Sabtu, 27 Februari 2016

Jalan Bertabur Lumpur



TERNYATA  seleksi alam lebih nyata, langsung dan tidak ada rekayasa. Hal itu dapat dibayangkan, bagaimana rekayasa serah terima pembangunan—pemeliharaan jalan. Antara PU, konsultan, pemborong dalam berita acaranya ditandai dengan tulisan 100% selesai—tepat waktu dan sebagainya. Dengan dasar itulah, maka uang rakyat melalui APBN dan APBD dikeruk bak mobil mesin pengeruk lumpur.
Memang kelebihan manusia adalah akal, kebanyakan akal bagi seseorang digunakan untuk akal-akalan, meminteri orang lain dan pokoknya yang berbau perbuatan jahat dan buruk. Apa yang dinilai manusia secara fisik, format dan teks tertulis semuanya berbau politis—setidak-tidaknya dijalankan berdasarkan unsur politis. Oleh karena itu, rekayasa ending sebuah pembangunan—pemeliharaan—rehabilitasi jalan, akhirnya akan berbenturan dengan seleksi alam. Seleksi yang yang benar-benar kualifid dan tidak ada tawaran atau kompromi apapun. Seleksi alam itu yang dapat dilihat dan dirasakan sekarang, manakala kita melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Lampung. Banyak ruas jalan yang sudah tidak ada bentuk sebagai ruas jalan lagi, membuat serangkaian akibat yang langsung menukik dalam kehidupan rakyat banyak. Akibat langsung itu terkait dengan munculnya ekonomi biaya tinggi, biaya pemeliharaan kerusakan alat transportasi semakin tinggi dan waktu tempuh jarak dekat semakin lama. Yang menjadi persoalan sejak lama adalah, “ke mana anggaran pemeliharaan jalan yang tiap tahun dikeluarkan dan disahkan dari APBN dan APBD?” 
Jika pemerintah, dari pusat hingga daerah itu “tidak sakit’, niscaya sarana dan prasarana perhubungan jalan di Indonesia akan lebih baik dan terkendali—terkontrol kelaikannya secara teratur. Namun, karena pemerintah yang ada memang dalam keadaan sakit. Yang menjadi korban adalah rakyat kebanyakan. Sebab, anggaran yang sudah dianggarkan dalam APBN dan APBN, perjalanannya sampai ke masyarakat, sudah ‘kelong’—berkurang hingga 50%. Demikian pula anggaran-anggaran untuk proyek berskala kecil semisal proyek penunjukan langsung (PL) yang nilainya di bawah Rp 100.000 juta. Pada umumnya hanya digunakan sekitar 50—60% dari plafon anggaran yang sudah ditetapkan. Pemenggalan—bahasa aktraktif untuk  penyelewengan penggunaan anggaran sudah jelas langsung merobohkan kriteria kualitas bangunan yang dikerjakan.
Korupsi berjemaah—tradisi korupsi yang sudah menjadi ‘darah daging’ para PNS, pemborong dan pejabat di negeri ini. Adalah sesuatu sebab utama merosotnya nilai-nilai kebangsaan pada diri manusia Indonesia. Jika kebanggaan akan prilaku dan asesories bangsa asing. Mulai dari bendera sampai cara bicara, merupakan bukti nyata kalau orang Indonesia tidak membangun dirinya sebagai “orang Indonesia” yang mandiri. Pola publisitas yang gebyar menjadi bukti lain gaya kehidupan manusia Indonesia yang nilai jati dirinya sudah jauh merosot. Pada akhirnya, penyelesaian berbagai masalah besar dan urgen di tengah kehidupan bangsa ini, hanya dilakukan melalui pernyataan-pernyataan di media massa. Realitasnya tidak demikian. Semua serba pernyataan yang akhirnya tidak satupun persoalan menyangkut kepentingan bangsa dan negara dapat diselesaikan. Inilah salah satu sumber krisis multidimensional yang dihadapi rakyat Indonesia sekarang. Seperti kerusakan ruas jalan yang dilalui setiap saat para pejabat, toh perbaikannya menunggu rezki jatuh dari langit. Atau ada dermawan yang mau menghibahkan hartanya untuk menutupi jalan yang rusak. Tetapi, siapakah manusia Indonesia yang mau membaguskan jalan secara pribadi untuk jalan umum? 

Tidak ada komentar: