Sabtu, 12 September 2009

Relawan Ganyang Malaysia Latihan Beladiri

Metro Malam / Metropolitan / Senin, 7 September 2009 00:02 WIB
Metrotvnews.com, Jakarta: Puluhan relawan ganyang Malaysia, Ahad siang (6/9), menggelar latihan beladiri di Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka latihan uji kekebalan tubuh. Ini bagian dari persiapan mereka untuk diberangkatkan menentang klaim dan arogansi Malaysia.
Pemerintah sudah berulangkali menegaskan relawan sipil tak boleh terlibat konflik fisik dengan Malaysia. Toh, mereka membandel. Mereka siap diberangkatkan mempertahankan kedaulatan Indonesia melawan Malaysia.
Latihan beladiri dan kemiliteran yang digelar Posko Ganyang Malaysia di Jalan Diponegoro 58, buktinya. Mereka terus mengasah kemampuan, mulai dari kekebalan tubuh sampai kemahiran teknik dasar berperang. Sejauh ini lebih dari 500 orang sudah mendaftar menjadi relawan.(*)

Pemuda UMNO Datangi Kedubes RI

Headline News / Internasional / Jumat, 11 September 2009 19:02 WIB
Metrotvnews.com, Kuala Lumpur: Sejumlah unsur pemuda dari partai berkuasa di Malaysia, UMNO mendatangi Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, Malaysia, Jumat (11/9). Mereka menyampaikan sikap terkait maraknya unjuk rasa anti-Malaysia di Indonesia yang kerap diwarnai pembakaran bendera negara jiran tersebut.
Pemuda UMNO meminta Pemerintah Indonesia bertindak tegas terhadap kelompok masyarakat yang dinilai ingin merusak hubungan baik kedua negara. Mereka juga meminta media massa di Indonesia bertanggung jawab dan menghentikan provokasi terhadap emosi rakyat Indonesia serta berhenti membuat sensasi isu-isu yang merusak hubungan kedua negara.(BEY)

Rabu, 02 September 2009

Hermansyah: Golkar—KPU Cabut Keputusannya


PENGACARA Rozy Yassin penggugat KPU dan DPD II Partai Golkar Metro, hermansyah SH mengatakan kepada mediasi, Rabu (2/9) kemarin, bahwa tuntutan gugatan mereka tetap seperti semula, DPD II PG dan KPU Metro mencabut keputusannya.
Hal itu dikatakan Hermansyah kepada LE, sore kemarin (2/9) dari hasil dialog mereka dengan mediasi PN Metro, Agustina SH MH yang dilakukan usai sidang perdana gugatan Rozy Yasin terhadap penggugat KPU.
Dalam penjelasannya melalui ponsel kemarin malam, Hermansyah menjelaskan pihak mediator menanyakan hal itu kepada dirinya kemarin soal tuntutan gugatan. Menurut Hermansyah, pihak KPU siap mencabut keputusannya yang membatalkan Rozy Yasin asal DPD II PG Metro mencabut lebih dulu keputusan pergantian penetapan caleg terpilih dari PG itu.
“Pada prinsipnya KPU tidak keberatan, yang penting, DPD II PG mencabut keputusannya yang melengserkan Rozy Yasin itu,” jelas Hermansyah.
Di sisi lain, kuasa hukum DPD II PG Metro, Yulius Prayitno dan Bambang Handoko yang dikirim oleh Alzier Dianis Thabrani menurut Hermansyah, mereka akan melaporkan masalahnya ke DPD II PG Metro, sebelum mengambil keputusan.
Hemansyah yakin, kalau keputusan yang diambil KPU Metro dan DPD II PG Metro itu salah, sebagaimana diungkapkan mediasi PN metro, Agustina SH kepada pengacara penggugat.
“Itu disampaikan mediator perkara kemarin kepada saya,” ungkap hermansyah yang sore kemarin sudah kembali ke Jakarta.
Walaupun demikian, Hermansyah yakin keputusan DPD II PG Metro itu tidak akan dirubah, karena keputusannya ada di tangan Alzier Dianis Thabrani.
“Saya yakin hal itu tidak akan berubah, kalau tidak berubah, kita hanya menunggu keputusan pengadilan saja nanti,” tegas Hermansyah. (DA-17)

Hanya Berlangsung Delapan Menit



Sidang Perdana Gugatan Kader Golkar
Metro Timur, LE
Sidang perdana gugatan kader Golkar kepada KPU Kota Metro dan DPD II Partai Golkar Metro sebagai turut tergugat, Rabu (2/9) di Pengadilan Negeri Metro hanya berjalan delapan menit, langsung ditunda Ketua Majelis Hakim, Yohanes Panji Parwoto, SH dan menyerahkan kelanjutan sidang itu pada mediator kedua belah pihak, Agustina SH MH dari pengadilan tersebut.
Sidang gugatan Nomor 06/Pdt.G/2009/PN.M kemarin seyogyanya akan digelar pukul 09.00 WIB, akan tetapi baru dibuka pada pukul 11.40 WIB dan ditutup pada pukul 11.48 WIB.
Majelis hakim terdiri dari Yohanes Panji Parwoto SH (ketua), Victor Togi Ramakorba SH dsan Hj Sukmawati SH MH (anggota) dalam sidang perdana kemarin, belum bicara banyak, kecuali menanyakan surat-surat kuasa para pengacara dan meminta surat kuasa tersebut.
Dalam kesempatan itu, Yohanes Panji Parwoto mengatakan kepada kedua belah pihak, terutama kepada penggugat, “apakah materi gugatan akan ditambah?”
Menurut Hermansyah DIK SH, isi materi gugatannya untuk sementara tidak akan mengalami perubahan. Kemarin dalam sidang tersebut, Hermansyah didampingi tim pengacara lain penggugat, Hadri Abunawar SH.
Sidang kemarin menghadirkan lima komisioner KPU Metro, Buyung Syukron, Dadang Karya Bakti, Rahmatullah Ummah, Solihin dan Agus. Dari kelima komisioner KPU Metro itu, terlihat jelas ketegangan di wajah mereka.
Bahkan, Buyung Syukron mirip seperti anak SMA yang sedang berkemah dengan membawa tas gendong di punggungnya. Sementara kuasa hukum mereka Dedi Mawardi SH dan Osef Dodi SH berkali-kali menanyakan jadwal sidang yang sempat molor.
Usai sidang perdana selama delapan menit di PN Metro kemarin, masing-masing pihak bergantian menemui mediator kasus tersebut, Agustina SH yang dimulai dari rembukan dengan pihak penggugat, kemudian tergugat dan penasihat hukum dari PD Golkar.
Sebelum sidang ditunda, ketua majelis hakim beberapa kali menanyakan keberadaan kuasa hukum DPD II Partai Golkar Metro. Namun hingga sidang ditunda (ditutup) mereka juga belum datang.
Kuasa hukum tergugat DPD II PG Metro, Bambang Handoko SH dan Yulius Prayitno SH (dari DPD I PG Lampung) baru muncul di PN Metro sekitar pukul 11.55 WIB.

Pengacara Satu Alumni
Yang menarik dalam persidangan gugatan kader Golar terhadap KPU Metro kemarin adalah pengacara dari kedua belah pihak yang semuanya alumni Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Kehadiran Hermansyah Dulaini SH (kuasa penggugat) dan Dedi Maradi SH (kuasa tergugat) di PN Metro kemarin, sempat jadi guyonan budayawan Naim Emel Prahana yang juga alumni FH UII Yogyakarta.
“Ini kayaknya mulai senggolan lutut dan awal kesepakatan,” ujar Naim di tengah-tengah penantian sidang di ruang tunggu PN Metro kemaren. Melihat seperti itu banyak insan pers yang terkagum-kagum kepada alumni UII itu.
Sidang gugatan kader Golkar hasil pemilu legislatif 2009, memang ditunda. Namun, belum ditentukan kapan sidang lanjutan, karena ketua majelis hakim menyerahkan kepada mediator Agustina SH MH. (DA-17)

BANGUNLAH NEGARA KITA SENDIRI


Metro, 2 September 2009

Surat Kepada TKI—TKW
Di—mana saja berada


Selamat menunaikan ibadah puasa bagi saudaraku TKI—TKW yang beragama Islam dan selamat bekerja bagi saudaraku TKI—TKW yang beragama lainnya di manapun saudaraku berada saat ini.

Saudaraku sebangsa dan setanah air
Aku adalah anak seorang petani miskin di daerah pegunungan Pulau Sumatera, jauh di pedalaman. Keluargaku memang biasa hidup dengan hasil pertanian yang dikerjakan secara tradisional dan sedikit hasil dari kebun. Sekarang kampungku dikelilingi oleh hutan larangan yang ditetapkan oleh pemerintah. Sehingga sulitlah bagi orang kampungku untuk dapat mengembangkan pertanian, perkebunan dan kegiatan lainnya.

Selepas sekolah dasar, aku sudah merantau mengikuti saudara ibuku. Tapi, nasibku tidak sebaik anak-anak Indonesia lainnya. Sekolah di SMP harus menjadi penjaga sekolah, tiap pagi membersihkan kelas, kantor guru dan pekarangan sekolah. Lalu, membagi-bagikan nasib bagi teman-teman yang tinggal di asrama. Itu aku lakukan, karena biaya asrama dan uang sekolah serta keperluan lainnya tak bias aku penuhi dan pamanku tidak mampu lagi membantu sebagaimana janjinya pada ibuku waktu aku meninggalkan kampong halaman.

Aku tetap bersekolah, walaupun menjadi penjaga sekolah pada waktu malam hari. Aku senang, karena aku dapat sekolah. Setahun sekali aku dibuatkan baju oleh sekolah dan akhirnya aku bias menamatkan pendidikanku dari bangku sekolah SMP. Setelah tamat, aku diajak kembali oleh pamanku tinggal bersamanya di sebuah desa di pinggiran Kota Bukittinggi, Sumatera Barat dan sekolah di SMAN III Birugo Bukittinggi. Namun, karena tidak ada biaya, akhirnya aku hanya mampu bertahan tiga bulan di SMAN III itu.

Akhirnya, aku putuskan untuk pulang ke kampong yang sudah lama aku tinggalkan. Di kampong aku tidak lama, karena ingin tetap sekolah akhirnya aku diantarkan oleh ibuku ke Tanjungkarang, Lampung. Maksud dan tujuan ingin menumpoang dengan paman atau bibi dari adik-adik ibuku. Tetapi, di Tanjungkarang pun aku menemui kendala. Aku sekolah di SMPP Negeri 51 Lampung. Itupun hanya bertahan hanya 1,5 tahun.

Setelah ke luar dari SMPPN 51 Lampung aku kembali ke kampung halaman dan bersekolah di kota Curup, Bengkulu. Beberapa sekolah menengah atas aku masuki, akhirnya bias menamatkan SMAN I Curup. Sejak tamat SMA akupun merantau ke Jawa, tepatnya ke kota Yogyakarta. Ingin tetap sekolah di perguruan tinggi, walaupun orangtuaku mengancam ia tak mampu membiayai dan jika aku bias bertahan tidak makan tiga bulan, silakan melanjutkan sekolah.

Akupun bertekad dan memang dengan susah payah akupun berhasil kuliah dan tamat. Persoalan lain dalam hidupku muncul tatkala sudah tamat kuliah. Bagaimana mencari pekerjaan yang notabenenya harus pakai uang dan hubungan dengan orang-orang hebat. Itu aku tidak punya, karena aku adalah anak petani miskin. Alhamdulillah statusku itu membuat aku mempertebalkan tekad untuk terus hidup dan layak di tengah masyarakat Indonesia.

Akhirnya, ketika aku asyik dengan dunia tulis menulis di media massa, aku kembali ke Lampung dan hidup di sebuah kota kecil. Tidak ada pekerjaan tetapku. Walau pernah jadi pimpinan dan penyiar radio swasta, pernah mencoba jadi konsultann hukum di sebuah LKBH dan banyak lagi pekerjaan yang aku geluti. Pekerjaan yang tidak bias aku tinggal adalah dunia jurnalistik. Dan, dunia itu sampai sekarang aku geluti.

Walau aku miskin dan sudah menikah pada akhirnya, tapi aku tetap cinta Indonesia. Aku takkan pergi meninggalkan Indonesia, hanya karena rayuan dolar di Negara asing di luar negeri. Sebab, belum ada ceritanya bekerja di luar negeri jadi TKI atau TKW, pulangnya ke Indonesia menjadi kaya raya. Bahkan, modal menjual sawah, kebun, kerbau, sapi atau hutang waktu mau berangkat melalui PJTKI, tak juga terlunaskan.

Apapun bentuknya aku tetap ingin bekerja, mendapatkan uang dan membelanjakannya di Indonesia. Bukan untuk orang asing.

Jadi, saudaraku TKI—TKW, kenapa kita tidak membangun tanah tumpah darah kita yang luas ini dengan kemampuan yang kita miliki. Betapa banyaknya kesempatan untuk menciptakan lapangan kerja yang menghasilkan uang walaupun hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara pas-pasan saja. Hutan dan laut kita luas, sungai dan aneka flora dan fauna kita sangat luar biasa. Kenapa kita harus ke luar negeri, tidak mau tahu negeri sendiri?

Sebagai Negara yang kaya raya di mana-mana ada potensi pendapatan ekonomi, kenapa harus kita biarkan Negara dan bangsa kita dijajah oleh orang asing melalui siaran televise, perusahaan pertambangan, perusahaan industri elektronik, perusahaan media massa, perusahaan jasa tenaga kerja dan lainnya. Kenapa kita tidak membangun negeri sendiri secara persatuan dan kesatuan.

Saudaraku sebangsa dan setanah air,
Kita tidak perlu tergoda oleh informasi yang yang diberikan oleh orang tentang negeri asing, atau jangan mudah percaya dengan iklan dan penampilan orang-orang di layer kaca televise. Kita harus yakin dengan diri sendiri, dengan bangsa dan Negara sendiri. Kalau bukan, siapa lagi yang akan membangun negeri kita ini?

Kenapa kita harus mengerahkan tenaga kerja dan pikiran kita untuk orang asing dengan menjadi TKI—TKW ke luar negeri. Bukankah di Indonesia ini banyak peluang pekerjaan yang dapat kita lakukan. Ya banyak sekali yang dapat kita lakukan di negeri kita sendiri, di mana kita dilahirkan dan dibesarkan.

Janganlah kita selalu menganggap diri kita, bangsa kita tidak mampu berbuat seperti orang dan bangsa asing lainnya di dunia ini. Percayalah pada kemampuan diri, bangsa dan Negara sendiri. Maka Indonesia akan jaya, Indonesia tidak akan dihina dan dilecehkan oleh bangsa lain.

Mari kita bangun Negara kita sendiri dengan kemampuan kita sendiri. Dan, hasilnya kita akan nikmati sendiri sebagai bangsa yang besar.

Saudaraku sebangsa dan setanah air, cintailah diri sendiri seperti kita mencintai orangtua, keluarga dan masyarakat kita, seperti kita mencintai lagu dan bendera kebangsaan kita. Seperti kita mencintai apa yang ada di Indonesia. Mari kita bangun Indonesia merdeka dan kaya raya ini.
Wassalam.
Anak petani miskin


Naim Emel Prahana
Jl Hasanuddin Gg Salak I No 3 Yosomulyo 21B
Kecamatan Metro Pusat, Kota Metro
Lampung Indonesia.

Senin, 31 Agustus 2009

‘Melanggengkan’ Pengkhianatan Terhadap Bangsa


Oleh Naim Emel Prahana

PADA hakekatnya, orang dalam pengertian ‘manusia’ (human) terlalu suka mengingkari kodratnya sebagi makhluk sosial (Social creature). Bahasa pembelaan yang sering diajukan kepada sesama manusia adalah kepentingan-kepentingan kehidupan. Pada umumnya, manusia sangat menyadari akan kesalahan, kekeliruan dan ambisi yang di luar jalur anatomi makhluk manusia tertsebut. Akan tetapi, kepahaman dan kesadaran itu sering dibungkus dengan logika dan retorika.

Logika dan retorik yang menjadi andalan untuk menyembunyikan tujuan kepentingan, sering menjebak seorang manusia ke dunia jiwa yang labil; temperamental, emosional dan membabi-buta melemparkan kesalahan diri sendiri kepada orang lain. Ada banyak contoh, terutama di era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini.

Padahal, ada konsep yang sangat brilian dan sederhana dalam kehidupan—di mana banyak orang menerapkan apa yang disebut dengan 3 sukses! Sukses cinta, sukses karir dan sukses organisasi. Ketiganya memiliki kaitan yang erat satu sama lainnya untuk menjadi satu kesatuan yang menyelaraskan kehidupan sosial seseorang. Maka, kesalahan yang dikerjakan merupakan format koreksi bagi kebenaran selanjutnya.

Ketika mengeja pernyataan informal seorang pejabat yang mengatakan, “setiap orang di sini melakukan korupsi, termasuk saya........!” Pernyataan itu mengisyaratkan tentang kesalahan; apa yang ia lakukan sebagai seorang pejabat dilemparkankan kepada orang lain dalam dimensi yang tidak cerdas. Ketika berbicara “pada umumnya” dalam konteks perkembangan peradaban manusia. Ada beberapa teori yang tidak pantas lagi dikutip atau dibawa-bawa dalam berbagai momentum pembelajaran dari manusia ke manusia lainnya.

Kerangka teori yang cenderung merupakan pameo orang-orang bijak—ahli pikir tempo dulu tentang “ masuk kandang kambing kita ikut mengembek, masuk kandang kerbau, kita ikut menguak dan seterusnya”. Secara psikologis pameo itu menvonis semua orang akan berlaku sama, di mana ia bertempat tinggal. Padahal, walaupun seluas tempat berpijak semuanya lumpur, keberadaan sebutir intan tetaplah intan yang berkilau.

Adakah suatu komunitas ideologi (agama) dianggap salah, karena ada orang yang menganut agama itu melakukan kejahatan (perbuatan) seperti teroris. Lalu, agama komunitas umat beragama dianggap sebagai kelompok radikal atau teroris—menurut teori negara adikuasa Amerika Serikat dan sekutunya. Kenapa harus agamanya yang menjadi perhatian, bukan kepada perbuatan seseorang yang melakukan kejahatan terhadap orang lain. Dalam kontek tersebut presiden bukanlah penguasa tunggal, melainkan melainkan pemegang amanat rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan.

Ketakutan atau kekhawatiran seorang pemimpin sering membuat dia melakukan tindakan yang emosional dan menuding banyak pihak ‘yang’ akan melakukan kejahatan terhadap dirinya dan pemerintah. dengan tuduhan tersebut, ia leluasa memerintahkan TNI dan Polri untuk melakukan sweeping, pengamanan ekstra ketat dengan show power militer. Dengan show power kekuatan militer dan polisi itu, sudah barang tentu bertujuan untuk memberikan shock teraphy (warning) kepada masyarakat luas, agar jangan macam-macam. Dengan keheningan masyarakat yang mencekam akibat show kekuatan militer dan polisi itu, maka startegi mempertahankan kekuasaan dapat dilakukan dengan mudah. Walaupun (misalnya) dalam suatu pemilihan presiden diyakini banyak terjadi pelanggaran yang dapat membatalkan kemenangan pasangan capres.

Pada zaman Orde Baru atau zaman keemasan Partai Golongan Karya (Golkar), militer seperti punya mata seribu. Bayangkan saja, ketika seorang wartawan membuat berita tentang kecurangan pemilu, pihak Intel Kodim langsung memanggil si wartawan dengan metoda introgasi yang tidak lazim. Misalnya meraka mengatakan, “berita yang akan kamu buat besok, lusa atau minggu depan maupun bulan depan, kami sudah tahu..!” Begitu hebat introgasi demikian. Sementara wartawan yang diintrogasikan itu, belum tahu berita apa yang akan ia dapatkan besok atau lusanya. Kenapa militer sudah tahu?

Apakah sekarang ini akan terulang lagi zaman keemasan seperti zaman Orde Baru di bawah rezim Soeharto? Akibatnya demokrtasi kita terus menerus eror disebabkan oleh Leader eror (pemimpin yang eror). Demokrasi di Indonesia yang memasuki zaman kebebasan, ternyata tidak mampu mengembalikan wajah asli bangsa Indonesia. Dengan sistem pemilihan secara langsung, akan tetapi tidak mencerdaskan anak-anak bangsa, karena peraturan tentang pemilihan secara langsung di Indonesia belum dapat dijalankan sepenuhnya.

Misalnya menyangkut kasus pelanggaran dan kejahatan terhadap hak suara pemilih yang harus dijamin bebas diberikan kepada siapapun calon pemimpin yang sedang bertarung. Ketika terjadi kasus pelanggaran pemilihan, proses hukumnya tidak lebih dan tidak kurang hanya sebagai ‘berita acara’ pemilihan. Bahkan, kecenderungan anggota KPU yang condong kepada pihak tertentu, telah menghambat proses demokrasi yang akan dibangun di Indonesia pasca tumbangnya rezim orde baru.

Sistem dan pelaksanaan pemilihan di tingkat apapun di Indonesia merupakan potret pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. Karena dalam proses dan pelaksanaan pemilihan langsung (pemilu, pilpres, dan pilkada) telah disuburkan kembali praktek suap, korupsi, kekerasan, pemitnahan orang lain, tidak adil, tidak jujur dan terlalu mengandalkan faktor uang, preemanisme, kekuasaan dan kewenangan.

Jika beberapa pasal di dalam UU pemilu dan KPU serta peraturan lainya tidak direvisi ditambah kurangkan, maka dalam perkembangan selanjutnya demokrasi di Indonesia akan mundur jauh ke belakang, karena menghidupkan kembali praktek-praktek pengkhianatan terhadap bangsa dan negara untuk kepentingan kelompok sendiri (kelompok tertentu) yang ingin berkuasa.

Bunga Rampai Penyair


Sepenggal Perjalanan Sastra di Kota Metro)
Oleh Naim Emel Prahana

Dengan sebuah buku antologi dan puisi-puisi yang dikirimkan ke sebuah radio swasta. Maka, terbitlah status, “aku adalah penyair!” Sebab, penyair bernama si X itu sudah lama tidak menulis puisi lagi. Potongan terjemahan di atas dikutip dari blog Dewan Kesenian Metro (DKM) yang ditulis seseorang yang mengaku sebagai penyair Metro yang saat ini mengklaim dirinya sebagai the best.

Untuk memperjelas kepahaman yang memang tidak dipahami lagi, akibat trend bahwa “aku adalah aku” yang dilahirkan oleh aku sendiri, tiada yang melahirkan dan tidak akan melahirkan penyair lagi. Padahal, penyair dalam dunia sastra adalah bagian dari warga yang sangat mencintai dan mempelajari sejarah. Tetapi, sekarang banyak yang tidak mau tahu soal sejarah.

Semuanya akibat banyaknya teori cekikikan di balik kamar-kamar kost dan ruang-ruang sindikat ‘aku’ dalam sastra. Namun demikian, saya tetap mengatakan, penyair ya penyair biarkan diri dan karyanya mengalir bagaikan air sungai sampai ke muaranya. Yang sudah barang tentu dalam perjalanannya mengalami berbagai bentuk intervensi sejak dari mata air yang bening, kemudian air yang kuning dan berlimbah serta banyaknya orang yang menebar bahan kimia maupun menggunakan alat setrum untuk mematikan anak-anak ikan yang berada di dasar sungai maupun yang berada di permukaan sungai. Itulah kehidupan. Ada kehidupan yang tidak hidup sama sekali dan ada kehidupan yang sangat lentur dan hidup elastis.

Buka dan baca lagi kliping-kliping koran Nasional dan Lampung serta buku-buka catatan para penggiat seni sastra di Lampung—khususnya di Metro. Maka, betapa menyejukkan perjalanan sastra (dan penyair di kota itu). Maka, sebut saja dekade tahun 1986—1998 denyut sastra di Kota Metro masih menyisakan catatan pahit dan getirnya, apa yang dialami para penggiat sastra di kota kolonisasi itu.

Metro telah mencatat sejarah sastra yang menasional kala itu. Di mana, ketika akan diadakan baca puisi se-Sumatera Bagian Selatan dengan menghadirkan Emha Ainun Najib dan Diah Hadaning (1992) dicekal aparat keamanan. Lalu, tidak beberapa lama kemudian, ketika Emha Ainun Najib diundang untuk memberikan orasi kebudayaan di Universitas Muhammadiyah Metro, ia pun dipaksa turun dari podium dan ke luar dari kampus UMM tersebut. Saat itu rektor UMM sebagai penggagas dan pengundang, tidak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah pencekalan itu.

Tahun 1987 ketika kawan-kawan menjadi panitia lokal pementasan Teater Krakatoa (Bandarlampung), juga akan dicekal dengan berbagai alasan. Namun, saya tetap ngotot bahwa teater Krakatoa bukan kaum oposisi yang harus dicekal melalui Sospol Kabupaten Lampung Tengah. Alhamdulillah, pencekalan itu tidak jadi. Teater Krakatoa tetap pentas di Gedung Wanita Metro.

Apa yang terjadi di Metro, sebenarnya lebih keras dengan apa yang terjadi di Bandarlampung atau Jakarta. Ketika saya menjadi Pimpinan Harian (PH) Radio Deimarga Nusa (radio swasta tertua di Lampung Tengah waktu itu) dan satu-satunya radio di Kota Metro (1980—1989). Salah satu acara pavourit Sabtu malam Minggu adalah Apresiasi Sastra.

Salah satu penyair yang sering mengisi di acara itu adalah Muadin Efuari, Leo Marantika dan beberapa penyair lokal lainnya. Dunia teater pun di Metro begitu marak, tercatat ada sekitar 15 kelompok teater di Metro yang puncaknya adalah lomba penulisan puisi, lomba pentas teater dan baca puisi di Aula Depdikbud Lampung Tengah di Kampus (sekarang Kantor Dinas Pendidikan Kota Metro). Diah Hadaning, Iwan Nurdaya Djafar, Syaiful Irba Tanpaka, Dadang Ruhiyat, Isbedy Stiawan ZS hadir menjadi juri pada pestival seni sastra Metro saat itu.

Masih banyak lagi catatan sebagai realitas sejarah sastra di Kota Metro yang patut dihormati para penggiat sastra yang masih memiliki nilai nurani kemanusia di dalam mdirinya. Pertemuan dalam Dialog dan Baca Puisi Penyair Lampung di GOR Jurai Siwo memang gegap gempita. Semua penyair Lampung hadir dan membacakan karya-karyanya pada waktu itu.

Sebuat saja Iwan Nurdaya Djafar, Isbedi Stiawan ZS, Dadang Ruhiyat, Sugandhi Putra, Achmad Rich, Syaiful Irba Tanpaka, Juhardi Basri, Naim Emel Prahana, Thamrin Effendi, Rustam Effendi Damara, Zulqarnain Z, Christian Heru Nurcahyo, Khairil Anwar, Neneng Suryaningsih (isteri Emha Ainun Najib) dan masih banyak lagi. Karya-karya penyair Metro terus mengalir di media cetak ibukota dan Lampung. Ada seorang penggiat seni sastra yang getol berkarya—sekaligus mengasuh beberapa teater di Metro saat itu dari Bandarlampung adalah Pramudya Muchtar.

Adalagi acara pentas seni di Balai Serba Guna Hadimulyo 22 Metro, hadir waktu itu penyair Moelya Poetra (saat itu lebih banyak berkecimpung di Jakarta)—yang dibuka secara resmi oleh Walikota Administratif Metro, Drs Mulyadi. Masih ada pentas seni sastra di Balai Desa Mulyojati 16C, Balai Desa Yosodadi Jalan Jendral Sudirman dan sebagainya. Aktivitas seni sastra demikian menggaung saat itu dan melibatkan penyair-penyair Nasional di Metro sepanjang perjalanan 1980—2000 mungkin tidak akan terulang lagi, kendati sekarang ada lembaga DKM.

Khususnya mengenai Dewan kesenian Metro—pada awalnya dibentuk oleh Naim Emel Prahana, Rustam Effendi Damara, Anton Saputra, Rini yang anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya sengaja kami ikuti format AD/ART Dewan Kesenian Jakaera (DKJ) yang saya bawa dari Forum Puisi 1987 di Tim—DKJ Jakarta. Saya minta sama Bang Leon Agusta dan Mas Abdul Hadi WM.

Ketika kemudian Dewan Kesenian Lampung (DKL) berdiri, maka DKM menjadi koordinat DKL Lampung untuk Lampung Tengah. Kebetulan saya yang memimpinnya saat itu. Dan saya juga yang terlibat mendesign DKL bersama Iwan Nurdaya Djafar, Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka, Achmad Rich, Christian Heru Nurcahyo, Khairil Anwar, Zulqarnain Z, Andy Achmad Sampurnajaya yang saat itu didukung sepenuhnya oleh Kadis Pendidikan, Indra Bangsawan.
Yang bertamu ke Metro dalam rangka baca puisi dan penerbitan antologi juga datang dari Palembang seperti, Anwar Putra Bayu, Taufik Wijaya, Thomas Heru Sudrajat, Koko Bae dan JJ Polong, dan dari Jambi seperti Dimas Arika Miharja, Ari Setya Ardhi, dan beberapa penyair Jambi lainnya. Termasuk WS Rendra yang memberikan pencerahanh sastra di sekolah-sekolah yang ada di Metro, juga Adi Kurdi.

Beberapa buku puisi yang diterbitkian dari Metro, juga bisa dijadikan acuan dan referensi tentang perjalanan seni sastra di Metro. Misalnya para penyair Metro yang tergabung dalam antologi puisi Kodrat (Radi Deimarga Nusa), Malam Kembang Kelam (Metro, 1986), Poros (Metro, 1986), Bruckkenschlag—Naim Emel Prahana (Koln Jerman, 1988, diterbitkan dalam bahasa Jerman), Solidaritas (1991, bersama penyair Lampung), Puisi Selatan (1992, bersama penyair Sumatera Bagian Selatan). Sedangkan buku cerita rakyat yang lahir dari bumi Metro antara lain Cerita Rakyat Lampung—Naim Emel Prahana (jilid 1, 2 dan 3 Grasindo-Kompas Jakarta, 1988), Cerita Rakyat Bengkulu –Naim Emel Prahana (jilid 2 dan 3, Grasindo-Kompas Jakarta, 1988). Dan. Masih banyak lagi.

Sepenggal catatan perjalanan ini masih sangat sedikit dibandingkan dengan kenyataannya, termasuk keikutsertaan penyair Metro di forum nasional dan internasional sepanjang kurun waktu itu. Seperti yang dijalani saya dan Muadin Efuari. Dalam sastra harus ada kejujuran dan keberanian melakukan koreksi kritik yang membangun atau yang memvonis. Untukmu generasi penerus penyair Metro jangan sungkan-sungkan menghormati sejarah sebagai cikal bakal kehidupan saat ini

Agustusan Mencari Roman Indonesia
Oleh Naim Emel Prahana

SUATU ketika aku menyurui pantai Barat Sumatera dari Bengkunat—Krui—Lemong—Bintuhan (Kaur)—Manna sampai ke Bengkulu. Saat itu baru pertama melakukan perjalanan lewat pantai Barat. Kalau dari Lampung sepanjang jalan bagian kanan terhampar pepohonan lebat dan besar, mulai menjelang malam selalu berpapasan dengan trenggiling, babi hutan, harimau dahan (macan loreng) dan binatang liar lainnya, termasuk ular yang sering melintasi jalan dengan damai, bebas dan tenang.

Itu terjadi sekitar tahun 1999—2000-an, serangkaian perjalanan yang sangat menarik. Pesona alam, debur ombak dengan warna putih bersih menerpa bibir pantai sepanjang pantai yang dilewati. Kampung-kampung yang ada masih begitu asli. Di tengah jalan bila malam menjelang, banyak berpapasan dengan sapi, kerbau atau kambing—yang menjadikan ruas jalan tempat mereka tidur.

Tidak ada hiruk pikuk, tidak ada toko-toko yang besar atau permanen, apalagi rumah makan seperti sekarang yang men jamur di jalan lintas di seluruh Indonesia. Selepas Lemong, memasuki perbatasan dengan daerah provinsi Bengkulu masih di daerah Bintuhan, Bengkulu Selatan yang kini menjadi kabupaten Kaur. Saat melintas desa-desa yang ada. Betapa indahnya kehidupan yang penuh dengan kedamaian, keharmonisan dan keakraban antara penduduk dan alam sekitarnya.

Waktu itu, aku berpikir daerah itu apakah masih masuk wilayah Republik Indonesia? Itulah pertanyaan yang menggelegak di benakku saat melihat pemandangan sepanjang kiri kanan jalan di perkampungan yang dilewati. Benar-benar tradisionil, rukun dan damai. Mata-mata yang curigai melihat pendatang nyaris tidak ada sama sekali, yang ada adalah mata penduduk yang begitu ramah, senyum di bibir begitu menyejukkan bagi pelintas daerah itu. Apalagi suara debur ombak Samudera Indonesia yang dahsyat itu.

Di mana Jakarta, di mana Bandarlampung, di mana Bandung, di mana surat kabar, di mana televisi dan di mana akan ditemukan rumah-rumah makan besar dengan karyawannya yang lincah dan berseragam. Semuanya tidak ada. Nyaris sunyi senyap, sepi sekali, walau banyak orang yang duduk-duduk di depan halaman rumah bila malam hari tiba. Penerangan dengan menggunakan lampu petromak menjadi sinar yang gemerlapan di malam hari.

Itulah suatu kenyataan Indonesia di tengah negara Indoneia ini yang kalau tidak orang Belanda atau Inggris yang membangun dan mengembangkan daerah itu tempo hari, entah apa jadinya kampungku di Indonesiaku ini.

Beberapa tahun kemudian, ketika aku kembali menempuh jalur itu. Giliranku yang terpana dan kaget. Kenapa tidak, dulunya sepanjang areal TNBBS pohon besar di pinggir jalan hingga memenuhi perut alam di situ. Ternyata 2004-an sudah lenyap sama sekali. Binatang yang menemani perjalanan panjang seperti simpai, monyet, beruk, siamang, kera, babi hutan, rusa, trenggiling atau lainnya sudah sangat jarang ditemukan sepanjang jalan yang dilewati. Pada kemanakah mereka semua, termasuk pohon-pohon besar yang menjadi paru-paru dunia itu? Semua lenyap.

Beberapa meter dari pinggir jalan ketika melongok ke dalam hutan, ternyata tidak ada lagi pepohonan dengan batang-batang kayunya yang berdiameter besar. Yang tersisa adalah kayu-kayu kecil dan semak belukar. Bulu romaku berdiri menyaksikan realitas hutan rimba kita itu. Sementara penduduk yang hidup di kampung-kampung sepanjang pantai barat itu, tidak ada yang begitu drastis menjadi penduduk (orang) kaya.

Apalagi sekarang, deru mesin pemotong kayu besar, hamparan kebun kelapa sawit, kebun – kebun karet dan sebagainya telah memaksa kita selama perjalanan mengusap keringat terus menerus karena terik panas yang menyengat. Di beberapa bibir pantai, sudah berdiri rumah-rumah makan gaya lintas Sumatera. Di beberapa muara sungai sudah ada tempat cucian mobil dan usaha penambangan batu dan pasir secara bnesar-besaran.

Bila malam hari anak-anak remaja berlalulalang antar kampung dengan motor baru mereka. Sangat cepat pengaruh gaya hidup kaum selebritis merambah ke kampung-kampung yang berada nun jauh di bibir pantai dan bibir hutan Sumatera itu. Suasana pun sudah berubah banyak. Cata berpakaian anak-anak muda di kampung-kampung yang jauh itu, tidak ubahnya seperti ditampilkan para artis sinetron di televisi.

Tapi, ketika berada di sana pertanyaan tetap muncul walau aku tahum bahwa di sana masih menjadi bagian dari kampung-kampung di Indonesia yang tidak pernah disentuh ban-ban mobil para pejabat, apalagi kelas menteri apalagi presiden. Wajar kalau mereka bermimpi terus menerus, bahwa mereka inginkan suasana seperti zaman penjajahan Inggris atau Hindia Belanda.

Atau mungkin kalau diterjemahkan, mereka ingin merdeka sendiri, mereka ingin menjadi bagian dari diri mereka sendiri. Padahal, mereka pernah mengeyam hidup pada saat revolusioner Bung Karno. Karena Bung Karno, Bung Hatta atau Sutan Syahrir memang pernah mendatangi daerah itu.

Persoalannya kini, ketika semaraknya Agustusan 2009 di mana banyak pemerintah daerah menggelar peringatan HUT RI ke 64 dengan semua kemewahan, termasuk pesta kembang api yang nilainya puluhan juta rupiah itu. Tapi, roh Indonesia di dalam kegiatan-kegiatan peringatan itu nyaris tidak ada sama sekali. Kegiatan pameran pembangunan, kegiatan pawai pembangunan dengan lendaraan hiasnya sudah sesak dengan muatan politik masing-masing daerah.

Bendera Indopnesia “Merah Putih” memang ada dan di luar, banyak dijual di pinggir-pinggi jalan, akan tetapi tidak ditempelkan roh kemerdekaan bangsa Indonesia. Sehingga bendera-bendera itu tinggal menjadi pemanis hiasan bagi pemiliknya atau pemasangnya. Bahkan, dijadikan simbol (icon) iklan-iklan ucapan atau kegiatan lainnya di media massa. Sungguh kronis jiwa kebangsaan masyarakat Indoneia saat ini.

Pantau Tayangan TV


Kolom Naim Emel Prahana
MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) bekerjasama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Depkominfo selama bulan Ramadhan melakukan pemantauan terhadap tayangan-tayangan tak pantas di media televisi maupun di media cetak, yang diduga jauh dari koridor pendidikan.
Pemantauan itu menurut KH Ma`ruf Amin bersifat kerjasama yang nantinya tidak hanya sebatas himbauan seperti tahun lalu. Namun, akan ada tindakan sanksi. MUI, KPI dan Depkominfo nantinya jika ada yang melanggar, akan direkomendasikan untuk diambil langkah-langkah selanjutnya, seperti sanksi dan sebagainya.
Pihak KPI, MUI dan Depkominfo akan mengamati dan melihat tayangan-tayangan di televisi serta media cetak. Tentang kriterianya yang tidak diperkenankan adalah yang mengandung kekerasan, baik fisik maupun psikis, mistik, horor, pornografi dan pornoaksi.
Apa yang akan dilakukan MUI itu patut kita dukung, sebab selama ini banyak tayangan acara di televise swasta di Indonesia sudah jauh menyimpang dari norma-norma kebiasaan, maupun norma agama, social dan pendidikan masyarakat Indonesia. Barangkali, apa yang akan dilakukan MUI cs situ—walau dinilai terlambat, karena memfokuskan pada bulan ramdhan. Tetapi, patut mendapat dukungan seluruh masyarakat di Indonesia.
Persoalan yang akan muncul adalah sanksi yang akan diberikan atau dijatuhi nantinya, apakah dapat menjadi dampak jera atau tidak akan diulangi lagi oleh televise? Itu yang menjadi pertanyaan besar di masyarakat saat ini. Karena, khususnya tayangan film sinetron yang ada di televise beberapa tahun terakhir ini, sudah tidak mengindahkan banyak norma yang dipatuti dan dihormati di Indonesia.
Misalnya fil m sinetron Hareem yang kini diganti judulnya Inayah yang ditayangkan di Indosiar. Sinetron Manohara, lalu acara The Master atau acara-acara hipnotis seperti yang diisi oleh paranormal tersebut. Sementara tayangan acara bermaterikan pendidikan sudah mulai terkikis. Apalagi, film-film sinetron di televise sawsta yang mengeksploatasi dan mendramatisir pergaulan-pergaulan bebas para remaja.
Tayangan-tayangan yang sudah ke luar dari koridor norma-norma yang hidup dalam masyarakat di Indonesia, termasuk tayangan iklan yang sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan produk yang diiklankan di media massa (elektronik dan cetak).
Masyarakat Indoneia harus mewaspadai beberapa acara yang ditayangkan di televise, karena siapa tahu tayangan-tayangan acara itu, seperti film, iklan dan acara lainnya tersebut merupakan paket pesanan pihak-pihak luar (asing) atau pihak tertentu yang akan menghancurkan nilai budaya masyarakat Indonesia.
Artinya, pengawasan dan sanksi bagi yang melanggar yang akan dijatuhkan oleh MUI, KPI dan Depkominfo jangan hanya sebatas pada bulan Ramadhan saja, tetapi harus terus dilanjutklan secara berkesinambungan. Sehingga beberapa tayangan di televise dan media massa tidak dijadikan publikasi dan propaganda anti norma agama, anti norma social, anti norma budaya dan normal lainnya termasuk norma adapt istiadat tang berlaku dan dipatuti oleh masyarakat di daerah-daerah tertentu.
Kita dukung upaya MUI, KPI dan Depkominfo itu untuk melestarikan masyarakat Indonesia yang benar-benar adalah masyarakat Indonesia dengan aktrivitasnya.

Bantuan Hibah


Kolom Naim Emel Prahana
BANYAK cara pemerintah daerah untuk memperdayai masyarakatnya dengan aneka ragam jenis bantuan sosial, rumah ibadah, kemasyarakatan dan lainnya. Tentu saja bantuan-bantuan tersebut sangat menggiurkan masyarakat atau kelompok masyarakat yang ditetapkan sebagai penerima.
Namun, lebel atau merek bantuan yang dikucurkan itu sering menipu dan menjebak masyarakat penerimanya. Di Metro, Pemerintah Kota (Pemkot) itu sejak 3 (tiga) tahun silam mengucurkan apa yang disebut produk bantuan Kelompok Masyarakat (Pokmas), pada tahun pertama diluncurkannya produk Pokmas. Ternyata banyak kelemahan dan kekurangan yang akihirnya membuat lumbung oknum-oknum tertentu di Pokmas menjadi kaya raya.
Lama kelamaan apa karena kekecewaan produk Pokmas yang tidak berjalan sebagaimana mestinya itu. Maka, sejak 2008 ayau mulai ditintis sejak 2007, Pemkot Metroi meluncurkan dana bantuan kepada kelompok masyarakat dalam organisasi kemasyarakatan, rumah ibadah, pendidikan dan sebagainya.
Produk itu bernama HIBAH, yang kalau kita definisikan kata ‘hibah’ maka terjadi suatu pemberian tanpa pamrih, tanpa ikatan, tanpa laporan pertanggungjawaban sebagaimana mestinya kalau menggunakan anggaran APBD. Produk bantuan hibah, ternyata hanyalah lebel yang menjerat masyarakat untuk bersusah payah menghabiskan dana bantuan itu hanya untuk urusan birokrasi pewngurusan administrasi yang bertele-tele.
Menghabiskan waktu, menghabiskan dana dan menghabiskan kesabaran akibat rumitnya birokrasi mendapatkan bantuan dana hibah itu. Ada dua bagian yang mengurus dana bantuan hibah itu. Pertama di bagian Kesra dan kedua langsung di bagian BPKD sub unitnya.
Anehnya, birokrasi pengurusan dana bantuan hibah di kedua unit kerrja masing-masing itu tidak seragam. Persyaratan umum pada unit kerja bagian pertama di atas (Kesra) untuk mendapatkan dana bantuan hibah yang penerimanya sudah ditetapkan oleh Walikota, cukup berat. Misalnya NPHD (naskah perjanjian Hibah Daerah) antara Kabag Kesra an Walikota dengan penerima. Yang membuat si penerima dan bebas memalsukan kop surat Sekretariat Daerah Kota Metro.
Kemudian, syarat yang aneh lagi. Siapapun yang menerima dana hibah dari bagian Kesra Pemkot Metro, semua surat-menyurat sampai kepada stempel dan rekening bank harus bernama POKMAS. Walaupun bantuan itu diberikan kepada masjid, langgar, vihara, gereja, guru-guru honor di TPA. Semuanya harus pakai kop Pokmas dan bukan hanya kop surat, stempel. Namun, prosedur yang harus dilalui si penerima, juga harus minta tandatangan kepada ketua Pokmas dan tim pengawas Pokmas. Walaupun dana bantuan itu bukan digunakan untuk proyek fisik.
Aneh lagi, bantuan honor guru TPA yang cuma Rp 300 ribu itu, ternyata uangnya hanya habis untuk masalah administrasi. Bayangkan, buat stempel guru TPA Pokmas, kop surat pokmas, stempel pokmas, rekening bank pokmas, materai 6000 lima lembar, map dan membuat proposal masing-masing dijilid 10 bundel.
“Perasaan kita bagaimana itu bisa dikategorikan kepada dana hibah?” Kalau unsur hibah yang dicantumkan, tidak melekat sama sekali. Kemudian, apa hubungannya sebuah langgar yang dibangun secara pribadi dengan Pokmas yang harus menandatangani semua berkas surat?