Minggu, 06 Maret 2016

HOTEL DI KOTA METRO



NO
N A M A
ALAMAT
STATUS
01
Hotel Famili
Jl Sukarso
Bintang 1
02
Hotel Nuban
Jl Sukarso
Bintang 1
03
Hotel Grand Sekuntum
Jl AH Nasution
Bintang 1
04
Hotel Gracia
Jl A Yani
Melati
05
Wisma Baranangsiang
Jl Raya Tejosari
Melatih
06
Hotel Citra III
Jl A Yani
Melati
07
Hotel Citra I
Jl Raya Stadion
Melati
08
Hotel Masdalifa
Jl Sukarso
Melati
09
Hotel Nusantara
Jl Sukarso
Melati
10
Hotel Srikandi
Jl Sukarso
Melati
11
Hotel Indah Permai 1
Jl Jend Sudirman Magelangan
Melati
12
Hotel Indah Permai IV
Jl Jend Sudirman
Melati
13
Hotel Indah Permai V
Ganjaragung Metro Barat
Melati
14
Wisma Sinode
Jl Kol Sugiono
Melati
 Data : Naim Emel Prahana_sekretaris eksekutif@PHRI Kota Metro, 2016

RUMAH SAKIT DI KOTA METRO



NO
N A M A
ALAMAT
STATUS
01
RSUD A Yani
Jl Jend A Yani Metro
Pemerintah
02
RS Islam
Jl AH Nasution
Swasta
03
RS Mardi Waluyo
Jl Jend Sudirman Ganjaragung
Swasta
04
RS Muhammadiyah
Jl Soekarno – Hatta Mulyojati
Swasta
05
RS UMC
Kauman, Metro Pusat
Swasta
06
RB Santa Maria
Jl AH Nasution
Swasta
07
Klinik Azizah
Jl Hanafiah 15B Timur
Swasta
08
RS Medika
Jl Soekarno – Hatta
Swasta
09
RB Bunda
Jl A Yani 15A
Swasta
10
Klinik dr Haryadi
Jl Diponegoro, Kampung Baru

           PUSKESMAS RAWAT INEP
01
Puskesmas Yosomulyo
Yosomulyo, Metro Pusat

02
Puskesmas Yosodadi
Yosodadi, Metro Timur

03
Puskesmas Metro
Metro, Metro Pusat

04
Puskesmas Karangrejo
Karangrejo BD 23, Metro Utara

05
Puskesmas Hadimulyo
Hadimulyo, Metro Pusat

06
Puskesmas Banjarsari
Banjarsari, Metro Utara

07
Puskesmas Tejosari
Tejo Agung, Metro Timur

08
Puskesmas Kampus
Kampus, Metro Timur

09
Puskesmas Sumbersari
Sumbersari, Metro Selatan

10
Puskesmas Ganjaragung
Ganjaragung, Metro Barat

Data : Naim Emel Prahana @ Granat Kota Metro, 2016

Sabtu, 27 Februari 2016

Muara Pembangunan



PERBEDAAN – perbedaan memang sering terjadi antar masyarakat suatu bangsa (dan negara), antara lain karena faktor disiplin dan jati diri masyarakatnya. Seperti halnya pola pertanian masyarakat di Jepang. Mereka (masyarakat petani di Jepang) mampu menghasilkan hasil pertanian dengan stabilitas berkualitas yang mengagumkan. Apapun sumber yang ada dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan efisien dan bekerja secara efektif.
Stabilitas situasi dan kondisi masyarakat di Jepang sangat bagus, bukan hanya berkesinambungan, akan tetapu selalu meningkat. Khususnya masalah hasil panen pertaniannya. Di sisi lain, pola bertani mereka juga meningkat dari waktu ke waktu, tanpa menggangu ekosistem lingkungan (ekology). Siapapun yang pernah ke Jepang, pulangnya ke Indonesia akan berkata, “Wah, bicara soal kehidupan masyarakat di sana. Kita masih jauh ketinggalan.”
Di semua sektor bangsa Jepang sangat maju. Yang patut dibanggakan, kemajuan yang mereka capai, kemudian dipelihara untuk klesejahteraan bangsanya. Tidak mengganggu adat istiadat mereka, terutama etika pergaulan di tengah masyarakat antarwarga. Apalagi soal kualitas hasil pembangunan yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sementara itu, di Indonesia semakin pintar masyarakatnya, maka semakin rusak lingkungan dan adat istiadatnya. Sangat berbeda, kan? Sebagai contoh masyarakat suatu daerah dengan kemajuan pembangunan yang dicapai. Serta merta etika dan adat istiadatnya pasti ditinggalkan. Kalaupun ada, Cuma formalitas yang belum tentu sekali setahun dilakukan.
Jelasnya, sistem kemasyarakatan di Indonesia selalu terobsesi hal-hal yang pada akhirnya membuat mereka melupakan “jati diri” sendiri. Semakin besar manfaat imlu pengetahuan dan teknolog yang ada semakin jauh masyarakat Indonesia meninggalkan identitas mereka. Sedangkan identitas baru mereka dari pengaruh berbagai media di zaman global ini, belum mereka pahami betul.
Cerita kehidupan masyarakat Indonesia identik dengan cerita dunia pewayangan, tidak pernah ada awal dan tidak pernah ada akhirnya. Semua mengakui juara, semua ingin menjuarai kelompok lain. Sedangkan kelompok lain seperti itu juga. Kalau bulan ini ada masyarakat yang panen semangka dan mendapat keuntungan luar biasa, maka besok luisa dan bulan depannya. Semua menanam semangka. Pada gilirannya, buah semangka yang membanjiri pasar harganya semakin murah.
Seterusnya dan seterusnya. Bagaimana putaran sejarah setelah kejatuhan presiden Soeharto. Kebebasan yang diilhami gerakan reformasi 1998, kebebasan berbicara, berpendapat dan berbuat—membuat banyak orang menerbitkan surat kabar. Walau dengan modal karena proposal atau musim proyek. Kini, satu per satu media yang pernah terbit itu bergelimpangan. Sementara di Jepang, jati diri mereka sebagai masyarakat suatu bangsa yang keadaan alamnya tidak begitu sebaik Indonesia. Tekun, ulet, dan menghormati pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengandalkan adat istiadat dan keaslian alam lingkungan mereka. Tata kehidupan (etika, sopan santun pergaulan saling menghormati) masih tetap mereka pelihara dengan baik. Apapun pangkat, status dan kedudukan sosial mereka. Menghormati orang lain merupakan suatu kebutuhan yang mendasar. Sementara orang Indonesia, semakin status sosialnya baik (sudah punya harta kekayaan), maka, semakin sombong dan angkuh dan tidak peduli dengan lingkungan. Apalagi adat istiadatnya.

Pekerja Asing



KENAPA baru sekarang aparat penegak hukum (polisi) baru mencurigai ada tenaga kerja asing di PT  Drydock World, Tanjung Uncang, Batam, Kepulauan Riau. Karena adanya kerusuhan yang melanda perusahaan galangan kapal milik WNA keturunan India? Kenapa yang l;ain tidak pernah diucapkan, atau karena tidak terjadi kekacauan. Kalau hanya itu, maka betapa parahnya sistem penertiban dan keamanan di tengah masyarakat Indonesia selama ini.
Sebab, bukan hanya pekerja asing. Di Indonesia diduga banyak sekali “pendatang haram” (prohibited outsider) yang sudah mengantongi kartu tanpa penduduk (KTP) negara Indonesia. Terutama warga dari daratan Tiongkok, Hongkong, dan Taiwan. Namun, sedikit sekali kita mendengar atau membaca adanya operasi yustisia di rumah-rumah WNI keturunan asing—khususnya WNI keturunan Tiongkok (China).
Padahak, masyarakat sering berjumpa dengan warga masyarakat asing yang sudah memiliki KTP di suatu kelurahan atau kecamatan, tidak bisa sama sekali berbahasa Indonesia. Sangat memalukan sekali, Indonesia yang merupakan negara yang didasarkan kepada hukum, ternyata hukumnya seperti karet. Siapa yang berkuasa dan punya uang, maka ia mampu memainkan hukum sedemikian rupa.
Seperti diketahui, banyak perusahaan besar bergerak di beberapa sektor di Indonesia dimiliki (modalnya) oleh orang asing, termasuk susunan personalia pengelola perusahaan. Suatu hal yang tidak mustahil, para manejer asing yang mengelola perusahaan asing di Indonesia memasukkan warga mereka secara ilegal melalui perusahaannya.
Tapi, sejauhmana pihak terkait melakukan pengawasan maksimalnya untuk mendeteksi pendatang haram di Indonesia yang masuk melalui berbagai kegiatan, seperti industri dan perusahaan yang dimodali dan dimiliki oleh orang asing. Pascakerusuhan di galangan kapal milik PT Drydock World, Tanjung Uncang, Batam, pihak kepolisian masih melakukan pemeriksaan 36 Tenaga Kerja Asing (TKA). Polisi mengendus adanya TKA yang melabrak aturan keimigrasian.
Sebagaimana dijelaskan oleh Kapolda Riau, Brigjen Pudji Hartanto Iskandar beberapa waktu lalu, mengatakan, terkait 36 TKA di perusahaan itu, sampai kini masih dimintai keterangan di Poltabes Barelang. Dari hasil pemeriksaan, pihak kepolisian sudah menemui titik terang akar persoalan terjadinya bentrok di lokasi perusahaan. Namun sejauh ini pihak Polda Kepri belum bersedia menjelaskan secara rinci pemicu kerusuhan tersebut.
Secara umum kita memang menyayangkan kerusuhan di perusahaan galangan kapal tersebut, namun di balik itu semua ada kelalaian dan keteledoran pihak aparat penegakan dalam mengawasi perusahaan tersebut, sebelum terjadinya kerusuhan.
Kenapa harus terjadi kerusuhan lebih dulu, baru dideteksi adanya pekerja asing (warga India) di perusahaan tersebut. Selama ini, Dinas Tenaga Kerja Kepulauan Riau, apa saja yang dilakukannya terhadap aktrivitas-aktivitas pekerja di sana? Seharusnya secarta rutin, baik pemda setyempat, polisi, TNI atau melalui lembaga pengawasan lain yang terkait, sudah harus mendeteksi adanya pendatang haram di daerah itu, yang masuk melalui perusahaan-perusahaan asing. Sayang, semuanya sudah terlambat. Ada dugaan selama ini aparat polisi dan disnakersos Kepulauan Riau lebih peka terhadap materi, upeti atau uang masuk ketimbang mempedulikan kedaulatannya.

Pembuktian Terbalik



INDONESIA diyakini tidak akan mampu memberantas kasus-kasus korupsi atau KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) atau jenis lain yang terkait dan identik dengan tindak pidana korupsi. Kasus korupsi di Indonesia akan diproses secara momentum bukan secara completely and continue (secara tuntas dan berkesinambungan)
Persoaloannya pun mendasar. Sebab, tanpa melalui proses hukum pembuktian terbalik (verification upside down). Kasus korupsi sulit untuk diberantas tuntas atau maksimal dan kerkesinambungan. Modus penegakan hukum atas kasus-kasus korupsi di Indonesia hampir 100 persen karena pengaduan atau laporan. Padahal, kasus korupsi tidak harus menunggu pengaduan atau laporan (dari siapapun).
Bahkan, karena ingin mencapai target penanganan kasus korupsi yang ditetapkan oleh Jaksa Agung, bahwa setiap Kejari di seluruh Indonesia harus mampu menangani minimal 3 (tiga) kasus korupsi setiap tahunnya. Yang membuat aparat jaksa di Kejaksaan Negeri (Kejari) merekayasa laporan atau pengaduan, bahkan mengutip dan menindaklanjuti berita di koran. Kemudian, ada tidaknya tindak pidana pada dugaan kasus korupsi, banyak aparat penegak hukum hanya melihat Rp 100 juta dikurangi Rp 15 juta ada Rp 65 juta. Korupsi hanya dilihat dari angka-angka pengurangan atau kelebihan dari penggunaan anggaran. Secara umum demikian semakin membuat aparat penegak hukum tidak paham betul, bagaimana mencari unsur korupsi pada kasus penyalah-gunaan kewenangan, keuangan dan pembiayaan proyek dan sebagainya.
Korupsi, juga dilihat dari biaya pembuatan SIM, pembayaran pajak kendaraan bermotor—di mana angka yang tertulis di STNK tidak sama dengan angka rupiah yang dikeluarkan seorang pembayar pajak kendaraan. Bahwa, biaya pembuatan SIM yang tertera dan tertulis di UU atau peraturannya, tidak sama dengan apa yang diberikan si pencari SIM dan sebagainya. Demikian juga soal pajak, berapa banyak perusahaan di daerah atau di mana saja, jumlah pajak yang dibayarkan tidak sesuai dengan jumlah harta benda dan pemasukannya setiap hari atau setiap bulan. Padahal, seorang penulis opini atau artikel di media massa, setiap kali mengambil honorariumnya, sudah langsung dipotong pajak. Kendati, honornya hanya Rp 100 ribu.
Orang kecil—kebanyakan begita takut dan akhirnya taat pajak. Sedangkan pejabat dan pengusaha atau PNS golongan tertentu, sulit dilacak, berapa mereka bayar pajak setiap tahunnya. Apakah pajak penghasilan atau pajak pertambahan nilai atau pajak lainnya. Semua itu, karena kelemahan sistem hukum di Indonesia. Seandaikan sistem hukum di Indonesia menggunakan teori pembuktian terbalik. Maka, rakyat akan melongo melihat daftar orang yang melakukan korupsi melalui ‘rekayasa’ jumlah pajak yang harus mereka bayarkan. Akhirnya, seperti jaksa Poltak Manulang yang pernah melaporkan harta kekayaannya saat bertugas di bagian TU Kejati Bengkulu, 200. Ia hanya memiliki harta sebesar Rp 335 juta. Lalu tanah 2000 m2 dan 100 m2 di Kabupaten Bogor senilai Rp 150 juta. Tanah seluas 283 m2 di Jakarta Barat pada tahun 1999 senilai Rp 140 juta juga tercatat dalam laporannya. Ditambah tanah 1500 m2 di Kabupaten Kolaka, hasil sendiri tahun 1995 senilai Rp 45 juta.
Kenyataannya, tahun 2010 harta kekayaan Poltak Manulang yang menangangi kasus Gayus mendadak menjadi miliar rupiah. Belum kasus Gayus, Edmon dan mantan Kapolda Lampung dan sebagainya. Indonesia takkan bisa ke luar dari praktek korupsi.

Rentang Kendali Pemerintahan



SALAH satu alasan lahirnya UU Otonomi Daerah saat itu adalah untuk memperpendek rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dengan jarak dan waktu tempuh hubungan antara ibukota provinsi atau kabupaten ke pelosok daerah terpencilnya. Memungkinkan proses kendali pemerintah provinsi atau kabupaten lebih muda dan dapat dijalankan secara lancar, tidak banyak rintangan dan hambatan.
Namun, setelah UU Otonomi Daerah berjalan. Kekhawatiran awal otonomi daerah adalah munculnya raja-raja kecil, semakin menakutkan penegakan hukum. Karena kasus korupsi dengan ratusan modus, sulit dituntaskan. Akibatnya uang negara yang seharusnya untuk membiayai pelaksanaan pembangunan di berbagai sektor. Terpaksa dikurangi dan kualitas pembangunanpun pada akhirnya seperti karya anak-anak Taman Kanak-Kanak (TK).
Itu semua akibat modus korupsi yang beragam dan sudah mendarah daging di tubuh pemerintahan. Maka, tidak mengherankan ketika makelar kasus (markus) dibongkar, nilai rupiah negara yang dirugikan, luar biasa. Bagaimana markus-markus yang ada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Nyngkin secara riil, APBN untuk biaya pembangunan hanya 50 persen saja yang dipakai. Selebihnya, sudah dibagi-bagikan. Terutama setoran ketika tender proyek dilaksanakan. Siapakah yang menerima setoran proyek yang paling besar, tentunya mereka yang berada di leading sektor proyek yang dlincurkan setiap tahunnya. Kemudian secara pasti PAD kepala daerah harus dipikirkan dan merupakan masukan tetap. Kalau demikian, bagaimana dengan konsep awal “rentang kendali pemerintahan” yang mengawali proses lahirnya UU Otonomi Daerah?
Ternyata itu gagal dilakukan, bahkan rentangkendali para penjahat semakin tidak berjarak dan semakin besar menelan korban jiwa, harta benda dan kerusakan lainnya. Itulah sebabnya, kalau kita bandingkan kerugian atau kerusakan akibat teroris dengan penjahat seperti perampok, begal, perompak, pencopet dan maling. Maka, kerugian yang ditimbulkan oleh penjahat yang bukan teroris, akan lebih besar dibandingkan kejahatan yang ditimbulkan para teroris. Seharusnya, soal rentang kendali itu, pemerintah daerah khususnya harus mampu menertibkan wilayahnya dari tekanan-tekanan para penjahat. Baik penjahat berdasi maupun penjahat konvensional atau penjahat dari dunia ilmu hitam.
Yang lebih pokok lagi adalah bagaimana pemerintah provinsi, kabupaten/kota mampu mengawasi pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan yang dibiayai oleh APBN dan APBD. Bukan kangkalingkong dengan rekanan (pemborong), demi lembaran-lembaran uang yang jumlahnya cukup besar yang akhirnya anggaran pembangunan yang sudah ditenderkan dipotong dengan rekayasa berbagai dukumen dan rekayasa harga barang, kemudian mengajak konsultan dan pengawasn joint.
Moralitas itu semakin memburuk dengan semakin banyaknya daerah yang dimekarkan. Anggaran APBN sepertinya dilemparkan ke dasar laut dan sia-sia dianggar. Kasus korupsi yang dibuka oleh aparat penegak hukum hingga saat ini, belum sampai 10 persen dari jumlah kasus korupsi yang ada di Indonesia terbesar di semua provinsi, kabupaten.kota, dan di hampir semua sektor.
Sementara elite politik mengubah imij dengan debat soal politik dan partai, apalagi menjelang muktamar atau kongres. Tidak ada yang memikirkan bagaimana nasib bangsa ini dikemudian hari.

Kebelet Aset Daerah

SUDAH hampir tiga periode pemerintah Kota Metro dan Lampung Timur setelah berpisah dengan kabupaten induknya, Lampung Tengah tahun 1999. namun, hubungan ketiga daerah itu belum sepaham, sejalan dan belum harmonis. Akibat banyak oknum pejabat di tiga kabupaten/kota itu kebelet uang dari aset daerah atau negara yang ada di Kota Metro.
Padahal, dalam MoU selepas pemekaran daerah Lampung Tengah—yang saat itu Gubernur Lampung sijabat Drs Oemarsono, ditulis dan dijanjikan selambat-lambatnya 1 tahun setelah pemisahan (pemekaran) semua aset Lampung Tengah yang ada di Kota Metro, sudah diserahkan seluruhnya kepada pemerintak kota (pemkot) Metro. Aset yang jika diuangkan nilainya mencapai seratusan miliar itu, sampai detik ini banyak yang belum jelas status kepemilikannya, antara apakah Lampung Tengah, Lampung Timur atau Kota Metro.
Walau semua aset berupa tanah dan bangunan perkantoran itu berada di wilayah Kota Metro. Karena nama kabupaten induknya dulu adalah “Lampung Tengah”, yang selama dua periode pemerintahan daerah itu dan Kota Metro. Lampung Tengahlah yang paling ngotot, untuk tidak menyerahkan aset-aset daerah/negara yang ada di Kota Metro.
Yang paling menggelikan, ketika sejak 2000 aset itu dipersoalkan, ternyata yang ngotot tidak mau memberikan (mengembalikan) aset-aset itu, justru orang-orang Metro yang kebetulan menjadi anggota DPRD di Lampung Tengah dan Lampung Timur. Termasuk beberapa pejabat dua daerah itu yang statusnya adalah penduduk ber-KTP Metro. Ada apa sebenarnya persoalan yang mengganjal penyerahan aset tanpa syarat itu sebagaimana UU?
Setelah melewati 10 tahun pemerintahan Kota Metro, Lampung Timur dan Lampung Tengah sendiri. Dan, dibatalkannya MoU tentang tukar guling aset tersebut antara Kota Metro dan Lampung Tengah 2008 dihadapan Gubernur Lampung. Ternyata makin jelas persoalan, kenapa aset-aset itu tidak pernah diserahkan secara totalitas kepada Kota Metro.
“Biang keladinya” ternyata uang. Banyak di antara pejabat di Lampung Tengah dan Kota Metro khususnya kebelet dengan MoU tukar guling, karena akan mendapat uang dengan jumlah cukup besar. Beberapa aset berupa tanah yang harusnya milik negara dan dikelola oleh Pemkot Metro sudah dijualbelikan, di kavling-kavling oknum tertentu dan ditukar gulingkan.
Namun, tindakan pidana yang dilakukan menjual-belikan tanah negara dan diantaranya menukar-gulingkannya. Sampai detiknya tidak ada tanggapan dari aparat penegak hukum di tiga wilayah itu, termasuk dari provinsi sendiri. Dari semuanya persoalan yang telah terjadi dan mungkin akan terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Hanya ada satu kata, “merongrong” harta benda milik negara untuk satu tujuan; kepentingan pribadi dan keluarga.
Kemarin (Selasa, 20/4) diadakan pertemuan segi tiga di ruang Walikota Metro, antara Bupati Lampung Tengah, Lampung Timur dan walikota Metro membahas soal aset=aset negara di Kota Metro itu. Tidak diketahui persis, apa hasilnya. Mungkinkah ketika bupati/walikota itu akan bagi hasil. Hitunmg-hitung sesama kawan dan sesama dari satu induk kabupaten? Atau mungkinkah begitu saja mereka orang Metro yang di Lampung Tengah, Lampung Timur akan menyerahkan aset-aset itu? Berdoa saja, ‘iya’

Plagiarisme Di Kampus



DUNIA perguruan tinggi (PT), khususnya di Pulau Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Yogyakarta tahun 1983-an menjadi hangat akibat kasus plagiat karya ilmiah berupa skripsi dan tesis di kalangan mahasiswa akan menempuh ujian kesarjanaan sesuai dengan tingkatan kesarjanaannya.
Sampai tahun 1985 pihak PT (universitas) dengan tekunnya meneliti setiap usulan judul skripsi maha calon mahasiswa yang akan menempuh ujian sarjana. Dan, ketelitian pihak unversitas itu terus dilanjutkan sampai tahun 1990-an. Namun, kemudian tidak terdengar lagi. Dan, para mahasiswa begitu mudahnya menyelesaikan study jenjang S-1 mereka.
Sementara di daerah-daerah seperti di Lampung, boleh dikatakan secara umum skripsi para mahasiswanya banyak yang hanya dirubah judul saja. Isinya paling bantrer soal lokasi dan jumlah angka-angka yang harus ditulis, sedangkanb secara umum banyak kesamaan antara satu skripsi dengan skripsi yang lainnya. Terutama di kalangan calon mahasiswa bidang pendidikan.
Sejak 1990-an suara plagiator dari kampus sudah hilang, pertengah 1990-2000 terdengar ada seorang dosen dari universitas ternama di Yogyakarta diributkan. Diduga sang dosen melakukan plagiat karya ilmiahnya. Dan, awal 2010 terkuat lagi isu plagiator. Bukan dari kalangan mahasiswa yang akan membuat skripsi, akan tetapi dosen yang sudah bergelar doktor. Itulah kasus terbaru yang terkuat dari jagat pendidikan di Indonesia. Khususnya dari Bandung.
Tidak tanggung-tanggung, diduga empat doktor dari Institut Teknologi Bandung (ITB), terlibat kasus plagiarimse (plagiator). Dugaan plagiarisme itu, muncul ketika artikel ilmiah yang dipublikasikan di dunia internasional. Heboh plagiarisme doktor-doktor ITB itu muncul dalam situs ieeexplore.ieee.org. sebuah perpustakaan digital milik Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE), asosiasi dari para ilmuwan teknik elektro dan teknologi informasi.
Pada hal situs tersebut secara terbuka dan terang-terangan memuat pengumuman yang berjudul "Notice of Violation of IEEE Publication Principles.". pengumuman itu bicara soal pelanggaran prinsip-prinsip publikasi dari IEEE. Kemudian dalam pengumuman itu dicantumkan nama-nama doktor dari ITB Bandung yang dikemas dalam judul '3D Topological Relations for 3D Spatial Analysis' yang dibuat oleh 4 doktor ITB.
Nama-nama doktor dari ITB yang menulis itu antara lain, MZ, SHS, YP, dan CM. Yang ke 4-nya mempublikasikan makalah tentang Cybernetics and Intelligent Systems pada 2008, di Chengdu, China. Teliti punya teliti, ternyata makalah itu sebenarnya berjudul  'On 3D Topological Relationships' yang ditulis oleh Siyka Zlatanova, dan sudah dipublikasikan dalam 11th International Workshop on Database and Expert System Applications, terbitan tahun 2000 silam.
Kasus itu tak urung membuat Mendiknas M Nuh menjadi sangat perhatian. Dan, bagaimana dengan skirpsi para mahasiswa di PT, akademi atau universitas di Lampung selama ini. Adakah pihak PT/universitas melakukan check and recheck terhadap karya ilmiah para mahasiswanya yang sudah lulus tersebut? Hal itu menjadi tanggungjawa kita semua. Sebab, di lapangan kabar jual beli skripsi antara mahasiswa dan dosen yang mengajarkan mereka sudah sedemikian santer. Tidak akan ada asap kalau tidak ada api. 

