Kolom Naim Emel Prahana
WALAUPUN rumah pengasingan Bung Karno yang aslinya di Bengkulu sudah dirombak total. Akan tetapoi, tulisan anak-anak Kampung Anggut di Bengkulu terakhir masih bisa dibaca tahun 1984 yang berbunyi, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawan dan menghormati sejarah bangsanya!”
Tetapi, kalimat di dinding rumah pembungan Bung Karno yang ditulis dengan arang itu masih tetap mengiang di telinga kita dan menjadi beban pikiran rakyat Indonesia. Banyak sekarang ini generasi muda yang tidak memahami sejarah dan apalagi untuk dijadikan referensi kehidupan pembangunan di kemudiannya.
Seakan-akan generasi sekarang terputus dengan generasi sebelumnya. Padahal, rakyat Indonesia adalah rakyat yang cinta akan adat istiadat, patuh, menurut dan taat akan nilai-nilai adat istiadat itu. Sebab, hukum nasional kita berpijak dan berdasarkan nilai-nilai tradisional yang hidup dan terus hidup di tengah masyarajatnya.
Berkaitan dengan itu, apa yang dilontarkan dalam gagasan Gubernur Lampung, Syachroedin ZP atau lebih dikenal dengan sapaan Kiyai Oedin yang tidak main-main untuk membangun dan mengembangkan Lampung dalam periode kedua masa jabatannya sebagai gubernur Lampung, untuk menukar-gulingkan GOR Saburai dengan mendirikan Mal besar di kawasan tersebut.
GOR Saburai sendiri akan dipindahkan ke Kemiling. Nampaknya, itu ide yang tidak populer dan tidak bijak. GOR Saburai di Enggal sudah menjadi icon dunia seni dan olahraga di Lampung. Sudah sangat akrab dengan masyarakat Lampung, di samping letaknya yang sangat strategis.
Kenapa harus dipindahkan? Bagaimana dengan roh GOR Saburai itu sendiri selama ini? Apakah setelah GOR Saburai dipindahan karena sudah disetujui oleh DPRD Lampung, akan bisa menjadi icon dengan kekuatan sihirnya terhadap masyarakat luas?
Membangun daerah bukan bebrati merobohkan bangunan-bangunan yang bernilai sejarah dan juga bukan berarti menghilangkan bangunan yang sudah memiliki icon dan mengandung filosofi dan nilai sejarah. Masih banyak kawasan lain yang bisa untuk dijadikan kawasan perdagangan.
GOR Saburai harus tetap ada di Enggal, karena GOR itu adalah lambang keperkasaan Kota Tanjungkarang, Telukbetung, Panjang dan kedaton bahkan kekuatan magis masyarakat yang tinggal di kota lainnya di Lampung. Kiyai Oedin harus membatalkan niatnya untuk m,emindahkan GOR Saburai itu, walaupun sudah disetujui oleh DPRD Lampung. Karena, anggota DPRD Lampung belum tentu mewakili rakyat Lampung. Hal itu dapat dibuktikan.
Filosofi sebuah kota (seperti Bandarlampung), tidak harus dipenuhi oleh toko-toko, pusat-pusat perbelanjaan modern. Tetapi, harus diperhatikan ekosistem yang akan melindungi kehidupan masyarakat kotanya. Misalnya dengan hutan kota seperti yang ada di sekitar GOR Saburai.
Masyarakat seniman dan kebudayaan di Lampung harus menggugat Kiyai Oedin dalam kasus tukar guling GOR Saburai itu dengan pusat perbelanjaan modern. Kalau semua pusat perbelanjaan didirikan di tengah kota, bagaimana pengembangan pembangunan kota selanjutnya, terutama di pinggiran kota yang rakyatnya masih butuh toko-toko kebutuhan sandang pangan dan papan. Dan, perlu diingatkan bahwa keinginan Kiyai Oedin itu belum tentu menjadi keinginan pemerintah Lampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar