Sabtu, 20 September 2008

Defisit Moralisme Kekuasaan

Defisit Moralisme Kekuasaan
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi sosial politik, seni budaya dan praktisi pers

Negeri kita saat ini benar-benar seperti potret “panggung sandiwara”, sekian ratus pemimpinnya yang mengenakan topeng-topeng. Yang sulit dikenal raut wajahnya ketika marah, benci dan tersenyum. Sudah tak ada bedanya dengan penampilan kebanyakan wanita-wanitanya yang berbaju dan bercelana super ketat. Tapi, tubuhnya sudah sedemikian rapuh. Sehingga tidak ada isi otot dan bagian tubuh lainnya. Semua sudah sangat kendur.
Hampir tiada waktu, masyarakat dipertontonkan sandiwara perdebatan dalam naskah ‘permainan’ para badut. Padahal, masyarakat sudah lama memandang dengan sikap sinisme dan apatisme. Jika pandangan masyarakat itu sudah hampir menyentuh semua lapisan. Maka, apapun yang direncanakan, diprogramkan dan dilaksanakan. Pastilah gagal. Dan, kegagalan itu dalam naskah panggung sandiwara adalah tujuan para pemainnya.
Paradigma kekusaan yang dipertontonkan, kendati ancaman kritik pedas dari masyarakat. Namun, filosofi “biarkan anjing menggonggong, kafilah terus berlalu” sudah menjadi trade mark petinggi di negeri ini. Seperti kasus BLBI—ke dihentikannya kasus bertiras puluhan triliun itu kemudian kasus suap 600 ribu dolar dan sidang kasus tersebut yang melibatkan jaksa terbaik di Indonesia. Ternyata masih meragukan mengenai penegakan hukum kita. Rasa keadilan dan ketertindasan rakyat akibat kasus BLBI, Ayin hanya diancam hukuman 5 tahun penjara.
Sedangkan, eberapa jaksa agung muda yang terlibat kasus tersebut, hanya dikenakan sanksi administrasi internal Kejaksaan Agung belaka. Ironis memang, di tengah gencarnya propaganda pemberantasan korupsi. Kasus-kasus korupsi hanya dijadikan mainan aparat penegak hukum itu sendiri.
Korupsi dan suap merajalela, baik di DPR-RI, Mahkamah Agung, hingga ke dinas/istansi maupun badan serta perusahaan negara. Politik uang telah memberikan gambaran betapa bobroknya para elite pemimpin bangsa yang tengah berkuasa. Ilmu para koruptor kelas elite negeri kita ini, selalu menantang dan menyuarakan anti korupsi. Dan, jika tertangkap ulah nyeleneh dipertontonkan. Seperti, alasan sakit menjadi senjata mengulur-ulur waktu pemeriksaan terhadap diri mereka.
Moralisme para petinggi—pemimpin—politis negeri, sudah demikian lemah, sehingga tidak mampu melawan godaan materi atau harta benda duniawi. Alasan apapun, tidak akan mampu melawan alasan dan faktor moral yang lemah. Korupsi bukanlah akibat tekanan ekonomi belaka atau karena minimnya pemahaman agama. Korupsi disertai kolusi dan nepotisme, merupakan gaya hidup manusia Indonesia yang terkena dampak globalisasi dan disebabkan tidak mampu untuk mencitrakan diri dalam dirinya sendiri.
Soal kesulitan pemenuhan kebutuhan hidup, seperti diungkapkan oleh seorang dosen Universitas Muhammadiyah Metro (UMM) dalam diskusi belum lama ini, kecenderungan melakukan korupsi (+kolusi dan nepotisme) sangat kecil. Ditambah lagi karena merosotnya nilai-nilai pendidikan agama dalam masyarakat Indonesia.
Sulitnya kebutuhan hidup mempunyai kecenderungan yang sangat kecil terhadap praktek korupsi. Sebab, korupsi dilakukan oleh orang-orang yang mapan dalam kehidupannya. Karena mereka memiliki status sosial yang tinggi, seperti pejabat gubernur, bupati, walikopta beserta wakilnya beserta pejabat teras daerah lainnya. Termasuk para menteri dan pembantunya dan para pengusaha.
Kalau dikatakan mereka terdesak kebutuhan hidup. Sangatlah tipis teori tersebut. Faktor agama karena mereka tidak mau menyadari apa yang mereka sadari tentang perbuatan buruk yang merugikan orang banyak. Kemudian, adalah betul faktor keserakahan. Akan tetapi, serakah tanpa jabatan sosial, maka korupsi tidak akan terjadi seperti sekarang ini.
Korupsi yang dikenal sekarang—konotasinya berkaitan dengan uang. Padahal awalnya hanyalah akibat korupsi bentuk lain, yaitu korupsi waktu, korupsi jabatan, korupsi wewenang, korupsi undang-undang (peraturan) dan korupsi lainnya—yang kemudian dikenal dengan kolusi dan nepotisme.
Kalau di zaman orde baru tindak korupsi dilakukan secara teratur dan terorganisir dalam satu mata rantai kekuasaan. Tetapi, pasca reformasi, tindak pidana korupsi tidak lagi terorganisir sebagaimana di zaman orba. Akan tetapi, bisa diorganisir, terjadi karena individual dan kolektif tapi bukan suatu jaringan korupsi.
Saat ini tindakan korupsi sepertinya naskah film kolosal yang melibatkan banyak orang dan orangnya berasal dari klasifikasi sosial apapun. Korupsi selalu terencana dan terprogram dengan baik. Tidak mungkin korupsi itu hanya terjadi secara spontan yang nama spontan masuk dalam kategori maling, pencuri atau tindak kriminal biasa. Sedangkan korupsi—walau ada unsur ‘maling’ atau mengambil barang milik orang/badan/negara untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok. Tetapi, pengelompokannya tidak seperti tindak pidana mencuri ayam atau uang milik pemilik warung.
Sebenarnya, perbuatan korupsi itu diakibatkan karena ketidakmampuan seseorang atau kelompok untuk meminit kebutuhan hidup (life style) akibat pengaruh perkembangan dunia yang sedang dan sudah terjadi. Terutama gaya hidup yang memprioritaskan kebutuhan skundair atau tersier sebagai kebutuhan utama. Misalnya gaya hidup belanja di supermarket besar, gaya hidup weekend yang berlebihan dan trend pergaulan yang memakan biaya tinggi dan sebagainya.
Korupsi itu dapat terjadi kepada siapa saja, tidak hanya pejabat (pegawai pemerintah) tetapi siapapun yang tidak mampu mengendalikan kebutuhan hidupnya. Maka, pintu perbuatan korupsi akan mudah terbuka. Apalagi di tubuh partai politik yang rentan dengan gaya hidup selebritisnya. Demi memuluskan jalan menuju kekuasaan atau demi mempertahankan kekuasaan, teman yang baik pun boleh dikhianati. Karena dalam arena kekuasaan dan politik khususnya selalu berlaku adagium, "tidak ada teman abadi, yang ada adalah kepentingan". Atau dalam politik, kepentingan adalah panglima.
Demikian pula yang dimaksud dengan korupsi berjemaah. Artinya, sebagian besar masyarakat kita sudah mengalami kekurangan pemahaman soal etika moral dalam hidupnya (defisit). Karena estetika, etika dan moralnya terus berkurang, tidak pernah surplus. Akibatnya adalah ketidakmampuannya menghadapi rayuan duniawi dengan gaya hidup masyarakat yang gemerlapan.

Tidak ada jalan lain, untuk memulai jalan pintyas memberantas praktek korupsi (+kolusi dan nepotisme), mulai dari kontrol aktif masyarakat yang sudah demokratif, agar ruang demokrasi itu dapat digunakan sebaik mungkin untuk dijadikan deliberasi. Deliberasi adalah bentuk keterlibatan aktif rakyat dalam mengontrol dan mengawasi pelaksanaan jalannya pemerintahan (negara).
Mungkin ada baiknya mengutip pernyataan bijak soal moralitas tadi, menurut Immanuel Kant, hukum moral merupakan suatu kewajiban dan hukum batas moral. Duty and obligation are the only names 'for' our relation to the moral law.artinya penyelewengan moral itu yang sekian lama ditutup-tutupi penguasa dan kroninya, harus dibongkar habis melalui peran aktif masyarakat.
Moralitas seluruh bangsa akan teracuni jika tidak ada martabat dalam pemerintahan ( When there is a lack of honor in government, the morals of the whole people are piosened), demikian Herbert Hooenr presiden ke 31 AS mengungkapkan persoalan baik tidaknya pemerintah yang dikaitkan dengan martabat (moral). Ungkapan tajam Herbert itu dikatakannya tahun 1961. lalu, diktuip oleh harian The New York Time (edisi 9 Agustus 1961).
Komentar terkejam diperlihatkan oleh William Gladsrone—salah seorang Perdana Menteri Inggris tahun 60-an, yang mengatakan sejarah pemerintahan merupakan salah satu wajah paling bejat dari umat manusia. Sedangkan Karl Marx mendudukan moralitas manusia ke dalam bangunan atas ideologis yang hanya berfungsi melegitimasikan struktur-struktur kekuasaan yang mapan. Harapan bahwa perbaikan moralitas para penguasa akan menunjang perbaikan dalam kehidupan masyarakat, dianggap naif, kolot, tidak realistis, bahkan dicurigai sebagai ideologis sendiri.
Sejak saat itulah defisit yang akhirnya mengalirkan inflasi moralisme membuahkan praktek yang sama oleh inflasi penyelewengan, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para penguasa dan pengabaian terhadap nasib rakyat yang kurang beruntung.
(Bagaimanapun, moralitas tetap menjadi sosok yang abstrak, entah betapapun kerasnya ia disuarakan dan sangat gencar dalam wacana dan diskursus publik. Sebab, moralitas dalam konteks apa pun, terutama dalam konteks kekuasaan, bukan menyentuh unsur privat, melainkan justru bersentuhan dengan moralitas publik, seperti kejujuran, keterbukaan, keadilan, kesejahteraan dan kebaikan. Moralitas itu menjadi bermanfaat sejauh diakomodasikan dalam bentuk kontrol dan kritik publik dengan aturan main lain yang sifatnya "mengikat" diikuti segala sanksi hukumnya)—kata Direktur Social Development Center Jakarta beberapa waktu lalu yang mengutip teori Karl Marx.

Tidak ada komentar: