Sabtu, 27 Februari 2016

Rentang Kendali Pemerintahan



SALAH satu alasan lahirnya UU Otonomi Daerah saat itu adalah untuk memperpendek rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dengan jarak dan waktu tempuh hubungan antara ibukota provinsi atau kabupaten ke pelosok daerah terpencilnya. Memungkinkan proses kendali pemerintah provinsi atau kabupaten lebih muda dan dapat dijalankan secara lancar, tidak banyak rintangan dan hambatan.
Namun, setelah UU Otonomi Daerah berjalan. Kekhawatiran awal otonomi daerah adalah munculnya raja-raja kecil, semakin menakutkan penegakan hukum. Karena kasus korupsi dengan ratusan modus, sulit dituntaskan. Akibatnya uang negara yang seharusnya untuk membiayai pelaksanaan pembangunan di berbagai sektor. Terpaksa dikurangi dan kualitas pembangunanpun pada akhirnya seperti karya anak-anak Taman Kanak-Kanak (TK).
Itu semua akibat modus korupsi yang beragam dan sudah mendarah daging di tubuh pemerintahan. Maka, tidak mengherankan ketika makelar kasus (markus) dibongkar, nilai rupiah negara yang dirugikan, luar biasa. Bagaimana markus-markus yang ada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Nyngkin secara riil, APBN untuk biaya pembangunan hanya 50 persen saja yang dipakai. Selebihnya, sudah dibagi-bagikan. Terutama setoran ketika tender proyek dilaksanakan. Siapakah yang menerima setoran proyek yang paling besar, tentunya mereka yang berada di leading sektor proyek yang dlincurkan setiap tahunnya. Kemudian secara pasti PAD kepala daerah harus dipikirkan dan merupakan masukan tetap. Kalau demikian, bagaimana dengan konsep awal “rentang kendali pemerintahan” yang mengawali proses lahirnya UU Otonomi Daerah?
Ternyata itu gagal dilakukan, bahkan rentangkendali para penjahat semakin tidak berjarak dan semakin besar menelan korban jiwa, harta benda dan kerusakan lainnya. Itulah sebabnya, kalau kita bandingkan kerugian atau kerusakan akibat teroris dengan penjahat seperti perampok, begal, perompak, pencopet dan maling. Maka, kerugian yang ditimbulkan oleh penjahat yang bukan teroris, akan lebih besar dibandingkan kejahatan yang ditimbulkan para teroris. Seharusnya, soal rentang kendali itu, pemerintah daerah khususnya harus mampu menertibkan wilayahnya dari tekanan-tekanan para penjahat. Baik penjahat berdasi maupun penjahat konvensional atau penjahat dari dunia ilmu hitam.
Yang lebih pokok lagi adalah bagaimana pemerintah provinsi, kabupaten/kota mampu mengawasi pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan yang dibiayai oleh APBN dan APBD. Bukan kangkalingkong dengan rekanan (pemborong), demi lembaran-lembaran uang yang jumlahnya cukup besar yang akhirnya anggaran pembangunan yang sudah ditenderkan dipotong dengan rekayasa berbagai dukumen dan rekayasa harga barang, kemudian mengajak konsultan dan pengawasn joint.
Moralitas itu semakin memburuk dengan semakin banyaknya daerah yang dimekarkan. Anggaran APBN sepertinya dilemparkan ke dasar laut dan sia-sia dianggar. Kasus korupsi yang dibuka oleh aparat penegak hukum hingga saat ini, belum sampai 10 persen dari jumlah kasus korupsi yang ada di Indonesia terbesar di semua provinsi, kabupaten.kota, dan di hampir semua sektor.
Sementara elite politik mengubah imij dengan debat soal politik dan partai, apalagi menjelang muktamar atau kongres. Tidak ada yang memikirkan bagaimana nasib bangsa ini dikemudian hari.

Tidak ada komentar: