Sabtu, 27 Februari 2016

Ketegangan Demokrasi



Oleh Naim Emel Prahana
penulis pelaku sosial dan budaya

KETIKA Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) mengunjungi barak-barak pengungsi letusan Gunung Merapi di Sleman, Yogyakarta beberapa hari lalu. SBY mengatakan, pemerintah mempunyai hak pemaksaan terhadap rakyat, untuk menyelamatkan jiwa rakyat. Yang ditekankan oleh SBY ’pemaksaan’ dalam arti positif. Presiden Indonesia itu menegaskan kata-kata demikian untuk tidak menimbulkan multi tafsir tentang kata ’paksa’.
Terlepas dari semua itu, alam dan tradisi kehidupan demokrasi memang harus ada voting right, liberty of speech, freedom realizes, freedom works and as it. Semua kebebasan tersebut mempunyai jalur masing-masing. Dengan adanya jalur, maka ada pula batasan-batasan atau ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan. Artinya, kalau mengutip salah satu motto penyiar televisi pada acara entertainment, “asal usul”. Maka dikatakan, boleh usul, tapi jangan asalan.
Predikat bangsa yang berbudaya, salah satu karakternya adalah bagaimana memahami kepentingan orang lain. Kepentingan orang lain, juga harus memperhatikan kepentingan orang lain yang ‘lain’ pula. Ketika sampai di situ, itulah yang dinamakan hubungan harmonis, saling menghargai pendapat dan keberadaan sesama. Silakan merumuskannya. Yang pasti, secara substansi kebebasan (freedom) bukanlah sesuatu yang tanpa batas.
Semakin orang menginginkan kebebasannya, maka semakin ia terbentur dengan ketentuan-ketentuan, termasuk nilai-nilai alam dan lingkungan. Artinya, semakin ia menghendaki kebebasan, maka semakin ia tidak bebas. Sesampai di halte demikian akan terjadi pemahaman tentang manusia itu hidup berkelompok. Satu sama lain saling membutuhkan.Jika ada manusia yang ngotot (bersikeras) untuk hidup bebas tanpa bantuan orang lain. Maka, ia positif dianggap oleh orang lain sebagai ”orang gila!”
Filosofinya—saling membutuhkan satu dengan lainnya, saling memberi dan menerima satu dengan lainnya itu tidak identik dengan saling memeras atau saling memanfaatkan satu dengan lainnya. Kehidupan sosial bukanlah kehidupan politik. Karena, kehidupan sosial itu merupakan kenyataan riil yang bisa dilihat oleh mata. Bisa diraba oleh rasa, bisa didengar oleh telinga, bisa dinikmati oleh lidah dan sebagainya.
Di alam maju dewasa ini, setiap orang mempunyai taktik dan strategi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi, taktik dan strategi itu bukan dimaksudkan sebagaimana paham politik yang menghalalkan semua cara. Artinya, haram ya halal, apalagi halal semakin dihalalkan. Walaupun semuanya memiliki latar belakang masing-masing. Akan tetapi latar belakang yang demikian sudah pasti karena kebutuhan materi. Masalah materi yang sering membuat orang lupa diri, bahkan lupa saudara sendiri atau anak kandung dan isteri sendiri.
Ketika manusia menghadapi konflik kebutuhan dengan situasi dan kondisi yang begitu cepat berubah dan kelompok masyarakat kapital akan menguasai hajat hidup orang banyak. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka dengan kekayaan (katakanlah bahasa sempitnya, uang), akan menguasai seluruh aspek-aspek kehidupan masyarakat. Termasuk para elite politik yang menjalankan pola hidup oligarki.
Barangkali ukuran sukses telah bergeser. Sebab, sukses dimaksud adalah seseorang yang mampu hidup baik dari profesinya untuk mendapatkan status sosial yang baik dengan tingkat ketenangan, kedamaian dan kebutuhan yang dapat menghidupkan rutinitas rumah tangga tanpa hambatan. Ukuran sukses di alam (katanya) demokrasi dewasa ini sudah jauh bergeser. Banyak orang sukses dengan cara-cara tidak terpuji. Banyak tetangga kita yang sukses kehidupannya dengan melakukan kejahatan-kejahatan. Baik kejahatan secara fisik maupun kejahatan yang dilakukan bekerjasama dengan setan. Yang terakhir saat sekarang sedang digandrungi manusia.
Memang kita harus saling menghargai satu sama lain. Akan tetapi jika ada orang yang melakukan kejahatan seperti korupsi, pungli, penipu, pembohong, pemerkosa, perampok, pembegal, perompak, copet, dan sebagainya serta pelaku kejahatan barengan setan. Tentu, kita tidak harus saling menghormati. Karena, manusia seperti itu harus dimusnahkan.
Di dalam Islam memang ada aturan untuk hidup berdampingans ecara damai. Tetapi, jika umat Islam diperangi (dalam arti luas), maka umat Islam itu sendiri harus melawan dengan satu kata, ’Binasakan!’. Timbul pertanyaan, bagaimana kalau kejahatan itu dilakukan oleh orang Islam sendiri? Ya, hukumnya sama, binasakan! Kendati di Indonesia ini tidak menerapkan hukum Islam dan bukan juga negara Islam. Tapi, untuk memberi pelajaran kepada aparat penegak hukum, ada waktu-waktu atau moment tertentu yang harus diselesaikan secara hukum agama.
Itulah persoalan yang saya masukkan ke dalam kondisi ”Ketegangan Demokrasi”. Dengan catatan pinggir bahwa kita ini menganut sistem demokrasi yang mana? Apakah ada negara di dunia ini yang benar-benar menjalankan praktek demokrasi sebagaimana teorinya?Amerika kah, Inggris kah, Jepang kah, Francis kah, Belanda kah, Swedia kah dan negara lainnya? Secara pas 100 persen memang tidak ada. Secara optimal memang ada beberapa negara menerapkan sistem demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dan, bagaimana dengan Indonesia? Bangsa Indonesia baru mulai membuka kembali pelajaran sistem demokrasi. Dan, itu terlihat dari istilah-istilah dan praktek demokrasi yang digunakan. Ada demokrasi terpimpin, ada demokrasi liberal, ada demokrasi kerakyatan, ada demokrasi ekonomi dan sebagainya. Sekarang kita sedang mencari bentuk demokrasi yang sebenarnya cocok untuk ditanamkan di Indonesia. Padahal, sejak zaman kerajaan-kerajaan dulu, demokrasi sudah ada di negara kepulauan ini.
Tetapi, bangsa ini masih trauma dan menyenangi menjadi bangsa yang terjajah. Termasuk dijajah oleh kaumnya sendiri seperti sekarang. Bangsa Indonesia dijajah oleh kaum politikus yang mengepalai beberapa partai politik yang berkuasa. Padahal, dalam demokrasi yang berkuasa itu adalah rakyat. Apakah kitra sudah demokrasi dengan pemilihan anggota DPR dan DPRD secara langsung (dipilih rakyat langsung), presiden dipilih oleh rakyat langsung, gubernur, bupati dan walikota, juga dipilih langsung oleh rakyat. Bukankah itu sebagai indikasi bahwa negara Indonesia sudah demokrasi?
Dari itu, memang mengaitkan idiom dan format demokrasi. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, anggota DPR dan DPRD (proinsi, kabupaten dan kota) sudah mewakili rakyat yang telah memilih—memberikan suara kepada mereka? Omong kosong, jawabannya. Saya harus ekstrim menilai praktek penyelenggaraan pemerintahan dewasa ini. Sebab, bahasa ibu yang lemah lembut, sopan santun, penuh kasih sayang dan klise kata-katanya sudah tidak menpan lagi. Bahkan dijadikan kedok untuk melakukan berbagai praktek kejahatan oleh pihak-pihak tertentu.
Ketegangan Demokrasi akan menjadi sebab terjadinya berbagai konflik di Indonesia. Semua program yang dibuat dan dijalankan pemerintah merupakan proyek oknum-oknum pejabat di departemen masing-masing. Padahal, pejabat dan PNS itu adalah abdi negara. Apa indikasi mereka itu telah melaksanakan fungsi dan kewajiban sebagai abdi negara? Demokrasi atau katakanlah substansi abdi negara bukanlah seperti memberikan penghargaan kepada PNS yang sudah menjalankan tugas 10 tahun, 15 tahun, 20 tahun, 30 tahun dan seterusnya.
Sebab, kurun waktu melaksanakan tugas sebagai PNS memang demikian sebelum mereka pensiun. Tetapi, sangat dibutuhkan perwujudan dari pengabdian kepada negara itu. Pengabdian itu banyak ragamnya, bisa karya tulis, dapat berbentuk kreativitas seorang PNS di bidangnya. Bisa penghargaan yang diperolehnya dari suatu lembaga karena karya-karyanya sangat bermanfaat dan dapat diwujudkan untuk kepentingan masyarakat luas atau bangsa.
Lagi-lagi ketegangan demokrasi telah menuai persoalan bangsa dan negara. Pada gilirannya banyak persoalan yang sangat dibutuhkan masyarakat tidak terselesaikan dan justru rakyat (masyarakat) dirugikan secara nyata dan riil. Misalnya kasus Bank Century, kasus rekening gendut perwira polisi, kasus korupsi para gubernur, bupati dan walikota. Kenapa kasus-kasus menyangkut pejabat selalu molor tanpa batas waktu.
Itulah multi tafsir demokrasi yang tidak memiliki pondasi kuat, sehingga membuat banyak persoalan baru sedangkan persoalan lama belum jua selesai ditangani. Apalagi untuk menciptakan rasa adil dan tentram masyarakat atau keputusan lembaga penegakan hukum. (penulis pelaku sosial dan budaya)

Tidak ada komentar: