SUDAH hampir tiga
periode pemerintah Kota Metro dan Lampung Timur setelah berpisah dengan
kabupaten induknya, Lampung Tengah tahun 1999. namun, hubungan ketiga daerah
itu belum sepaham, sejalan dan belum harmonis. Akibat banyak oknum pejabat di
tiga kabupaten/kota itu kebelet uang dari aset daerah atau negara yang ada di
Kota Metro.
Padahal, dalam MoU selepas
pemekaran daerah Lampung Tengah—yang saat itu Gubernur Lampung sijabat Drs
Oemarsono, ditulis dan dijanjikan selambat-lambatnya 1 tahun setelah pemisahan
(pemekaran) semua aset Lampung Tengah yang ada di Kota Metro, sudah diserahkan
seluruhnya kepada pemerintak kota (pemkot) Metro. Aset yang jika diuangkan nilainya
mencapai seratusan miliar itu, sampai detik ini banyak yang belum jelas status
kepemilikannya, antara apakah Lampung Tengah, Lampung Timur atau Kota Metro.
Walau semua aset berupa
tanah dan bangunan perkantoran itu berada di wilayah Kota Metro. Karena nama
kabupaten induknya dulu adalah “Lampung Tengah”, yang selama dua periode
pemerintahan daerah itu dan Kota Metro. Lampung Tengahlah yang paling ngotot,
untuk tidak menyerahkan aset-aset daerah/negara yang ada di Kota Metro.
Yang paling menggelikan,
ketika sejak 2000 aset itu dipersoalkan, ternyata yang ngotot tidak mau
memberikan (mengembalikan) aset-aset itu, justru orang-orang Metro yang
kebetulan menjadi anggota DPRD di Lampung Tengah dan Lampung Timur. Termasuk
beberapa pejabat dua daerah itu yang statusnya adalah penduduk ber-KTP Metro.
Ada apa sebenarnya persoalan yang mengganjal penyerahan aset tanpa syarat itu
sebagaimana UU?
Setelah melewati 10 tahun
pemerintahan Kota Metro, Lampung Timur dan Lampung Tengah sendiri. Dan,
dibatalkannya MoU tentang tukar guling aset tersebut antara Kota Metro dan
Lampung Tengah 2008 dihadapan Gubernur Lampung. Ternyata makin jelas persoalan,
kenapa aset-aset itu tidak pernah diserahkan secara totalitas kepada Kota
Metro.
“Biang keladinya” ternyata
uang. Banyak di antara pejabat di Lampung Tengah dan Kota Metro khususnya
kebelet dengan MoU tukar guling, karena akan mendapat uang dengan jumlah cukup
besar. Beberapa aset berupa tanah yang harusnya milik negara dan dikelola oleh
Pemkot Metro sudah dijualbelikan, di kavling-kavling oknum tertentu dan ditukar
gulingkan.
Namun, tindakan pidana
yang dilakukan menjual-belikan tanah negara dan diantaranya
menukar-gulingkannya. Sampai detiknya tidak ada tanggapan dari aparat penegak
hukum di tiga wilayah itu, termasuk dari provinsi sendiri. Dari semuanya
persoalan yang telah terjadi dan mungkin akan terjadi pada tahun-tahun
berikutnya. Hanya ada satu kata, “merongrong” harta benda milik negara untuk
satu tujuan; kepentingan pribadi dan keluarga.
Kemarin (Selasa, 20/4)
diadakan pertemuan segi tiga di ruang Walikota Metro, antara Bupati Lampung
Tengah, Lampung Timur dan walikota Metro membahas soal aset=aset negara di Kota
Metro itu. Tidak diketahui persis, apa hasilnya. Mungkinkah ketika
bupati/walikota itu akan bagi hasil. Hitunmg-hitung sesama kawan dan sesama
dari satu induk kabupaten? Atau mungkinkah begitu saja mereka orang Metro yang
di Lampung Tengah, Lampung Timur akan menyerahkan aset-aset itu? Berdoa saja,
‘iya’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar