Oleh Naim Emel Prahana
Aku adalah putra
Kuteidonok (Kotadonok), sebuah desa di jalur Bukit Barisan yang terletak di
provinsi Bengkulu. Kotadonok merupakan salah satu desa tertua di daerah Rejang
dan Lebong. Namun, perkembangan di berbagai aspek kehidupan sangat tidak
menggembirakan.
Sejak beberapa
tahun silam Desa (kampong) Kotadonok dimekarkan menjadi 2 (dua) desa, (1) Desa
Kotadonok dan (2) Desa Sukasari. Walaupun dimekarkan, persoalan yang ada tetap
tidak terpecahkan, kendati Lebong sudah resmi jadi Kabupaten sendiri,
lepas—hasil pemekaran Kabupaten Rejang Lebong.
Aku sebenarnya
sudah ingin sekali pulang ke kampung di Lebong, namun belum ada waktu dan belum
memiliki banyak bekal (uang). Aku ingin mengabadikan beberapa kawasan yang
sangat bersejarah, indah dan perlu diperhatikan oleh pemerintah.
Namun, tiba-tiba
aku pulang karena kakak iparku meninggal dunia pada hari Kamis, 24 Mei 2012
sekitar pukul 09.45 WIB. Kabar itu membawa aku pulang dengan terburu-buru,
karena musibah meninggalnya kakak ipar tadi.
Aku menempuh Jalur
Lintas Barat dengan menggunakan kendaraan roda empat bersama putra sulungku,
kami berangkat dari Kota Metro sekitar pukul 16.30 WIB. Sekitar 30 km dari
Metro tepatnya di Poncowati, Bandarjaya, Lampung Tengah kami mengisi bensin
diantara antrian kendaraan, kami hanya dibatasi membeli bensin Rp 100.000,-
dengan harga bensin Rp 4.500,- per liter di sebuah SPBU. Bersikeras untuk full
tanks mobil, tetap kami ditolak.
Sejak Poncowati
sampai Kota Bengkulu kami tidak menemukan sebuah SPBU (POM Bensin) yang menjual
BBM, dan sepanjang jalanpun BBM khususnya bensin sulit ditemui. Kami membeli
bensin di kota
kecil Bukit Kemuning, Lampung Utara dengan harga Rp 9.000,- per liter. Bensin
sebanyak itu kami pergunakan untuk perjalanan sampai kota kecil di Pantai Lampung Barat, Krui. Di
Krui sebuah SPBU buka, namun antrian panjang terlihat dengan memprihatinkan.
Aku tak mungkin antri, karena harus secepatnya sampai Kotadonok, Lebong
provinsi Bengkulu.
Tapi, apa yang kami
alami sejak Krui (Lampung Barat) sampai Kota Bengkulu, tidak ada satupun SPBU
yang buka. Kami membeli bensin eceran yang hanya beberapa liter dengan harga
bervariasi antara Rp 9.000,- sampai Rp 10.000,- per liter. Itu harus kami beli,
karena kami harus terus berjalan sampai kampung halaman. Begitu sulit
memperoleh bensin, dalam benakku berkata, “Sudah saatnya Sumatera ini merdeka,
lepas dari negara Indonesia!”
Jalan Rusak
Sepanhang
perjalanan dari Lampung ke Bengkulu, kami melewati ruas jalan yang rusak di
mana-mana. Kerusakan itu diakibatkan (1) proyek perbaikan jalan dan (2) memang
jalannya rusak—yang tidak mendapat perhatian serius pemerintah untuk membantu
sosial dan perekonomian rakyat di sepanjang Jalan Lintas Barat yang kami lalui.
Ketika hendak ke
luar dari Kota Bengkulu menuju Curup, keadaan jalan di Bengkulu Tengah begitu
parah rusaknya dan itu terus berlanjut sampai Kota Bengkulu setelah melewati
kota Kepahiang, Kabupaten Kepahiang.
Bensin kami peroleh
di sebuah SPBU di Bengkulu Tengah, tidak jauh dari Kota Bengkulu. Perasaan lega
menyelimuti aku dan putraku. Kami semakin tenang melanjutkan sisa perjalanan.
Akan tetapi, sampai
di daerah wisata antara Bengkulu dan kepahiang, kami menemui masalah, karena
kanvas rem roda depan mobil kami habis total dan terpaksa harus kami ganti baru
di Kota Kepahiang. Setelah itu kami melaju kembali ke Curup dengan melewati
jalan yang rusak parah dan terus menuju daerah Lebong dengan kondisi ruas jalan
yang sama.
Dengan perjalanan
yang berat akibat jalan rusak di provinsi Lampung dan Bengkulu, akhirnya kami
sampai di kampung halaman di Kotadonok dan langsung menuju kediaman rumah kakak
kami, yang di sana sudah berkumpul semua keluarga besar Prahana dan warga
lainnya di Kotadonok dan Kotadonok II.
Hari Minggunya, aku
berkesempatan sebentar melihat kondisi lingkungan kampung tempat aku
dilahirkan. Keindahan panoraman alam masih tetap seperti dulu, namun kondisi
hutan dan desa semakin tidak terkendali, mengalami kemerosotan di banyak aspek
kehidupan. Siapa yang dapat membahagiakan Lebong?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar