Oleh Naim Emel Prahana
Pemerhati
masalah-masalah sosial budaya, hukum dan politik
SUATU malam di kota Palembang, aku
dipesani si tukang ojek yang memperingatkan, agar kalau masuk kompleks Darma
Agung, “hati-hati!” Bersamaan peringatan itu, dia bilang, di situ
cewek-ceweknya banyak yang ngerangkap jadi tukang copet. “Oya,...!” jawab
temanku. Dan, kata tukang ojek itu, jangan mau dijebak kalau ada cewek yang
mengatakan, ia tahu dan bisa membeli inek alias ekstasi.
Warning demikian bukan
hanya sekali dua kali kudengar, entah di mana lagi tempatnya. Dalam hatiku,
kalau peringatan (warning) demikian,
gak usah disampaikan. Karena sudah tahu, kalau di dunia hiburan itu pasti
masalah bisik-bisik hingga terang-terangan bertransaksi narkoba (umumnya
ekstasi) sudah bukan hal yang baru.
Namun, walau demikian tetap
saja menyisakan pertanyaan-pertanyaan—kenapa mata rantai peredaran dan
penyalahgunaan narkoba di tempat kita (Indonesia) ini, sangat sulit diberantas.
Seperti kesulitan mengakhiri krisis multidimesional yang dialami bangsa ini
sampai sekarang.
Banyak komentar merespon
maraknya peredaran narkoba—karena Indonesia sudah tidak lagi utuh sebagai
negara tujuan peredaran narkoba Internasional, karena sudah menjadi salah satu
negara produsen. Kadang oleh rekan-rekan aparat penegak hukum dikatakan sok
tahu—sok pinter atau apalah bantahannya.
Rasanya, pemberantasan
narkoba adalah tidak cukup dengan menerbitkan Keputusan Presiden atau yang lagi
dirancang adalah Peraturan Presiden (Perpres)—rencananya sebagai pengganti
Keppres No 17/2002 tentang lembaga nonstruktural yang langsung di bawah komando
presiden. Tapi, definisi action
(aksi) hingga sekarang pun masih belepotan tentang wajah sebenarnya dari kata
aksi itu.
Banyak dari kita
(masyarakat) sebenarnya belum paham betul itu yang bernama narkoba, apa lagi
“apa dan bagaimananya?” Padahal, penyuluhan-penyuluhan, pelatihan-pelatihan dan
sebagainya—sebagai upaya untuk memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan pemberantasan dan peredaran gelap narkoba (P4GN). Sudah sangat
banyak dilakukan. Toh, persoalan peredaran dan penyalahgunaan tetap menjadi
pekerjaan rumah bangsa ini.
Dua Undang-Undang tentang Narkotika
dan Psikotropika masing-masing No 22/1997 dan No 6/1997, yang kemudian
lembaganya Keppres No 17/2002 dan Inpres No 3/2002 soal Badan Narkotika
Nasional (BNN), Badan Narkotika Provinsi (BNP) dan Badan Narkotika
Kabupaten/Kota (BNK)—sudah dapat menjadi acuan dalam rangka P4GN.
Keberhasilan selama ini,
kita sambut gegap gempita. Bersorak-ria. Namun, kegembiraan dan keberhasilan
mengungkap kasus-kasus narkoba selama ini, jangan membuat kita terlena.
Sehingga produsen dan pedagang narkoba mengambil kesempatan. Padahal, sudah
berapa triliun uang rakyat dihabiskan dalam program-program pemberantasan
narkoba tadi?
Di negara ini, kita sering
berandai-andai, mengkhayal, dan menimbun cita-cita. Pada gilirannya masalah
hasil yang dicapai P4GN masih sulit diakui mendekati sasaran. Kita pun belum
melapor ke lembaga-lembaga Internasional bagi pemberantasan narkoba. Akibatnya,
sindikat narkoba dengan leluasa merayu, meningkatkan volume janji kesejahteraan
kepada masyarakat. Daro anak-anak sekolah dasar hingga kaum intelektual dan
cendekiawan, untuk menggunakan narkoba. Tentu dengan berbagai modus, agasr
mencapai target penjualan narkoba.
Pada bagian lain, kita
akhirnya gagap menghadapi perkembangan dan kemajuan pesat perdagangan narkoba.
Kegagapan itu berimbas kepada pengungkapan dan penanganan kasus narkoba itu
sendiri. Sampai kepada putusan pengadilan yang dirasakan sering nyeleneh. Lebih parah lagi dirasakan
belum mendekati sasaran putusan yang ‘adil’ bagi masyarakat.
Hal itu, barangkali wajar.
Mengingat banyaknya kasus-kasus narkoba yang terungkap pelakunya hanyalah
berada pada posisi “pembantu para pembantu dari para pembantu bandar, bandar
dan produsen narkoba” Artinya, mereka hanya menjual sebutir dua butir ineks,
memegang setengah atau satu btir inek. Mungkin hanya dititipi selinting ganja
siap pakai atau siap edar.
Dari sekian tersangka yang
kelasnya masih ‘teri’ yang
digelandangkan, tidak sebanding dengan para bandar yang masih banyak
berkeliaran di sekitar kita. Lebih kronisnya lagi, kasus seorang bandar besar
dan pemegang setengah butir inek, seperti langit dan bumi. Artinya, yang
ketangkap karena memegang setengah butir inke di karaoke, pidana yang
diputuskan pengadilan sangat berat. Padahal, putusan untuk seorang cukong
(bandar) narkoba dengan barang bukti mencapai 350 butir, cukup 3 tahun, dan itu
tersangka jarang berada di dalam LP.
Masih segar ingatan kita
kasus seorang wanita muda berinisial W yang ditangkap di salah satu ruang
karaoke di kawasan Telukbetung. Ditangkap bersama beberapa wanita muda lainnya
yang menemani beberapa pria untuk berkaraoke. Saat ditangkap ia diberi setengah
butir inek dan masih utuh ditangannya ketika tertangkap oleh aparat polisi.
Bagaimana dengan keputusan
PN Tanjungkarang beberapa tahun silam itu? Cukup mengagetkan, vonisnya 1,5
tahun. Alasan majelis hakim, ia tidak memberi contoh yang baik kepada
masyarakat. Sementara itu, ingat kasus karaoke Nirwana, ketika bandar narkoba
berinisial T ditangkap, barang buktinya mencapai 300-an butir. Berapa tahunkah
pidananya yang dijatuhkan majelis hakim PN Tanjungkarang?
“Cuma (kalau tidak lupa) 3
tahun penjara, untuk barang bukti sekitar 324 butir inek!” Dan, bagaimana
dengan wanita muda berinisial W yang usianya sekitar 20-an tahun, yang
ketangkap dengan barang bukti ½ butir inek dijatuhi hukuman 1,5 tahun (baca:
setahun setengah). Wanita muda ( W ), bukan pengedar, bukan pengguna narkoba
secara rutin, bukan pemasok, apalagi bandar, apalagi produsen. Tapi, hukumannya
begitu berat dibandingkan dengan hukuman untuk bandar T—pemilik karaoke Nir di
Jl Soekarno Hatta.
Logikanya, kalau ½ butir
hukumannya setahun setengah, maka 1 butir hukumannya 3 tahun penjara. Nah,
kalau 300 butir inek yang jadi barang bukti. Otomatis 300 X 3 tahun adalah 900
tahun. Seharusnya demikian vonis yang dijatuhkan. Tapi, kembali kita menyadari,
kalau sistem peradilan kita masih sulit ditebak. Seperti angin berubah-ubah
arah setiap saat atau setiap harinya. Tanpa ada pedoman (yurisprudensi) yang
dijadikan pertimbangan dalam memutuskan suatu perkara dengan substansi yang
sama. Hanya beda volume barang bukti dan status tersangkanya.
Penanganan proses kasus
narkoba sampai detik ini, betul-betul tidak memberikan pencerahan kepada
penegakan supremasi hukum di negara ini. Diduga, banyak putusan yang kalah
pamor dibandingkan dengan beberapa faktor. Misalnya kekuasaan pejabat, uang dan
status sosial keluarga tersangka. Sedikit banyak dari uraian di atas—bisa
dijadikan bahan evaluasi peradilan kasus narkoba di Indonesia.
Sudah barang tentu, kita
tidak ingin lagi mendengar plesetan KUHP, KUHAP atau Kitab Undang-Undang
lainnya, maupun UU atau PP—yang sering terdengar lucu, aneh, ngenguyon tapi menyakitkan. Pada
gilirannya, menghadapi persoalan narkoba, bukan hanya si produsen dengan
distributor-distributornya, distributor dengan bandar-bandarnya, bandar-bandar
dengan pengedar, pengecer dan pemakai saja yang terbuai suara surga. Tetapi di
rentang proses perjalanan kasus narkoba pun bagi beberapa lembaga penegakan
hukum, juga terdengar suara-suara surga yang mengasyikkan kalau dilewati begitu
saja.
Soal uang, soal kesenangan,
soal kesejahteraan sampai soal dopping
bisa diraba dirasa bila dapat memahami kasus narkoba sebagai sawah ladang.
Narkoba adalah sawah ladang dan kebun yang tak pernah gagal memetik keuntungan
materi, bahkan keuntungannya berlipat ganda. Itu kan suara surga dalam neraka
narkoba. Gak percaya, menyamarlah—masuk ke masyarakat pengguna narkoba. Suara
surga yang memang tidak pernah kita tahu itu, tapi dengan narkoba (katanya)
semua serba terasa dan indah.
Kalau sudah demikian, maka
sulitlah untuk menekan apalagi memberantas peredaran gelap narkoba—karena
disisi lain dunia medis masih sangat membutuhkannya, tanpa pengawasan yang
berarti. Memberantas narkoba harus ada jaminan bahwa, KATA TERUCAP LANGKAH DITANCAP!
Narkoba No! Sekali TIDAK tetap TIDAK!