TERNYATA seleksi alam lebih nyata,
langsung dan tidak ada rekayasa. Hal itu dapat dibayangkan, bagaimana rekayasa
serah terima pembangunan—pemeliharaan jalan. Antara PU, konsultan, pemborong
dalam berita acaranya ditandai dengan tulisan 100% selesai—tepat waktu dan
sebagainya. Dengan dasar itulah, maka uang rakyat melalui APBN dan APBD dikeruk
bak mobil mesin pengeruk lumpur.
Memang kelebihan manusia adalah akal, kebanyakan akal bagi seseorang
digunakan untuk akal-akalan, meminteri orang lain dan pokoknya yang berbau
perbuatan jahat dan buruk. Apa yang dinilai manusia secara fisik, format dan
teks tertulis semuanya berbau politis—setidak-tidaknya dijalankan berdasarkan
unsur politis. Oleh karena itu, rekayasa ending
sebuah pembangunan—pemeliharaan—rehabilitasi jalan, akhirnya akan berbenturan
dengan seleksi alam. Seleksi yang yang benar-benar kualifid dan tidak ada
tawaran atau kompromi apapun. Seleksi alam itu yang dapat dilihat dan dirasakan
sekarang, manakala kita melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Lampung.
Banyak ruas jalan yang sudah tidak ada bentuk sebagai ruas jalan lagi, membuat
serangkaian akibat yang langsung menukik dalam kehidupan rakyat banyak. Akibat
langsung itu terkait dengan munculnya ekonomi biaya tinggi, biaya pemeliharaan kerusakan
alat transportasi semakin tinggi dan waktu tempuh jarak dekat semakin lama.
Yang menjadi persoalan sejak lama adalah, “ke mana anggaran pemeliharaan jalan
yang tiap tahun dikeluarkan dan disahkan dari APBN dan APBD?”
Jika pemerintah, dari pusat hingga daerah itu “tidak sakit’, niscaya
sarana dan prasarana perhubungan jalan di Indonesia akan lebih baik dan
terkendali—terkontrol kelaikannya secara teratur. Namun, karena pemerintah yang
ada memang dalam keadaan sakit. Yang menjadi korban adalah rakyat kebanyakan.
Sebab, anggaran yang sudah dianggarkan dalam APBN dan APBN, perjalanannya
sampai ke masyarakat, sudah ‘kelong’—berkurang hingga 50%. Demikian pula
anggaran-anggaran untuk proyek berskala kecil semisal proyek penunjukan
langsung (PL) yang nilainya di bawah Rp 100.000 juta. Pada umumnya hanya
digunakan sekitar 50—60% dari plafon anggaran yang sudah ditetapkan.
Pemenggalan—bahasa aktraktif untuk
penyelewengan penggunaan anggaran sudah jelas langsung merobohkan
kriteria kualitas bangunan yang dikerjakan.
Korupsi berjemaah—tradisi korupsi yang sudah
menjadi ‘darah daging’ para PNS, pemborong dan pejabat di negeri ini. Adalah
sesuatu sebab utama merosotnya nilai-nilai kebangsaan pada diri manusia
Indonesia. Jika kebanggaan akan prilaku dan asesories bangsa asing. Mulai dari
bendera sampai cara bicara, merupakan bukti nyata kalau orang Indonesia tidak
membangun dirinya sebagai “orang Indonesia” yang mandiri. Pola publisitas yang
gebyar menjadi bukti lain gaya kehidupan manusia Indonesia yang nilai jati
dirinya sudah jauh merosot. Pada akhirnya, penyelesaian berbagai masalah besar
dan urgen di tengah kehidupan bangsa ini, hanya dilakukan melalui
pernyataan-pernyataan di media massa. Realitasnya tidak demikian. Semua serba
pernyataan yang akhirnya tidak satupun persoalan menyangkut kepentingan bangsa
dan negara dapat diselesaikan. Inilah salah satu sumber krisis multidimensional
yang dihadapi rakyat Indonesia sekarang. Seperti kerusakan ruas jalan yang
dilalui setiap saat para pejabat, toh perbaikannya menunggu rezki jatuh dari
langit. Atau ada dermawan yang mau menghibahkan hartanya untuk menutupi jalan
yang rusak. Tetapi, siapakah manusia Indonesia yang mau membaguskan jalan
secara pribadi untuk jalan umum?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar