Sabtu, 27 Februari 2016

KPU: Makhluk Apa?


SUARA enteng seperti tidak ada beban, komisioner KPU Bandarlampung menjelaskan, “mereka bekerja menghitung dan merekafitulasi hasil pemilukada sesuai dengan tahapan yang ada!” beberapa unsur terkandung dalam kalimat itu, pertama = tahapan proses pemilukada bukan Firman Allah SWT (Tuhan YME). Kedua = apakah selama proses sebelum ini, tahapan itu ditepati, tanpa ada pergeseran waktu barang sehari? Ketiga = apakah protes, gelembung massa dan tuntutan massa dengan bukti-bukti pelanggaran bukan menjadi tahapan pelaksanaan pemilukada dan kelima = apakah pelanggaran-pelanggaran dan buktinya begitu saja disrahkan ke Panwas, padahal itu adalah bagian dari “sah tidaknya perolehan suara!”
Seperti dilansir semua media di Lampung, bahwa pemilukada telah dimenangkan 2 (dua) incumbent’ yaitu untuk Kota Metro dan Lampung Timur. Kemudian, pemilukada di kabupaten/kota lainnya menghailkan calon bupati/walikota terpilih di luar incumbent. Membenahi pernyataan, asumsi, dugaan, su’uzonisme, fitnah dan anarkisme. Maka, KPU tidak boleh melepaskan ikatan antara pelanggaran yang sudah dilaporkan dengan proses rekafitulasi penghitungan suara hasil pemeilukada.
Kenapa demikian? Kita tidak ingin pemilukada itu tercerai-berai, kasus-kasus yang ada, semuanya saling berkaitan. Untuk mendapatkan hasil pemiulukada yang pasti dan final. Maka, sebelumnya, semua kasus yang timbul harus diselesaikan. Tidak ada lagi kata, “kejadian ini menjadi pengalaman untuk waktu mendatang!” menyelami manusia yang sekarang ‘serba’ materi. Maka, KPU seharusnya melihat rangkaian pemilukada harus secara utuh. Tidak ada pemisahan, pelanggaran yang signifikan dengan rekafitulasi yang harus jalan terus.
Keduanya berkaitan, saling melengkapi dan mengurangi proses akhir rangkaian pemilukada. Tidak ada yang menginginkan pemilukada berakhir dengan anarkis. Sebab, jika anarkis, maka rakyatlah yang menjadi korban. Padahal, rakyat hanya dibutuhkan suaranya dalam pemilukada saja. Setelah itu suara rakyat tidak akan ada artinya. Dus karena itu, suara-suara menjelang penetapan hasil pemilukada di KPU, harus didengar dan dipertimbangkan sebagai masukan dan harus diterima, sebelum penetapan rekafitulasi.
Kejadian yang menimpa pemilukada di Lampung Timur, Bandarlampung. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi di Kota Metro, Pesawaran, Way Kanan, Lampung Tengah dan Lampung Selatan. Itu semua, tergantung kepada KPU masing-masing daerah. Kalau komisioner KPU adalah titipan yang menjalankan tugas yang ada gandolannya. Maka, KPU akan menuai badai.
KPU sepertinya makhluk lain yang bukan manusia—kalau kepentingan KPU sendiri, seperti hubungan antara konsumen listrik dengan PT (pesero) PLN atau PT Telkom. Konsumen telat bayar setengah jam saja, hitungan denda tidak ada tawar-menawar. Tetapi, ketika listrik sering mati mendadak, kemudian salah baca meteran dan konsumen harus menanggung beban. PLN tidak peduli. Untuk menbdapatkan ganti rugi, seperti ingin menggali potensi emas di bawah dasar tanah sedalam 1.000  meter. Artinya, sulit betul! KPU tidak lain adalah institusi pelayanan kepada masyarakat, seharusnya aspirasi masyarakat yang juga meyertai bukti ditindak lanjutyi. Jangan asal rekaf hasil pemilukada yang justru akan mempertajam konflik di tengah masyarakat. Pemilukada ulang, penghitungan kertas suara ulang, hukumnya wajib dan bukan haram.

Tidak ada komentar: