Oleh Naim Emel Prahana
penulis pelaku sosial dan
budaya
KETIKA Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY)
mengunjungi barak-barak pengungsi letusan Gunung Merapi di Sleman, Yogyakarta
beberapa hari lalu. SBY mengatakan, pemerintah mempunyai hak pemaksaan terhadap
rakyat, untuk menyelamatkan jiwa rakyat. Yang ditekankan oleh SBY ’pemaksaan’
dalam arti positif. Presiden Indonesia itu menegaskan kata-kata demikian untuk
tidak menimbulkan multi tafsir tentang kata ’paksa’.
Terlepas dari semua itu, alam dan tradisi kehidupan
demokrasi memang harus ada voting right,
liberty of speech, freedom realizes, freedom works and as it. Semua
kebebasan tersebut mempunyai jalur masing-masing. Dengan adanya jalur, maka ada
pula batasan-batasan atau ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan. Artinya,
kalau mengutip salah satu motto penyiar televisi pada acara entertainment,
“asal usul”. Maka dikatakan, boleh usul, tapi jangan asalan.
Predikat bangsa yang berbudaya, salah satu karakternya
adalah bagaimana memahami kepentingan orang lain. Kepentingan orang lain, juga
harus memperhatikan kepentingan orang lain yang ‘lain’ pula. Ketika sampai di
situ, itulah yang dinamakan hubungan harmonis, saling menghargai pendapat dan
keberadaan sesama. Silakan merumuskannya. Yang pasti, secara substansi
kebebasan (freedom) bukanlah sesuatu yang tanpa batas.
Semakin orang menginginkan kebebasannya, maka semakin ia
terbentur dengan ketentuan-ketentuan, termasuk nilai-nilai alam dan lingkungan.
Artinya, semakin ia menghendaki
kebebasan, maka semakin ia tidak bebas. Sesampai di halte demikian akan terjadi
pemahaman tentang manusia itu hidup berkelompok. Satu sama lain saling
membutuhkan.Jika ada manusia yang ngotot (bersikeras) untuk hidup bebas tanpa
bantuan orang lain. Maka, ia positif dianggap oleh orang lain sebagai ”orang
gila!”
Filosofinya—saling
membutuhkan satu dengan lainnya, saling memberi dan menerima satu dengan
lainnya itu tidak identik dengan saling memeras atau saling memanfaatkan satu
dengan lainnya. Kehidupan sosial bukanlah kehidupan politik. Karena, kehidupan
sosial itu merupakan kenyataan riil yang bisa dilihat oleh mata. Bisa diraba
oleh rasa, bisa didengar oleh telinga, bisa dinikmati oleh lidah dan
sebagainya.
Di alam maju
dewasa ini, setiap orang mempunyai taktik dan strategi untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Tetapi, taktik dan strategi itu bukan dimaksudkan sebagaimana paham
politik yang menghalalkan semua cara. Artinya, haram ya halal, apalagi halal
semakin dihalalkan. Walaupun semuanya memiliki latar belakang masing-masing.
Akan tetapi latar belakang yang demikian sudah pasti karena kebutuhan materi.
Masalah materi yang sering membuat orang lupa diri, bahkan lupa saudara sendiri
atau anak kandung dan isteri sendiri.
Ketika manusia
menghadapi konflik kebutuhan dengan situasi dan kondisi yang begitu cepat
berubah dan kelompok masyarakat kapital akan menguasai hajat hidup orang
banyak. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka dengan kekayaan
(katakanlah bahasa sempitnya, uang), akan menguasai seluruh aspek-aspek
kehidupan masyarakat. Termasuk para elite politik yang menjalankan pola hidup
oligarki.
Barangkali
ukuran sukses telah bergeser. Sebab, sukses dimaksud adalah seseorang yang
mampu hidup baik dari profesinya untuk mendapatkan status sosial yang baik
dengan tingkat ketenangan, kedamaian dan kebutuhan yang dapat menghidupkan
rutinitas rumah tangga tanpa hambatan. Ukuran sukses di alam (katanya)
demokrasi dewasa ini sudah jauh bergeser. Banyak orang sukses dengan cara-cara
tidak terpuji. Banyak tetangga kita yang sukses kehidupannya dengan melakukan
kejahatan-kejahatan. Baik kejahatan secara fisik maupun kejahatan yang
dilakukan bekerjasama dengan setan. Yang terakhir saat sekarang sedang
digandrungi manusia.
Memang kita
harus saling menghargai satu sama lain. Akan tetapi jika ada orang yang
melakukan kejahatan seperti korupsi, pungli, penipu, pembohong, pemerkosa,
perampok, pembegal, perompak, copet, dan sebagainya serta pelaku kejahatan
barengan setan. Tentu, kita tidak harus saling menghormati. Karena, manusia
seperti itu harus dimusnahkan.
Di dalam Islam
memang ada aturan untuk hidup berdampingans ecara damai. Tetapi, jika umat
Islam diperangi (dalam arti luas), maka umat Islam itu sendiri harus melawan
dengan satu kata, ’Binasakan!’. Timbul pertanyaan, bagaimana kalau kejahatan
itu dilakukan oleh orang Islam sendiri? Ya, hukumnya sama, binasakan! Kendati
di Indonesia ini tidak menerapkan hukum Islam dan bukan juga negara Islam.
Tapi, untuk memberi pelajaran kepada aparat penegak hukum, ada waktu-waktu atau
moment tertentu yang harus diselesaikan secara hukum agama.
Itulah
persoalan yang saya masukkan ke dalam kondisi ”Ketegangan Demokrasi”. Dengan
catatan pinggir bahwa kita ini menganut sistem demokrasi yang mana? Apakah ada
negara di dunia ini yang benar-benar menjalankan praktek demokrasi sebagaimana
teorinya?Amerika kah, Inggris kah, Jepang kah, Francis kah, Belanda kah, Swedia
kah dan negara lainnya? Secara pas 100 persen memang tidak ada. Secara optimal
memang ada beberapa negara menerapkan sistem demokrasi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Dan, bagaimana
dengan Indonesia? Bangsa Indonesia baru mulai membuka kembali pelajaran sistem
demokrasi. Dan, itu terlihat dari istilah-istilah dan praktek demokrasi yang
digunakan. Ada demokrasi terpimpin, ada demokrasi liberal, ada demokrasi
kerakyatan, ada demokrasi ekonomi dan sebagainya. Sekarang kita sedang mencari
bentuk demokrasi yang sebenarnya cocok untuk ditanamkan di Indonesia. Padahal,
sejak zaman kerajaan-kerajaan dulu, demokrasi sudah ada di negara kepulauan
ini.
Tetapi, bangsa
ini masih trauma dan menyenangi menjadi bangsa yang terjajah. Termasuk dijajah
oleh kaumnya sendiri seperti sekarang. Bangsa Indonesia dijajah oleh kaum
politikus yang mengepalai beberapa partai politik yang berkuasa. Padahal, dalam
demokrasi yang berkuasa itu adalah rakyat. Apakah kitra sudah demokrasi dengan
pemilihan anggota DPR dan DPRD secara langsung (dipilih rakyat langsung),
presiden dipilih oleh rakyat langsung, gubernur, bupati dan walikota, juga
dipilih langsung oleh rakyat. Bukankah itu sebagai indikasi bahwa negara
Indonesia sudah demokrasi?
Dari itu,
memang mengaitkan idiom dan format demokrasi. Akan tetapi, dalam
pelaksanaannya, anggota DPR dan DPRD (proinsi, kabupaten dan kota) sudah mewakili
rakyat yang telah memilih—memberikan suara kepada mereka? Omong kosong,
jawabannya. Saya harus ekstrim menilai praktek penyelenggaraan pemerintahan
dewasa ini. Sebab, bahasa ibu yang lemah lembut, sopan santun, penuh kasih
sayang dan klise kata-katanya sudah tidak menpan lagi. Bahkan dijadikan kedok
untuk melakukan berbagai praktek kejahatan oleh pihak-pihak tertentu.
Ketegangan
Demokrasi akan menjadi sebab terjadinya berbagai konflik di Indonesia. Semua
program yang dibuat dan dijalankan pemerintah merupakan proyek oknum-oknum
pejabat di departemen masing-masing. Padahal, pejabat dan PNS itu adalah abdi
negara. Apa indikasi mereka itu telah melaksanakan fungsi dan kewajiban sebagai
abdi negara? Demokrasi atau katakanlah substansi abdi negara bukanlah seperti
memberikan penghargaan kepada PNS yang sudah menjalankan tugas 10 tahun, 15
tahun, 20 tahun, 30 tahun dan seterusnya.
Sebab, kurun
waktu melaksanakan tugas sebagai PNS memang demikian sebelum mereka pensiun.
Tetapi, sangat dibutuhkan perwujudan dari pengabdian kepada negara itu.
Pengabdian itu banyak ragamnya, bisa karya tulis, dapat berbentuk kreativitas
seorang PNS di bidangnya. Bisa penghargaan yang diperolehnya dari suatu lembaga
karena karya-karyanya sangat bermanfaat dan dapat diwujudkan untuk kepentingan
masyarakat luas atau bangsa.
Lagi-lagi
ketegangan demokrasi telah menuai persoalan bangsa dan negara. Pada gilirannya
banyak persoalan yang sangat dibutuhkan masyarakat tidak terselesaikan dan
justru rakyat (masyarakat) dirugikan secara nyata dan riil. Misalnya kasus Bank
Century, kasus rekening gendut perwira polisi, kasus korupsi para gubernur,
bupati dan walikota. Kenapa kasus-kasus menyangkut pejabat selalu molor tanpa
batas waktu.
Itulah multi
tafsir demokrasi yang tidak memiliki pondasi kuat, sehingga membuat banyak
persoalan baru sedangkan persoalan lama belum jua selesai ditangani. Apalagi
untuk menciptakan rasa adil dan tentram masyarakat atau keputusan lembaga
penegakan hukum. (penulis pelaku sosial dan budaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar