Sabtu, 27 Februari 2016

Kebelet Aset Daerah

SUDAH hampir tiga periode pemerintah Kota Metro dan Lampung Timur setelah berpisah dengan kabupaten induknya, Lampung Tengah tahun 1999. namun, hubungan ketiga daerah itu belum sepaham, sejalan dan belum harmonis. Akibat banyak oknum pejabat di tiga kabupaten/kota itu kebelet uang dari aset daerah atau negara yang ada di Kota Metro.
Padahal, dalam MoU selepas pemekaran daerah Lampung Tengah—yang saat itu Gubernur Lampung sijabat Drs Oemarsono, ditulis dan dijanjikan selambat-lambatnya 1 tahun setelah pemisahan (pemekaran) semua aset Lampung Tengah yang ada di Kota Metro, sudah diserahkan seluruhnya kepada pemerintak kota (pemkot) Metro. Aset yang jika diuangkan nilainya mencapai seratusan miliar itu, sampai detik ini banyak yang belum jelas status kepemilikannya, antara apakah Lampung Tengah, Lampung Timur atau Kota Metro.
Walau semua aset berupa tanah dan bangunan perkantoran itu berada di wilayah Kota Metro. Karena nama kabupaten induknya dulu adalah “Lampung Tengah”, yang selama dua periode pemerintahan daerah itu dan Kota Metro. Lampung Tengahlah yang paling ngotot, untuk tidak menyerahkan aset-aset daerah/negara yang ada di Kota Metro.
Yang paling menggelikan, ketika sejak 2000 aset itu dipersoalkan, ternyata yang ngotot tidak mau memberikan (mengembalikan) aset-aset itu, justru orang-orang Metro yang kebetulan menjadi anggota DPRD di Lampung Tengah dan Lampung Timur. Termasuk beberapa pejabat dua daerah itu yang statusnya adalah penduduk ber-KTP Metro. Ada apa sebenarnya persoalan yang mengganjal penyerahan aset tanpa syarat itu sebagaimana UU?
Setelah melewati 10 tahun pemerintahan Kota Metro, Lampung Timur dan Lampung Tengah sendiri. Dan, dibatalkannya MoU tentang tukar guling aset tersebut antara Kota Metro dan Lampung Tengah 2008 dihadapan Gubernur Lampung. Ternyata makin jelas persoalan, kenapa aset-aset itu tidak pernah diserahkan secara totalitas kepada Kota Metro.
“Biang keladinya” ternyata uang. Banyak di antara pejabat di Lampung Tengah dan Kota Metro khususnya kebelet dengan MoU tukar guling, karena akan mendapat uang dengan jumlah cukup besar. Beberapa aset berupa tanah yang harusnya milik negara dan dikelola oleh Pemkot Metro sudah dijualbelikan, di kavling-kavling oknum tertentu dan ditukar gulingkan.
Namun, tindakan pidana yang dilakukan menjual-belikan tanah negara dan diantaranya menukar-gulingkannya. Sampai detiknya tidak ada tanggapan dari aparat penegak hukum di tiga wilayah itu, termasuk dari provinsi sendiri. Dari semuanya persoalan yang telah terjadi dan mungkin akan terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Hanya ada satu kata, “merongrong” harta benda milik negara untuk satu tujuan; kepentingan pribadi dan keluarga.
Kemarin (Selasa, 20/4) diadakan pertemuan segi tiga di ruang Walikota Metro, antara Bupati Lampung Tengah, Lampung Timur dan walikota Metro membahas soal aset=aset negara di Kota Metro itu. Tidak diketahui persis, apa hasilnya. Mungkinkah ketika bupati/walikota itu akan bagi hasil. Hitunmg-hitung sesama kawan dan sesama dari satu induk kabupaten? Atau mungkinkah begitu saja mereka orang Metro yang di Lampung Tengah, Lampung Timur akan menyerahkan aset-aset itu? Berdoa saja, ‘iya’

Tidak ada komentar: