Sabtu, 27 Februari 2016

KPU: Makhluk Apa?


SUARA enteng seperti tidak ada beban, komisioner KPU Bandarlampung menjelaskan, “mereka bekerja menghitung dan merekafitulasi hasil pemilukada sesuai dengan tahapan yang ada!” beberapa unsur terkandung dalam kalimat itu, pertama = tahapan proses pemilukada bukan Firman Allah SWT (Tuhan YME). Kedua = apakah selama proses sebelum ini, tahapan itu ditepati, tanpa ada pergeseran waktu barang sehari? Ketiga = apakah protes, gelembung massa dan tuntutan massa dengan bukti-bukti pelanggaran bukan menjadi tahapan pelaksanaan pemilukada dan kelima = apakah pelanggaran-pelanggaran dan buktinya begitu saja disrahkan ke Panwas, padahal itu adalah bagian dari “sah tidaknya perolehan suara!”
Seperti dilansir semua media di Lampung, bahwa pemilukada telah dimenangkan 2 (dua) incumbent’ yaitu untuk Kota Metro dan Lampung Timur. Kemudian, pemilukada di kabupaten/kota lainnya menghailkan calon bupati/walikota terpilih di luar incumbent. Membenahi pernyataan, asumsi, dugaan, su’uzonisme, fitnah dan anarkisme. Maka, KPU tidak boleh melepaskan ikatan antara pelanggaran yang sudah dilaporkan dengan proses rekafitulasi penghitungan suara hasil pemeilukada.
Kenapa demikian? Kita tidak ingin pemilukada itu tercerai-berai, kasus-kasus yang ada, semuanya saling berkaitan. Untuk mendapatkan hasil pemiulukada yang pasti dan final. Maka, sebelumnya, semua kasus yang timbul harus diselesaikan. Tidak ada lagi kata, “kejadian ini menjadi pengalaman untuk waktu mendatang!” menyelami manusia yang sekarang ‘serba’ materi. Maka, KPU seharusnya melihat rangkaian pemilukada harus secara utuh. Tidak ada pemisahan, pelanggaran yang signifikan dengan rekafitulasi yang harus jalan terus.
Keduanya berkaitan, saling melengkapi dan mengurangi proses akhir rangkaian pemilukada. Tidak ada yang menginginkan pemilukada berakhir dengan anarkis. Sebab, jika anarkis, maka rakyatlah yang menjadi korban. Padahal, rakyat hanya dibutuhkan suaranya dalam pemilukada saja. Setelah itu suara rakyat tidak akan ada artinya. Dus karena itu, suara-suara menjelang penetapan hasil pemilukada di KPU, harus didengar dan dipertimbangkan sebagai masukan dan harus diterima, sebelum penetapan rekafitulasi.
Kejadian yang menimpa pemilukada di Lampung Timur, Bandarlampung. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi di Kota Metro, Pesawaran, Way Kanan, Lampung Tengah dan Lampung Selatan. Itu semua, tergantung kepada KPU masing-masing daerah. Kalau komisioner KPU adalah titipan yang menjalankan tugas yang ada gandolannya. Maka, KPU akan menuai badai.
KPU sepertinya makhluk lain yang bukan manusia—kalau kepentingan KPU sendiri, seperti hubungan antara konsumen listrik dengan PT (pesero) PLN atau PT Telkom. Konsumen telat bayar setengah jam saja, hitungan denda tidak ada tawar-menawar. Tetapi, ketika listrik sering mati mendadak, kemudian salah baca meteran dan konsumen harus menanggung beban. PLN tidak peduli. Untuk menbdapatkan ganti rugi, seperti ingin menggali potensi emas di bawah dasar tanah sedalam 1.000  meter. Artinya, sulit betul! KPU tidak lain adalah institusi pelayanan kepada masyarakat, seharusnya aspirasi masyarakat yang juga meyertai bukti ditindak lanjutyi. Jangan asal rekaf hasil pemilukada yang justru akan mempertajam konflik di tengah masyarakat. Pemilukada ulang, penghitungan kertas suara ulang, hukumnya wajib dan bukan haram.

Jalan Bertabur Lumpur



TERNYATA  seleksi alam lebih nyata, langsung dan tidak ada rekayasa. Hal itu dapat dibayangkan, bagaimana rekayasa serah terima pembangunan—pemeliharaan jalan. Antara PU, konsultan, pemborong dalam berita acaranya ditandai dengan tulisan 100% selesai—tepat waktu dan sebagainya. Dengan dasar itulah, maka uang rakyat melalui APBN dan APBD dikeruk bak mobil mesin pengeruk lumpur.
Memang kelebihan manusia adalah akal, kebanyakan akal bagi seseorang digunakan untuk akal-akalan, meminteri orang lain dan pokoknya yang berbau perbuatan jahat dan buruk. Apa yang dinilai manusia secara fisik, format dan teks tertulis semuanya berbau politis—setidak-tidaknya dijalankan berdasarkan unsur politis. Oleh karena itu, rekayasa ending sebuah pembangunan—pemeliharaan—rehabilitasi jalan, akhirnya akan berbenturan dengan seleksi alam. Seleksi yang yang benar-benar kualifid dan tidak ada tawaran atau kompromi apapun. Seleksi alam itu yang dapat dilihat dan dirasakan sekarang, manakala kita melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Lampung. Banyak ruas jalan yang sudah tidak ada bentuk sebagai ruas jalan lagi, membuat serangkaian akibat yang langsung menukik dalam kehidupan rakyat banyak. Akibat langsung itu terkait dengan munculnya ekonomi biaya tinggi, biaya pemeliharaan kerusakan alat transportasi semakin tinggi dan waktu tempuh jarak dekat semakin lama. Yang menjadi persoalan sejak lama adalah, “ke mana anggaran pemeliharaan jalan yang tiap tahun dikeluarkan dan disahkan dari APBN dan APBD?” 
Jika pemerintah, dari pusat hingga daerah itu “tidak sakit’, niscaya sarana dan prasarana perhubungan jalan di Indonesia akan lebih baik dan terkendali—terkontrol kelaikannya secara teratur. Namun, karena pemerintah yang ada memang dalam keadaan sakit. Yang menjadi korban adalah rakyat kebanyakan. Sebab, anggaran yang sudah dianggarkan dalam APBN dan APBN, perjalanannya sampai ke masyarakat, sudah ‘kelong’—berkurang hingga 50%. Demikian pula anggaran-anggaran untuk proyek berskala kecil semisal proyek penunjukan langsung (PL) yang nilainya di bawah Rp 100.000 juta. Pada umumnya hanya digunakan sekitar 50—60% dari plafon anggaran yang sudah ditetapkan. Pemenggalan—bahasa aktraktif untuk  penyelewengan penggunaan anggaran sudah jelas langsung merobohkan kriteria kualitas bangunan yang dikerjakan.
Korupsi berjemaah—tradisi korupsi yang sudah menjadi ‘darah daging’ para PNS, pemborong dan pejabat di negeri ini. Adalah sesuatu sebab utama merosotnya nilai-nilai kebangsaan pada diri manusia Indonesia. Jika kebanggaan akan prilaku dan asesories bangsa asing. Mulai dari bendera sampai cara bicara, merupakan bukti nyata kalau orang Indonesia tidak membangun dirinya sebagai “orang Indonesia” yang mandiri. Pola publisitas yang gebyar menjadi bukti lain gaya kehidupan manusia Indonesia yang nilai jati dirinya sudah jauh merosot. Pada akhirnya, penyelesaian berbagai masalah besar dan urgen di tengah kehidupan bangsa ini, hanya dilakukan melalui pernyataan-pernyataan di media massa. Realitasnya tidak demikian. Semua serba pernyataan yang akhirnya tidak satupun persoalan menyangkut kepentingan bangsa dan negara dapat diselesaikan. Inilah salah satu sumber krisis multidimensional yang dihadapi rakyat Indonesia sekarang. Seperti kerusakan ruas jalan yang dilalui setiap saat para pejabat, toh perbaikannya menunggu rezki jatuh dari langit. Atau ada dermawan yang mau menghibahkan hartanya untuk menutupi jalan yang rusak. Tetapi, siapakah manusia Indonesia yang mau membaguskan jalan secara pribadi untuk jalan umum? 

Listrik Part Two



DAHLAN Iskan dengan gagasan “listrik gratis” bagi pengguna daya 450 MW yang disebut sebagai “orang miskin” belum dijalankan PT (Pesero) PLN. Tahu-tahu tarif dasar listrik (TDL) per 1 Juli 2010 dinaikkan untuk konsumen yang meggunakan daya di atas 900 MW. Yang lebih enak didengar, karena PT PLN mengatakan, dengan kenaikan TDL itu, listrik tidak akan pernah mati atau pemadaman bergilir lagi. Pernyataan pejabat PLN maupun Dirut PT PLN, Dahlan Iskan itu, walau terdengar baik dan memberikan angin surga. Tetapi, rakyat tidak meresponnya.
Respon rakyat—konsumen itu ternyata benar. PLN memang menggombal, merayu konsumen dengan janji listrik gratis dan alasan kenaikan TDL sebagai dasar listrik di Indonesia tidak padam-padam lagi. Apa iya? Ternyata, tidak ada ujung pangkalnya janji manis PT PLN itu.
Sejak tanggal 1 Juli 2010, listrik di Lampung klhususnya tetap dilakukan pemadaman bergilir. Artinya, listrik PLN tetap dipadamkan, sesuai keinginan pejabat PLN itu sendiri. Mana listrik gratis, mana “listrik tak akan dipadamkan jika TDL naik? Bukti, buktinya memang sudah dicari dan ditunggu, tetapi tetap tidak ada realisasinya. Selayaknya lembaga penegakan hukum, seperti KPK, BPK, Kepolisian, Kejaksaan harus melakukan pemeriksaan terhadap PLN. Permainan apa yang ada di PLN itu.
Sebab, PKS yang menyetujui listrik gratis sebagaimana dikatakan ketuanya, Zulkieflimansyah, menilai usulan Dirut PLN itu sangat tepat dan layak diikuti oleh BUMN lainnya, termasuk pertamina. Apa kata ketua DPP PKS itu” Sudah saatnya pemerintah tidak membebani rakyat kecil, dan di sisi lain tidak mensubsidi golongan yang lebih mampu," katanya beberapa hari lalu. Jangan-jangan persetujuan dalam pernyataan PKS itu, ada apa-apanya dengan PT PLN.
Kalkulasi Dirut PT PLN menjelaskan, bahwa Dengan memberikan seluruh subsidi kepada golongan masyarakat miskin (pengguna 450 MW) dan pembayaran normal atau sebesar biaya produksi listrik (Rp 1.000 per kwh) oleh golongan lain. Maka PT PLN akan kehilangan dana sebesar Rp 1,5 triliun tetapi dapat penerimaan sekitar Rp 30 triliun. Bahkan, Dahlan Iskan menantang DPR, dengan suara lantang bertanaya (retorik); kenapa yang miskin nggak dikasih gratis. Biarin saya dibilang gila, tapi kalau mau mementingkan yang miskin ya dikasih gratis saja. Sekarang dan mungkin sampai dunia ini hancur, listrik merupakan kebutuhan sangat strategis dan vital oleh sebagian besar penduduk dunia. Namun, tidak semua keluarga mampu menikmati listrik dengan baik dan sederhana.
Nyata sekali, political will PLN. Untuk menaikkan TDL, kenapa harus banyak bacotg sih? Cobalah terbuka dan jujur saja kepada konsumen. Tentu, masyarakat butuh apresiasi tentang kenaikan TDL itu. Catatan bahwa rakyat—konsumen, tidak lagi butuh pernyataan-pernyataan ansor (angin surga). Konkritisasi pernyataan akan lebih ditunggu konsumen ketimbang “angin surga” yang pada hakekatnya hanya ingin menaikkan TDL listrik.
Sekarang pasca kenaikan TDL, pernyataan listrik gratis dan tidak ada lagi pemadaman bergilir. Ternyata pemadaman tetap dilakukan pihak PLN—di Lampung dilakukan pemadaman terus menerus setiap malamnya untuk daerah-daerah yang dijadwalkan sudah harus dipadamkan. PLN, seperti tidak dijalankan oleh manusia sehingga mengabaikan penderitaan rakyat banyak yang ekonominya sangat sulit. 

Ketegangan Demokrasi



Oleh Naim Emel Prahana
penulis pelaku sosial dan budaya

KETIKA Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) mengunjungi barak-barak pengungsi letusan Gunung Merapi di Sleman, Yogyakarta beberapa hari lalu. SBY mengatakan, pemerintah mempunyai hak pemaksaan terhadap rakyat, untuk menyelamatkan jiwa rakyat. Yang ditekankan oleh SBY ’pemaksaan’ dalam arti positif. Presiden Indonesia itu menegaskan kata-kata demikian untuk tidak menimbulkan multi tafsir tentang kata ’paksa’.
Terlepas dari semua itu, alam dan tradisi kehidupan demokrasi memang harus ada voting right, liberty of speech, freedom realizes, freedom works and as it. Semua kebebasan tersebut mempunyai jalur masing-masing. Dengan adanya jalur, maka ada pula batasan-batasan atau ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan. Artinya, kalau mengutip salah satu motto penyiar televisi pada acara entertainment, “asal usul”. Maka dikatakan, boleh usul, tapi jangan asalan.
Predikat bangsa yang berbudaya, salah satu karakternya adalah bagaimana memahami kepentingan orang lain. Kepentingan orang lain, juga harus memperhatikan kepentingan orang lain yang ‘lain’ pula. Ketika sampai di situ, itulah yang dinamakan hubungan harmonis, saling menghargai pendapat dan keberadaan sesama. Silakan merumuskannya. Yang pasti, secara substansi kebebasan (freedom) bukanlah sesuatu yang tanpa batas.
Semakin orang menginginkan kebebasannya, maka semakin ia terbentur dengan ketentuan-ketentuan, termasuk nilai-nilai alam dan lingkungan. Artinya, semakin ia menghendaki kebebasan, maka semakin ia tidak bebas. Sesampai di halte demikian akan terjadi pemahaman tentang manusia itu hidup berkelompok. Satu sama lain saling membutuhkan.Jika ada manusia yang ngotot (bersikeras) untuk hidup bebas tanpa bantuan orang lain. Maka, ia positif dianggap oleh orang lain sebagai ”orang gila!”
Filosofinya—saling membutuhkan satu dengan lainnya, saling memberi dan menerima satu dengan lainnya itu tidak identik dengan saling memeras atau saling memanfaatkan satu dengan lainnya. Kehidupan sosial bukanlah kehidupan politik. Karena, kehidupan sosial itu merupakan kenyataan riil yang bisa dilihat oleh mata. Bisa diraba oleh rasa, bisa didengar oleh telinga, bisa dinikmati oleh lidah dan sebagainya.
Di alam maju dewasa ini, setiap orang mempunyai taktik dan strategi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi, taktik dan strategi itu bukan dimaksudkan sebagaimana paham politik yang menghalalkan semua cara. Artinya, haram ya halal, apalagi halal semakin dihalalkan. Walaupun semuanya memiliki latar belakang masing-masing. Akan tetapi latar belakang yang demikian sudah pasti karena kebutuhan materi. Masalah materi yang sering membuat orang lupa diri, bahkan lupa saudara sendiri atau anak kandung dan isteri sendiri.
Ketika manusia menghadapi konflik kebutuhan dengan situasi dan kondisi yang begitu cepat berubah dan kelompok masyarakat kapital akan menguasai hajat hidup orang banyak. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka dengan kekayaan (katakanlah bahasa sempitnya, uang), akan menguasai seluruh aspek-aspek kehidupan masyarakat. Termasuk para elite politik yang menjalankan pola hidup oligarki.
Barangkali ukuran sukses telah bergeser. Sebab, sukses dimaksud adalah seseorang yang mampu hidup baik dari profesinya untuk mendapatkan status sosial yang baik dengan tingkat ketenangan, kedamaian dan kebutuhan yang dapat menghidupkan rutinitas rumah tangga tanpa hambatan. Ukuran sukses di alam (katanya) demokrasi dewasa ini sudah jauh bergeser. Banyak orang sukses dengan cara-cara tidak terpuji. Banyak tetangga kita yang sukses kehidupannya dengan melakukan kejahatan-kejahatan. Baik kejahatan secara fisik maupun kejahatan yang dilakukan bekerjasama dengan setan. Yang terakhir saat sekarang sedang digandrungi manusia.
Memang kita harus saling menghargai satu sama lain. Akan tetapi jika ada orang yang melakukan kejahatan seperti korupsi, pungli, penipu, pembohong, pemerkosa, perampok, pembegal, perompak, copet, dan sebagainya serta pelaku kejahatan barengan setan. Tentu, kita tidak harus saling menghormati. Karena, manusia seperti itu harus dimusnahkan.
Di dalam Islam memang ada aturan untuk hidup berdampingans ecara damai. Tetapi, jika umat Islam diperangi (dalam arti luas), maka umat Islam itu sendiri harus melawan dengan satu kata, ’Binasakan!’. Timbul pertanyaan, bagaimana kalau kejahatan itu dilakukan oleh orang Islam sendiri? Ya, hukumnya sama, binasakan! Kendati di Indonesia ini tidak menerapkan hukum Islam dan bukan juga negara Islam. Tapi, untuk memberi pelajaran kepada aparat penegak hukum, ada waktu-waktu atau moment tertentu yang harus diselesaikan secara hukum agama.
Itulah persoalan yang saya masukkan ke dalam kondisi ”Ketegangan Demokrasi”. Dengan catatan pinggir bahwa kita ini menganut sistem demokrasi yang mana? Apakah ada negara di dunia ini yang benar-benar menjalankan praktek demokrasi sebagaimana teorinya?Amerika kah, Inggris kah, Jepang kah, Francis kah, Belanda kah, Swedia kah dan negara lainnya? Secara pas 100 persen memang tidak ada. Secara optimal memang ada beberapa negara menerapkan sistem demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dan, bagaimana dengan Indonesia? Bangsa Indonesia baru mulai membuka kembali pelajaran sistem demokrasi. Dan, itu terlihat dari istilah-istilah dan praktek demokrasi yang digunakan. Ada demokrasi terpimpin, ada demokrasi liberal, ada demokrasi kerakyatan, ada demokrasi ekonomi dan sebagainya. Sekarang kita sedang mencari bentuk demokrasi yang sebenarnya cocok untuk ditanamkan di Indonesia. Padahal, sejak zaman kerajaan-kerajaan dulu, demokrasi sudah ada di negara kepulauan ini.
Tetapi, bangsa ini masih trauma dan menyenangi menjadi bangsa yang terjajah. Termasuk dijajah oleh kaumnya sendiri seperti sekarang. Bangsa Indonesia dijajah oleh kaum politikus yang mengepalai beberapa partai politik yang berkuasa. Padahal, dalam demokrasi yang berkuasa itu adalah rakyat. Apakah kitra sudah demokrasi dengan pemilihan anggota DPR dan DPRD secara langsung (dipilih rakyat langsung), presiden dipilih oleh rakyat langsung, gubernur, bupati dan walikota, juga dipilih langsung oleh rakyat. Bukankah itu sebagai indikasi bahwa negara Indonesia sudah demokrasi?
Dari itu, memang mengaitkan idiom dan format demokrasi. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, anggota DPR dan DPRD (proinsi, kabupaten dan kota) sudah mewakili rakyat yang telah memilih—memberikan suara kepada mereka? Omong kosong, jawabannya. Saya harus ekstrim menilai praktek penyelenggaraan pemerintahan dewasa ini. Sebab, bahasa ibu yang lemah lembut, sopan santun, penuh kasih sayang dan klise kata-katanya sudah tidak menpan lagi. Bahkan dijadikan kedok untuk melakukan berbagai praktek kejahatan oleh pihak-pihak tertentu.
Ketegangan Demokrasi akan menjadi sebab terjadinya berbagai konflik di Indonesia. Semua program yang dibuat dan dijalankan pemerintah merupakan proyek oknum-oknum pejabat di departemen masing-masing. Padahal, pejabat dan PNS itu adalah abdi negara. Apa indikasi mereka itu telah melaksanakan fungsi dan kewajiban sebagai abdi negara? Demokrasi atau katakanlah substansi abdi negara bukanlah seperti memberikan penghargaan kepada PNS yang sudah menjalankan tugas 10 tahun, 15 tahun, 20 tahun, 30 tahun dan seterusnya.
Sebab, kurun waktu melaksanakan tugas sebagai PNS memang demikian sebelum mereka pensiun. Tetapi, sangat dibutuhkan perwujudan dari pengabdian kepada negara itu. Pengabdian itu banyak ragamnya, bisa karya tulis, dapat berbentuk kreativitas seorang PNS di bidangnya. Bisa penghargaan yang diperolehnya dari suatu lembaga karena karya-karyanya sangat bermanfaat dan dapat diwujudkan untuk kepentingan masyarakat luas atau bangsa.
Lagi-lagi ketegangan demokrasi telah menuai persoalan bangsa dan negara. Pada gilirannya banyak persoalan yang sangat dibutuhkan masyarakat tidak terselesaikan dan justru rakyat (masyarakat) dirugikan secara nyata dan riil. Misalnya kasus Bank Century, kasus rekening gendut perwira polisi, kasus korupsi para gubernur, bupati dan walikota. Kenapa kasus-kasus menyangkut pejabat selalu molor tanpa batas waktu.
Itulah multi tafsir demokrasi yang tidak memiliki pondasi kuat, sehingga membuat banyak persoalan baru sedangkan persoalan lama belum jua selesai ditangani. Apalagi untuk menciptakan rasa adil dan tentram masyarakat atau keputusan lembaga penegakan hukum. (penulis pelaku sosial dan budaya)

Memainkan diri Sendiri



Sajak Naim Emel Prahana

Kenapa aku?
Tidak selamanya kaya
Berjalan tanpa menoleh kiri kanan
Tidak selamanya status sosial
Bergelimang aroma hiruk pikuk kota
Kenapa kita, di sini?

Ceritanya dari kisah
Warga tidak peduli tetangga
Mengira punya harta sendiri
Bersembunyi di balik di dalam tembok
Rumahnya yang hebat
Kenapa ia tidak hadir
Lari dari undangan mengalir tetangga?

Kini, kenapa dia, kita keberadaan
Siklus kehidupan membuktikan
Ketika jaya jangan sombong
Arus zaman akan menerjang, ambruk
Jangan salahkan tetangga

+2010

Sayap-Sayap Merdeka

Bahasa apa lagi kawan
Mengucapkan salam pandang
Hutan pegunungan yang berlubang-lubang
Rumah-rumah tumpang tindih
Jelaskan batas si kaya si miskin
Yang dihapus dalam data base

Kebebasan itu cuma mereka, kawan?
yang hilang ditelan dunia baja
dan dibiaskan kaca jadi rumah
dingin berselimut alat pendingin
yang kedinginan disirami hot water
kompak, komplit
makin kompleks masalah kemerdekaan ini

keributan di media massa
melarang aku merokok
menangkap para pelacur murahan
yang hidupnya sudah hancur
zaman ini sudah merdeka
kebebasannya yang tidak pernah ada

katakanlah, di sini atau
di mana saja kaki berpijak
di ruang apa saja suara berteriak
siapa berani mengatakannya
benarkah negeri ini sudah merdeka
Katakanlah!
kemerdekaan seharusnya for all
mustikah dibedakan
kemerdekaan rakyat berbeda
kemerdekaan penguasaha, berbeda dengan
kemerdekaan penguasa
dan kemerdekaan bagi premanisme
penjajahan personal?

+2010

Aku Adalah Catatan-Catatan



Oleh Naim Emel Prahana

SANGAT beralasan, jika orangtua berulangkali menghimbau anak-anaknya, agar jangan makan di pintu, jangan menyapu di tengah malam, waktu makan jangan pake piring double atau nasihat bijak lainnya. Semuanya sangat bermakna sangat memiliki hubungan dengan nuansa alam yang didiami. Barangkali itu hanya mengulangi ingatan kita tentang lagu “nina bobok” yang dilantunkan oleh kakek atau nenek yang menidurkan cucunya.

Masihkah ingatan kita cemerlang, ketika tidur-tiduran di atas tempat tidur atau di bale-bale depan rumah atau di bawah sebuah pohon rindang yang ada di tengah sawah. Apa yang terpikirkan dan yang jelas terlihat di mata, mata hati kita? Gumpalan awan terlihat sebagai lukisan-lukisan yang sangat indah, ada wajah seseorang, ada mata yang sedang memandang dan ada makna di balik lukisan tersebut.

Lalu, bagaimana kita melihat dengan mata tetapi memaknainya dengan kata dan mata hati di semak-semak dan di balik semak-semak itu. Saat itu melintaslah bayangan seperti film. Apalagi kalau kita sering menonton film-film kolosal (sejarah) dan bermacam-macam yang tergambar, semua tergantung saat melihat itu seseorang dalam keadaan bagaimana pikiran dan hatinya.

Kalau seorang pemain teater, ketika memerankan sebagai seseorang dengan karakternya, misalnya jadi pengemis, pengamen, penjahat, orang kaya, playboy dan pelacur. Ia akan ke luar dari jati dirinya menjadi sosok orang yang ia perankan dalam status sosial. Atau ada banyak orang yang menyesali dirinya, ketika ketika ia masih muda (belum nikah) saat pacaran yang begitu akrab, tidak melakukan hubungan seks dengan pacarnya. Padahal, waktu ia pacaran peluang dan kemungkinan untuk melakukan hubungan seks begitu terbuka dan lurus.

Tapi, ia menyesal karena tidak melakukannya. Penyesalan itu datang setelah sekian lama dan setelah ia berumah tangga. Dan, penyesalan itu terjadi ketika ia melamun atau dalam keadaan pikirannya gundah gulana karena sesuatu sebab dalam kehidupan sosialnya. Semuanya ada dalam film dirinya sendiri. Ia dengan jelas mampu melihat kembali perjalanan hidupnya di masa silam.

Sehingga tidak dapat diragukan lagi, bahwa hanya terhadap Allah dan diri sendirilah yang tidak bisa dibohongi. Dus karena itu, diri itu adalah AKU. Aku adalah diri seseorang tersebut. Dengan kata lain, aku bukan siapa-siapa adalah percuma ketika orang lain merasa memiliki ‘aku’. Sebab, aku adalah aku. Kau itu, juga adalah kau dalam diri aku-mu (aku-kau). Walaupun aku tersenyum bersama kau, kau dan kau yang setiap hari ketemu, tetapi ‘aku’ tetaplah aku yang tidak bisa diketahui oleh siapapun; apa yang terjadi dalam diriku, diri kau (dalam kau ada aku-mu).

Jadi, aku adalah catatan-catatan dan catatan-catatan itu adalah tentang diriku. Ketika orang lain membuat catatan tentang diriku (orang lain lagi), maka sudah dapat dipastikan, pasti ada perbedaan dalam perlawanan yang karakteristik, psikotropikaistik dan kontroversialistik. Oleh karenanya, tidsak otomatis ‘kebutuhan’ dan ‘kepentingan’ itu adalah kebutuhan dan kepentingan ‘riil’—ku. Karena sebab lain, maka ada kebutuhan dan kepentingan karena sebab lain itulah kebutuhan dan kepentingan yang tengah diburu bukan tujuan sebenarnya dalam kebutuhan dan kepentingan-ku.

Catatan yang paling orisinil adalah catatan dalam jiwa dan ingatan, dan bukan yang ditulis-tulis seperti cerpen, puisi dan roman dalam karya sastra. Atau mungkin banyak di antara biografi seseorang itu sudah jauh dari kenyataan. Tetapi, banyak pula tulisan-tulisan yang disastrakan itu merupakan catatan-catatan personal atau kelompok komunitas, yang sudah tentu sudah disedemikian rupa bahasa tulisnya, sehingga enak untuk dibaca, dicerna dan dibayangkan. Apa yang ada di balik cerita dalam catatan-catatan itu.

Yang ada di balik catatan-catatan itu adalah tentang aku, kamu, dia, mereka, kita. Mungkin, juga tentang konflik keluarga, konflik warga, konflik guru di sekolah, konflik pribadi dan perbuatannya. Konflik pandangan, ideologi, persepsi, dugaan—perkiraan, bisnis, komoditas dan hasilnya. Mungkin masalah persaingan pilkada dengan segala sepakterjang tim suksesnya, partai pengusungnya. Atau bisa apa saja yang pernah terjadi dan apa saja yang perlu direkayasa di dalam kehidupan itu.

Kehidupan seseorang sangat mirip dengan permainan sepakbola di sebuah lapangan. Jika seorang pemain hanya “bermain-main” belaka. Maka, hasilnya tidak akan memberikan kepuasan dan kebanggaan hidup. Sebab, kepuasan dan kebanggaan merupakan bagian dari perjuangan kehidupan yang hidup sepanjang hayat dikandung badan. Tetapi, jika seorang pemain dan pemain lainnya melakukan permainan sepakbola di lapangan dengan serius. Tentu, hasilnya akan menjadi suatu kebanggaan dan pendorong semangat hidupnya setelah permainan itu selesai.

Banyak pledoi (pembelaan) diri seseorang yang terabaikan dalam konteks keadilan dan kebenaran, terkait dengan moral dan nilai-nilai sosial, agama, etika—sopan santun, hukum positif. Namun, pembelaan itu tenggelam oleh glamourisme pola kehidupan masyarakat modern sekarang ini. Perburuan kebutuhan yang sebenarnya tidak dibutuhkan memiliki volume yang lebih besar daripada perburuan kebutuhan riil yang sebenarnya harus dimiliki dan dikejar.

Pada kenyataannya materi (uang) saat ini menjadi idola dan mimpi indah kehidupan seseorang atau format sebuah rumah tangga (keluarga). Walau pada kenyataannya format materi itu tidak terlalu besar pengaruhnya kepada kehidupan yang damai, tentram, sejahtera, aman dan harmonis. Pemilihan dan peletakan materi di atas segala-galanya dalam kehidupan dewasa ini—sebagai kecenderungan pola hidup masyarakat. Memang tidak banyak membawa berkah dan manfaat dalam format kejiwaan hidup itu sendiri. Mungkin akan lebih banyak kepada dampak yang akan mengakibatkan runtuhnya nilai-nilai peradaban masyarakat yang beretika sopan santun dan berakhlak.

Keinginan untuk menjadi terkenal dengan tidak populer, saat ini sudah menjadi trend kehidupan di kalangan masyarakat tertentu. Artinya, mereka mencari cara-cara ‘aneh!’ untuk mendapatkan predikat populer—terutama yang ada aksesnya dengan publisitas. Mungkin gaya hidup seperti itu banyak diperlihatkan—dipublikasikan oleh para artis (dunia panggung hiburan). Tentunya, kita tidak harus menilai sedalam mungkin prilaku nyeleneh itu, akan tetapi kita pasti memahami dan mendeteksi bahwa hal-hal yang nyeleneh itu, hanyalah sensasional untuk ambisi popularitas nama belaka (predikat).

Yang tentunya, tidak ada jaminan kuatm,  bahwa hal itu akan menjadi dasar hidup yang tentram, nyaman, damai, aman dan harmonis antara lahir dan bathin. Apakah bentuk prilaku kehidupan yang mengandalkan sensasional, nyeleneh, aneh dan kontroversial itu dapat dijadikan dasar kehidupan modern yang serba glamour dewasa ini. Mungkin jawabannya ada pada realita dan nonrealitas yang dirasakan setiap anggota masyaraklat itu sendiri.

Pemberantasan dan Proyek Narkoba




Oleh Naim Emel Prahana
Pemerhati masalah-masalah sosial budaya, hukum dan politik


SUATU malam di kota Palembang, aku dipesani si tukang ojek yang memperingatkan, agar kalau masuk kompleks Darma Agung, “hati-hati!” Bersamaan peringatan itu, dia bilang, di situ cewek-ceweknya banyak yang ngerangkap jadi tukang copet. “Oya,...!” jawab temanku. Dan, kata tukang ojek itu, jangan mau dijebak kalau ada cewek yang mengatakan, ia tahu dan bisa membeli inek alias ekstasi.

Warning demikian bukan hanya sekali dua kali kudengar, entah di mana lagi tempatnya. Dalam hatiku, kalau peringatan (warning) demikian, gak usah disampaikan. Karena sudah tahu, kalau di dunia hiburan itu pasti masalah bisik-bisik hingga terang-terangan bertransaksi narkoba (umumnya ekstasi) sudah bukan hal yang baru.

Namun, walau demikian tetap saja menyisakan pertanyaan-pertanyaan—kenapa mata rantai peredaran dan penyalahgunaan narkoba di tempat kita (Indonesia) ini, sangat sulit diberantas. Seperti kesulitan mengakhiri krisis multidimesional yang dialami bangsa ini sampai sekarang.

Banyak komentar merespon maraknya peredaran narkoba—karena Indonesia sudah tidak lagi utuh sebagai negara tujuan peredaran narkoba Internasional, karena sudah menjadi salah satu negara produsen. Kadang oleh rekan-rekan aparat penegak hukum dikatakan sok tahu—sok pinter atau apalah bantahannya.

Rasanya, pemberantasan narkoba adalah tidak cukup dengan menerbitkan Keputusan Presiden atau yang lagi dirancang adalah Peraturan Presiden (Perpres)—rencananya sebagai pengganti Keppres No 17/2002 tentang lembaga nonstruktural yang langsung di bawah komando presiden. Tapi, definisi action (aksi) hingga sekarang pun masih belepotan tentang wajah sebenarnya dari kata aksi itu.

Banyak dari kita (masyarakat) sebenarnya belum paham betul itu yang bernama narkoba, apa lagi “apa dan bagaimananya?” Padahal, penyuluhan-penyuluhan, pelatihan-pelatihan dan sebagainya—sebagai upaya untuk memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan pemberantasan dan peredaran gelap narkoba (P4GN). Sudah sangat banyak dilakukan. Toh, persoalan peredaran dan penyalahgunaan tetap menjadi pekerjaan rumah bangsa ini.

Dua Undang-Undang tentang Narkotika dan Psikotropika masing-masing No 22/1997 dan No 6/1997, yang kemudian lembaganya Keppres No 17/2002 dan Inpres No 3/2002 soal Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Narkotika Provinsi (BNP) dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota (BNK)—sudah dapat menjadi acuan dalam rangka P4GN.

Keberhasilan selama ini, kita sambut gegap gempita. Bersorak-ria. Namun, kegembiraan dan keberhasilan mengungkap kasus-kasus narkoba selama ini, jangan membuat kita terlena. Sehingga produsen dan pedagang narkoba mengambil kesempatan. Padahal, sudah berapa triliun uang rakyat dihabiskan dalam program-program pemberantasan narkoba tadi?

Di negara ini, kita sering berandai-andai, mengkhayal, dan menimbun cita-cita. Pada gilirannya masalah hasil yang dicapai P4GN masih sulit diakui mendekati sasaran. Kita pun belum melapor ke lembaga-lembaga Internasional bagi pemberantasan narkoba. Akibatnya, sindikat narkoba dengan leluasa merayu, meningkatkan volume janji kesejahteraan kepada masyarakat. Daro anak-anak sekolah dasar hingga kaum intelektual dan cendekiawan, untuk menggunakan narkoba. Tentu dengan berbagai modus, agasr mencapai target penjualan narkoba.

Pada bagian lain, kita akhirnya gagap menghadapi perkembangan dan kemajuan pesat perdagangan narkoba. Kegagapan itu berimbas kepada pengungkapan dan penanganan kasus narkoba itu sendiri. Sampai kepada putusan pengadilan yang dirasakan sering nyeleneh. Lebih parah lagi dirasakan belum mendekati sasaran putusan yang ‘adil’ bagi masyarakat.

Hal itu, barangkali wajar. Mengingat banyaknya kasus-kasus narkoba yang terungkap pelakunya hanyalah berada pada posisi “pembantu para pembantu dari para pembantu bandar, bandar dan produsen narkoba” Artinya, mereka hanya menjual sebutir dua butir ineks, memegang setengah atau satu btir inek. Mungkin hanya dititipi selinting ganja siap pakai atau siap edar.

Dari sekian tersangka yang kelasnya masih ‘teri’  yang digelandangkan, tidak sebanding dengan para bandar yang masih banyak berkeliaran di sekitar kita. Lebih kronisnya lagi, kasus seorang bandar besar dan pemegang setengah butir inek, seperti langit dan bumi. Artinya, yang ketangkap karena memegang setengah butir inke di karaoke, pidana yang diputuskan pengadilan sangat berat. Padahal, putusan untuk seorang cukong (bandar) narkoba dengan barang bukti mencapai 350 butir, cukup 3 tahun, dan itu tersangka jarang berada di dalam LP.

Masih segar ingatan kita kasus seorang wanita muda berinisial W yang ditangkap di salah satu ruang karaoke di kawasan Telukbetung. Ditangkap bersama beberapa wanita muda lainnya yang menemani beberapa pria untuk berkaraoke. Saat ditangkap ia diberi setengah butir inek dan masih utuh ditangannya ketika tertangkap oleh aparat polisi.

Bagaimana dengan keputusan PN Tanjungkarang beberapa tahun silam itu? Cukup mengagetkan, vonisnya 1,5 tahun. Alasan majelis hakim, ia tidak memberi contoh yang baik kepada masyarakat. Sementara itu, ingat kasus karaoke Nirwana, ketika bandar narkoba berinisial T ditangkap, barang buktinya mencapai 300-an butir. Berapa tahunkah pidananya yang dijatuhkan majelis hakim PN Tanjungkarang?

“Cuma (kalau tidak lupa) 3 tahun penjara, untuk barang bukti sekitar 324 butir inek!” Dan, bagaimana dengan wanita muda berinisial W yang usianya sekitar 20-an tahun, yang ketangkap dengan barang bukti ½ butir inek dijatuhi hukuman 1,5 tahun (baca: setahun setengah). Wanita muda ( W ), bukan pengedar, bukan pengguna narkoba secara rutin, bukan pemasok, apalagi bandar, apalagi produsen. Tapi, hukumannya begitu berat dibandingkan dengan hukuman untuk bandar T—pemilik karaoke Nir di Jl Soekarno Hatta.

Logikanya, kalau ½ butir hukumannya setahun setengah, maka 1 butir hukumannya 3 tahun penjara. Nah, kalau 300 butir inek yang jadi barang bukti. Otomatis 300 X 3 tahun adalah 900 tahun. Seharusnya demikian vonis yang dijatuhkan. Tapi, kembali kita menyadari, kalau sistem peradilan kita masih sulit ditebak. Seperti angin berubah-ubah arah setiap saat atau setiap harinya. Tanpa ada pedoman (yurisprudensi) yang dijadikan pertimbangan dalam memutuskan suatu perkara dengan substansi yang sama. Hanya beda volume barang bukti dan status tersangkanya.

Penanganan proses kasus narkoba sampai detik ini, betul-betul tidak memberikan pencerahan kepada penegakan supremasi hukum di negara ini. Diduga, banyak putusan yang kalah pamor dibandingkan dengan beberapa faktor. Misalnya kekuasaan pejabat, uang dan status sosial keluarga tersangka. Sedikit banyak dari uraian di atas—bisa dijadikan bahan evaluasi peradilan kasus narkoba di Indonesia.

Sudah barang tentu, kita tidak ingin lagi mendengar plesetan KUHP, KUHAP atau Kitab Undang-Undang lainnya, maupun UU atau PP—yang sering terdengar lucu, aneh, ngenguyon tapi menyakitkan. Pada gilirannya, menghadapi persoalan narkoba, bukan hanya si produsen dengan distributor-distributornya, distributor dengan bandar-bandarnya, bandar-bandar dengan pengedar, pengecer dan pemakai saja yang terbuai suara surga. Tetapi di rentang proses perjalanan kasus narkoba pun bagi beberapa lembaga penegakan hukum, juga terdengar suara-suara surga yang mengasyikkan kalau dilewati begitu saja.

Soal uang, soal kesenangan, soal kesejahteraan sampai soal dopping bisa diraba dirasa bila dapat memahami kasus narkoba sebagai sawah ladang. Narkoba adalah sawah ladang dan kebun yang tak pernah gagal memetik keuntungan materi, bahkan keuntungannya berlipat ganda. Itu kan suara surga dalam neraka narkoba. Gak percaya, menyamarlah—masuk ke masyarakat pengguna narkoba. Suara surga yang memang tidak pernah kita tahu itu, tapi dengan narkoba (katanya) semua serba terasa dan indah.

Kalau sudah demikian, maka sulitlah untuk menekan apalagi memberantas peredaran gelap narkoba—karena disisi lain dunia medis masih sangat membutuhkannya, tanpa pengawasan yang berarti. Memberantas narkoba harus ada jaminan bahwa, KATA TERUCAP LANGKAH DITANCAP! Narkoba No! Sekali TIDAK tetap TIDAK!

Jumat, 26 Februari 2016

HM HARUN MUDA INDRAJAYA

Pemimpin Redaksi (SKU Tamtama), Harian Tamtama, Lampung Ekspres (JPNN) 
dan Lampung Ekspres plus dalam memorial






FOTO KENANGAN RAPAT-RAPAT REDAKSI HARIAN TAMTAMA (Lampung Ekspres)


 Fajrun Najah Ahmad (Fajar), M Yusuf Puspita Jaya, Kolam Pandia 
dana Naim Emel Prahana sedang berdialog
 M Yusuf Puspita Jaya dan Effendi Yusuf
 Kolam Pandia, Faizal Ahmad, Naim Emel Prahana
dan Heriansyah AK
 M Yusuf Puspitajaya, Rumiati, Effendi Yusuf, Burhan
dan Sanusi
 Fajrun Najah Ahmad, Yulizar Kundo, Ahmad Novriwan
Pimpred, HM Hrun Muda Indrajaya sedang memimpin rapat koordinasi


RAPAT KOORDINASI PEMBANGUNAN BALAI WARTAWAN PWI DI KOTA METRO


 Dewan Kehormatan PWI Cabang Lampung berkunjung
ke Metro dalam rangka membahas pembentukan pengurus
PWI Wilayah Timur di Kantor Deppen Lampung Tengah
tahun 1998
 Rapat Dengar Pendapat mengenai rencana pembangunan
gedung (Balai) Wartawan Wilayah Timur di Aula Pemkot Metro
dalam gambar nampak (ki-ka) Ketua Komisi D DPRD Metro, 
Amir Hamzah SH, Wakil Ketua PN, Wakil Kapolres sedang
berbincang
 para Kepala Dinas, Badan dan lembaga pemerintah
berkumpul di Aula Pemkot Metro membahas rencana
pembangunan Balai Wartawan di Kota Metro (1999)
 Walikota Metro, Drs H Moses Herman sedang berdialog
dengan beberapa pengurus PWI Wilayah Timur usai dengan pendapat.
Nampak walikota, Dencik Effendi M (Sekretaris PWI-PWT), 
Dahlan Sikumbang (bendahara)

 Wakil Walikota, Lukman Hakim dan Kasi Intel Kejari Metro, 
Hendrik Selalau SH
 Walikota Moses Herman bersalaman dengan pengurus
PWI-PWT (1999)

 para Kepala Dinas, Badan dan lembaga pemerintah
berkumpul di Aula Pemkot Metro membahas rencana
pembangunan Balai Wartawan di Kota Metro (1999)
 Pemaparan: Ketua PWI - PWT Naim Emel Prahana
tengah memberikan pemaparan masalah pembangunan Balai
Wartawan PWI di Kota Metro
 Wakil Walikota berdialog dengan Ketua PWI-PWT Naim
Emel Prahana dan wartawan Lampung Post, Edy Ribut Herwanto
 Walikota Metro berdialog dengan Wakil Ketua PWI-PWT Sudirman KN
, Sekretaris PWI-PWT, Dencik Effendi M didampingi Kabag Humas Drs Basran dan 
seorang wartawan mingguan Handal, Tedy