Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 01 Agustus 2009

Benarkah 'Drakula' pelaku dua peledakan bom di Jakarta?


Benarkah 'Drakula' pelaku dua peledakan bom di Jakarta?
Radio Nederland Wereldomroep
20 July 2009

Pernyataan Presiden SBY yang mengaitkan bom Marriot-Ritz-Carlton dengan pilpres menjadi dubius. Banyak yang menilai SBY membuat blunder, tetapi menurut Wimar Witoelar, mantan jubir Presiden Gus Dur dan komentator, pernyataan SBY itu penting.




Wimar Witoelar [WW]: Pertama kali dalam hidup, saya lihat Presiden SBY ini mengetahui persoalan dan tahu kapan dia harus tegas, begitu ya. Karena ini suatu hal yang perlu dimarahin oleh seorang pemimpin nasional. Masalah kita adalah bomnya, bukan pernyataan SBY. Biar aja. Tapi dia sebagai presiden menetapkan kita tidak akan terima teroris dan masih ada di antara kita, orang-orang yang melakukan kejahatan yang masih berkeliaran di masyarakat, dan yang jahat itu yang melakukan bom tentu, tapi yang juga membiarkan bom dan menggunakan peristiwa bom ini untuk melakukan serangan-serangan terhadap presiden.

Aboeprijadi Santoso [AS]: Tapi juga beliau memberi sugesti bahwa dalam kasus bom ini pilpres tersangkut dengan menyindir salah seorang yang dikatakan pernah menghilangkan orang. Prabowo, kan?

WW: Jelas, jelas yang dimaksud. Anda sebut namanya, saya takut sebut namanya. Drakula ya.

AS: Oh, itu drakulanya?

WW: Drakula itu tidak perlu kita sebut, ya.

AS: Apa maknanya nih, penyindiran terhadap drakula?

WW: Peringatan. Supaya orang itu jangan lengah. Jangan anggap semua warga negara itu sama. Ada warga negara yang lolos dari pengadilan HAM 10 tahun yang lalu.

Demikian Wimar Witoelar ketika menghadiri aksi solidaritas dan dukacita di muka Hotel Marriot. Juga pengacara Todung Mulya Lubis yang membacakan pernyataan Masyarakat Anti Kekerasan.


Beban pembuktian

Todung Mulya Lubis [TML]: Mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mewujudkan sumpahnya untuk secepat mungkin menangkap dan mengadili pelaku, jaringan, dan otak di belakang setiap aksi kekerasan.

AS: Bapak Todung Mulya Lubis, jadi mana yang prioritas ini? Kita mencari pelakunya atau kita mencari ketenangan?

TML: Kita kecolongan. Itu yang harus kita bayar dengan sangat mahal. Dan menurut saya presiden tidak bisa melepaskan tanggung jawab.

AS: Lalu Presiden SBY menanggapi ini kita khawatirkan bisa menjadi drakula.

TML: Ya memang ini kan satu tudingan.

AS: Siapa sebenarnya drakula ini? Ikut pilpres?

TML: Ikut pilpres. Tapi kan tudingan ini sudah dibantah. Nah, karena itu sekarang beban pembuktian ada pada presiden.

AS: Ini blunder yang jadi bumerang bagi SBY?

TML: Bisa jadi blunder kalau itu tidak bisa dibuktikan.

Demikian laporan koresponden Aboeprijadi Santoso dari Jakarta.

Laporan ini bisa didengar di website Radio Nederland Wereldomroep

Menanti Lagi Tangan Dingin Mahfud MD


Menanti Lagi Tangan Dingin Mahfud MD
Perspektif Online
31 July 2009

oleh: Didiet Adiputro

Rangkaian pemilu 2009 sudah berakhir. Suatu hal yang kita syukuri adalah bahwa pada umumnya semua berjalan tenang, lancar dan damai. Juga ada kesan kebebasan tanpa paksaan. Jelas hanya ada satu kemenangan yaitu kemenangan rakyat. Akan tetapi kemenangan rakyat ini sedikit terusik oleh banyaknya sengketa pemilu yang dipersoalkan para elit, entah siapa yang salah tapi hebatnya rakyat tetap tenang menyadari kekurangan dalam penyelenggaraan Pemi;u, sementara para elit terus meradang makin keras setelah hasil diumumkan.

Sengketa pilpres mengkonfrontasikan pihak pemenang yakni SBY–Boediono terhadap pasangan lain yaitu Mega–Pro dan JKWiranto. Namun demikian friksi ini tidak terlalu kencang berhembus di masyarakat, karena telah terbukti SBY mampu menang mutlak satu putaran.

Namun ada peristiwa lain yang dapat menggoncangkan konstalasi politik belakangan ini. Yaitu putusan Mahkamah Agung yang menganulir keputusan penetapan jumlah kursi bagi anggota DPR yang telah ditetapkan KPU. Dengan sendirinya berarti MA telah membatalkan aturan KPU ttg tata cara penghitungan kursi tahap II bagi anggota DPR yang diatur dalam peraturan KPU no 15/2009. Hal ini diputuskan setelah adanya judicial review oleh beberapa anggota partai khususnya kader Partai Demokrat.

Sayangnya pembatalan peraturan ini diumumkan MA setelah perhitungan suara selesai. Tak mengherankan bahwa keputusan ini membuat berang partai–partai yang perolehan kursinya akan menurun bila keputusan MA dijalankan.

Tekanan dan intimidasi terhadap KPU sebagai pelaksana undang-undang mulai bermunculan untuk mengacuhkan putusan MA. Misalnya Partai Gerindra yang diprediksi kehilangan 16 kursi , PPP 17 kursi, PKS 7 kursi.

Sementara kubu yang akan diuntungkan dari putusan ini adalah Partai Demokrat yang bertambah 31 kursi, Golkar 19 kursi, dan PDIP 16 kursi. Mereka ini mendukung KPU melaksanakan putusan MA. Yang uniknya, ketiga partai besar pengusung capres yang berbeda ini sepakat membentuk Koalisi Konstitusi dan Keadilan yang mengusulkan KPU menaati keputusan MA. Jadi kepentingan pragmatis caleg dan partai politik yang telah berinvestasi banyak sangat terlihat disini. Koalisi pilpres nampaknya ingin ditahan sebentar .

Kemelut politik ini tampaknya bisa menemukan titik final dengan terbit putusan MK tentang hal ini. Meskipun MK tidak boleh menilai vonis MA, tapi vonis MA tersebut bisa digugat KPU ke MK sebagai sengketa hasil pemilu. MK bisa mengadili keputusan KPU tentang penerapan vonis MA, tanpa menilai vonis MA itu sendiri. Jadi MK hanya berwenang menilai keputusan KPU. Keputusan MK ini harus diupayakan terbit secepat mungkin, karena jika KPU mendiamkan putusan MA ini , maka dengan sendirinya putusan ini mulai berlaku efektif setelah 90 hari.

Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi

Kita tunggu gebrakan selanjutnya dari para hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan kemelut ini. Sejauh ini mereka selalu membuat keputusan brilliant di saat–saat penting. Mulai dari memperbolehkan calon independen, pemakaian sistem suara terbanyak dalam pemilu , sampai yang terbaru dengan memperbolehkan pemilih memakai KTP dalam pilpres.

Minggu, 24 Mei 2009

Mencermati Bahasa Politik Di Lampung ?

Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi pers dan peminat masalah sosial politik

POLITIK kepemimpinan di Lampung sudah menggeliat ketika Gubernur Pradjono Pranyoto, khususnya saat pengisian jabatan wakil gubernur antara Oemarsono dan Suwardi Ramli. Oemarsono sempat menjadi gubernur, sementara Suwardi Ramli hanya sampai wakil gubernur—eranya tetap di orde baru. Apa bedanya dengan era reformasi? Tidak ada sama sekali, bahkan di era reformasi, semangat putra daerah Lampung semakin luntur oleh kepentingan multikultur penduduk yang ada di daerah ini.

Oe—panggilan akrab gubernur Lampung Drs Oemarsono maktu itu, mampu memberikan kontribusi pembangunan masyarakat pedesaan yang cukup baik. Gejolak politik nyaris tidak ada. Semua tokoh mendukung posisi Oe menjadi kepala keluarga penduduk Lampung sampai kepada ‘wisata’ kunjunganb beberapa tokoh Lampung ke rumah pribadi Oemarsono di Wonosari. Hebat, segala penghormatan dan sikap santun yang ditunjukkan masyarakat Lampung. Apalagi, Oemarsono mampu membangkit gairan tenunan asli Lampung Tapis—kini menjadi trade mark hasil kerajinan tradisional Lampung yang sudah menyebar ke berbagai belahan dunia.

Pasca turunnya Oemarsono sebagai kepala daerah Lampung 1999, ternyata situasi dan kondisi politik di Lampung menjadi tidak karuan. Apalagi, ketika pemilihan Gubernur sebelum pilkada langsung, Alzier Dianis Thabrani yang terpilih akhirnya tidak dapat dilantik, karena berbagai persoalan. Sejak Alzier Dianis Thabrani tidak dilantik, kursi gubernur—yang kemudian diduduki oleh putra daerah Lampung, Sjachroedin ZP dan Syamsurya Ryacudu tidak pernah tenang, apalagi damai.

Walaupun sudah mendapat kekuatan hukum yang pasti di tingkat highest law process (proses hokum tertinggi) di Mahkamah Agung (MA). Persoalan gubernur Lampung tidak pernah sepi dari isu-isu local yang sebenarnya rakyat Lampung sudah dapat membaca, ke mana arah dan tujuannya, serta siapa di balik isu itu semua. Untung saja, masyarakat Lampung yang heterogen itu masih memiliki nilai kearifan sosial kemasyarakatan yang tinggi.

Tapi, nilai itu belum mampu memberikan apresiasi penyadaran yang sadar kepada elite politik di Lampung—hingga saat ini kita mencoba merasa supaya jelas target dan tujuan mereka (elite politik di Lampung). Ada kekhawatiran, Lampung yang dikenal sebagai salah satu daerah miskin di Indonesia berimbas langsung kepada elite politik tentang pendapatan per kapita mereka yang terus merosot. Dengan asumsi, adanya isu yang digulir terus menerus diharapkan adanya lobi-lobi politik yang menghasilkan uang.

Peresteruan politik di Lampung sampai saat ini secara kasat mata memang sudah tidak sehat lagi. Karena, ada beberapa faktor yang membuat keadaan tidak sehat, yaitu sudah menjurus penghakiman terhadap seseorang yang sangat belum jelas kesalahannya dan kekaburan persoalan hukum yang sudah jelas di tingkat pengadilan menjadi tidak jelas ujung pangkalnya. Realitas mencatat ada beberapa masalah besar yang mengaitkan eksistensi beberapa tokoh di Lampung sejak 2007. Tetapi, sampai saat ini belum ada proses hukum yang jelas. Akibatnya, status ‘tersangka’ menjadi semacam permainan kata-kata di media massa.

Apa yang terjadi saat ini di Lampung tidak lepas dari konspirasi politik sebagai kelanjutan SK-15/2006 yang gagal total melengserkan Sjachroedin ZP—Syamsurya Ryacudu dari kursi gubernur dan wakil gubernur atau gagalnya perjuangan kelompok Golkar yang tetap menuntut dilantiknya Alzier Dianis Thabrani sebagai gubernur Lampung.

Sayang sekali, apa yang terjadi di tingkat elite politik antara Gedung DPRD Lampung—Kantor Gubernur (Pemprov Lampung)—yang sekarang ditambah dengan KPU Lampung tidak mempunyai pengaruh yang besar terhadap rakyat Lampung yang berjumlah sekitar 7 juta jiwa itu. Di tengah masyarakat luas, mereka hanya terpengaruh dengan rendahnya nilai tukar rupiah, sehingga harga kebutuhan bahan pokok seakan-akan melejit dengan nilai harga rupiahnya yang tinggi. Rakyat akan menjerit terus, ketika sarana perhubungan (jalan) tidak pernah bertahan lama, sebentar-sebentar rusak.

Saya tidak mengkhususkan kajian apakah Oedin—Joko akan dilantik atau dibatalkan oleh DPRD Lampung. Yang jelas, semua tugas dan kewenangan sudah jelas dan ada aturan hukumnya. Dilantik atau tidaknya calon gubernur terpilih secara substansi bukan urusan DPRD, akan tetapi urusan presiden yang akan dijalankan oleh Menteri Dalam Negeri. Dan, sangat bukan menjadi urusan KPU. KPU setelah penetapan hasil pilkada sudah tidak lagi mengurusi pasangan calon gubernur terpilih—khusus prosesi pelantikannya. Karena, ketika penetapan sudah dilakukan berarti semua persoalan ketika berlangsung pilkada sudah selesai.

Tapi, yang jelas mencermati secara baik apa yang terjadi di dunia politik Lampung saat ini sudah jelas arah dan tujuannya. Para arsitek, designer dan sutradara di blik politik yang muncul tenggelam itu. Unfortunately, policies language that commodities principal to drop somebody or to force somebody or person group, evaluated very coarse and vulgar (Sayangnya, bahasa politik yang dijadikan komoditas utama untuk menjatuhkan seseorang atau untuk memaksa seseorang atau kelompok orang, dinilai sangat kasar dan vulgar). Seperti menterjemahkan fatwa MA tahun 2007—2008 lalu. Semua pihak menganggap diri merekalah penafsir yang akurat, padahal, tafsiran yang disertai debat kusir ‘pernyataan’ di media massa sangat-sangat kasar dan jelas nampak apa yang terjadi di balik semua itu.

Kasarnya bahasa politik para elite politik di Lampung terlihat ketika egois dan ambisi mereka tidak terkendali. Akibatnya, banyak mekanisme, prosedur hukum yang harus digunakan—akhirnya dianggap tidak perlu. Ke luar dari proses hukum dan mekanisme itulah yang membuat kisruhnya suasana politik di Lampung. Ketika ditanya kepada warga di desa atau kepada penyair yang suka bermain dengan kata; apakah mereka terpengaruh oleh situasi dan kondisi politik para elite politik di Lampung. Sudah pasti, mereka menjawab, “TIDAK!”

Menganalisa jawaban masyarakat banyak itu, apakah disadari oleh elite politik di Lampung bahwa sebenarnya mereka itu tidak memiliki ikatan emosional dengan rakyatnya. Elite politik di Lampung hanya bermain dengan kelompok mereka sendiri yang di sana-sininya ditulisi mereka “atas nama rakyat Lampung” Apakah bahasa itu tidak kasar untuk masyarakat post modern saat ini?

Bahasa politik seharusnya lebih halus, lembut, santun dan didalamnya banyak mengandung unsur estetika dan etika moral. Tanpa itu semua, tidak ada politik yang baik yang akan menghasilankan keputusan populer di tengah masyarakat. Karena kait mengkait itulah, jika andaikan DPRD Lampung benar-benar memparipurnakan pembatalan pelantikan Odien—Joko (hari Senin, 25/5/2009) ini, maka semua yang terkait dengan pilkada gubernur Lampung 2008 seharusnya dibongkar habis—seperti misalnya semua isu yang menyangkut eksistensi KPU Lampung, serta semua pasangan calon gubernur yang mengikuti pilkada 2008 lalu.

Sebab, politik pun harus berlaku adil ketika ia berhadapan dengan rakyat, karena basis politik ada di kehidupan rakyat kecil—karena politik selalu menjual nama rakyat ketika mereka akan mertebut kekuasaan di tingkat apapun bentuknya.

Rabu, 29 April 2009

Lakon Tunggal Pentas Demokrasi

Oleh Naim Emel Prahana
budayawan

BEBERAPA tetanggaku akhirnya tak mampu mengeluh, apalagi menyampaikan keluhannya ketika nama mereka raib dari bumi Indonesia, tidak dicatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) pemilu 2009 lalu. Padahal, kata mereka—sambil menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK) dan lembaran-lembaran pembayaran pajak setiap tahunnya.
Padahal, beberapa bulan sebelumnya mereka tercatat sebagai pemilih pada pemilihan kepala daerah di tempat mereka tinggal. Kini, mereka tidak lagi mampu berkata apa-apa, sebab nama mereka di-delete saat pemutakhiran daftar pemilih sementara (DPS) yang dilakukan oleh petugas KPPS. Dengan hilangnya nama mereka sebagai penduduk dari sisi DPT itu, praktis mereka kehilangan tanah air, kehilangan hak-hak sebagai warganegara dan kehilangan segalanya.
Tapi, bukan karena kehilangan itu mereka semakin tak berdaya. Lha, karen apa? Itu lho, sudah namanya tidak dicantumkan dan tidak dapat menggunakan hak pilih. Mereka dianggap golongan putih alias golput dan yang mengerikan adalah status golput itu telah diharamkan oleh MUI. Bukankah negara ini hebat?
Apalagi presidennya serta merta menanggapi masalah DPT dengan catatan “pemeritah akan membantu KPU soal DPT untuk pilpres Juli mendatang!”. Bak angin semilir seperti mendapat uang mendadak, sepertinya begitu menyejukkan dan menyegarkan perkataan itu.
Namun, apakah kita hanya selalu berkata, “Ya, yang sudah, sudahlah. Mari kita bangun bangsa ini lebih baik ke masa depan?” Setiap waktu kata-kata bijak itu selalu dimunculkan ketika banyak terjadi masalah di negeri ini. Akhirnya, memang kita tak pernah maju-maju, karena filosofi politis yang hanya kemasan kepentingan kekuasaan orang-orang tertentu. Mempertahankan status quo kekuasaan dewasa ini banyak ragam, rupa-rupawan yang semuanya mengatasnamakan rakyat. Rakyat sendiri tidak berdaya.
Kietika seorang presiden dengan mimik yang serius karena marah soal kenapa tarif angkutan umum tidak turun, padahal harga minyak sudah diturunkan. Terasa kita berada di kawasan Bronx Amerika Serikat, walau situasi dan kondisinya tidak baik untuk keamanan jiwa raga. Tapi, menyejukkan ketika presiden turun bicara soal tarif angkutan tadi.
Alhasil, tetanggaku tetap mengeluh. Karena ongkos naik angkutan kota atau angkutan poedesaan tetap tinggi, bahkan dinaikkan dengan alasan suku cadang kendaraan tidak turun. Sekolah yang katanya gratis sejak taman kanak-kanak (TK) sampai SMA, ternyata tetanggaku tetap bayar uang pendaftaran, dan pungutan dari komite sekolah. “Jadi, yang gratis itu di mana ya, Pak?” tanya tetangga sambil menyandarkan punggungnya di batang pohon mangga yang sudah kropos.
Ternyata yang gratis itu cuma ‘ngomongnya’ saja. selain itu tak ada yang gratis.
Di atas pentas demokrasi bangsa ini, bukan cuma melihat badut-badut yang enggan mati yang tidak mau menyerahkan tongkatnya kepada para cucu. Walau kakinya sudah pinjang, walau langkahnya sudah berat dan cuma mampu berjalan beberapa langkah saja. lalu, berhenti dan istirahat. Tapi, keinginannya untuk mempertahankan kekuasaan, apalagi namanya adalah penciunan jenderal, masih begitu menakutkan rakyat. Inikah wajah demokrasi yang sebenarnya yang pembangunan jembatan antara si kaya dan miskin tak pernah tercapai (tersambung). Sebab, makin lama makin lama jurangnya makin lebar.
Sedemikian hebat struktur demokrasi di Indonesia ini. Teori ya teori, pelaksanaannya penuh dengan duri yang tajam di balik senyum dan kata pengayom para petinggi di pusat kekuasaan. Sampai seorang petinggi dari Kejagung—Jampidus bilang, “ya sistemnya harus dirubah!” tapi, siapakah yang siap merubahnya? Mungkin pemerintah dan DPR-RI yang dipenuhi elite-elite politik yang sebenarnya tidak paham dengan politik beretika dan bersosial.
Di atas pentas demokrasi kita, semakin jelas; siapa-siapa yang akan mendapatkan bagian-bagian dari potongan kue negara dan bangsa ini. Sudah barang tentu ada lobi, deal-deal, dan koalisi-koalisi. Dan, sudah barang tentu pula ada ‘pura-pura’ polemik tentang sistem dan pelaksanaannya. Yang sedang berkuasa pastilah di atasnya dan yang mengatur semua pelaksanaan sistem yang didukung oleh negara asing yang adijaya tersebut.
Kalau membaca keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang suara terbanyak. Siapapun akan menterjemahkannya siapa yang mendapat suara paling banyak itulah yang memenangkan pertarungan ditambah dengan pemenang lainnya sesuai dengan kuota. Misalnya jumlah meja kursi tempat kue diperebutkan ada 50 buah. Sedangkan jatah yang akan didapati 15 orang. Logika ilmu berhitungnya, kalau seseorang mendapat 30 suara. Maka yang akan mendapatkan kursi meja berikutnya ada 14 orang.
Jadi, ke-14 orang itu akan mendapat kursi dan yang paling buncit mendapat kursi adalah orang yang memperoleh 17 suara. Suara ke 16 sampai dengan 1 yang diperoleh, tidak akan mendapat kursi. Hal itu jika dihitung selisih perolehannya adalah 1. Sayangnya pada pemilu 2009 yang menerapkan suara terbanyak, belum dapat dijelaskan sejel;as-jelasnya kepada masyarakat.
Masalahnya, melihat penetapan KPU untuk anggota legislatif periode 2009—2014, ternyata yang mendapat suara terbanyak kedua—walaupun puluhan ribu, toh masih kalah dengan yang mendapat suara cuma 3000-an dari partai lain. Apapun namanya, BPP, kuota, bilangan pembagi atau hasil akumulasi suara. Tetap saja definisi suara terbanyak tidak sesuai dengan hasil penetapan oleh KPU. Artinya, penghitungan suara dan standar suara yang bisa mendudukkan seseorang menjadi anggota legislatif masih menggunakan sistem pembagian kue.
Apakah fenomena tersebut akan menjadi basis demokrasi di Indonesia atau hanya hasil deal-deal antara penguasa dengan pelaksanaan pemilu?. Hanya doa dan harapan yang dapat dipanjatkan kehadirat Allah SWT. Karena Dia-lah yang Maha Mengetahui, Maha Melihat dan Maha Mendengar apa-apa yang menggeliat di alam semesta ini. Ini bukan persoalan frustasi karena mungkin ada jagoan (calegnya)-nya yang tidak goal. Tetapi hal itu hanyalah meneropong bahasa “suara terbanyak” sebagai pengganti “nomor urut” calon anggota legislatif.
Dengan hasil pelaksanaan pemilu 2009 ini, diharapkan UU pemilu, UU KPU dan peraturan-peraturan lainnya yang terkait dapat dikoreksi, dievaluasi dan direvisi, agar betul-betul sesuai dengan judul, karakter dan jiwa sistem suara terbanyak tersebut dan harus menyatu antara bahasa peraturannya dengan bahasa pelaksanaannya. Kalau tidak, tatanan sosial kemasyarakatan menjadi lebih rusak dibandingkan saat sekarang.
Sebab, pelaksanaan demokrasi semacam pemilu adalah ajang penyadaran masyarakat tentang arti kehidupan berbangsa yang saling menghormati dan bukan saling mengkhianati, apalagi menghidup konflik sosial karena pembagian kue kekuasaan sebagaimana saat ini sedang diupayakan para elite politik. Perseteruan di dalam konflik sosial masyarakat dewasa ini sangat tajam. Jumlah penderita stres atau pada akhirnya putus asa menjalani hidup di Indonesia, cukup meningkat tajam pula. Mulai dari anak SD sampai kakek-kakek sudah banyak yang bunuh diri, setidak-tidaknya menjadi gila karena himpitan beban ekonomi dirinya dan keluarganya.
Kita tidak mengharapkan lai munculnya pemain tunggal dalam lakon tunggal pentas politik di Indonesia. Kita menginginkan banyak lakon dan pemain dengan rambu-rambu yang jelas dan harus mengisi national building, bukan seedar ucapan atau tertera dalam GBHN. Melainkan harus diwujudkan dalam kehidupan masyarakat yang banyak tidak sejahtera dalam bidang sosial dan ekonomi.

Selasa, 23 September 2008

Pasca-Earthquake: Poor Family in Bengkulu Increase…

Pasca-Earthquake: Poor Family in Bengkulu Increase…
Pasca-earthquake: Poor Family in Bengkulu Increase
Achmad Zulkani

Earthquake with power 7.9 scale Richter in Bengkulu had two weeks ago passed. But, condition didn’t much changed because since first day earthquake until 6 days emergency perceptive period ended scream Bengkulu citizen, especially earthquake victims, still give same voice, which was food distribution wasn’t smooth yet. Citizen fear also increased because continuation earthquake kept swayed this “Rafflesia Earth ".
Moreover, after emergency perceptive period ended, next step that must be faced was recovery period. After that, all part must be ready to step on to do rehabilitation all infrastructure damage, not only citizen house, social facility, as well as public facilities.
Pasca-Earthquake handling in Province Bengkulu since the beginning had been reaped critic. Oblique sound started from inexistence of Governor Bengkulu Agusrin Maryono Najamuddin when disaster because was visiting Unite State of America. The peak was accusation toward victim data collecting that was valued very slow.

That accusation climax was closed by President Susilo Bambang Yudhoyono with sentence: victim data, building damage and necessity of various kind of necessity substance must be as soon as possible verificated. "I had 3 years experience take care on disaster," said President accused data that was applied by Governor Agusrin.
But, starter step handled disaster, which was emergency perceptive, until now wasn’t finished done yet. Whereas, all part must be remember in short time there will be recovery period that must be planned.
One problem that will be appear pasca-earthquake, like was admitted by Chief on Village Society Empowerment Institution Province Bengkulu Bahrullah Abbas, was threaten of the increasing of the number of poor family. “Poor family will be dame more buried, while that previously in float of poverty will be fall to poverty. Income that they have plan for daily necessity, some week in front must be put for house rehabilitation. Whereas, mostly earthquake victim was farmer and fisherman that life was difficult," he said.
Poor family data that was recorded for previous time was 183.931 families or 46% from 396.341 families. With number of population around 1.7 million, poor family in Province Bengkulu at least could be predicted more than 700.000 souls. Number that really made sad because pasca-earthquake the number was predicted increased with thousands poor family.

Among 7 regency and 1 city in Province Bengkulu, poor family mostly recorded in Regency North Bengkulu (43.761 family). There was also the most serious condition of earthquake damaged. From 18 sub district in North Bengkulu, 17 among them directly impacted with serious damaged level. The only one sub district that was slipped away from disaster was Enggano, an island that had distance 90 sea miles from Bengkulu City.

Bahrullah that in daily grasped as Implementer Chief Coordination Team Poverty Elimination Province Bengkulu admitted worry how must helped earthquake victim built again their house. For data collecting in this area they had been tired, how they could help built again the house that was damaged because of earthquake.
"It had been two years poor family data in Bengkulu didn’t improve. We didn’t have fund because APBD Province Bengkulu couldn’t expensed re-data collecting. Poverty number that was published Bengkulu now was collecting data result on period March-June 2005," he said.
APBD Province Bengkulu fund this year Rp 700 billion. But, mostly was allocated for routine fund, such as employee payment and functionary official journey.
"Bengkulu didn’t need to be worry because this area won’t let walk alone. Central government will be help because what they endure now is disaster. Because of that, I still feel sure pasca-earthquake we sill be able to back although in slow pace," said Governor Bengkulu Agusrin.
In west area of Indonesia

Economically, Bengkulu truly was left if it was compared with other province in Sumatra. Weak investment level, even like was admitted by Leader of Bank Indonesia Bengkulu Syarifuddin Basara, Jumat (21/9), on 2006 yearly investment grew negative with modal creation constant gross domestic reduce 3.52% (based constants price).

Productivity level in Bengkulu also low. Gross Regional Domestic Income (PDRB) this area was also dominated with agriculture sector (40.07%) with labor force spare in this sector 68.39%. On 2006, PDRB per capita Bengkulu Rp 4.678.456, which was on paper really increase than on 2005 Rp 3.904.051.

Moreover was further observed, actually without earthquake Bengkulu economy was really susceptible. Because, this area economy only put on agriculture sector. Nature condition that wasn’t conducive, the long period of dry season, as example, exactly gave an impact to economy growing. On 2006 Bengkulu economy growing was recorded 5.94%, increased 1% 2005 that was only 5.85%.

"Bengkulu really far left compared than other area. In metaphor, we are east area of Indonesia that was accidentally located in west. This Bengkulu was poorest," said Bengkulu official every time they were met with central official.

Expression that was always said repeatedly as if became correction in order that Bengkulu always be pitied. Whereas, although sources and finance ability of area was limited, properly ex-resident South Sumatra that was legalized as province on 18th November 1968 not always be a crybaby.

Trace of History
If want to see history, Bengkulu in the beginning was England colony. By England General Governor Thomas Stamford Raffles, this area then was exchanged with Malacca peninsula (now Singapore).

Not clear enough right or not that was on Raffles though on 1824. Maybe because he had been read future of this area that really didn’t prospective. Not clear also why Dutch colonizer that time wanted to let Malacca peninsula to be exchange with Bengkulu. Beside united area practical consideration, maybe Dutch also saw potency of coffee and black pepper.

Anything, history had recorded. Bengkulu that since colonial was known as one of coffee and black pepper producer based on London Treaty (1824) was really hand over from England to Dutch. Since that time, General Governor Raffles that was in command in Bengkulu on 1818-1824 then left that area to build power in Singapore. Bengkulu that was often gave name "Rafflesia Earth" (because here was founded many flower Rafflesia Arnoldi) until now like kept sink with its past.

History really couldn’t be denied. Compared with other province in Indonesia, Bengkulu fate like was really not lucky. Its geographic position that was in west coast with completely limited access made this area like difficult to come up. Moreover, Bengkulu was consider didn’t attractive for big scale investment.

Further result, Bengkulu forcedly built with totally relied on fund from central. Without that, this area likely would keep sinking. Because, from natural resources sector especially oil and gas that was often became one of measure standard as “rich” area, Bengkulu so far didn’t had arouse interest back up.

But, its status as poor area, unlucky geographic position, and limited of APBD actually shouldn’t became reason for Bengkulu to totally fell asleep pasca-earthquake. If all component of this area was optimistic, it could be Bengkulu was came up although must be wobbly....

“Nundang Binieak”, Gong Turun ke Sawah Serentak di Lebong

“Nundang Binieak”, Gong Turun ke Sawah Serentak di Lebong
Oleh :Achmad Zulkani (Kompas)

Ujang Syafarudin (69) membakar kemenyan seukuran jempol jari orang dewasa. Asap wangi kemenyan memenuhi ruangan besar di sebuah rumah tua di Muara Aman, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu. Apa yang dilakukan merupakan prosesi ritual budaya yang dalam bahasa Rejang disebut Nundang Binieak yang turun-temurun dilakukan sejak berabad silam. Nundang Binieak dalam bahasa sehari-hari bisa diartikan sebagai mengundang bibit.
Mulut tetua adat Muara Aman itu tampak komat-kamit membaca doa dan mantra. Doa untuk para leluhur dan semua warga Rejang, intinya agar Yang Mahakuasa memberikan keselamatan dan melindungi tanaman padi yang bakal ditebar.
Persis di depan Syafarudin tergeletak seonggok benih padi berbalut kain putih. Benih sekitar 2,5 kaleng atau setara 10 kilogram ini sebelumnya dibasahi air dan dicampur tujuh macam ramuan ”obat” tradisional, antara lain jeruk nipis, daun cekrau, daun kumpei, satu kilogram rebung bambu gading (bambu kuning), kunyit busuk, 20 buah pinang dan kendur. Semua dipotong kecil-kecil dan diramu menjadi satu dengan benih padi tersebut. Benih ini terdiri atas inti berasal dari tujuh tangkai padi hasil panen tahun sebelumnya yang disimpan khusus, dicampur dengan benih padi bantuan pemerintah.
Beberapa saat kemudian, Syafarudin membuka kain putih penutup onggokan benih padi itu. Ia mengambil air kelapa muda hijau dengan setangkai daun sidingin (juga ramuan obat tradisional). Air kelapa muda itu dipercikkan ke tumpukan benih padi sampai kelihatan basah.
Prosesi ritual budaya itu lantas ditutup dengan doa selamat dan makan bersama oleh semua yang hadir. Hidangannya berupa nasi puncung dengan dua ayam matang utuh yang ditaruh di atas talam. Ayam itu juga bukan sembarangan, tetapi harus ayam putih dan biring, yakni seekor ayam warna kuning keemasan baik kaki maupun bulunya. Ayam harus utuh, tidak dipotong-potong layaknya hidangan biasa.
Seusai makan bersama, warga yang hadir dibekali sejumput benih yang sudah diramu untuk dicampur dengan benih yang disiapkan di rumah masing-masing. Sebaliknya, warga yang tidak datang akan diberi, sampai semua petani kebagian.
”Nundang Binieak adalah ritual adat budaya turun-temurun sejak berabad-abad silam di Lebong,” kata Syafarudin.
Muara Aman, sebuah kota kecil tua berhawa sejuk di lembah hutan Taman Nasional Kerinci Seblat, sekitar 165 kilometer dari Bengkulu. Kota yang kini menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Lebong itu dihuni mayoritas etnis Rejang, etnis yang memiliki bahasa dan tulisan sendiri. Nilai-nilai adat dan budaya tradisional Rejang sampai sekarang masih dijunjung tinggi masyarakat setempat.
Cegah hama
Kenapa Nundang Binieak harus dilakukan? Menurut Syafarudin, di era modern sekarang tradisi yang sangat diyakini dan dipatuhi etnis Rejang di Muara Aman itu mungkin ditanggapi beragam oleh orang luar. Tetapi, bagi warga Rejang di Muara Aman, ritual ini diyakini bisa ”memagar” tanaman padi agar tak diganggu hama penyakit.
”Semua ramuan yang diaduk dengan benih padi ada artinya. Rebung bambu kuning misalnya, selama ini mampu mencegah tanaman padi di sawah dari serangan hama tikus. Kendur dan kunyit busuk diyakini dapat mengusir hama kutu seperti walang sangit. Jadi, ramuan itu bukan asal saja, tetapi diambil dari tumbuhan yang dipakai sebagai obat tradisional oleh masyarakat Rejang,” tutur Syafarudin.
Bagaimana kalau ritual Nundang Binieak ditinggalkan? Sembari menghela napas dalam-dalam, Syafarudin menyatakan, orang di luar etnis Rejang mungkin akan berkomentar beragam. ”Ini hanya sekadar tradisi, ritual adat dan budaya Rejang warisan nenek moyang sejak berabad-abad. Prosesi ritual ini lazimnya selalu menjelang turun ke sawah. Jika ada warga atau petani di Lebong tidak percaya ritual ini, silakan saja. Tidak ada pemaksaan, tergantung keyakinan masing-masing,” katanya.
Dua petani di Lebong, Amirul Mukmin (4 dan Khadijah (60), melukiskan, musim tanam tahun lalu ada petani yang tidak hirau dengan Nundang Binieak. Mereka turun ke sawah dan menanam padi tanpa menunggu prosesi ritual ini. ”Nyatanya, waktu itu sebagian besar tanaman padi di Lebong gagal panen. Hama tikus dan walang sangit mengganas. Apakah meluasnya hama saat itu ada hubungan atau tidak dengan ditinggalkannya tradisi ini, ya terserah orang mengartikan,” kata mereka.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bengkulu mencatat, musim tanam tahun 2007 tingkat keberhasilan panen di Lebong memang sangat rendah. Dari sekitar 3.600 hektar areal sawah yang ditanami warga, lebih dari 50 persen gagal panen karena diserang hama tikus.
Syafarudin menambahkan, sekarang tradisi ini sebetulnya sangat relevan. Dalam konteks kekinian, Nundang Binieak sama dengan gong atau ketok palu agar petani turun serentak ke sawah. Biasanya, warga tidak peduli kalau hanya diimbau pejabat pertanian. Tetapi, jika aba-aba turun ke sawah datang dari tetua adat, semua akan patuh.
Selain itu, kalau semua areal sawah digarap, tanam serentak, biasanya tikus tidak mengganas. Memang masih ada gangguan hama, tetapi tidak seganas kalau tanam tidak serentak. ”Logikanya sangat sederhana. Kalau semua areal sawah di hamparan luas digarap, pasti tikus kesulitan bersarang. Hama ini akan lari ke hutan. Jadi, dalam konteks kini sepertinya sangat cocok,” ujar Syafarudin dan Amirul Mukmin.
Kearifan lokal masyarakat Rejang ini sejatinya tidak bertentangan dengan program pemerintah. Pesan-pesan moral dari leluhur yang diwujudkan dengan tradisi seperti Nundang Binieak di Rejang barangkali tidak ada salahnya dilestarikan. Buktinya, setelah ritual itu, ribuan petani Lebong kini ramai-ramai turun serentak ke sawah….

Minggu, 21 September 2008

Membangun Obyek Wisata Danau Tes

Membangun Obyek Wisata Danau Tes
Oleh Naim Emel Prahana

Sungguh suatu keberuntungan bagi kabupaten Lebong yang dibentuk berdasarkan UU No 39 tahun 2003 itu mempunyai potensi alam yang sangat refresemtatif untuk dikembang-bangunkan berbagai obyek wisata alam. Apalagi, dari 192.424 ha luas wilayah, 134.834,55 ha merupakan kawasan konservasi yang termasuk bagian dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang luasnya mencapai 111.035 ha.
Ditambah lagi wilayah Kabupaten Lebong memiliki hutan lindung seluas 20.777, 40 ha dan hutan cagar alam seluas 3.022,15 ha. Memang secara produktivitas aspek-aspek kegiatan perekonomian mengalami kendala dengan adanya penetapan TNKS oleh SK Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 yang didukung oleh SK Menteri Pertanian dan Perkebunan RI No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan kawasan hutan lindung Rimbo Pengadang Register 42. sejarah penetapan kawasan hutan lindung yang mencakup wilayah Kabupaten Lebong itu dimulai pada zaman Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar tahun 1927 yang dikenal sebagai kawasan hutan Boven Lais atau disebut juga sebagai hutan batas Boswezen (BW).
Posisi itulah yang sering dijadikan alasan pemerintah kabupaten Lebong (Pemkab Lebong) untuk tidak bisa membangun wilayah itu semaksimal mungkin. Alasan itu sering menjadi sikap pesimis untuk memajukan Lebong, terutama meningkatkan kemajuan masyarakatnya di semua sektor kegiatan pembangunan. Namun demikian, kita tidak boleh terpaku dengan statuta kawasan hutan yang ada di Kabupaten Lebong itu. Apalagi bersikap pesimis.
Kabupaten Lebong dapat dikembangkan melalui pembangunan obyek wisata alam yang sangat besar pengaruhnya terhadap Pendapatan Asli Daerah itu. Sayangnya, hingga sekarang Pemkab Lebong belum membuat proposal tentang potensi obyek wisata daerah itu secara baik. Beberapa obyek wisata di Lebong yang dapat dikembangkan, memungkinan terjadi percepatan proses peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah itu.
Pengembangan dalam pembangunan sektor pariwisata di Lebong dapat dimasukkan ke dalam 3 (tiga) kelompok. Pertama, obyek wisata alam. Di mana alam Lebong yang sangat mempesona itu, dapat dikembangkan dan dibangun obyek wisata yang berskala Internasional. Misalnya keberadaan Danau Tes yang terletak antara Desa Kotadonok dengan Desa Tes (ibukota Kecamatan Lebong Selatan). Danau terbesar di provinsi Bengkulu itu mempunyai panjang sekitar 5 km dengan lebar rata-rata 200 meter.
Danau Tes yang mempunyai potensi ekonomi bagi masyarakat sekitarnya, jika dikembangkan menjadi obyek wisata. Kabupaten Lebong mempunyai peluang yang besar untuk meningkatkan PADnya melalui sektor pariwisata. Walaupun diusia yang hampir 10 tahun ini, Pemkab Lebong tidak mempunyai sense of build, khusus untuk pembangunan atau pengelolaan sektor wisata. Sementara mengolah daerahnya sendiri masih belum terorganisir secara proporsional dan profesional sebagaimana daerah kabupaten lainnya yang seusia dan lebih maju.

Profil Danau Tes
Danau Tes mempunyai kekayaan cerita rakyat berbentuk; legenda, mitos, kepercayaan dan sejarah nenek moyang orang lebong. Danau yang terletak di 2 (dua) wilayah kemasyarakatan (marga), yaitu Marga Jurukalang dan Marga Bermani itu—kemudian kedua marga itu digabungkan dalam satu marga (hingga sistem kemargaan dihilangkan) menjadi Marga Bermani Jurukalang. Wilayah Marga Bermani Jurukalang itu (salah satu asal suku Lebong) membawahi mulai dari Desa Tapus (Topos, desa tertua di Lebong) sampai Desa Turun Lalang. Sekarang secara administratif Marga Bermani Jurukalang terbagi ke dalam 2 (dua) wilayah Kecamatan, yaitu Kecamatan Rimbo Pengadang dan Kecamatan Lebong Selatan (awalnya hanya wilayah Kecamatan Lebong Selatan).
Danau Tes yang merupakan perut Bioa Ketawen (Air Ketahun) merupakan wilayah sumber mata pencarian penduduk sekitarnya, termasuk sepanjang Air Ketahun yang melintasi Kabupaten Lebong. Di danau itu, masyarakatnya dapat mencari ikan dengan pancing, jala, bubu, jaring, mengacea (mancing di air deras), tajua (pancing yang dipasang malam hari), menyuluak (mencari ikan di malam hari dengan peralatan lampu petromak, tombak ikan bermata tiga (trisula) dan menggunakan perahu) dan sebagainya alat penangkap ikan khusus masyarakat Kotadonok dans ekitarnya.
Bila siang hari, ketika melintas di jalan raya di pinggir Danau Tes, dengan jelas dapat dilihat masyarakat mencari ikan di tengah Danau. Sedangkan yang mencari ikan dengan peralatan kecil, biasanya berada di pinggir-pinggir danau.
Di sisi lain, Danau Tes merupakan sarana transportasi air bagi penduduk Kotadonok yang mengolah areal persawahan di kawasan sawah Baten (nama arean pertanian yang terletak diseberang Desa Tes, Taba Anyar, Mubai dan Turun Tiging). Alat transportasi penduduk ke sawah dengan jarak tempuh sekitar 4 km adalah menggunakan perahu kayu. Demikian juga, untuk mengangkut hasil panen, perahu adalah alat transportasi yang digunakan sejak zaman dahulu kala.
Di sepanjang jalan di tepi Danau Tes yang menghubungkan Desa Kotadonok dengan Ibukota Kecamatan Lebong Selatan, Tes sepanjang 5 km—yang jalannya adalah jalan utama di Kabupaten Lebong. Dapat disaksikan betapa indahnya panorama Danau Tes. Di sana ada tempat wisata bernama Pondok Lucuk (Pondok Runcing; karena bentuk bangunannya sejak zaman Kolonial adalah atapnya mengerucut ke atas dengan luas bangunan sekitar 6 X 6 meter. Lokasinya berada di sebelah kanan arah jalan dari Kotadonok ke Tes, tepat berada di pinggir Danau Tes.
Tidak jauh dari lokasi itu, terdapat sekolah Madrasah Tsanawiyah Negeri (MtsAin) Kotadonok. Dan, di puncak bukit sebelah kiri, terdapat keramat yang populer disebut dengan nama Tepat Taukem (tepat= keramat, taukem= nama tempat). Di Tepat Taukem itu terdapat besi bundar. Yang konon kabarnya, bagi anak haram (orang yang dilahirkan karena perbuatan zina di luar ikatan perkawinan yang saha), tidak akan mampu mengangkat bola besi tersebut.
Di tempat yang sama terdapat peninggalan sejarah berupa meriam besi. Daerah Tepat Taukem saat ini sudah tumbuh subur hutan pinus yang ditanam pada zaman orde baru sebagai bentuk penghijauan daerah tersebut.

Sabtu, 20 September 2008

Rabb, Aku dan Ramadhan

Rabb, Aku dan Ramadhan
Oleh Naim Emel Prahana

                                   
1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang[1].
2. Segala puji[2] bagi Allah, Tuhan semesta alam[3].
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
4. Yang menguasai[4] di hari Pembalasan[5].
5. Hanya Engkaulah yang Kami sembah[6], dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta
pertolongan[7].
6. Tunjukilah[8] Kami jalan yang lurus,
7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.[9]

[1] Maksudnya: saya memulai membaca al-Fatihah ini dengan menyebut nama Allah. Setiap pekerjaan yang baik, hendaknya dimulai dengan menyebut asma Allah, seperti makan, minum, menyembelih hewan dan sebagainya. Allah ialah nama zat yang Maha Suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak membutuhkan makhluk-Nya, tapi makhluk yang membutuhkan-Nya. Ar Rahmaan (Maha Pemurah): salah satu nama Allah yang memberi pengertian bahwa Allah melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-Nya, sedang Ar Rahiim (Maha Penyayang) memberi pengertian bahwa Allah Senantiasa bersifat rahmah yang menyebabkan Dia selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya.
[2] Alhamdu (segala puji). memuji orang adalah karena perbuatannya yang baik yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah berrati: menyanjung-Nya karena perbuatannya yang baik. lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan seseorang terhadap nikmat yang diberikannya. kita menghadapkan segala puji bagi Allah ialah karena Allah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji.
[3] Rabb (tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati yang Memiliki, mendidik dan Memelihara. Lafal Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan, kecuali kalau ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah). 'Alamiin (semesta alam): semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta semua alam-alam itu.
[4] Maalik (yang menguasai) dengan memanjangkan mim,ia berarti: pemilik. dapat pula dibaca dengan Malik (dengan memendekkan mim), artinya: Raja.
[5] Yaumiddin (hari Pembalasan): hari yang diwaktu itu masing-masing manusia menerima pembalasan amalannya yang baik maupun yang buruk. Yaumiddin disebut juga yaumulqiyaamah, yaumulhisaab, yaumuljazaa' dan sebagainya.
[6] Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.
[7] Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.
[8] Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. yang dimaksud dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik.
[9] Yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.

Pada suatu ketika, sebagai makhluk manusia yang diciptakan Rabb (Tuhan) yang memiliki kelebihan dari makhluk lain yang diciptakan-Nya. Adakalanya rasa takut menghadapi kewajiban seperti sholat, puasa di bulan ramadhan atau menghadapi sisa-sisa usia yang akan dijalani.
Dan, pada suatu ketika—banyak waktu ada keberanian dan kesiapan menghadapi semua persoalan-persoalan seperti di atas. Bagaimana menghadapi sesuatu yang merupakan kewajiban utama sebagai manusia yang beragama dan hanya menyembah kepada Allah SWT semata-mata? Setiap orang akan berbeda pola, cara dan mekanismenya selaras dengan pedoman Alquran dan Al-Hadist.
Keberanian dan kesiapan, bisa saja menjadi penghalang untuk beribadah dalam rangka meningkatkan iman dan taqwa kepada-Nya. Semisal karena terlalu berani dan siap, maka seringkali sifat takabur menghilangkan pikiran yang jernih, hati yang suci, mata yang terbatas jarak pandangnya, telinga yang sering terusik mendengar, mulut yang suka melebihi quota menyampaikan kata dan ucapan. Yang pada akhirnya menuntun tangan untuk melakukan yang tidak perlu dilakukan dan melangkah di jalan yang seharusnya tidak dilewati.
Ada banyak filosofi kehidupan yang diberikan-Nya kepada manusia, demikian pula karakter dan sifat yang diajari oleh Rasulullah saw. Yang hingga kini tetap up to date untuk dipedomani. Hanya, manusia saja yang sering mengabaikan dan menganggap akal pikiran dan ilmu pengetahuan lebih hebat daripada Allah sang pencipta langit dan bumi.
Seandainya dalam kehidupan di alam fana ini, ada yang menganggap segala sesuatu yang hebat selain Allah. Maka, jalan sesat dan jalan kelam akan menghadang perjalanan kehidupan sampai di alam baqa. Demikian pula ilmu pengetahuan manusia yang begitu hebat tentang sesuatu ilmu (ilmu agama), pada akhirnya sangat serakah, takabur dan mengaburkan arti nilai-nilai agama yang dikandungi di dalam kitab suci.
Oleh karena itu, satu dosa tidak dapat diberikan kepada semua orang. Tapi, hukuman akibat perbuatan dosa manusia dapat dijadikan satu moment, seperti bencana alam (gempa, banjir, tanah longsor dsb). Manusia selalu memahami dan menyadarinya sebelum melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama Allah, tetapi kesadfaran dan pemahaman tersebut sering tidak dimunculkan dalam tatatertib kehidupoan sehari-hari. Yang mengakibatkan sesal selalu setelah kejadian berlangsung.
Banyak logika yang diciptakan manusia untuk mengingkari ajaran agamanya dan banyak sekali alibi untuk tidak menjalankan ibadah wajibnya. Sebagai contoh di bulan ramadhan ini. Tidak lagi menjadi rahasia, mereka yang sehat, segar bugar baik fisik maupun psikis meninggalkan puasa ramadhan dengan alasan sakit mag, dengan alasan melakukan perjalanan jauh (walau dengan pesawat terbang yang jarak tempuh ratusan kilometer hanya menghabiskan waktu sekian menit.
Sering juga alasan dikedepankan untuk tidak berpuasa karena lupa sahur, atau alasan lainnya yang sebenarnya diakui sendiri adalah sebagai kamuflase saja. Seakan-akan Tuhan tidak mengetahui apa yang kita lakukan, apa yang kita pikirkan. Padahal, Tuhan adalah pencipta manusia. Kalaulah kita mampu membohongi orangtua, anak, sahabat, aparat penegak hukum, pejabat atau siapa saja. Tapi, kita sebagai manusia tidak pernah dapat membohongi “diri sendiri” dan Tuhan.
Karena aku ‘manusia’ banyak melakukan keingkaran mengakibatkan menggunungnya kesalahan dan dosa. Maka Tuhan memberikan kesempatan untuk menyadari semua kesalahan dan doa tadi. Janji-Nya adalah paling benar dan sangat ditetapi Rabb. Maka selama 12 bulan dalam setahun, Tuhan memberikan sebulan penuh untuk manusia bercermin kembali tentang dirinya. Di bulan itu Rabb memberikan keutamaan, kesempurnaan yang diakhiri dengan hari yang fitri (suci bersih), yaitu Hari raya Idul Fitri.
Sekarang, kita kembali ke persoalan manusia itu sendiri. Sebagaimana Surat Al-Fatihah di atas, tentu saja Rabb tidak memberikan kebebasan kepada semua orang, kendati mengakui dan ber-KTP dengan agama Islam. Bulan suci ramadhan diperuntukkan kepada “orang-orang yang beriman”, demikian pula hari yang fitrah diberikan kepada orang-orang yang melaksanakan puasa wajib ramadhan dengan keimanannya.
“selamat berpuasa semoga senantiasa dalam lindungan Allah SWT, mari kita bersihkan semua tubuh (fisik) dan jiwa (psikis) kita dengan melakukan kegiatan rutin yang berisi nilai ibadah dan amal”



-------ke Lampost 29 Juli 2008
Pengembangan Kesenian Dalam Perkembangannya
Naim Emel Prahana
Budayawan dan penyair tinggal di Metro

TULISAN-tulisan berbentuk esay, opini, artikel atau laporan khusus di media massa sampai saat ini cukup banyak dan penulisnya beraneka ragam tingkatan dan kepetingan masing-masing. Pada umumnya merupakan bagian dari pencitraan diri dan kelompok dalam kancah kesenian itu sendiri. Toh, itu sangat-sangat wajar dan boleh dibenarkan dari kacamata tertentu.
Mengutip beberapa pernyataan lisan (bahkan tulisan), banyak juga yang bilang, orang-orang seni itu sulit untuk diatur, seperti orag-orang olahragawan dan wartawan. Yang belang demikian itu adalah salah satunya mantan ketua umum Dewan Kesenian Lampung—almarhum Herwan Achmad beberapa waktu silam di markasnya wartawan—Balai Wartawan di Bandarlampung.
Apa yang terjadi di tengah masyarakat modern dewasa ini, mempersoalkan kesenian dalam pengelompokannya—bisa jadi sebagai kegelisahan dan ketidak-mapanan masyarakat mempertahankan nilai-nilai kesenian tradisionilnya di tengah gegap gempita nilai-nilai kesenian pop (populer) melalui beragai medium. Ada dua hal yang harus kita fokuskan; pertama, kehadiran kesenian masyarakat modern (atau peradaban teknologi) tidak dapat dihindari. Kedua, mempertahankan, melestarikan dan mengembangkan sayap-sayap kesenian tradisionil, harus jadi bagian tak terpisahkan dari proses pembangunan Nasional di daerah masing-masing.
Ada beberapa kata yang perlu disikapi pasca lahirnya Instruksi Mendagri No 5A/1993 tentang pembentukan lembaga kesenian di tiap-tiap provinsi (daerah). Lembaga itu diberi nama Dewan Kesenian ‘Daerah’—istilah ‘daerah’ itu diganti dengan nama daerah. Misalnya, Lampung—maka jadilah nama lembaga itu, Dewan Kesenian Lampung.
Kehadiran Dewan Kesenian (DK) di tiap-tiap daerah dimaksudkan, untuk membantu pemerintah daerah dalam rangka mengembangkan, memajukan dan meningkatkan aktivitas berkesenian, agar menjadi salah satu potensi daerah yang mampu memberikan manfaat ganda (kepada pemerintah dan masyarakatnya).
Sayangnya, terjemahan tersebut tidak lengkap dibaca di kalangan eksekutif, bahkan di kalangan seniman sendiri. Yang pada akhirnya, terjadi conflict area tentang penanganan DK itu sendiri, termasuk anggarannya. Terutama bagi daerah yang belum semapan DKI Jakarta, DI Yogyakarta atau Provinsi Bali, Riau, Sumatera Barat dan daerah lainnya.
Jadi, mengharapkan peran pemerintah terhadap pengembangan kesenian di daerahnya atau mengharapkan peranan DK terhadap perkembangan kesenian, merupakan suatu rangkaian yang butuh kerja keras dan kejujuran kedua belah pihak. Sehingga nantinya, kesenian itu merupakan wujud cita rasa dan karsa masyarakat yang mempunyai nilai-nilai luhur untuk kebaikan dan kebajikan. Oleh karena itu, DK merupakan wadah untuk berkesenian (dalam ruang lingkupnya terdapat juga sastra).
Dengan adanya ‘wadah’ itu tadi, kemungkinan untuk berkembang dan majunya suatu kesenian sangat besar sekali—asal DK itu diterjemahkan betul-betul menjadi “wadah kesenian”—kesenian di situ jangan diartikan hanya untuk seni—seniman lukis, tari, musik, arsitektur. Tetapi, jiwa sastra tergabung di dalam kata ‘kesenian’ itu sendiri. Demikian juga ketika penulis membawa pedoman DK tahun 1987—dikirim oleh Bang Leon Agusta dan Abdul Hadi WM, ketika keduanya masih menjadi petinggi DKJ (Dewan Kesenian Jakarta)—yang pada awalnya AD/ART DKJ itu penulis ingin jadikan sebagai AD/ART Dewan Kesenian Metro (DKM) ketika itu masih dalam wilayah administratif Kabupaten Lampung Tengah.
Mengenang sepintas sejarah berdirinya DK di Lampung yang dikenal dengan DKL itu, barulah terwujud tahun 1993 yang rapat-rapatnya dilakukan di Dinas Pendidikan, Kantor Depdikbud dan Kantor Parawisata. Penulis pikir, sejak kurun 1993 sampai sekarang ini, DKL sudah banyak berbuat berdasarkan persepsi para pengurusnya—dana, kalau mau menjangkau aktivitas berkesenian Lampung dari ujuang Way Kanan, Tulangbawang, Lampung Barat, memang agak sulit. Akibat kesulitan itu, terjadilah anggapan DKL belum berperan sebagaimana mestinya.
Ada beberapa persoalan yang mengganjal ketika DKL, mungkin DK lainnya di daerah lain di luar Lampung tentang keberadaan lembaga kesenian itu. Antara dipimpin birokrat dan non birokrat. Persoaln itu terus bergulir sepanjang sejarah berdirinya DK. Sebenarnya, DK dipimpin birokrat atau tidak (dipimpin seniman), tidak jadi masalah, asal komitmen semua pihak; pemerintah dan seniman bersatu.
Karena DK lembaga pemerintah nonstruktural—kewajiban pemerintah menyiaplan anggaran DK, tidak otomatis DK itu dapat dipolitisir hanya demi kepentingan pemerintah. Situasi dan konisi seniman yang menurut seorang teman penyair Lampung, “nasib yang sangat kurang”—itu tidak berarti adanya kesalahan pemerintah. Tetapi, banyak faktor lain—yang kadang dari internal seniman itu sendiri. Kekayaan yang dimiliki seorang seniman adalah sense of art and culture—yang diyakini mampu memberikan nilai tambah kebutuhan kehidupannya. Jika tida, ya seniman tidak akan berhenti jadi seniman.
Realistis sekali, bahwa DKL dan DK-DK di provinsi lain pasca Instruksi Mendagri No 15A/1993 adalah produk orde baru (rezim Soeharto dengan Golkar + TNInya); orde baru lahir, karena ketidak puasan dengan orde lama (rezim Soekarno dengan manifes politiknya). Dan, bagaimana kelahiran gerakan Reformasi 1998? Itu, juga ketidak-puasannya dengan orde baru (rezim Soeharto dan kroni-kroninya).
Maka, rentetan sejarah panjang mengenai gerakan dan aktivitas berkesenian, sudah menjadi referensi kekayaan kesenian di Indonesia dengan ragam etnis dan budayanya, termasuk ragam keseniannya. Bagaimana rasanya ketika dicekal? Penulis dengan beberapa seniman di Metro (Lampung Tengah waktu itu) beberapa kali dicekal oleh pemerintah cq Pemerintah Lampung Tengah dengan kekuatan TNI di markas Kodim Lampung Tengah.
Tahun 1990-an penulis bersama Emha Ainun Najib dicekal tampil di kampus Universitas Muhammadiyah Metro (UMM), kemudian bersama Teaterawan Ganti Winarno yang punya teater Krakatoa—pun dicekal oleh Bupati Lampung Tengah waktu itu (Suwardi Ramli). Kemudian tahun 1992, ketika akan mengadakan Temu Penyair Se Sumbagsel di Metro pun dicekal—waktu itu termasuk Emha Ainun Najib. Mendengar kabar dicekal, Emha Ainun Najib yang baru turun di Bandara Branti, langsung balik arah—kembali ke Jakarta.
Pada saat yang sama di struktur organisasi kepemerintahan, ada dua dinas yang sama-sama bergerak. Pertama, Dinas Pendidikan dan kedua, Departemen Pendidikan dan kebudayaan—Depdikbud. Dua-duanya mempunyai bidang garap yang sama terhadap kesenian. Kesenian versinya pemerintah melalui dua dinas/instansinya. Tapi, pencekalan-pencekalan demikian, pada zamannya itu, tidaklah aneh. Sebab, ketika negara dengan kekuasaan pemerintahnya begitu kuat, maka karya seni dan sastra yang berkualitas bermunculan.
Yang lebih anehnya adalah pencekalan sesama seniman—sastrawan—budayawan, yang pernah penulis alami di Yogyakarta. Acara yang akan dilaksanakan bersama penyair Muawar Syamsudin, redi Panuju, Dono S, dan kawan-kawan, akhirnya dicekal oleh penyair Ragil Suwarno Pragolopati—yang kemudian penulis ajak berkelahi di sebuah masjid di bilangan Konwilhan Yogyakarta. Itu, memang terasa agak menjengkelkan. Sebab, saat itu ada upaya sistimatik dan terorganisir, untuk mengusir para seniman, penyair dan penulis yang bukan penduduk asli Yogyakarta.
Berkaca dari itu semua, sejak zaman orde baru, kebudayaan dalam struktur organisasi pemeirntahan terpisah dengan pariwisata—yang saat itu parawisata akrab dengan figur Joove Ave. Sedangkan digaris departemen kebudayaan ada nama-nama Fuad Hasan dan sebagainya. Itulah sejarah, apapun bentuknya sejarah itu adalah waktu yang sudah dilalui. Sebab, dalams ejarah manusia, tidak ada satupun manusia terhebat di dunia ini mampu menciptakan sejarah pada saat ia hidup.
Memang seharusnya, karena DK itu ditunjang dengan bantuan dana oleh pemerintah daerah masing-masing, besar kecilnya tergantung kepada kepasihan, kepahaman dan kesadaran para birokrat di daerah masing-masing. Dan, tugas seniman adalah memberikan masukan-masukan. Misalnya, betapa pentingnya pembangunan sarana dan prasarana berkesenian di daerah. Sebagai contoh, Lampung hingga saat ini belum memiliki gedung kesenian khusus (gedung khusus kesenian). Padahal, kota Baturaja—ibukota kabupaten OKU induk di Sumsel saja, sudah memiliki gedung kesenian (khusus) dengan kemegahannya.
Substansi kesenian itu memang luas, tidak sekedar menapilkan karya-karya seni, kemudian jika ada penawaran maka akan dilego (dijual) dengan harga pantas; bukan hanya sekedar untuk mengisi daerah tujuan wisata (DTW)—sebagai salah satu bentuk penggalioan PAD, atau bukan hanya ada atau tidaknya DK. Tetapi, lebih luas lagi. Di masyarakat tradisional, kesenian sangat sederhana mereka baca dan mereka jalankan. Adalah suatu prestasi bagi senimannya, jika kesenian yang mereka pahami dan mereka kuasai, diundang dan diberi penghargaan berupa uang atau piagam. Kebanggan itu akan menjadi cambuk untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas berkesenian mereka. Itu salah satu contoh.
Jadi, pengembangan kesenian saat ini dapat dilakukan dengan berbagai cara—tanpa meninggalkan unsur-unsur seni dalam berkeseniannya itu. Terutama menghadapi perkembangan kesenian di abad teknologi saat ini. Berkesenian dalah penciptaan jati diri melalui kesadaran nurani. Semua orang mempunyai jiwa seni, akan tetapi tidak semua orang mampu mensosialisasikan jiwa seninya itu. Ketika orang itu mampu mengemukakan jiwa seninya dan orang yang melihat (menonton) karya seninya itu menyadari betapa pentingnya seni dalam kehidupan, maka kekuasaan apapun dapat dikalahkan.
Oleh sebab itu, kesenian yang hanya ‘format’ atau ‘formalitas’ tidak akan bertahan dan tidak akan memiliki nilai seni—seperti zaman orde baru, banyak sekali isteri pejabat yang tiba-tiba jadi penyair, seperti isteri Bob Hasan—si Pratiwi dengan berbagai acara pembacaan puisi dan meluncurkan antologi puisi. Sementara itu, penulis dan penyair aslinya masih jungkirbalik memikirkan, apakah karya puisinya itu berkualitas atau tidak. Belum terpikirkan, apakah aku si penyair itu akan populer atau tidak.
Pada akhirnya, sebagai catatan bahwa, seniman; penyair, cerpenin, esay, teaterawan/dramawan, musikus, penari, sineas dan lainnya, tidak pernah dilahirkan oleh Dewan Kesenian. Sebab, merekalah yang melahirkan DK tersebut. Soal mengembangkan seniman; penyair, cerpenin, esay, teaterawan/dramawan, musikus, penari, sineas dan lainnya, barulah tugas DK, setidak-tidaknya melihat bagaimana perkembangan kesenian saat ini.

Komitmen Partai: Golkar Apa ‘Golkar?’

Komitmen Partai: Golkar Apa ‘Golkar?’
Oleh Naim Emel Prahana

POLITIK memang, selalu menyisakan intrik-intrik dan konflik sosial. Padahal, politik tidak semuanya dapat dijalankan sebagaimana substansi politik yang sesungguhnya. Bila membicarakan politik—selalu saja fokusnya ke pengambilalihan kekuasaan dengan trik dan strategi politik para pengurus partai politik.

Padahal diketahui, di dalam hidup masyarakat politik itu dikenal sebagai cara dan upaya menghadapi berbagai persoalan, untuk dapat dicarikan solusinya. Sehingga, tidak semua orang dapat dan bisa ditunjuk untuk berbicara terhadap pihak lain mernyangkut penyelesaian suatu persoalan antar kelompok, antar individu dalam masyarakat dan antar masyarakat suatu desa dengan desa lain.

Bila itu semua dapat dipahami sekitar 60—80% anggota masyarakat suatu wilayah (desa, kampung, kelurahan, kecamatan atau wilayah lebih luas lagi). Niscaya politik bukanlah hanya untuk merebut kekuasaan. Tetapi, politik lebih cenderung digunakan sebagai cara untuk mengatasi berbagai persoalan yang sudah dan sedang terjadi.

Sayangnya, selama ini masyarakat Indonesia hanya dicekoki atau diberi pemahaman sebatas bahwa politik itu hanya suatu cara bagaimana merebut kekuasaan. Padahal, tidak demikian. Oleh karena itu, dalam penyelesaian menggunakan cara politik. Orang yang diberi tugas benar-benar orang yang mampu mengutarakan dan menyampaikan bahasa komunikasi yang tepat, baik serta bijak dan lainnya.

Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas. Untuk membuka cakrawala berpola pikir masyarakat menghadapi hajat daerah dan nasional. Maka, baik pula kita coba menelaah hasil-hasil pemilihan kepala daerah di beberapa daerah di Indonesia. Terutama pasca diperbolehkannya calon alternatif (jalur independen) untuk mendaftarkan diri sebagai bakal calon kepala daerah di suatu daerah (provinsi atau kabupaten/kota).

Fenomena menarik untuk dilihat dari kacamata masing-masing dewasa ini adalah kekalahan calon-calon yang diusung oleh Partai Golongan Karya atau populernya Golkar di beberapa pilkada. Golkar yang pernah mendominasi pemerintahan Indonesia selama 32 tahun. Pada akhirnya harus menerima kenyataan. Kenyataan yang bisa dikelompokkan kepada citra partai yang kian memudar dan obsesi pengurus partai yang banyak melanggar komitmen partai Golkar itu sendiri.

Komitmen partai Golkar yang sudah dituangkan dalam AD/ART dan Peraturan Organisasi (PO), juga petunjuk-petunjuk pelaksana (Juklak) yang sudah dikeluarkan dan diberlakukan itu. Ternyata dilanggar sendiri oleh pengurus Golkar. Baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah. Akibat dengans engaja melanggar aturan partai itu, tentunya tidak semua fungsionaris dan kader Golkar menyetujui adanya unsur sengaja dalam bentuk pelanggaran aturan organisasi tersebut.

Sekarang, timbul pertanyaan; mungkin karena hal itu menjadi salah satu faktor penyebab kekalahan para petarun (calon) yang diusung oleh Golkar pada beberapa Pilkada akhir-akhir ini? Bisaja jadi sebagai salah satu penyebab. Dengan asumsi, bahwa faktor penyebab lainnya masih banyak dan mungkin mendominasi akibat yang diterima oleh Golkar saat ini.

Adalah satu hal yang dianggap sepele oleh pengurus Golkar akhir-akhir ini adalah persyaratan mutlak Ketua DPP, DPD I Provinsi, DPD II Kabupaten/kota adalah minimal si calon ketua mempunyai pendidikan S-1 (sarjana). Sejalan dengan itu, saat ini ada beberapa daerah, di mana ketua DPD Golkar itu dipilih—lebih tepatnya ditunjuk dengan kekuasaan orang-orang yang dilihat hanya dari sisi ekonomi, populeritas atau sepakterjangnya yang berani. Klausula minimal pendidikan yang harus ada, dikesampingkan begitu saja. Hal itu termasuk di Lampung.

Berkaitan dengan itu, ada syarat lain yang selalu dinodai oleh pelanggaran pengurus dan oleh kader partai, yaitu untuk menjadi ketua partai ada syarat minimal seseorang itu pernah menjadi pengurus sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun. Berarti, unsur yang dikedepankan itu mengisyaratkan, bahwa (1) yang tidak memiliki pendidikan S-1 secara otomatis tidak dapat dipilih dan diangkat serta disahkan menjadi ketua partai (sesuai tingkatannya). Ke (2) dengan syarat minimal pernah duduk sebagai pengurus setidak-tidaknya 1 (satu) tahun memberikan hak otomatis, bahwa seseorang yang tidak pernah jadi pengurus partai Golkar, tidak dapat diterima dan didudukkan sebagai pengurus DPP, DPD I dan DPDI kabupaten/kota.

Kenyataan, berbicara lain. Kecenderungan melanggar AD/ART, PO dan Juklak Partai Goplkar oleh orang Golkar sendiri, merupakan mata rantai sebab yang menyebabkan Golkar menghadapi citra diri yang terus merosot di mata masyarakat. Akibatnya, petarung mereka di beberapa pilkada harus puas dengan kemenangan petarung dari partai lain.

Di sisi lain, politik devide et impera dalam tubuh partai atau dalam kepengurusan Golkar, jelas mempunyai dampak sangat tidak menguntungkan Golkar dalam beberapa momentum pilkada. Mungkin juga momentum pemilu 2009 dan pilpres. Perjalanan berikutnya akan berhembus wacana-wacana untuk mengganti Ketua Umum DPP Golkar sejak 2007 lalu. Bagaimana untuk melakswanakan Munaslub—mengganti Ketua Umum DPP Golkar.

Asumsinya, jika Golkar sudah tidak mematahui aturannya sendiri, maka sangat jelas kalau Golkar tidak akan peduli dengan komitmen politik terhadap rakyat. Jika ini benar, maka sangat beralasan kalau rakyat meninggalkan Golkar secara perlahan tapi pasti. Diyakini bahwa hingga sekarang fungsionaris Partai Golkar, baik di pusat dan daerah masih mengidam-idamkan mereka seperti zaman orde baru.

Di mana, zaman itu Golkar berlindung di balik kekuatan TNI dan kekuasaan pemerintah. Sekarang, era reformasi keinginan seperti itu tidak akan dapat diulangi lagi, pendidikan politik rakyat sudah cukup baik—kendati belum baik benar.

Persoalannya, mampukah orang-orang Golkar mematuhi aturannya sendiri atau aturan itu mereka kedepankan hanya untuk kader partyai tingkat bawah saja dan tidak berlaku bagi kader partai yang memegang kekuasaan partai. Satu hal lagi yang menarik kita cermati Partai Golkar ini adalah selera pengurus pusat yang begitu rendah, jika berhadapan dengan upeti dari pimpinan partai dari daerah.

Misalnya, ketika disodorkan biaya untuk umroh atau lainnya, membuat oknum pengurus pusat silau dan membiarkan fakta dan data kebenaran di lapangan menjadi basi dengan membenarkan tindakan Ketua DPD I atau DPDII untuk melakukan aksi-aksi pembabatan dan pemalakan liar terhadap kader partai yang ada di lembaga legislatif.

Jadi, menurut hemat saya. Di tubuh Golkar harus ada perubahan yang besar-besaran dan yang patut dijadikan pengurus adalah orang-orang yang bukan type bunglon atau mereka yang selalu mengedepankan laporan asbun. Saat ini Golkar menghadapi orang-orangnya sendiri yang mematahkan aturan serta managemen partai yang sudah baik menjadi tidak dapat dipergunakan. Itu semua karena ambisi politik yang salah. (penulis peminat masalah hukum, sosial politik dan praktisi pers)


-------------opini 2
The Young Sumatera, Bangkitlah
Oleh Naim Emel Prahana

MEMBAYANGKAN seandainya Indonesia tanpa Pulau Sumatera, apa jadinya! Apa jadinya pula kalau pemberotakan PRRI Semesta memenangkan konflik bersenjata dengan Pemerintah RI di bawah Presiden Soekarno dan Wakilnya Moh Hatta dimenangkang PRRI Permesta yang berpusat di Bukittinggi, Sumatera Barat. Lagu Indonesia sepertinya mengalami kerusakan atau robek di sana-sini.

Perandaian atau andaikan itu, kini dan akan datang masih tetap ada kemungkinan-kemungkinan terjadinya suatu persoalan bangsa dan negara ini yang lebih serius lagi dibandingkan dengan apa yang sudah dan sedang terjadi saat ini. Contohnya, konflik antara Aceh dan RI. Pemerintah Indonesia saja sudah tak mampu mengatasinya, tanpa keterlibatan pihak ketiga.

Namun, dalam situasi dan kondisi ini kita tidak boleh terjebak isu kedaerahan yang akan mendangkalkan filosofi national building. Mengingati pemerintah RI dari dan dengan berbagai momentum sejarah bangsa yang kita ketahui dan pelajari selama ini sebagai basis nilai-nilai kebangsaan.

Indonesia pernah dikhawatirkan akan menghadapi persoalan seperti Yugoslawakia, dan seperti Uni Soviet yang terpecah belah menjadi bagian-bagian negara yang berdaulat penuh. Artinya, Indonesia lebih rawan, jika jiwa nasionalisme di tengah masyarakat saat ini terus merosot. Nilai-nilai kebangsaan meluntur berbarengan gencarnya pengaruh budaya asing (infiltrasi).

Salah satu bagian terpenting dari Indonesia tentunya Pulau Sumatera dengan sekian sukubangsa yang ada, sekian kebudayaan yang mandiri, sekian hukum adat yang berlainan satu dengan lainnya. Sumatera menjadi penyanggah utama kehidupan masyarakat di Pulau Jawa. Tapi, Sumatera lebih banyak tertinggalnya dibanding Pulau Jawa.

Sementara itu, situasi dan kondisi Pulau Sumatera pun semakin runyam dengan tingkat kerusakan lingkungan alamnya yang sangat tinggi dan luas dirasakan oleh masyarakat, bahkan masyarakat dunia. Seperti pembakaran hutan dengan produksi asapnya sampai ke seluruh Asia Tenggara. Pembukaan areal perkebunan besar setelah PP 20 tahun 1970 disahkan pemerintah Orde Baru—sekaligus menyemai, mengembang-biaknya praktek illegal logging.

Sementara ini, masyarakat yang mayoritas di Sumatera tidak paham betul dampak fatal akibat ilegal logging, pembakaran hutan dan pembukaan lahan pertanian baru oleh masyarakat pedesaan. Sumatera tinggal menunggu kehancuran lingkungan. Pertsoalaannya tinggal hitungan waktu saja lagi. Kerusakan itu akan lebih cepat dari perkiraan ketika penagakan hukum di Sumatera makin lemah oleh berbagai faktor.

Semua itu merupakan bagian tak terpisahkan dari The Crisis of Indonesia. Kawasan-kawasan Taman Nasional seperti Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional di Aceh dan lainnya. Sudah menjadi lahan empuk para pengusaha pengelola hutan yang diback-up habis oleh oknum-oknum. Mulai dari oknum pejabat pusat hingga Desa, mulai dari oknum yang ada di Mabes Polri, TNI dan Kehutanan hingga ke Polsek-Polsek, Koramil dan Petugas Jagawanan.

Bayangkan saja, dalam laporan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang menyebutkan dalam setahunnya kerugian akibat illegal logging lebih dari Rp 27 triliun. Sedangkan Polri menyebutkan kerugian akibat illegal logging setahunnya mencapai Rp 30 triliun. Bukankah itu angka fantastis di negara yang masih diliputi krisis multidimensional? Artinya, setahun Indonesia kehilangan kayu-kayunya akibat pembalakan liar (illegal logging) mencapai 23,33 juta kubik kayu.

Kerusakan dan kehancuran serta kerugian akibat illegal logging, sangat terasa. Korban harta benda yang dimiliki masyarakat akibat longsor, banjir dan perubahan iklan (suhu) di Indonesia yang makin tak menentu, sekaligus menhilangkan dan melenyapkan devisa negara dari hasil-hasil hutan. Masalahnya semakin berat dan rumit untuk direhabilitasi karena rusaknya berbagai infrastruktur, konflik sosial di sekitar wilayah hutan yang rusak tersebut.

Sedangkan sektor perekonomian masyarakat menjadi bulan-bulanan arus globalisasi yang dimainkan para kapital-kapital yang berkalaborasi dengan oknum-oknum di berbagai instansi pemerintah maupun swasta. Kerusakan dan kehancuran hutan tidak akan terjadi manakala tidak ada unsur KKN yang menjamur sejak era reformasi 1998.

Tidak heran dan sudah terbukti, jika pembalakan liar, itu disamakan dengan korupsi yang menjasdi cikal bakal kesdengsaraan rakyat kecil yang menjadi mayoritas penduduk di Indonesia. Penegakan aturan hukum terhadap praktek pembalakan liar, masih terasa sulit. Misalnya para tersangka pembalakan liar—yang merupakan pekerja di lapangan. Mereka adalah rakyat yang ada di sekitar hutan yang diillegal logging itu. Dapat dilepas begitu saja dengan memberikan imbalan kepada penyidik atau aparat penegakan hukum.

Sementara, para pengusaha atau cukong di belakang aksi pembalakan liar, jarang yang dapat disentuh oleh aparat. Kendati, sebagian besar cukong pembakalan liar, sudah sangat diketahui oleh aparat penegakan hukum. Tapi, karena imbalan yang terus menerus memberikan rezki kepada aparat penyidik/aparat penegak hukum. Akan semakin jauh untuk menyentuh para cukuong pembalakan liar tersebut.

Kasus pencopotan Kapolda Kalimantan Barat yang terlibat pembalakan liar oleh Kapolri belum lama ini, menjadi bukti nyata bagaimana keterlibatan aparat penegakan hukum dalam kasus pembalakan liar yang saat ini masing berlangsung terus. Ditamba lagi pemecatan Kapolres Ketapang, AKBP Guztav Leo—terkait pemba;lakan liar di Kalimantan Barat. Juga, ada kasus pemberhentian Kapolsek Tenayan, Riau, Iptu Ardinal Efendi dan dicopotnya Kapolsek kesatuan Polisi Pengamatan pelabuhan Pekanbaru, AKP Seno Mulya terkait penyelundupan barang dan kayu di alur Sungai Siak Pekanbaru, Riau.

Saya pikir satu kasus tentang pembalakan liar, khususnya di Sumatera ini, perlu direnungi dan direspon oleh generasi mudanya. Kita tidak lagi hanya menggelar seminar, lokakarya atau berdebat tentang aksi pembalakan liar. Karena, kita butuh aksi nyata menghentikan praktek pembalaan liar itu dengan memikul aturan-aturan yang ada. (penulis peminat masalah hukum, sosial politik dan praktisi pers)

----------opini 3
Politik ‘Tergantung’ Politik
Oleh Naim Emel Prahana

KALAU boleh, saya suka dengan kecepatan berpikir dan mengatasi masalah. Hanya, harus diimbangi dengan kenyataan tapa latar belakang pembunuhan karakter. Hal ini terkait dengan kenaikan harga BBM oleh pemerintah per 23 Mei 2008 lalu. Yang sebelum sampai sekarang disambut hangat oleh masyarakat dengan unjukrasa.
Pemerintah adalah penguasa suatu negara. Bisa jadi penjajah masyarakatnya sendiri. Hanya ada beberapa negara saja yang mampu mendekati penerapan sistem demokrasi dalam penyelenggaraan kepemerintahannya. Bagi negara-negara yang hanya berteriak tentang sistem demokrasi. Tidak lebih tidak kurang para penguasanya (baca ‘pemimpin’) adalah sekumpulan penjajah.
Politik yang sangat terkenal di zaman penjajahan adalah politik ketergantuangan. Di mana, penguasa (pemerintah) membuat strategi dan meminit penyelenggaraan sistem pemerintahannya melalui pola ‘ketergantungan’.
Semakin besar ketergantungan rakyat kepada pemerintah, maka semakin kuatlah kedudukan dan kekuasaan pemerintah (penguasanya). Demokrasi hanyalah bagian dari diplomasi untuk menundukkan (menaklukkan) rakyat. Terutama rakyat yang sudah terbuka tingkat pendidikannya.
Jika rakta alias masyarakat suatu negara tidak begitu tergantung kepada pemerintahnya, maka posisi, kedudukan dan kekuasaan para penguasa akan menjadi lemah. Dan, bagaimana dengan negara Indonesia? Bacaan rakyat sudah terlalu menderita, luka, sengsara dan makin miskin serta melarat berkepanjangan. Sementara itu, pemilik modal, termasuk pejabat publik semakin mewah dalam kehidupan kekuasaan mereka.
Adalah hal yang keliru, ketika pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM yangs erta merta diikuti kucuran dana BLT dan kucuran dana bantuan bagi pelajar dan mahasiswa yang cukup signifikan jumlahnya.
Di mana, versi pemerintah mengatakan ada 400.000 mahasiswa miskin di Indonesia. Mereka akan dibantu dengan program beasiswa senilai Rp 500.000,- per mahasiswa per semester (6 bulan). Berarti, setiap bulannya mahasiswa hanya menerima sekitar Rp 83.000,- (delapan puluh tiga ribu rupiah).
Rasanya, program Mendiknas itu hanyalah akal-akalan. Uang Rp 83.000,- sebulan, apa yang dapat dinikmati? Kalau mahasiswa miskin, maka mereka tidak pernah dapat dan mampu kuliah. Seorang mahasiswa setiap bulannya mengeluarkan anggaran rata-rata di atas Rp 500 ribu.
Biaya-biaya yang harus dikeluarkan itu, antara lain untuk sewa kamar/kost, uang makan, uang transportasi, uang buku, dan uang kebutuhan skundair lainnya. Jika mahasiswa memiliki sepeda motor, maka biaya yang dibutuhkan semakin besar. Demikian pula kalau mahasiswa tidak memiliki motor. Artinya, naik angkutan kota, bisa bis atau angkot. Maka, biaya yang harus dikeluarkan tiap bulan sangat besar. Belum lagi biaya untuk alat tulis (ATK= alat tulis kuliah).
Wajar banyak pengamat mengatakan, kucuran dana Rp 500 ribu per mahasiswa per 1 semester pasca kenaikan harga BBM adalah politik pemerintah untuk menjinakkan mahasiswa. Dengan akumulasi bantuan demikian. Terlihat besar, tetapi jika dinyatakan dalam angka realitas kehidupan mahasiswa tiap hari dan bulannya. Angka besar itu hilang dalam pengurusan dan pengucapan belaka.
Beasiswa untuk mahasiswa miskin itu sangat tidak manusia dan tidak relevan dengan UUD 1945. tujuannya hanya untuk mempertahankan kekuasaan rezim penguasa. Namun, lain halnya jika program bantuan beasiswa itu dikemas dalam bentuk program lain. Hasilnya mungkin dapat dirasakan mahasiswa yang kurang mampu.
Apalagi lagi mekanisme pemberian bantuan beasiswa, kriteria mahasiswa miskin yang dimaksud pemerintah dan sebagainya belum jelas sama sekali. Apapun bantahan Mendiknas, Bambang Sudibyo tentang beasiswa sebesar Rp 500.000 per semester bagi 400.000 mahasiswa itu, tetap saja diragukan tujuan pemberiannya.
Bisa jadi hal itu adalah suap terhadap PT dan civitas akademikanya. Hal itu dikatakan dan diakui oleh Mendiknas saat berada di Bali. Kata Bambang, ''Pemberian bantuan kepada mahasiswa kurang mampu ini merupakan alat untuk meredam aksi mahasiswa yang menolak kenaikan harga BBM''
Oleh karena itu, masyarakat kampus harus ekstra hati-hati menyikapi, apalagi menerima bantuan beasiswa tersebut. Sudah banyak program bantuan untuk mahasiswa selama ini. Namun, pada kenyataannya hanyalah merupakan paket ‘peredam” aksi-kasi mahasiswa. Dan, bantuannya tidak pernah efektif. Karena dijadikan lahan proyek oleh oknum-oknum dilingkungan Depdiknas.
Seperti halnya bantuan-bantuan sejenis BOS, DAK, POP, Schoolgrand dan sebagainya—pada akhirnya menjadi sawah ladang oknum-oknum pejabat dilingkungan Depdiknas hingga Dinas Pendidikan di kabupaten/kota, yang berkabolarasi dengan kepala-kepala sekolah. (penulis peminat masalah hukum, sosial politik dan praktisi pers)

Budaya Uang Dalam Pemilu—Pilkada

Budaya Uang Dalam Pemilu—Pilkada
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi sosial politik, seni budaya dan praktisi pers

RIBUT pertama dalam tubuh partai politik ketika menghadapi pemeilihan umum (pemilu) atau pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah soal uang. Semua persoalan dalam menentukan kebijakan dan keputusan, senantiasa didapatkan setelah pertsoalan uang itu jelas. Padahal, kejelasan soal uang itu tetap sembunyi disembunyikan dominasinya.
Demikian pula, ketika bakal calon anggota legislatif, kepala daerah (sesuai tingkatannya sampai tingkat kaupaten/kota) dan calon presiden. Dominasi uang dalam prosesinya, sangat vital dan berperan besar untuk langkah seterusnya. Bahkan ada kesan yang menyebutkan, partai politik (parpol) telah merusak azas kekeluargaan dan demokrasi di Indonesia. Alasannya, karena orang-orang parpol menganggap uang adalah segala-galanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terlebih lagi dalam merebut kekuasaan di pemerintahan.
Kesimpulan kemudian mendapatkan, uang itu pulalah yang menyebabkan terjadinya konflik, perpecahan dalam tubuh parpol, hengkangnya beberapa pengurus dan kemudian (mungkin) membentuk parpol baru. Alasannya masih klasik, karena soal pembagian yang tidak merata—mereka yang ke luar mengatakan, untuk mentransparansikan manajemen keuangan. Tetapi, kebanyakan pada akhirnya, manajemen pengelolaan keuangan tetap menjadi “biang kerok” persoalan dalam tubuh parpol.
Sebagai gambaran, kita dapat melihat bagaimana perseteruan dalam tubuh PKB antara Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan keponakannya, Muhaimin. Yang semula hanya konflik soal figur ketua, soal keabsahan di Departemen Hukum dan HAM. Tapi, apa yang terjadi setelah konflik berkepanjangan itu masuh ke proses peradilan? Gus Dur dengan tegas mengatakan, Muhaimin harus mengembalikan uang kepadanya sebesar Rp 12 miliar rupiah. Lagi-lagi dan pada akhir konflik uanglah yang disebut-sebut.
Realitas sosial parpol di Indonesia itu, bukan isu atau pengalihan perhatian persoalan bangsa dan negara—sebagaimana diterapkan oleh pemerintah selama ini dan sampai sekarang. Tapi, betul-betul realitas kehidupan sosial dan parpol di Indonesia. Pemerintah seharusnya mampu membuat suatu rumusan yang kemudian dimasukkan ke dalam undang-undang yang berkaitan dengan parpol. Isinya, legalitas parpol baru bisa diakui setelah memiliki modal keuangan yang cukup.
Di sana, nantinya ada makna bahwa, pemerintah tidak lagi memberikan subsidi kepada parpol, baik bantuan langsung karena perolehan suara maupun bantuan-bantuan dalam bentuk lainnya yang selama ini dianggapkan oleh APBN atau APBD provinsi, kabupaten/kota di Indonesia.
Jika pemerintah sudah sepakat, betapa besarnya uang negara yang diperoleh dari rakyat yang dapat diselamatkan. Dan, sisi lainnya adalah parpol betul-betul mandiri mengatur rumah tangganya. Jika hal itu sudah dilakukan. Maka, demokrasi Indonesia akan benar-benar ada dan dapat diwujudkan. Kalau sampai sekarang belum ada bentuk demokrasi Indonesia yang digembar-gemborkan itu.

Itu artinya kita harus melihat sinkronisasi berdemokrasi tersebut. Berdemokrasi tidak harus menelan ongkos yang mahal (biaya tinggi). Demokrasi yang bergelimang uang adalah demokrasi yang tidak sehat. Demokrasi yang baik adalah ketika yang memiliki modal besar dengan yang pas-pasan dapat bersaing secara sehat. Di situ, aturan dalam kompetisi politik adalah masalahnya.
Ketika kemenangan dalam rivalitas politik ditentukan hanya oleh uang, maka aturan main dalam sistem demokrasi dapat dibeli. Praktik beli suara, beli kursi, dan beli pengaruh dalam politik menjadikan uang bukan lagi sebagai penyokong. Melainkan sudah menjadi persoalan besar. Pertautan kepentingan antara aktor politik dan pelaku ekonomi dimulai dengan praktik jual-beli posisi. Aktor politik yang butuh kemenangan akan dipasok oleh pelaku ekonomi dengan jumlah dana yang biasanya tidak sedikit sebagai modal untuk berkompetisi.
Posisi politik yang telah direbut melalui pembelian suara (money politics), akhirnya akan dipakai untuk mengembalikan modal, sekaligus mengkapitalisasinya melalui instrumen kebijakan negara. Dan, terakhir, negara bukan lagi sebagai representasi dari kepentingan publik yang luas, tetapi mengerucut hanya sebatas sarana memperluas kekuasaan, baik politik maupun ekonomi.
Tujuan akhir dari kekuasaan politik yang telah direbut dapat dipertahankan dan pada saat bersamaan kekuasaan ekonomi berekspansi. Masalahnya, kepentingan politik-bisnis yang mengendarai demokrasi prosedural semakin kuat cengkeramannya dalam situasi di mana masyarakat pemilihnya tidak memiliki daya tawar yang kuat. Hanya dengan bergerak melalui penyebaran uang ke berbagai kelompok masyarakat yang rentan kekuatan politik-bisnis dapat menguasai negara dan mengendalikan kebijakannya.
Parpol beserta calon pemimpin dalam pemilu dan pilkada yang menghambur-hamburkan uang untuk mendapatkan suara dan dengan suara yang banyak dapat dibeli, iapun terpilih menjadi pemimpin (anggota legislatif, presiden, gubernur, bupati/walikota) akan berusaha mengembalikan uang yang dikeluarkan yang jumlahnya miliaran rupiah bahkan, ratusan miliar, untuk dikumpulkan lain melalui kekuasaan yang sudah ia genggam.
Di situlah munculnya hukum kekusaan. Dengan memberikan uang banyak dengan pembagian yang sangat kecil kepada anggota masyarakat yang punya hak suara, ia akan memperoleh uang yang sangat besar jumlahnya tanpa didistribusikan lagi ke pihak lain. Cara berpolitik demikian sangatlah tidak kreatif, miskin inovasi, tidak komunikatif dalam menyampaikan ide dan janji.
Ia dapat terus bertahan jika demand side (sisi permintaan) dari masyarakat tidak berubah. Parpol dan politisinya tidak akan banyak melakukan kerja politik, kecuali sakadar menggelontorkan uang dalam janji-janji politik yang sangat bias dan tidak berwujud kepada kepentingan kesejahteraan rakyat atau bangsa.
Pemilih dalam pemilu dan pilkada harus belajar dari masa lalunya. Masa uji bagi penguasa baru yang dipilih melalui pemilu (lima tahun). Jika selama itu pemimpin yang diberi amanat tidak bijak dalam menjalankan tanggungjawabnya maka candu money politics dapat digunakan untuk melupakannya, meski hanya sesaat. Mewaspadai datangnya candu ini sama pentingnya dengan mengingat kembali janji kampanye para politisi.
Sebagai ingatan kita untuk mengembalikan azas kehidupan masyarakat Indonesia yang kekeluargaan dan musyawarah dan mufakat, perlu sekali membaca analisis supply and demand interaction pada ekonomi sebagai sarana menemukan titik ekuilibrium baru yang dapat digunakan dalam dunia politik.
Sebenarnya, pada saat ada pembiaran, masyarakat sudah tahu bahwa yang memberikan uang itu bukanlah tipe pemimpin yang baik atau dalam dunia umat kristen disebut sinterklas yang baik hati dengan pemberian-pemberiannya tanpa pamrih. Namun, di dalam prosesi pemilu dan pilkada, pemberian itu harus disertai manajemen pengembalian uang yang sudah dikeluarkan selama prosesi pemilu dan pilkada. Demokrasi gaya Indonesia itulah yang sangat merusak demokrasi yang sesungguhnya.
Sebab, untuk meningkatkan kualitas politik, harus dikesampingkan bahwa berpolitik itu adalah proyek demokrasi. Namun, berpolitik itu harus dicermati sebagai salah satu upaya mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan kesadaran nasional yang tinggi. Oleh karenanya, politik uang bukan jalan baik menuju kesadaran nasional untuk membangun bangsa dan negara itu selanjutnya.
Harus diakui, uang adalah pelancar rodanya organisasi, khususnya parpol. Akan tetapi, demand side dalam politik yang bergerak menggunakan kekuatan uang sebagai mesin politik terpenting. Filosofisnya, bahwa mereka yang berpengalaman dalam kekuasaan belum tentu yang paling baik. Oleh karena itulah dalam beberapa pilkada di beberapa daerah di Indonesia, banyak politisi yang incumbent mengalami kekalahan seperti di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali dan beberapa daerah lainnya.
Dan potret buram tersebut sekarang menghinggapi internal parpol Golkar, membuat internnya bergejolak. Untung saja, ketua umumnya adalah Wakil Presiden. Kalau tidak, Golkar sudah tercabik-cabik oleh politisinya sendiri. Sisi lain menanggapi kekalahan-kekalahan beruntun kader Golkar di beberapa pilkada membuat Yusuf Kalla minta kadernya untuk refleksi atas kegagalan Golkar dalam memenangi banyak pemilu lokal.
Orang Golkar atau masyarakat yang selama ini melihat Golkar adalah tempat orang-orang hebat dengan politiknya. Sebenarnya penglihatan itu untuk ukuran sekarang sudah salah. Sebab, demokrasi yang dipertahankan Golkar adalah sisa-sisa peninggalan masa jayanya di zaman orde baru. Di mana Golkar mampu mencengkramkan kekuasaannya melalui TNI dan pemerintah.
Kini, era itu sudah berakhir. Kecerdasan masyarakat—walau menerima politik uang dalam kampanye pemilu (nasional dan lokal), toh dalam pilihan—pemberian suaranya diarahkan kepada figur pemimpin. Bukan memilih parpol. Parpol dan politisi harus membenahi kulturnya, sekaligus untuk tidak lagi mengedepankan hanya uanglah yang paling penting dan berkuasa. Untuk itu perlu kerja politik yang terus-menerus.. Semangat untuk memobilisasi pemilih dengan pendekatan realitas program merupakan cermin ideologi parpol serta harus tertanam dalam sanubari pendukungnya. Sumbangan sukarela pendukung parpol dan kandidat akan memperkuat infrastruktur parpol tersebut.
Jika, parpol akan melakukan hal sebaliknya. Maka, uang yang telah lama menjadi model konvensional pemenangan pemilu—yang sebenarnya sudah lama pula merusak ideologi parpol. Alasannya, pembelian suara mendorong motivasi berpolitik sekadar untuk mendapatkan keuntungan dan malas untuk menjalankan kerja politik. Pendukung parpol pada akhirnya akan mengalami demoralisasi. Kemudian, korupsi menjadi praktik yang biasa terjadi dalam membelanjakan dana politik.
Sekali lagi diingatkan, situasi dan kondisi itu merupakan alarm bagi parpol yang terancam atas runtuhnya kekuasaan dan kekuatan parpol, sebab diantaranya karena pemilih telah mulai berpaling darinya. Perilaku pemilih yang mulai bergeser harus menjadi pelajaran berharga untuk pengurus parpol, agar dapat meningkatkan kualitas organisasinya dalam posisi penawaran kepada rakyat.

Defisit Moralisme Kekuasaan

Defisit Moralisme Kekuasaan
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi sosial politik, seni budaya dan praktisi pers

Negeri kita saat ini benar-benar seperti potret “panggung sandiwara”, sekian ratus pemimpinnya yang mengenakan topeng-topeng. Yang sulit dikenal raut wajahnya ketika marah, benci dan tersenyum. Sudah tak ada bedanya dengan penampilan kebanyakan wanita-wanitanya yang berbaju dan bercelana super ketat. Tapi, tubuhnya sudah sedemikian rapuh. Sehingga tidak ada isi otot dan bagian tubuh lainnya. Semua sudah sangat kendur.
Hampir tiada waktu, masyarakat dipertontonkan sandiwara perdebatan dalam naskah ‘permainan’ para badut. Padahal, masyarakat sudah lama memandang dengan sikap sinisme dan apatisme. Jika pandangan masyarakat itu sudah hampir menyentuh semua lapisan. Maka, apapun yang direncanakan, diprogramkan dan dilaksanakan. Pastilah gagal. Dan, kegagalan itu dalam naskah panggung sandiwara adalah tujuan para pemainnya.
Paradigma kekusaan yang dipertontonkan, kendati ancaman kritik pedas dari masyarakat. Namun, filosofi “biarkan anjing menggonggong, kafilah terus berlalu” sudah menjadi trade mark petinggi di negeri ini. Seperti kasus BLBI—ke dihentikannya kasus bertiras puluhan triliun itu kemudian kasus suap 600 ribu dolar dan sidang kasus tersebut yang melibatkan jaksa terbaik di Indonesia. Ternyata masih meragukan mengenai penegakan hukum kita. Rasa keadilan dan ketertindasan rakyat akibat kasus BLBI, Ayin hanya diancam hukuman 5 tahun penjara.
Sedangkan, eberapa jaksa agung muda yang terlibat kasus tersebut, hanya dikenakan sanksi administrasi internal Kejaksaan Agung belaka. Ironis memang, di tengah gencarnya propaganda pemberantasan korupsi. Kasus-kasus korupsi hanya dijadikan mainan aparat penegak hukum itu sendiri.
Korupsi dan suap merajalela, baik di DPR-RI, Mahkamah Agung, hingga ke dinas/istansi maupun badan serta perusahaan negara. Politik uang telah memberikan gambaran betapa bobroknya para elite pemimpin bangsa yang tengah berkuasa. Ilmu para koruptor kelas elite negeri kita ini, selalu menantang dan menyuarakan anti korupsi. Dan, jika tertangkap ulah nyeleneh dipertontonkan. Seperti, alasan sakit menjadi senjata mengulur-ulur waktu pemeriksaan terhadap diri mereka.
Moralisme para petinggi—pemimpin—politis negeri, sudah demikian lemah, sehingga tidak mampu melawan godaan materi atau harta benda duniawi. Alasan apapun, tidak akan mampu melawan alasan dan faktor moral yang lemah. Korupsi bukanlah akibat tekanan ekonomi belaka atau karena minimnya pemahaman agama. Korupsi disertai kolusi dan nepotisme, merupakan gaya hidup manusia Indonesia yang terkena dampak globalisasi dan disebabkan tidak mampu untuk mencitrakan diri dalam dirinya sendiri.
Soal kesulitan pemenuhan kebutuhan hidup, seperti diungkapkan oleh seorang dosen Universitas Muhammadiyah Metro (UMM) dalam diskusi belum lama ini, kecenderungan melakukan korupsi (+kolusi dan nepotisme) sangat kecil. Ditambah lagi karena merosotnya nilai-nilai pendidikan agama dalam masyarakat Indonesia.
Sulitnya kebutuhan hidup mempunyai kecenderungan yang sangat kecil terhadap praktek korupsi. Sebab, korupsi dilakukan oleh orang-orang yang mapan dalam kehidupannya. Karena mereka memiliki status sosial yang tinggi, seperti pejabat gubernur, bupati, walikopta beserta wakilnya beserta pejabat teras daerah lainnya. Termasuk para menteri dan pembantunya dan para pengusaha.
Kalau dikatakan mereka terdesak kebutuhan hidup. Sangatlah tipis teori tersebut. Faktor agama karena mereka tidak mau menyadari apa yang mereka sadari tentang perbuatan buruk yang merugikan orang banyak. Kemudian, adalah betul faktor keserakahan. Akan tetapi, serakah tanpa jabatan sosial, maka korupsi tidak akan terjadi seperti sekarang ini.
Korupsi yang dikenal sekarang—konotasinya berkaitan dengan uang. Padahal awalnya hanyalah akibat korupsi bentuk lain, yaitu korupsi waktu, korupsi jabatan, korupsi wewenang, korupsi undang-undang (peraturan) dan korupsi lainnya—yang kemudian dikenal dengan kolusi dan nepotisme.
Kalau di zaman orde baru tindak korupsi dilakukan secara teratur dan terorganisir dalam satu mata rantai kekuasaan. Tetapi, pasca reformasi, tindak pidana korupsi tidak lagi terorganisir sebagaimana di zaman orba. Akan tetapi, bisa diorganisir, terjadi karena individual dan kolektif tapi bukan suatu jaringan korupsi.
Saat ini tindakan korupsi sepertinya naskah film kolosal yang melibatkan banyak orang dan orangnya berasal dari klasifikasi sosial apapun. Korupsi selalu terencana dan terprogram dengan baik. Tidak mungkin korupsi itu hanya terjadi secara spontan yang nama spontan masuk dalam kategori maling, pencuri atau tindak kriminal biasa. Sedangkan korupsi—walau ada unsur ‘maling’ atau mengambil barang milik orang/badan/negara untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok. Tetapi, pengelompokannya tidak seperti tindak pidana mencuri ayam atau uang milik pemilik warung.
Sebenarnya, perbuatan korupsi itu diakibatkan karena ketidakmampuan seseorang atau kelompok untuk meminit kebutuhan hidup (life style) akibat pengaruh perkembangan dunia yang sedang dan sudah terjadi. Terutama gaya hidup yang memprioritaskan kebutuhan skundair atau tersier sebagai kebutuhan utama. Misalnya gaya hidup belanja di supermarket besar, gaya hidup weekend yang berlebihan dan trend pergaulan yang memakan biaya tinggi dan sebagainya.
Korupsi itu dapat terjadi kepada siapa saja, tidak hanya pejabat (pegawai pemerintah) tetapi siapapun yang tidak mampu mengendalikan kebutuhan hidupnya. Maka, pintu perbuatan korupsi akan mudah terbuka. Apalagi di tubuh partai politik yang rentan dengan gaya hidup selebritisnya. Demi memuluskan jalan menuju kekuasaan atau demi mempertahankan kekuasaan, teman yang baik pun boleh dikhianati. Karena dalam arena kekuasaan dan politik khususnya selalu berlaku adagium, "tidak ada teman abadi, yang ada adalah kepentingan". Atau dalam politik, kepentingan adalah panglima.
Demikian pula yang dimaksud dengan korupsi berjemaah. Artinya, sebagian besar masyarakat kita sudah mengalami kekurangan pemahaman soal etika moral dalam hidupnya (defisit). Karena estetika, etika dan moralnya terus berkurang, tidak pernah surplus. Akibatnya adalah ketidakmampuannya menghadapi rayuan duniawi dengan gaya hidup masyarakat yang gemerlapan.

Tidak ada jalan lain, untuk memulai jalan pintyas memberantas praktek korupsi (+kolusi dan nepotisme), mulai dari kontrol aktif masyarakat yang sudah demokratif, agar ruang demokrasi itu dapat digunakan sebaik mungkin untuk dijadikan deliberasi. Deliberasi adalah bentuk keterlibatan aktif rakyat dalam mengontrol dan mengawasi pelaksanaan jalannya pemerintahan (negara).
Mungkin ada baiknya mengutip pernyataan bijak soal moralitas tadi, menurut Immanuel Kant, hukum moral merupakan suatu kewajiban dan hukum batas moral. Duty and obligation are the only names 'for' our relation to the moral law.artinya penyelewengan moral itu yang sekian lama ditutup-tutupi penguasa dan kroninya, harus dibongkar habis melalui peran aktif masyarakat.
Moralitas seluruh bangsa akan teracuni jika tidak ada martabat dalam pemerintahan ( When there is a lack of honor in government, the morals of the whole people are piosened), demikian Herbert Hooenr presiden ke 31 AS mengungkapkan persoalan baik tidaknya pemerintah yang dikaitkan dengan martabat (moral). Ungkapan tajam Herbert itu dikatakannya tahun 1961. lalu, diktuip oleh harian The New York Time (edisi 9 Agustus 1961).
Komentar terkejam diperlihatkan oleh William Gladsrone—salah seorang Perdana Menteri Inggris tahun 60-an, yang mengatakan sejarah pemerintahan merupakan salah satu wajah paling bejat dari umat manusia. Sedangkan Karl Marx mendudukan moralitas manusia ke dalam bangunan atas ideologis yang hanya berfungsi melegitimasikan struktur-struktur kekuasaan yang mapan. Harapan bahwa perbaikan moralitas para penguasa akan menunjang perbaikan dalam kehidupan masyarakat, dianggap naif, kolot, tidak realistis, bahkan dicurigai sebagai ideologis sendiri.
Sejak saat itulah defisit yang akhirnya mengalirkan inflasi moralisme membuahkan praktek yang sama oleh inflasi penyelewengan, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para penguasa dan pengabaian terhadap nasib rakyat yang kurang beruntung.
(Bagaimanapun, moralitas tetap menjadi sosok yang abstrak, entah betapapun kerasnya ia disuarakan dan sangat gencar dalam wacana dan diskursus publik. Sebab, moralitas dalam konteks apa pun, terutama dalam konteks kekuasaan, bukan menyentuh unsur privat, melainkan justru bersentuhan dengan moralitas publik, seperti kejujuran, keterbukaan, keadilan, kesejahteraan dan kebaikan. Moralitas itu menjadi bermanfaat sejauh diakomodasikan dalam bentuk kontrol dan kritik publik dengan aturan main lain yang sifatnya "mengikat" diikuti segala sanksi hukumnya)—kata Direktur Social Development Center Jakarta beberapa waktu lalu yang mengutip teori Karl Marx.

Catatan Panjang Korupsi Kita

Catatan Panjang Korupsi Kita
Oleh Naim Emel Prahana

JALAN panjang mencapai hasil optimal penegakan supremasi hukum di Indonesia, masih sangat panjang. Seperti jalan yang sudah ditempuh dalam kaitannya “pemberantasan korupsi”. Ada banyak faktor yang perjalanan ke suprtemasi hukum secara ideal bisa dicapai bangsa ini.
Dari sekian upaya sejak masa orde lama hingga masa reformasi, pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia semakin ‘mengambang’ penanganannya. Diketahui ada beberapa lembaga pemberantasan korupsi yang masih dipelihara pemerintah. Antara lain; 1. Tim Tastipikor (Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi); 2. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi); 3. Kepolisian; 4. Kejaksaan; 5. BPKP. Sedangkan lembaga non-pemerintah seperti Media massa dan Organisasi massa—semisal ICW.

Dengan dasar hukum sejak orde lama Orde Lama awalnya menggunakan pasal KUHP dan UU 24/1960, 0rde baru menerbitkan dasar hukum UU 3/1971 , dan masa Reformasi meluncurkan pula dasar hukum pemberantasan korupsi dengan UU 31/1999 serta UU 20/2001.
Penanganan kasus korupsi yang membentang luas, butuh waktu, tenaga, pikiran dan dana, itu jika diefektifkan melalui suatu mekanisme dan sistem yang terpadu. Terutama antara lembaga pemerintah untuk pemberantasan korupsi (Tim Tastipikor, KPK, Kejaksaan, Polisi dan BPKP—yang sangat membutuhkan kesepahaman, untuk menghindari missaction (salah pengertian dalam penanganan di lapangan).
Namun, lembaga-lembaga di atas pun harus menghadapi sindikat peradilan hingga ke MA (Mahkamah Agung), MK (Mahkamah Konstitusi) dan KY (Komisi Yudisial). Dua kutub lembaga penegakan hukum di Indonesia itu, sepertinya tidak menghiraukan referensi hukum yang pernah diproses dan diputuskan oleh pengadilan. Akhirnya memunculkan image yang makin buruk di masyarakat.
Tanpa mengurangi arti dari tulisan ini, untuk tidak menyebut satu per satu kasus korupsi yang tertangani dan tersebar diberbagai sektor dan kasus korupsi yang tak pernah selesai diungkapkan dalam proses pemberantasan korupsi.
Karena, korupsi sangat erat dengan dunia birokrat, politik, pengusaha (pejabat publik (?)). Sodoran-sodoran atau pledoi (pembelaan) terhadap upaya pengungkapan dan proses hukum kasus korupsi, selalu menghiasi sistem demokrasi di Indonesia.
Jika menelaah unsur hukum dalam tindak pidana korupsi; perbuatan melawan hukum; - penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;-memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;-merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;-Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:-memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);-penggelapan dalam jabatan;-pemerasan dalam jabatan;-ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);-menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Seharusnya, pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia bisa mencapai 80%, yang hasil itu akan mempengaruhi penuntasan krisis multidimesional yang menimpa bangsa ini sejak 1999. Sayangnya, seperti di Jakarta, setiap hari penegakan disiplin lalulintas. Toh, kemacetan tetap terjadi di mana-mana. Yang akhirnya jalan macet tidak pernah tuntas dan itu merembet ke daereah hingga penyelenggaraan pemerintah terdepan, yaitu di kelurahan/pedesaan. Dalam mengelola/menggunakan berbagai dana bantuan.
Mungkin benar adanya, kondisi yang macet menuju penegakan supremasi hukum di Indonesia disebabkan hal klasik, yang sepanjang waktu diperdebatkan. Sampai kepada menerbitkan payung hukumnya berulang-ulang. Berarti, kelemahan yang sudah diketahui secara pasti, bisa jadi penegakan hukum atas kasus tindak pidana korupsi tak pernah terselesaikan—termasuk erat kaitannya dengan pejabat publik tadi.
Kelemahan-kelemahan itu, adalah pendukung maraknya korupsi seperti, keadaan yang mendukung munculnya tindak pidana korupsi, ditingkat kekuasaan pengambil keputusan di alam demokrasi, tidak bertanggungjawab langsung kepada rakyat, transparansi yang didengung-dengungkan pemerintah hanya slogan—sebenarnya nontranparancy. Kemudian dalam pemilu (termasuk pilkada) kehidupan politik terlalu besar mengeluarkan dana, tingginya volume KKN dalam hal peluncuran proyek-proyek besar yang anggarannya dari rakyat.

Kemudian, istilah pemerintah adalah kekuasaan, kekuasaan itu adalah benar, menjadikan makin lemahnya tertib hukum, rendahnya kadar profesi hukum dan kebebasan berpendapat melalui ‘kebebasan’ media massa terkebiri dengan kecondongan-kecondongan media massa saat ini kepada pemerintah atau pengusaha besar. Pemerintah selalu mengalihkan perhatian atas kasus-kasus yang terjadi dilingkungan dinas/instansi pemerintah atau menyangkut para pejabat dan keluarganya.
Sebenarnya, masyarakat sudah lama menginginkan perjuangan melawan tindak pindana korupsi berhasil mengamankan bangsa ini dari keterpurukan ekonomi, sampai saat ini. Namun, seperti diketahui berbagai lembaga, di samping lembaga pemerintah dan lembaga pemerintah nonstruktural serta lembaga non pemerintah dibentuk. Hasilnya belum terlihat sampai di level menengah.
Itu bersebab, sudah beberapa kali Transparency International dan PBB mengeluarkan daftar negara tertkorup di dunia dan negara yang paling bersih dari tindak pidana korupsi. Posisi Indonesia sangat, sangat memprihatinkan. Begitu luas cakupan tindak korupsi tersebut.
Kronisnya lagi, harapan untuk tegaknya supremasi hukum di Indonesia, selalu terganjal dialetika publik pemerintah. Puluhan jenis dan bentuk korupsi dengan ratusan modusnya; dari tingkat korupsi terberat hingga paling ringan yang gentanyangan di tengah masyarakat. Sampai kepada mengkorupsikan kriminalitas.
Oleh karenanya, pengutamaan penanganan kasus korupsi yang menjadi simbol hukum, ternyata penanganan kasus korupsi terlihat sebagai suatu proyek raksasa; di mana kebun-kebun besar yang digarap itu, ditargetkan akan menghasilkan panen yang cukup besar. Sama seperti proyek-proyek pemerintah yang selalu ‘mengambang’ jika ditemukan indikasi mark up, KKN dan korupsi.
Lebih parah lagi, ketika penanganan kasus korupsi masuk ke lembaga legislative, unsure kepentingan politik lebih besar ketimbang unsur kepentingan masyarakat luas. Kita belum tahu, bagaimana kelanjutan episode kasus jaksa Urip Tri Gunawan yang diduga menerima suap atas kasus BLBI untuk Bank BDNI miliknya Syamsul Nursalim beberapa hari lalu.
Karena cakupan korupsi itu sangat luas. Artinya tidak terbatas defenisi Korupsi dari bahasa Latin corruptio (corrumpere=busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Tetapi, bagaimana membuat solusi pemberantasan korupsi itu sendiri. Sebab, korupsi itu terkait erat dengan perilaku pejabat publik; politikus (politisi/pegawai negeri), dengan sadar secara tidak wajar dan ilegal memperkaya diri sendiri, dan atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka.
Jika demikian, maka sampai kepada kesimpulan bahwa, kejahatan korupsi merupakan tantangan paling serius terhadap pembangunan. Dan, kalau dikaitkan dengan politik, maka korupsi itu menghambat jalannya demokrasi dan good and clean governance (tata pemerintahan yang baik dan bersih)
Sepertinya, tindakan KPK masa Antasari harus didukung penuh, support (dukungan) itu setidaknya tidak membuat KPK dengan Antasari bangga. Sebab, seorang jaksa yang ditangkap. Akan muncul lagi jaksa-jaksa lain, hakim-hakim lain, polisi-polisi lain, pejabat pemerintah lain yang melakukan tindak yang sama (korupsi).

Artinya, jangan abaikan kepercayaan masyarakat atau jangan pula hanya sesaat melakukan gebrakan. Ketika pemerintah (dari presiden hingga menteri) turun tangan, lalu macet lagi ‘gebrakan’ tersebut. (penulis peminat masalah hukum, sosial politik dan praktisi pers)