Sabtu, 20 September 2008

Catatan Panjang Korupsi Kita

Catatan Panjang Korupsi Kita
Oleh Naim Emel Prahana

JALAN panjang mencapai hasil optimal penegakan supremasi hukum di Indonesia, masih sangat panjang. Seperti jalan yang sudah ditempuh dalam kaitannya “pemberantasan korupsi”. Ada banyak faktor yang perjalanan ke suprtemasi hukum secara ideal bisa dicapai bangsa ini.
Dari sekian upaya sejak masa orde lama hingga masa reformasi, pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia semakin ‘mengambang’ penanganannya. Diketahui ada beberapa lembaga pemberantasan korupsi yang masih dipelihara pemerintah. Antara lain; 1. Tim Tastipikor (Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi); 2. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi); 3. Kepolisian; 4. Kejaksaan; 5. BPKP. Sedangkan lembaga non-pemerintah seperti Media massa dan Organisasi massa—semisal ICW.

Dengan dasar hukum sejak orde lama Orde Lama awalnya menggunakan pasal KUHP dan UU 24/1960, 0rde baru menerbitkan dasar hukum UU 3/1971 , dan masa Reformasi meluncurkan pula dasar hukum pemberantasan korupsi dengan UU 31/1999 serta UU 20/2001.
Penanganan kasus korupsi yang membentang luas, butuh waktu, tenaga, pikiran dan dana, itu jika diefektifkan melalui suatu mekanisme dan sistem yang terpadu. Terutama antara lembaga pemerintah untuk pemberantasan korupsi (Tim Tastipikor, KPK, Kejaksaan, Polisi dan BPKP—yang sangat membutuhkan kesepahaman, untuk menghindari missaction (salah pengertian dalam penanganan di lapangan).
Namun, lembaga-lembaga di atas pun harus menghadapi sindikat peradilan hingga ke MA (Mahkamah Agung), MK (Mahkamah Konstitusi) dan KY (Komisi Yudisial). Dua kutub lembaga penegakan hukum di Indonesia itu, sepertinya tidak menghiraukan referensi hukum yang pernah diproses dan diputuskan oleh pengadilan. Akhirnya memunculkan image yang makin buruk di masyarakat.
Tanpa mengurangi arti dari tulisan ini, untuk tidak menyebut satu per satu kasus korupsi yang tertangani dan tersebar diberbagai sektor dan kasus korupsi yang tak pernah selesai diungkapkan dalam proses pemberantasan korupsi.
Karena, korupsi sangat erat dengan dunia birokrat, politik, pengusaha (pejabat publik (?)). Sodoran-sodoran atau pledoi (pembelaan) terhadap upaya pengungkapan dan proses hukum kasus korupsi, selalu menghiasi sistem demokrasi di Indonesia.
Jika menelaah unsur hukum dalam tindak pidana korupsi; perbuatan melawan hukum; - penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;-memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;-merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;-Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:-memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);-penggelapan dalam jabatan;-pemerasan dalam jabatan;-ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);-menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Seharusnya, pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia bisa mencapai 80%, yang hasil itu akan mempengaruhi penuntasan krisis multidimesional yang menimpa bangsa ini sejak 1999. Sayangnya, seperti di Jakarta, setiap hari penegakan disiplin lalulintas. Toh, kemacetan tetap terjadi di mana-mana. Yang akhirnya jalan macet tidak pernah tuntas dan itu merembet ke daereah hingga penyelenggaraan pemerintah terdepan, yaitu di kelurahan/pedesaan. Dalam mengelola/menggunakan berbagai dana bantuan.
Mungkin benar adanya, kondisi yang macet menuju penegakan supremasi hukum di Indonesia disebabkan hal klasik, yang sepanjang waktu diperdebatkan. Sampai kepada menerbitkan payung hukumnya berulang-ulang. Berarti, kelemahan yang sudah diketahui secara pasti, bisa jadi penegakan hukum atas kasus tindak pidana korupsi tak pernah terselesaikan—termasuk erat kaitannya dengan pejabat publik tadi.
Kelemahan-kelemahan itu, adalah pendukung maraknya korupsi seperti, keadaan yang mendukung munculnya tindak pidana korupsi, ditingkat kekuasaan pengambil keputusan di alam demokrasi, tidak bertanggungjawab langsung kepada rakyat, transparansi yang didengung-dengungkan pemerintah hanya slogan—sebenarnya nontranparancy. Kemudian dalam pemilu (termasuk pilkada) kehidupan politik terlalu besar mengeluarkan dana, tingginya volume KKN dalam hal peluncuran proyek-proyek besar yang anggarannya dari rakyat.

Kemudian, istilah pemerintah adalah kekuasaan, kekuasaan itu adalah benar, menjadikan makin lemahnya tertib hukum, rendahnya kadar profesi hukum dan kebebasan berpendapat melalui ‘kebebasan’ media massa terkebiri dengan kecondongan-kecondongan media massa saat ini kepada pemerintah atau pengusaha besar. Pemerintah selalu mengalihkan perhatian atas kasus-kasus yang terjadi dilingkungan dinas/instansi pemerintah atau menyangkut para pejabat dan keluarganya.
Sebenarnya, masyarakat sudah lama menginginkan perjuangan melawan tindak pindana korupsi berhasil mengamankan bangsa ini dari keterpurukan ekonomi, sampai saat ini. Namun, seperti diketahui berbagai lembaga, di samping lembaga pemerintah dan lembaga pemerintah nonstruktural serta lembaga non pemerintah dibentuk. Hasilnya belum terlihat sampai di level menengah.
Itu bersebab, sudah beberapa kali Transparency International dan PBB mengeluarkan daftar negara tertkorup di dunia dan negara yang paling bersih dari tindak pidana korupsi. Posisi Indonesia sangat, sangat memprihatinkan. Begitu luas cakupan tindak korupsi tersebut.
Kronisnya lagi, harapan untuk tegaknya supremasi hukum di Indonesia, selalu terganjal dialetika publik pemerintah. Puluhan jenis dan bentuk korupsi dengan ratusan modusnya; dari tingkat korupsi terberat hingga paling ringan yang gentanyangan di tengah masyarakat. Sampai kepada mengkorupsikan kriminalitas.
Oleh karenanya, pengutamaan penanganan kasus korupsi yang menjadi simbol hukum, ternyata penanganan kasus korupsi terlihat sebagai suatu proyek raksasa; di mana kebun-kebun besar yang digarap itu, ditargetkan akan menghasilkan panen yang cukup besar. Sama seperti proyek-proyek pemerintah yang selalu ‘mengambang’ jika ditemukan indikasi mark up, KKN dan korupsi.
Lebih parah lagi, ketika penanganan kasus korupsi masuk ke lembaga legislative, unsure kepentingan politik lebih besar ketimbang unsur kepentingan masyarakat luas. Kita belum tahu, bagaimana kelanjutan episode kasus jaksa Urip Tri Gunawan yang diduga menerima suap atas kasus BLBI untuk Bank BDNI miliknya Syamsul Nursalim beberapa hari lalu.
Karena cakupan korupsi itu sangat luas. Artinya tidak terbatas defenisi Korupsi dari bahasa Latin corruptio (corrumpere=busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Tetapi, bagaimana membuat solusi pemberantasan korupsi itu sendiri. Sebab, korupsi itu terkait erat dengan perilaku pejabat publik; politikus (politisi/pegawai negeri), dengan sadar secara tidak wajar dan ilegal memperkaya diri sendiri, dan atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka.
Jika demikian, maka sampai kepada kesimpulan bahwa, kejahatan korupsi merupakan tantangan paling serius terhadap pembangunan. Dan, kalau dikaitkan dengan politik, maka korupsi itu menghambat jalannya demokrasi dan good and clean governance (tata pemerintahan yang baik dan bersih)
Sepertinya, tindakan KPK masa Antasari harus didukung penuh, support (dukungan) itu setidaknya tidak membuat KPK dengan Antasari bangga. Sebab, seorang jaksa yang ditangkap. Akan muncul lagi jaksa-jaksa lain, hakim-hakim lain, polisi-polisi lain, pejabat pemerintah lain yang melakukan tindak yang sama (korupsi).

Artinya, jangan abaikan kepercayaan masyarakat atau jangan pula hanya sesaat melakukan gebrakan. Ketika pemerintah (dari presiden hingga menteri) turun tangan, lalu macet lagi ‘gebrakan’ tersebut. (penulis peminat masalah hukum, sosial politik dan praktisi pers)

Tidak ada komentar: