakan tindak kejahatan yang serius. Dan, merupakan akibat rekrutmen wartawan yang tidak bagus. Hanya rekrutmen berdasarkan;” Kamu mau jadi wartawan, syaratnya siap mengedarkan koran, dan kartu pers bisa dimiliki apabila kamu bayar sekian ratus ribu........dan sebagainya”.
Wartawan dengan pola rekrutmen tidak benar itu, dalam melaksanakan tugasnya di lapangan, tidak diberi apa-apa. Kecuali kartu pers, bahkan, mereka tidak mengerti jurnalistik itu sendiri. Apalagi membuat berita yang layak dan merupakan karya jurnalistik.
Dunia pers kita semakin terseret ke dunia yang kacau balau. Sayangnya, begitu menjamur penerbitan media cetak. Fungsi Dewan Pers, Organisasi Kewartawanan, Kode Etik Jurnalistik dan aturan hukum yang berlaku. Selalu gagal menghadang perilaku yang jelas-jelas melanggar hukum tersebut.
Saat ini, ada beberapa masalah pokok yang digandrungi wartawan yang kondisinya hampir merata di seluruh pelosok tanah air. Pertama: dalam menjalankan profesinya banyak pribadi wartawan berperan sebagai aparat penegak hukum. Tindakan itu semata-mata untuk mendapatkan sejumlah uang.
Kedua, dalam menjalankan profesinya banyak pribadi wartawan melakukan tindakan-tindakan premanisme. Seperti sebelum bertemu dengan pejabat, harus menenggak minuman keras terlebih dahulu. Dengan maksud agar memiliki tingkat keberanian yang luar biasa. Sampai-sampai mengkonsumsi narkoba (misal inek/ekstasi, shabu). Kecenderungan itu dilakukan pribadi-pribadi wartawan untuk ia berharap, agar dirinya ditakuti dan selalu berani.
Ketiga, dalam menjalankan profesinya banyak pribadi-pribadi wartawan atas nama jurnalistik membawa pula bendera LSM. Maksudnya, data LSM itu disodorkan kepadanya sebagai jurnalis kemudian mendatangi pejabat atau dinas/instansi yang mempunyai masalah versi mereka.
Kondisi umum seperti itu memang tidak sehat, cenderung tidak menjalankan profesi jurnalistik walau mengatasnamakan pers. Misalnya ketika menjadi makelar proyek atau pengaman seorang rekanan untuk mendapatkan proyek. Jika tersandung masalah hukum. Begitu enteng dan mudahnya beralasan, bahwa mereka sedang menjalankan profesi jurnalistik? Padahal, itu hanyalah akal-akalan agar lepas dari jeratan hukum. Yang lebih kronisnya lagi, aparat penegak hukum (yang asli, polisi, kejaksaan dan TNI) begitu saja percaya diakalin demikian.
Keempat, banyak pribadi-pribadi wartawan itu menjadi mediator penyelesaian kasus-kasus dengan sejumlah imbalan uang. Mereka beranggapan dengan menyandang status wartawan (pers), orang akan ngeri dan takut dan kasusnya bisa diselesaikan. Termasuk wartawan yang menjadi ujung tombak untuk menggolkan diterimanya seseorang siswa di sekolah yang dikehendakinya.
Kecenderungan keempat di atas setiap hari kita hadapi, setiap hari kita baca beritanya ada saja wartawan yang berurusan dengan pihak berwajib karena melakukan kegiatan yang bukan kegiatan jurnalistik.
Kelima, saat ini banyak pribadi-pribadi wartawan membuat LSM sendiri. Dengan statusnya sebagai wartawan—walau tidak / jarang membuat berita dan punya LSM. Kecenderungan selanjutnya mereka secara rutin rata-rata 2 X sebulan mengajukan proposal minta bantuan ke pemerintah daerah di mana mereka bertugas dan berdomisili. Bahkan, proposal yang mereka buat dan ajukan bisa melebar ke pemerintah daerah lainnya. Itu, bukan soal boleh atau tidaknya melakukan kegiatan demikian.
Tetapi, bisakah kita sinkronisasikan kegiatan-kegiatan non jurnalistik atas nama jurnalistik itu ke dalam bentuk kegiatan rutin wartawan? Belum lagi pribadi-pribadi wartawan yang jelas, konkrit dan nyata melakukan tindakan sebagai pelaku penyebar ancaman kepada para pejabat yang tujuannya hanyalah sejumlah uang. (bersambung)

Politik ‘Ketergantungan’ Politik

Politik ‘Ketergantungan’ Politik
Oleh Naim Emel Prahana

KALAU boleh, saya suka dengan kecepatan berpikir dan mengatasi masalah. Hanya, harus diimbangi dengan kenyataan tapa latar belakang pembunuhan karakter. Hal ini terkait dengan kenaikan harga BBM oleh pemerintah per 23 Mei 2008 lalu. Yang sebelum sampai sekarang disambut hangat oleh masyarakat dengan unjukrasa.
Pemerintah adalah penguasa suatu negara. Bisa jadi penjajah masyarakatnya sendiri. Hanya ada beberapa negara saja yang mampu mendekati penerapan sistem demokrasi dalam penyelenggaraan kepemerintahannya. Bagi negara-negara yang hanya berteriak tentang sistem demokrasi. Tidak lebih tidak kurang para penguasanya (baca ‘pemimpin’) adalah sekumpulan penjajah.
Politik yang sangat terkenal di zaman penjajahan adalah politik ketergantuangan. Di mana, penguasa (pemerintah) membuat strategi dan meminit penyelenggaraan sistem pemerintahannya melalui pola ‘ketergantungan’.
Semakin besar ketergantungan rakyat kepada pemerintah, maka semakin kuatlah kedudukan dan kekuasaan pemerintah (penguasanya). Demokrasi hanyalah bagian dari diplomasi untuk menundukkan (menaklukkan) rakyat. Terutama rakyat yang sudah terbuka tingkat pendidikannya.
Jika rakta alias masyarakat suatu negara tidak begitu tergantung kepada pemerintahnya, maka posisi, kedudukan dan kekuasaan para penguasa akan menjadi lemah. Dan, bagaimana dengan negara Indonesia? Bacaan rakyat sudah terlalu menderita, luka, sengsara dan makin miskin serta melarat berkepanjangan. Sementara itu, pemilik modal, termasuk pejabat publik semakin mewah dalam kehidupan kekuasaan mereka.
Adalah hal yang keliru, ketika pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM yangs erta merta diikuti kucuran dana BLT dan kucuran dana bantuan bagi pelajar dan mahasiswa yang cukup signifikan jumlahnya.
Di mana, versi pemerintah mengatakan ada 400.000 mahasiswa miskin di Indonesia. Mereka akan dibantu dengan program beasiswa senilai Rp 500.000,- per mahasiswa per semester (6 bulan). Berarti, setiap bulannya mahasiswa hanya menerima sekitar Rp 83.000,- (delapan puluh tiga ribu rupiah).
Rasanya, program Mendiknas itu hanyalah akal-akalan. Uang Rp 83.000,- sebulan, apa yang dapat dinikmati? Kalau mahasiswa miskin, maka mereka tidak pernah dapat dan mampu kuliah. Seorang mahasiswa setiap bulannya mengeluarkan anggaran rata-rata di atas Rp 500 ribu.
Biaya-biaya yang harus dikeluarkan itu, antara lain untuk sewa kamar/kost, uang makan, uang transportasi, uang buku, dan uang kebutuhan skundair lainnya. Jika mahasiswa memiliki sepeda motor, maka biaya yang dibutuhkan semakin besar. Demikian pula kalau mahasiswa tidak memiliki motor. Artinya, naik angkutan kota, bisa bis atau angkot. Maka, biaya yang harus dikeluarkan tiap bulan sangat besar. Belum lagi biaya untuk alat tulis (ATK= alat tulis kuliah).
Wajar banyak pengamat mengatakan, kucuran dana Rp 500 ribu per mahasiswa per 1 semester pasca kenaikan harga BBM adalah politik pemerintah untuk menjinakkan mahasiswa. Dengan akumulasi bantuan demikian. Terlihat besar, tetapi jika dinyatakan dalam angka realitas kehidupan mahasiswa tiap hari dan bulannya. Angka besar itu hilang dalam pengurusan dan pengucapan belaka.
Beasiswa untuk mahasiswa miskin itu sangat tidak manusia dan tidak relevan dengan UUD 1945. tujuannya hanya untuk mempertahankan kekuasaan rezim penguasa. Namun, lain halnya jika program bantuan beasiswa itu dikemas dalam bentuk program lain. Hasilnya mungkin dapat dirasakan mahasiswa yang kurang mampu.
Apalagi lagi mekanisme pemberian bantuan beasiswa, kriteria mahasiswa miskin yang dimaksud pemerintah dan sebagainya belum jelas sama sekali. Apapun bantahan Mendiknas, Bambang Sudibyo tentang beasiswa sebesar Rp 500.000 per semester bagi 400.000 mahasiswa itu, tetap saja diragukan tujuan pemberiannya.
Bisa jadi hal itu adalah suap terhadap PT dan civitas akademikanya. Hal itu dikatakan dan diakui oleh Mendiknas saat berada di Bali. Kata Bambang, ''Pemberian bantuan kepada mahasiswa kurang mampu ini merupakan alat untuk meredam aksi mahasiswa yang menolak kenaikan harga BBM''
Oleh karena itu, masyarakat kampus harus ekstra hati-hati menyikapi, apalagi menerima bantuan beasiswa tersebut. Sudah banyak program bantuan untuk mahasiswa selama ini. Namun, pada kenyataannya hanyalah merupakan paket ‘peredam” aksi-kasi mahasiswa. Dan, bantuannya tidak pernah efektif. Karena dijadikan lahan proyek oleh oknum-oknum dilingkungan Depdiknas.
Seperti halnya bantuan-bantuan sejenis BOS, DAK, POP, Schoolgrand dan sebagainya—pada akhirnya menjadi sawah ladang oknum-oknum pejabat dilingkungan Depdiknas hingga Dinas Pendidikan di kabupaten/kota, yang berkabolarasi dengan kepala-kepala sekolah. (penulis peminat masalah hukum, sosial politik dan praktisi pers)

Teolog- Seniman, Aktor Pencerahan Budaya

Teolog- Seniman, Aktor Pencerahan Budaya
Endri Y. (Pecinta Sastra, tinggal di Lampung)

Pada zaman global, dimana sekat politik- geografis bukan lagi hambatan informasi. Saat inilah kebudayaan bukan hanya ditentukan akal budi manusia saja. Tetapi kapital, informasi, media, dan manusianya, semua memiliki peran strategis- ketergantungan.
Sedangkan esensi peta posisi budaya berada hanya pada hasil penciptaan para manusia yang telah tercerahkan. Dalam lingkup mencipta gerak budaya “yang tercerahkan” itu adalah seniman dan teolog. Keduanya menjadi pendulum kesejarahan yang terus diproduksi dan mereproduksi diri dalam hadirnya untuk memandu arah zaman.
Telaah Martin Buber yang terkenal, I require a you to become, becoming I, I say you. Jika dikaitkan dengan relevansi keterbukaan masyarakat yang tercermin dalam ranah budaya yang inklud pada kedirian, menemukan kebenarannya. Masuk di dalamnya akulturasi- akulturasi pada hampir semua diri- budaya sebagaimana filosofi Buber itu, “aku membutuhkan engkau untuk menjadi, sambil menjadi aku, aku berkata engkau”.
Dapat dikatakan, nafas semangat teolog adalah kemampuan untuk sejauh mungkin menembus medan- medan tersulit (fisik dan metafisik) untuk kemudian bersinergis “menjadi” manusia dengan dimensi watak ketuhanan. Sabar dan ikhlas. Memberi tanpa pamrih. Menebar cinta kasih. Kehidupannya lebur dalam lika- liku jalan immaterial. Dan tentu, selalu larut dalam pengembaraan- pengembaraan intelektual
Tidak jauh berbeda, seniman dalam ranah pengembara ke manifes mencerahkannya, senada dengan teolog. Ketika teolog bergerak pada ranah indrawi- batiniah ke ketentraman hidup “yang ada”. Seniman berjuang untuk mengantar estetika pada fisik- indrawi untuk eksis. Keduanya berkhidmat demi menjadi manfaat bagi manusia lain.
Adalah Gus Tf Sakai yang mengalirkan pembeda kategoris, antara agamawan dan seniman sebagai dua kutub pengarah dengan keberbagaiannya. Dia membuat eksistensi kesenimanan terlegitimasi untuk berbuat sesuatu dalam hidup dan kehidupan manusia, mengarahkan dan mengantarkan. Bedanya terletak pada beban nilai yang terbatas dan tidak terbatas. Kontekstual- eksklusif dan universal- inklusif.
Dalam paham ini, kedua pencerah (teolog dan seniman) itu sekarang berusaha melingkupi dan melampaui nilai yang dibawanya untuk kontekstual dan universal sekaligus.
Bagi seniman, yang dikenal berkarya dalam kandungan nilai universal mulai digagas karya seni yang kontekstual untuk kalangan sendiri, intern, dan spesifik. Indikator utamanya, marak komunitas dan karyanya tersegmentasi untuk komunitasnya. Pun teolog, yang tanda kajian- nasehatnya dulu eksklusif dan hanya beredar untuk kalangan sendiri kini melangkah ke aksi sosial, praksis semakin peduli pada universalisme kemanusiaan. Misalnya, peran agamawan yang aktif dalam kampanye hidup sehat, memberantas kemiskinan, dan semacamnya. Padahal dengan usaha mendekonstruksi teologi awalnya.

Radikalisasi Peran
Terkait dengan teori pemberontakan dengan anjuran cinta kasih sebagai manifestasi watak ketuhanan para teolog dan seniman ini, terjadi radikalisasi perubahan peran atau sekedar penyelarasan peran sesuai tuntutan zaman. Albert Camus, membuat peta ziarah intelektual atas kontemplasinya terhadap filsafat Eropa (Pemberontak, 2000) terjemahan dari buku (The Rebel, 1956).
Salah satu hasil permenungan Camus adalah Sade, yang membenarkan kebinalan manusia dalam term libido terkejam. Dimana logika itu pada dasarnya dibangun oleh hasrat, nafsu kebalikan dari pemikiran tradisional. Sade, sebagaiman dianalisis Albert Camus, memberikan pembenaran terhadap fitnahan, pencurian, dan pembunuhan dan kita diharapkan sabar terhadap kejahatan- kejahatan.
Dari sini, pengarusutamaan kepasrahan diri adalah kemutlakan absolut. Ketika seluruh institusi pengelompokan pengatasnama ‘pemberdayaan’ menjadi mitos, sekedar langkah- langkah dan celoteh utopis para agamawan atau seniman, rajutan kata- kata, teks- teks, karya- karya yang imajiner dan terkesan menipu. Sangat dibutuhkan peran radikal teolog dan seniman dalam ranah gerakan tersebut di atas. Bukan hanya berkutat pada kontekstual, universal, tetapi lebih pada praksis sosial dari produk pemikirannya. Yaitu terwujudnya kebudayaan global yang tercerahkan itu. Yang tentram dengan keberbagaiannya dan kebebasan nilainya.
Budaya, dalam kacamata untuk mengejawantahkan visi nun jauh ke depan, baik dalam rentang 10, 20, dan atau 30 tahun mendatang tentang prospek berkebudayaan perlu ada pembongkaran. Meminjam bahasa dalam judul buku terbitan Kompas, (September, 2007); “Membongkar Budaya, Visi Indonesia 2030” khususnya dalam rangka perancangan produk (product design) pencerahan teolog dan seniman, diperlukan rekonsiliasi dengan masa lalu.
Proyek rekonsiliasi berarti juga kesadaran untuk membangun spiritualitas. Dalam teori rekonsiliasi mempersyaratkan kesediaan memaafkan masa lalu.
Terkait dengan masa lalu, maka penting pula bagi kita untuk berjuang melawan lupa, meminjam bahasa Milan Kundera dalam buku The Book of Laughter and Forgetting __perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa__ sebab, “lupa” bagi para pencerah itu (teolog dan seniman) adalah musuh yang paling nyata. Baik itu dilupakan, terlupakan, atau bahkan melupakan. Kata sakral dalam peran pemegang mandat kultural.
Dilupakan, adalah penolakan atau peniadaan yang menjadi musuh sejati para seniman dan teolog. Karena karya seni dan teologi tujuan utamanya meng-ada-kan. Membuat prasasti, mengukir sejarah, meninggalkan jejak, monumen, dan untuk menegaskan “kehadiran” sebagai zeitgeist zaman.

Persepsi Tubuh Kebudayaan
Adalah Maurice Merleau- Ponty (1908- 1961) seorang filosof besar perumus fenomenologi dan termasuk di dalam kajian filsafatnya ada pendedaran hakekat persepsi tubuh. Untuk sampainya pada pembacaan “persepsi tubuh kebudayaan kita” perlu diperhatikan bahwa, bagi Merleau Ponty istilah “persepsi” mempunyai arti lebih luas daripada mata mengamati suatu subyek. Sebetulnya istilah itu meliputi seluruh hubungan kita dengan dunia, khususnya pada taraf indrawi.
Dengan demikian persepsi secara langsung berkaitan dengan dunia, tubuh, dan intersubyektivitas. Bahkan lebih lanjut, persepsi digunakan untuk menunjukkan pertautan antara dunia dan tubuh, perpaduan tubuh dan dunianya. Persepsi dalam arti psikologis juga sebagai aktus kesadaran (pengamatan). Dari persepsi inilah kita dapat menyentuh langsung denyut nadi, sebagai penanda adanya kehidupan artefak dan karya pencerahan.
Denyut nadi itu adalah gerakan- gerakan lembaga, institusi, dan lain semacamnya yang menaungi atau dijadikan tempat bernaung karya seni dan teologi. Sedangkan tubuhnya adalah seniman dan teolog. Maka, bagaimana persepsi itu bergerak, sebagaimana pula tubuh itu menggerakkan.
Persepsi tidak akan bergerak jika tubuh tidak pernah beranjak dari tempat berdirinya. Penggerakan persepsi adalah juga pergerakan tubuh, adiluhungnya matan nilai- nilai altruis, semangat membuat transformasi sosial, membangun tanda- tanda, sampai pada penyuguhan hiburan serta ketentraman adalah muatan kebajikan produksi karya seni dan teologi.
Di ranah tubuh budaya yang mampu menggiring manusia ke pergerakan menuju kutub- kutub matrial di luar kesejatiannya sebagai manusia, sangat diperlukan basis pengembang nilai, pengumpul tatal- tatal altruis yang berserakan untuk mampu menegasikan budaya ke proses pencerahan paripurna. Dan tidak ada yang lebih mampu untuk tugas estetis seberat itu selain seniman dan teolog. (*)

Sastra Indonesia: Kaum Muda Dan Perempuan

Sastrawan Lampung

Sastrawan Lampung
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.


1. Agus S. Santo
2. Ahmad Rich
3. Ahmad Yulden Erwin
4. Alex R. Nainggolan
5. A.M. Zulqornain
6. Andriansyah
7. Anton Kurniawan
8. Ari Pahala Hutabarat
9. Aris Hadianto
10. Bahirul Al-Varizi
11. Bambang Karyawan HB
12. Binhad Nurrohmat
13. Budi Elpiji
14. Budi P. Hatees
15. Christian Heru Cahyo Saputro
16. Dadang Ruhiyat
17. Dahta Gautama
18. Dina Oktaviani
19. Djuhardi Basri
20. Dyah Merta
21. Edy Samudra Kertagama
22. Elya Harda
23. Fitri Yani
24. Gunawan Pharikesit
25. Hasanuddin Z. Arifin
26. Hendra Z.
27. Hendri Rosevert
28. Iin Mutmainnah
29. Imas Sobariah
30. Inggit Putria Marga
31. Isbedy Stiawan ZS
32. Iswadi Pratama
33. Ivan Sumantri Bonang
34. Iwan Nurdaya-Djafar
35. Jimmy Maruli Alfian
36. Kuswinarto
37. Lupita Lukman
38. M. Arman AZ.
39. Maulana Suryaning Widy
40. M. Yunus
41. Naim Emel Prahana
42. Nersalya Renata
43. Oyos Saroso HN
44. Panji Utama
45. Rahmadi Lestari
46. Ratno Fadillah
47. Rifian A. Chepy
48. Sugandhi Putra
49. Sutarman Sutar
50. Sutjipto
51. Syaiful Irba Tanpaka
52. Tarpin A. Nasri
53. Thamrin Effendi
54. Ucok Hutasuhut
55. Udo Z. Karzi
56. Y. Wibowo