Hakim Terima Uang ?



HAKIM Terima Uang, apakah kita kaget? Ah, tidak! Kalau hakim terima uang berkaitan perkara yang disidangkannya, di Indonesia sudah hal-hal yang sangat biasa. Tidak mengherankan, dan sepertinya hal itu akan terus berlanjut ke masa depan penegakan hukum di Indonesia.
Selama ini ada kecenderungan bahwa putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN), kemudian Putusan Pengadilan Tinggi (PT) sampai putusan Mahkamah Agung (MA) acapkali membuat kita terperangah. Seakan-akan tidak percaya, karena perkaranya secara hukum, realitas yang memiliki kekuatan kebenaran. Tiba-tiba kandas begitu saja di pengadilan yang mulia itu.
Seperti kasus markus pajak dari Gayus Tambunan sebesar Rp 28 miliar lebih. Ternyata PNS golongan IIIA itu mampu memenjarakan para petinggi Mabes Polri termasuk perwira menengah, para hakim dan para jaksa yang pernah menangani kasus pajak Gayus.
Sidang di PN Tangerang beberapa waktu sbeleum kasus Gayus menjadi bagian dari kasus multidimensional Bank Century. Majelis hakimnya dipimpin oleh Muktadi Asnun –yang kemudian menjatuhkan vonis bebas terhadap Gayus Tambunan. Ternyata, vonis bebas itu berasal dari uang Gayus Tambunan sebesar Rp 50 juta yang diberikan kepada Muktadi Asnum.
Gegerkah pembeberan Gayus di Mabes Polri itu, tidak. Sekarang banyak kalanbgan mengatakan, putusan terhadap Gayus oleh PN Tangerang, diyakini akan berubah di tingkat kasasi. Tentu, harus berubah, mengingat di tingkat PN keputusan yang dijatuhkan kepada Gayus (vonis bebas) akibat suap Rp 50 juta.
Secara ekstrim dapat dikatakan perbuatan hakim Mukhtadi Asnun itu merupakan bagian dari ikut serta melakukan penggelapan pajak. Andaikan tidak ada uang Rp 50 juta, sudah barang tentu vonis kepada Gayus pasti ada angka tahunnya (waktunya). Namun, karena Rp 50 juta, maka vonisnya bebas.
Dari satu kasus tersebut dapat dibaca, bagaimana peta penegakan hukum di Indonesia sebenarnya. Belum lagi kasus-kasus lain yang oleh PN dimenangkan. Akan tetapi, kenyataannya di lapangan dan payung hukum pihak yang dikalahkan, sudah jelas benar menurut hukum. Tapi, kenapa banyak kebenaran dikalahkan oleh uang?
Menurut kacamata masyarakat, atas perbuatan menerima suap saat menangani kasus Gayus, Muktadi Asnun harus dihukum lebih berat daripada Gayus. Jika perlu untuk memberikan efect jera terhadap hakim lainnya di negeri kaya akan korupsi ini. Muktadi Asnun harus dipecat dari kepegawaiannya. Harapan itu bukan tidak beralasan. Akan tetapi mempunyai alasan yang sangat kuat sekali.
Hakim bukanlah malaikat, hakim bukan sekelompok manusia super yang kebal hukum. Tetapi, hakim adal;ah sebuah jabatan yang disandang oleh seseorang karena kepercayaan dan keahliannya. Untuk itu, kesalahan seorang hakim atau secara berkelompok yang merugikan negara maupun rakyat. Harus mendapat sanksi hukum yang lebih berat dan lebih terakomodir rasa keadilan di tengah masyarakat.
Jika, tidak. Niscaya akan banyak timbul bentrokan antara pihak-pihak yang berperkara, khususnya yang dikalahkan oleh hakim yang akan melibatkan massa. Kalau sudah demikian. Maka, kerusakan yang ditimbulkan oleh kesalahan yang disengaja oleh hakim dalam mengambil keputusan, akan menjadi kekacauan secara umum.