Kamis, 02 April 2009

Bandarlampung—Jakarta

Oleh Naim Emel Prahana
MAU cepat ke Jakarta dan bergengsi? Naiklah pesawat terbang dengan waktu tempuh sekitar 37 menit. Artinya lebih lama 23 menit kalau naik bis AC jurusan Rajabasa—Metro. Apalagi mobil pengantar dan penjemput di Bandara Branti, keren-keren dan elite-elite. Tentu orang yang naik pesawat terbang ke Jakarta adalah orang-orang berduit alias warga yang punya harta banyak?
Itulah asumsinya. Harga tiket pesawat terbang dengan jarak tempuh sekitar 37 menit itu rata-rata (minimum) Rp Rp 320.000,- dan maksimumnya tidak pernah bisa dipukul rata. Sebab, “semua terserah gua!” Pagi hari bisa Rp 290.000,- mines bording pas, siangnya bisa tiket dijual Rp 475.000,-mines bording pas.
Dapat dibayangkan pula kalkulasi cost yang ditimbulkan sekali jalan ke Jakarta via udara. Ongkos pesawat + bording pas + taksi di Jakarta ke alamat tujuan + lain-lainnya. Jika diwujudkan dalam angka kalau kita mengambil pukul rata adalah Rp 320.000,- + Rp 30.000,-+ Rp 80.000,- + lain-lain Rp 40.000,-= Rp 470.000,-Bagaimana kalau tiket pesawat Branti—Soekarno Hatta dijual dengan harga Rp 475.000,- belum ditambah bording pas, taksi dan lain-lain?
Kesan kita, “waduh gila amat tu tiket pesawat!” Dan coba membandingkannya dengan tarif Jakarta—Surabaya yang jarak tempuhnya sekitar 90 menit dengan harga rata-rata (minimun) Rp 250.000,- mines bording pas dan taksi dan lain-lain. Atau Jakarta—Bengkulu yang jarak tempuhnya 2 X lipat dari jarak tempuh Branti—Soekarno-Hatta. Tiket pesawat Bengkulu—Jakarta saja dipukul rata Rp 290.000,- sekali jalan (min bording pas, taksi dan lainnya).
Atau kita bandingkan harga tiket Jakarta—Medan? Waduh Lampung—Jakarta memecahkan rekor tiket pesawat termahal di negeri ini setelah di daerah pedalaman Irian Jaya (Papua). Sementara kalau kita menyewa sebuah helikopter seharinya hanya Rp 100.000.000,-
Dan, jika kita naik bis ke Jakarta dari Bandarlampung secara estafet uang Rp 100.000,- masih sisa sekitar Rp 20.000,-dengan catatan waktu sekitar 6—8 jam perjalanan. Tapi, walaupun mahal harga tiket yang juga tidak pernah ada standarnya itu, koki masih banyak saja yang ke Jakarta via udara. Kayakah mereka, atau oranmg-orang elitekah mereka?
Seperti kalau naik pesawat ke Surabaya dari Jakarta, alangkah banyaknya para pembantu rumah tangga yang naik pesawat. Artinya, harga tiketnya relatif murah. Kalau pembantu rumah tangga asal Lampung kerja di Jakarta yang mudik naik pesawat, wah bisa berabe dan gaji bulanannya tidak bakal cukup. Sebab, lain dengan naik pesawat Jakarta—Surabaya.
Sebenarnya ingin dipertanyakan, siapakah yang menetapkan tarif pesawat terbang di Indonesia ini. Sejauhmana kewenangan pemerintah atas tarif pesawat terbang tersebut. Apakah hanya sebagai penonton atau bahkan jadi pemain juga. Belum ada yang menanyakan hal itu. Yang ada penumpang menanyakan pelayanan awak pesawat atau hilangnya barang bawaan melalui kargo pesawat.
Dalam kontek turunnya harga BBM dan situasi buruk ekonomi dunia Internasional sekarang ini, apakah tidak baik kalau soal harga tiket pesawat diatur sedemikian rupa, dilihat jarak tempuhnya dan biaya parkir di setiap bandara yang disinggahi sebuah pesawat terbang.nep

Non Fasilitas Negara

Oleh Naim Emel Prahana
TIDAK ada yang perlu ditakuti bagi peserta pemilu 2009 sebagai anggota legislatif dan kampanye partai politik. Termasuk penggunaan fasiulitas negara oleh caleg yang kebetulan isteri pejabat yang memegang banyak jabatan nonstruktural di pemerintahan. Seperti ketua Dekranasda, ketua TP PKK, ketua Darma Wanita dan sebagainya.
Ancaman sanksi bagi mereka yang memegang jabatan tertsebut yang kebetulan nyaleg oleh pimpinannya, jangan takut. Cuma gertak sambal yang penting ada surat ke luar si ketua di pusat. Walaupun di sini kita mendialogka fenomena yang sangat jelas yang dikaburkan itu.
Misalnya ketua dan pengurus PKK hingga ke kecamatan tidak dibenarkan (dilarang) untuk menjadi caleg. Kalau dia tetap sebagai ketua atau pengurus PKK di suatu daerah. Baiklah sekarang, karena sosoknya tetap ngotot ingin jadi caleg. Maka ia tinggalkan jabatannya sebagai ketua Dekranasda atau TP PKK atau Darma Wanita.
Persoalannya, bagaimana membedakan apakah ia menggunakan fasilitas negara atau tidak? Ketika dia mundur dari (misal) ketua PKK, tapi ia masih memegang jabatan sebagai ketua Dekranasda yang juga punya kendaraan dinas. Jika ia menggunakan mobil Dekranasda tidak menggunakan mobil plat merah PKK, apakah itu termasuk dilarang yang masuk dalam kategori fasilitas negara?
Atau begini, seseorang caleg yang menggunakan fasilitas negara itu kan bukan hanya bentuk mobil, motor, rumah dinas atau atribut dinas. Tetapi fasilitas lainnya yang digolongkan fasilitas negara tidak boleh dimanfaakan si caleg isteri pejabat tadi. Misalnya kampanye di Posyandu dengan mengumpulkan warga atas nama gerakan kasih sayang ibu. Lalu kepada mereka yang datang setelah diminta tolong dukungan suaranya, diberikan uang di dalam amplop masing-masing (katakanlah demikian) Rp 10.000,-
Apakah itu tergolong fasilitas negara yang dimanfaatkan oleh si isterio pejabat tadi? Atau ia menghadap ke Panwaslu mengakui tidak menggunakan fasilitas negara, akan tetapi ia membawa mbil dinas berplat merah? Kita yakin dan pasti aturan soal fasilitas negara itu sudah jelas, namun memang dibuat tidak jelas dengan banyak retorika, alasan dan alibi.
Apalagi yang namanya isteri pejabat yang tengah berkuasa, ia mampu menundukkan kekuasaan suaminya ada pada dirinya juga. Sehingga kalau ia memerintahkan pegawai dilingkungan kerja suaminya (Pemda), si pegawai atau pejabat aktif pasti takut. Karena yang memerintah itu adalah isteri kepala daerah (isteri gubernur/wakil, isteri bupati/wakil bupati atau isteri walikota atau isteri wakil walikota).
Sekarang, apakah modal anggota Panwaslu itu sudah cukup mengarah ke sana, sehingga praktek kotor yang dilarang oleh UU Pemilu dapat dikenai sanksi yang tegas, pasti tanpa kompromi—asal memiliki data yang cukup. Namun, data yang sudah cukup jangan dibilang masih kurang lengkap, karena ada kepentingan-kepentingan di balik itu semua.
Di sisi lain, kekhawatiran kita akan penyalahgunaan fasilitas negara bukan hanya tersebut di atas saja. akan tetapi, bisa juga berbentuk keuangan organisasi semacam PKK, Dekranasda dan Darma Wanita dipergunakan untuk kepentingan si caleg yang isteri pejabat tadi, termasuk dana-dana bantuan yang diberikan pemerintah.
Oleh karenanya, pihak BPK atau KPK atau polisi harus turun tangan melakukan penyelidikan terhadap keuangan PKK, Darma Wanita dan Dekranasda yang ketuanya menjadi caleg pada pemilu 2009 ini. Lebih baik mengantisipasi lebih awal ketimbang mengobati organ yang sudah sakit.nep.

“Selamat Berkampanye”

Oleh Naim Emel Prahana
PAGI hari ini adalah hari pertama masa kampanye secara resmi bagi calon legislatif atau lebih ngetrend disebut ‘caleg’. Hari pertama masa kampanye versi undang-undang pemilu itu, tentunya tidak disia-siakan para caleg DPR-RI, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Artinya, secara resmi pula Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) mulai bekerja, mengawasi, mengintip, memberi sanksi dan memasukkan para penggar ke sel yang berjeruji besi. Demikian pula KPU dan pemerintah. begitu idealnya proses pemilu ‘demokrasi’ di Indonesia. Seperti tidak ada celah kelemahan apapun dari aturan yang sudah dibuat.
Mungkin itulah hebatnya Indonesia yang menurut penelitian di luar negeri adalah bangsa yang sangat pintar membuat proposal dan undang-undang. Namun, pelaksanaanya tidak sehebat dan sepintar mereka menuliskan rangkaian kata dan kalimat dalam kumpulan perundang-undangan.
Belum diketahui persis bentuk acara kampoanye yang dikemas oleh para caleg. Apakah sama dengan para calon gubernur, bupati dan walikota dalam momentum pilkada, atau bagaimana rupanya kampanye resmi itu. Bukan apa-apa, kita ingin mengetahui, apa yang dimaksudkan oleh pemerintah dengan masa kampanye pemilu itu. Termasuk kampanye yang akan dilakukan oleh parpol mulai hari ini.
Dan, apakah selama ini pemasangan stiker, baleho, spanduk, banner, selebaran, sosialisasi kepada masyarakat, rupa-rupa bantuan kepada kelompok masyarakat, iklan di media massa ‘bukan’ bentuk kampanye? Apapun alasan para caleg, rasanya itulah kampanye yang sebenarnya, dan masa kampanye yang ditetapkan pemerintah hanyalah proyek bagi Panwaslu dan KPU untuk melakukan lobi-lobi dan negosiasi politik yang ujung-ujungnya adalah uang.
Alasanya, adalah pelanggaran kampanye. Bisa jadi pasal-pasal itu akan meramaikan media massa. Tetapi, tindak lanjutnya masih diragukan. Bukankah kita sudah dua kali melakukan pemilu langsung! Rasanya cerminan-cerminan pemilu 1999 dan 2004 tidak jauh berbeda dengan pemilu 2009 ini. Yang pasti, caleg nomor urut satu tidak lagi bisa melenggang begitu saja duduk di kursi legislatif sebagaimana pemilu 1999 dan 2004. sebab, sistem yang dipakai untuk mendapatkan status anggota DPR dan DPRD adalah digunakannya sistem suara terbanyak.
Jadi, perjuangan dan pengorbanan benar-benar menentukan berapa suara yang diperoleh dan didukung oleh populeritas si caleg itu sendiri. Karena rakyat dominan melihat figur caleg, kewaspadaan caleg harus benar-benar dilakukan. Kalau tidak, mungkin uang ratusan juta yang sudah dikeluarkan akan menimbulkan masalah. Jika tidak duduk di kursi anggota legislatif. Sebab, uang bukan jaminan bahwa seseorang yang banyak mengeluarkan uang secara otomatis akan mendapat suara terbanyak, demikian pula penyebaran informasi pencalegan dari berbagai media, juga bukan jaminan. Namun, kalau tidak ada publikasi apapun yang kemungkinan tidak akan dikenal oleh rakyat saat melakukan pencontrengan (pencoblosan) tanggal 9 April 2009 nanti.
Jadi, bagaimana sebaiknya si caleg dalam masa kampanye resmi ini? Yah, harus ulet, gaul, tidak menebar janji dan tidak mengucapklan kata-kata tidak pantas kepada masyarakat. Karena, kata-kata itu akan menghilangkan suara yang diharapan. “Selamat berkampanye” nep.

Demokrasi "Homo”

Oleh Naim Emel Prahana
PESTA uang adalah hajat demokrasi dalam penyelenggaraan pemilu 2009. Pemilu yang akan memilih, menempatkan dan melegalkan seseorang menjadi wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat; baik untuk DPR-RI, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ada seorang penyair bilang, “merubah nasib menjadi caleg!”
Perubahan yang menelan korban, dengan perjuangan keras dan pengorbanan itu memang berlangsung cuma lima tahun. Tapi, selama 5 tahun itu seorang anggot legislatif memainkan peranan pribadi dan keluarganya. Bahkan, peran yang diperankan terkadang sudah tidak ada lagi kaitannya dengan amanah dan status sebagai wakil rakyat.
Bagaimana pun saya sebagai anggota legislatif adalah sudah ‘kedaulatan’ pribadi. Bukankah waktu menjadi caleg dalam proses pemilu saya sudah memberikan uang kepada rakyat yang berhak memilih. Bahkan, saya sudah membantu beberapa masjid, dan bantuan lain berupa baju kaos, buku yasin, kalender, stiker, baleho dan bantuan penyelenggaraan berbagai acara?
“Wajar kalau sudah saatnya saya mendapat imbalan yang pantas atasd pengorbanan dan perjuangan saya yang sudah mengeluarkan uang ratusan juta untuk jadi secara legal sebagai wakil rakyat. Apalagi sekarang menggunakan sistem suara terbanyak.”
Dari rangkaian kata-kata itu mengandung maksud dan tujuan yang tersirat dan tersurat, bahwa adalah wajar kalau sudah jadi anggota legislatif mendapat jatah proyek secara rutin, mendapat fee berbagai proyek besar, mendapat uang jalan ketika studi banding dan sebagainya.
Itulah imbalan jerih payah dan harga yang sudah dibeli sebelum pemilu berlangsung. Sebab, saat sosialisasi caleg untuk pemilu, rakyat sudah banyak menyodorkan proposal dan minta bantuan berupa uang dan barang. Kalau tidak diberikan, maka mereka hanya mendukung sebatas mulut. Diberikan uang pun tidak jaminan mereka yang terima uang akan memberikan suaranya kepada yang memberi uang.
“Saya diperas!”
Maka, wajarlah kalau selama saya duduk di kursi legislatif, saya juga dengan cara saya yang cerdas, juga akan melakukan pemerasan, agar uang yang sudah dikeluarkan dapat kembali sebagaimana mestinya. Seperti halnya calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil dan walikota/wakil walikota. Dalam siaran berita radio kemarin disebutkan, demokrasi di Indonesia tidak jelas. Karena banyak pejabat pemerintah yang menjadi ketua parpol. Akibatnya, kata berita tadi (14/3), tugas-tugas kepemrintahan terbengkalai karena sang menteri (pejabat) lebih mementingkan parpol, terutama saat masa kampanye.
“Adalah sulit dibedakan antara pejabat pemerintah dengan ketua parpol dan akibatnya, banyak fasilitas negara yang dipergunakan tidak dalam tugas-tugas kenegaraan atau penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan pejabat yang juga ketua parpol.
Kemarin, hari pertama masa kampanye secara terbuka sesuai dengan peraturan pemilu. Padahal, kampanye tidak terbuka sudah lama dilakukan, jauh sebelum masa kampanye terbuka diresmikan. Dari berbagai rangakain kejadian, sudah seharusnya UU Pemilu harus dirubah total, untuk menyikapi penyalahgunaan kewenangan pejabat dan tidak asal menjadi caleg. Terutama mereka yang basisnya adalah “mak jelas” sebelumnya.
Kita harap memang, kecerdasan rakyat semakin membaik dari tidur panjangnya akibat kebiasaan dijajah oleh materi dan bangsa asing, jika sudah sadar, maka dimungkinkan anggota legislatif hasiul pemilui 2009 akan lebih berkualitas.nep

Sinetron Bertajuk ‘Sinetron’

Oleh Naim Emel Prahana
BARANGKALI ingatan kita masih segar ketika serial film sinetron di televisi Indonesia menayangkan pertama kalinya trend film-film Amerika Latin yang diawali sinetron Maria Seleste beberapa tahun silam. Banyak suami di Lampung mencekik leher isterinya karena diajak sholat berjamaah, malah si isteri ngotot menonton film sinetron yang serinya banyak sekali itu.
Film sinetron Amerika Latin itu akhirnya menghilang dan oleh dinasti Punjabi dimade in-lah film-film dengan ide cerita dan adegan yang sama. Pada akhirnya hingga kemarin malam dan seterusnya (mungkin) film-film Punjabi itu akan terus menghiasi layar kaya televisi di Indonesia, terutama di Indosiar.
Punjabi sedikit lebih kreatif dengan memasukkan unsur magis, Indianisme dan agama sekuler diraman film-film sinetronnya. Alhasil Punjabi mampu menyedot jutaan pemirsa untuk betah setiap malamnya di depan pesawat televisi swasta kita. Film-film sinetron di televisi kita secara umum dan sisi sineasnya memang jauh dari kualitas. Hanya mengandalkan pangsa pasar dan trend kehidupan masyarakat (life style).
Tidak tahu persis kenapa film-film demikian lolos sensor. Padahal, dua tahun silam budayawan Naim Emel Prahana ketika bertemu dengan Yenny Rahman di Griya Kebun 38 milik Henry Yosodiningrat pernah serius bicara dengan ketua Parfi itu. Waktu itu, Naim minta kepada Parfi untuk berusaha mengevaluasi dan memberikan masukan berupa kritik, saran dan rekomendasi kepada Lembaga Sensor Film (LSF), agar mengkritisi film-film sinetron di televisi Indonesia. Sebab, kadar pendidikannya sangat rendah.
Yenny Rahman berjanji dan akan melakukan apa yang disarankan. Tapi, hingga saat ini film-film sinetron bergaya made in Punjabi masih tetap mendominasi layar kaya di rumah-rumah penduduk di negeri ini. Jika itu berlangsung lebih lama lagi, film-film sinetron itu sudah pasti menjadi salah satu faktor terbesar rusaknya keutuhan keluarga atau rumah tangga orang Indonesia.
Termasuk sinetron (film) legenda yang diproduksi dan ditayangkan dengan mengedepankan nilai magis. Sulit dibayangkan bagaimana dampak negatif yang ditimbulkan film-film seperti itu. Sebab, siapa yang akan memfilter penonton televisi di rumah?
Sangat disayangkan, kenapa film-film demikian justru yang menjadi juru penjelas dan penerangnya adalah ustad-ustad muda yang seharusnya lebih jeli, kritis dan agamis. Bukan malah memberikan warna bisnis kepada film-film tersebut. Sebagaimana film sinetron Muslimah dan Hareem.
Walaupun film (dua yang terakhir kita contohkan) adalah fiktif belaka. Tetapi, perlu diingatkan bahwa nilai fiktif dalam sebuah cerita film mempunyai pertalian dengan kenyataan di masyarakat luas. Tidak asal fiktif dan tidak asal difiktifkan. Bangsa ini masih berharap kepada stasiun-stasiun televisi, khususnya swasta di Indonesia, agar menayangkan film-film atau sinetron yang kadar pendidikan masyarakatnya lebih banyak dibandiongkan kadar bisnis ‘selera’.
Jangan menjadikan film sinetron hanya sebagai ‘sinetron’ yang artinya, yang penting ada film yang penting laris dan banyak pemirsanya yang kepincuit setiap malamnya menonton film bermoral rendahan tersebut. Masih banyak cerita di tengah masyarakat yang dapat dijadikan ide cerita film untuk televisi. Sebagai contoh acara Teropong, Jejak, Situs-Situs di TVRI dan sebagainya.nep.

Presiden Atau Ketua Partai

Oleh Naim Emel Prahana
KITA acung jempol buat Metro Televisi yang membuat wawancara ekslusif dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK). Keduanya adalah satu paket sebagai presiden dan wakil presiden. Ketika diwancarai, SBY dalam jawaban yang bersuara pelan, pasti dan dalam. Lebih banyak bertindak sebagai presiden.
Sementara, Rabu (4/3), Jusuf Kalla—JK lebih banyak bicara soal dirinya sebagai ketua partai. Wawancara ekslusif Metro TV itu tidak ada istimewanya. Ini suatu pernyataan yang jujur dan transparan. Kenapa tidak menarik? Ketika SBY mengatakan, kita tidak perlu bicara masa lalu.
Tetapi, dalam banyak pernyataan (jawaban) yang sangat tajam, justru SBY terlihat memunculkan suatu claim, bahwa dirinya adalah yang pantas menjadi presiden, bahwa dirinyalah yang paling baik di antara para jendeeral TNI, bahwa dirinya menjadi presiden berangkat dari nol (bawa sekali). Itu, akibat dirinya seakan-akan teranianyai—terutama ketika ia menjadi Menpolkam masa presiden Megawati Soekarnoputri.
Apalagi ketika SBY bilang, Prabowo, Wiranto dan lainnya membuat buku biografi. “Tapi, saya kan tahu semuanya!” Itulah ungkapan yang sebenarnya sangat sombong dan angkuh di balik tatakrama dan sopan santunnya dalam bicara yang sederhana dan luar biasa baiknya.
Sementara JK dengan kemampuan bicaranya yang cenderung beretorika dengan rasa optimis yang dipaksakan dengan kata lain, sikap optimisnya “wait and see” hasil pemilu 2009. JK percaya survei jika survei itu berdasarkan hukum. Keraguan JK menjawab keyakinannya sendiri terlihat jelas. Apalagi ketika menjelaskan soal grid populeritasnya masih di bawah 3 persen.
Dengan retorika JK, ia mengtatakan, gridnya itu karena ia selalu diposisikan sebagai wakil presiden. Ia tidak bicara soal dirinya sebagai ketua parpol (Golkar).
SBY—JK jikalau pemilu 2009 merupakan hasil maksimal klecerdasan politik rakyat, maka keduanya akan kalah dengan bakal calon presiden lain. Hanya dari weawancarai ekslusif itu dapat ditangkap, bahwa keduanya sedang memasang jaring untuk berkoalisi dengan parpol lain atau sedang memancing bakal calon presiden lainnya.
Yang pasti pemerintah di bawah kepemimpinan SBY—JK gagal membawa Indonesia ke luar dari krisis multidimensional. Berbagai kegagalan tak mampu diselesaikan atau ditemukan solusinya. Seorang tokoh nasional sekelas SBY, dalam beberapa kali kesempatan pidatonya, langsung membahas masalah kelangkaan BBM, pupuk dan tidak turunnya tarif angkutan umum ketika BBM turun.
Itu berarti, para menteri sebagai pembantu presiden, tidak mampu menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Itulah kegagalan yang banyak ditengarai para pengamat dan rakyat Indonesia. Pemilu 2009 sudah diambang pintu, perubahan tentu pasti ada, tinggal berapa persenkah perubahan yang terjadi setelah pemilu 2009 dan menjelang pemilihan presiden (pilpres).
Mungkin, tidak ada parpol yang dominan menguasai parlemen (DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, DPR-RI). Atau ada parpol dengan kebangkitannya yang memperoleh suara yang signifikan. Semuanya kita menunggu, bagaimana peningkatan kecerdasan berpolitik rakyat. Kecerdasan politik rakyat sepertinya akan terhambat dengan lambannya kinerja KPU mensosialisasikan pemilu 2009.
Ada apa dengan Indonesia, apakah Indonesia ini hanya SBY dan JK? nep

Organisasi Peduli Politik

Oleh Naim Emel Prahana
KEHADIRAN beberapa figur tokoh kelas Nasional di forum Tanwir Muhammadiyah di Bandarlampungmemang menjadi komoditas suasana politik di daerah ini menjelang pemilu 2009. kenapa tidak, berbagai agenda pada acara Tanwir selalu dikaitkan dengan agenda politik, seperti rencana pencalonan ketua umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin sebagai salah satu calon wapres dalam pilpres 2009 beberapa bulan mendatang.
Sebagai organisasi sosial keagamaan dan pendidikan, Muhammadiyah yang berdiri dari rahim NU itu, visi misinya adalah memajukan masyarakat dibidang keagamaan, sosial, dan pendidikan. Akan tetapi, trend masyarakat Indonesia dan pemerintahannya yang selalu memasukkan unsur politik dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Muhammadiyah pun akhirnya ikut dalam barisan habit (‘kebiasaan’) itu.
Yah, sah-sah saja. mengenai akan terjadinya polarisasi dalam tubuh Muhammadiyah toh pada akhirnya dianggap biasa. Sebab, akar sosial dan pendidikan pada capaian tujuan berdirinya Muhammadiyah tidak terlepas dari unsur bisnis dalam penyelenggaraan dan pengelolaannya.
Kenapa tidak, jika memang grid tokoh-tokoh Muhammadiyah memenuhi standar dan kemudian ikut dalam bursa pencalonan capres dan cawapres. Tinggal menunggu bagaimana sikap danm dukungan masyarakat. Sebab, masyarakat Muhammadiyah saja tidak cukup untuk mengantarkan seorang tokohnya ke kursi capres dan cawapres. Jika, tidak berkoalisi dengan parpol lain.
Jika Muhammadiyah berkolaborasi dengan NU, ada pencerahan. Tapi, apa mungkin antara NU dan Muhammadiyah menyatu, apalagi soal pimpinan nasional. Padahal, pimpinan Nasional itu merupakan jelmaan dari semua unsur masyarakat yang ada di Indonesia.
Asumsinya, kader Muhammadiyah yang brilian walau terkadang ada beberapa keputusan Muhammadiyah yang mengakibatkan menjauhnya masyarakat terhadap organisasi keagamaan itu. Muhammadiyah masih pantas untuk memunculkan kandidat capres atau cawapres. Hal itu akan lebih positif, karena calon pimpinan nasional tidak hanya dari kubu Golkar, PDIP, Partai Demokrat atau NU saja.
Hal itu sudah dibuktikan ketika pilpres 2004, ketika Amin Rais ikut bursa pilpres. Ternyata popularitas tokoh reformasi itu, memang masih jauh dibandingkan tokoh-tokoh lainnya yang ikut berkompetisi dalam kancah pilpres tersebut. Jika, nanti dalam pilpres 2009 Din Syamsudin akan maju dalam pilpres. Bolah-boleh saja, siapa yang melarang. Karena selain dirinya sebagai ketua umum PP Muhammadiyah, ia juga seorang warga negara biasa.
Kedudukan dan hak yang sama melekat pada diri Din Syamsudin. Tinggal bagaimana dukunganb Muhammadiyah secara utuh, untuk melenggangkan Din ke kursi cawapres, atau bahkan ke kursi capres. Siapa tahu, tahun ini giliran Muhammadiyah tampil ke depan, siapa tahu suasana Indonesia ada perubahan dibandingkan sebelum-sebelum ini.
Bila perlu bisa minta bantuan dengan lembaga survei nasional, sejauhmana tingkat populeritas Din Syamsudin di tengah republik ini. Itu penting, untuk mengukur diri sebagai pimpinan yang disenangi oleh rakyat. Bukan oleh sekelompok rakyat. Terlepas dari itu semua, semoga Tanwir Muhammadiyah yang susdah payah menghadirkan tokoh-tokoh nasional di Lampung, sukses dalam banyak hal. Termasuk politiknya.nep.

Kampanye dan Fasilitas Negara

Oleh Naim Emel Prahana
SEBAGAI negara berdasarkan hukum, maka wajarlah kalau hal-hal yang menyangkut negara harus jelas status hukumnya. Salah satunya adalah fasilitas negara. Akan tetapi, jika ada larangan menggunakan fasilitas negara kepada peruntukan yang bukan untuk negara dan dipakai oleh bukan pejabat negara atau pemerintah itu. Apakah sudah secara detail diatur dalam berbagai bentuk aturan.
Hal itu mengingatkan kita, betapa sulitnya memisahkan status milik negara dengan bukan milik negara pada barang atau benda yang sama. Karena, pasal alasan atau alibi lebih banyak dibandingkan pasal-pasal dalam aturan hukumnya. Kemudian, jika aturan hukumnya jelas dan ada sanksinya.
Perlu pula dijelaskan secara jelas lagi soal sanksi hukumnya, apakah termasuk kejahatan atau hanya pelanggaran yang sifatnya cukup ditegur saja—walau kerugian yang ditimbulkan cukup besar. Banyak kasus selama ini menyangkut penggunaan fasilitas negara; kendaraan (plat merah), rumah dinas, kantor, ( termasuk gedung sekolah, rumah ibadah), dan sebagainya sering digunakan dalam berkampanye. Lalu, batasan pelanggaran dan sanksinya bagaimana, seperti soal money politic. Atau seperti ketika isteri walikota Metro mendatangi Panwaslu setempat dalam rangka klarifikasi laporan adanya pelanggaran kampanye. Isteri walikota yang menjadi caleg dari PPP itu datang ke kantor Panwaslu menggunakan mobil dinas PKK Kota Metro.
Seyogyanya, kalau ia ingin mengklarifikasi pengaduan adanya pelanggaran yang dilakukannya, walaupun hanya mendatangi kantor Panwaslu Kota Metro, ia harus menggunakan mopbil pribadi. Jika ia masih menggunakan mobil dinas, maka apapun alasannya ia mengatakan tidak melanggar. Itu sudah suatu pelanggaran.
Bagaimana dengan PP No 10/2008? Oleh karenanya, gaya demokrasi Indonesia dalam potret pemilu selalu membingungkan. Pelanggaran aturan hukum pemilu selalu diselesaikan dengan kedip mata atau cukup dengan “kata maaf, tidak akan mengbulanginya lagi”. Sayangnya, ketika aturan itu berbenturan dengan keluarga pejabat, maka yang mengalah itu bukan si pelanggar atau pejabat tau keluarganya. Tetapi, malah aturan hukum yang dibuat ‘mengalah’ oleh lembaga yang terkait menangani permasalahan seperti itu. Barangkali memang bangsa ini senang betul membingungkan diri sendiri, apalagi menghadapi bingungnya dunia. Apa tidak makin bingung?
Banyak hal yang perlu diatur ulang soal pemilu di Indonesia, dengan banyak aturan yang harus dibatalkan. Cukup satu atau dua aturan saja, namun aturan itu lengkap, detail dan tidak membingungkan rakyat. Seperti soal kartu suara dalam pemilu 2009, sebagian besar rakyat bingung. Sebab, sosialisasi pencoblosan (pencontrengan) beraneka ragam, isu yang digulirkan tentang sah tidaknya contreng pun bersileweran entah bagaimana lagi rakyat untuk mengambil kesimpulannya.
Sementara KPU sendiri, cuma duduk di kantor hanya bermain surat, selebaran dan pernyataan di media massa. Sosialisasi dengan anggaran yang besarnya, ke mana dan bagaimana hasilnya? Dengan situasi dan kondisi demikian, apakah tidak membuka kemungkinan meningkatnya suara golput (golongan putih) yang disebabkan banyak faktor.
Bukan hanya tidak (sengaja) mau memilih, tetapi faktor waktu, hasil sosialisasi, banyaknya parpol dan caleg, lebarnya kertas suara dan sebagainya—bisa jadi sebagai faktor terbesar untuk besarnya jumlah golput. nep.

Kampanye dan Fasilitas Negara


Oleh Naim Emel Prahana
SEBAGAI negara berdasarkan hukum, maka wajarlah kalau hal-hal yang menyangkut negara harus jelas status hukumnya. Salah satunya adalah fasilitas negara. Akan tetapi, jika ada larangan menggunakan fasilitas negara kepada peruntukan yang bukan untuk negara dan dipakai oleh bukan pejabat negara atau pemerintah itu. Apakah sudah secara detail diatur dalam berbagai bentuk aturan.
Hal itu mengingatkan kita, betapa sulitnya memisahkan status milik negara dengan bukan milik negara pada barang atau benda yang sama. Karena, pasal alasan atau alibi lebih banyak dibandingkan pasal-pasal dalam aturan hukumnya. Kemudian, jika aturan hukumnya jelas dan ada sanksinya.
Perlu pula dijelaskan secara jelas lagi soal sanksi hukumnya, apakah termasuk kejahatan atau hanya pelanggaran yang sifatnya cukup ditegur saja—walau kerugian yang ditimbulkan cukup besar. Banyak kasus selama ini menyangkut penggunaan fasilitas negara; kendaraan (plat merah), rumah dinas, kantor, ( termasuk gedung sekolah, rumah ibadah), dan sebagainya sering digunakan dalam berkampanye. Lalu, batasan pelanggaran dan sanksinya bagaimana, seperti soal money politic. Atau seperti ketika isteri walikota Metro mendatangi Panwaslu setempat dalam rangka klarifikasi laporan adanya pelanggaran kampanye. Isteri walikota yang menjadi caleg dari PPP itu datang ke kantor Panwaslu menggunakan mobil dinas PKK Kota Metro.
Seyogyanya, kalau ia ingin mengklarifikasi pengaduan adanya pelanggaran yang dilakukannya, walaupun hanya mendatangi kantor Panwaslu Kota Metro, ia harus menggunakan mopbil pribadi. Jika ia masih menggunakan mobil dinas, maka apapun alasannya ia mengatakan tidak melanggar. Itu sudah suatu pelanggaran.
Bagaimana dengan PP No 10/2008? Oleh karenanya, gaya demokrasi Indonesia dalam potret pemilu selalu membingungkan. Pelanggaran aturan hukum pemilu selalu diselesaikan dengan kedip mata atau cukup dengan “kata maaf, tidak akan mengbulanginya lagi”. Sayangnya, ketika aturan itu berbenturan dengan keluarga pejabat, maka yang mengalah itu bukan si pelanggar atau pejabat tau keluarganya. Tetapi, malah aturan hukum yang dibuat ‘mengalah’ oleh lembaga yang terkait menangani permasalahan seperti itu. Barangkali memang bangsa ini senang betul membingungkan diri sendiri, apalagi menghadapi bingungnya dunia. Apa tidak makin bingung?
Banyak hal yang perlu diatur ulang soal pemilu di Indonesia, dengan banyak aturan yang harus dibatalkan. Cukup satu atau dua aturan saja, namun aturan itu lengkap, detail dan tidak membingungkan rakyat. Seperti soal kartu suara dalam pemilu 2009, sebagian besar rakyat bingung. Sebab, sosialisasi pencoblosan (pencontrengan) beraneka ragam, isu yang digulirkan tentang sah tidaknya contreng pun bersileweran entah bagaimana lagi rakyat untuk mengambil kesimpulannya.
Sementara KPU sendiri, cuma duduk di kantor hanya bermain surat, selebaran dan pernyataan di media massa. Sosialisasi dengan anggaran yang besarnya, ke mana dan bagaimana hasilnya? Dengan situasi dan kondisi demikian, apakah tidak membuka kemungkinan meningkatnya suara golput (golongan putih) yang disebabkan banyak faktor.
Bukan hanya tidak (sengaja) mau memilih, tetapi faktor waktu, hasil sosialisasi, banyaknya parpol dan caleg, lebarnya kertas suara dan sebagainya—bisa jadi sebagai faktor terbesar untuk besarnya jumlah golput. nep.

Jumat Bersih-Bersih

Jumat Bersih-Bersih
Oleh Naim Emel Prahana
KALAU mendengar orang mengatakan, “jangan samakan teori dengan pelaksanaan suatu program!”, mungkin ada benarnya. Sebab sampai saat ini masih banyak kelompok yang sedang berjibaku mendata berapa banyak slogan-slogan, pencanangan-pencanangan, dan motto-motto yang sudah dipublikasikan oleh pemerintah. baik pemerintah pusat maupun pemerintah di daerah.
Seperti yang satu ini “Jumat Bersih” yang dulunya setiap hari Jumat dijadikan hari krida dan olahraga bagi pejabat dan PNS mengikut sertakan masyarakat kelompok-kelompok tertentu. Tapi, kini hari Jumat oleh banyak pemerintah daerah dijadikan “hari bersih-bersih atau hari bergotong royong di kalangan pejabat dan PNS.”
Kalau di dusun-dusun di Sumatera Bagian Selatan (Palembang dan sekitarnya, Bengkulu, Lampung dan Jambi) zaman dulu, khusus hari Jumat penduduk banyak yang menghentikan pekerjaan rutin mereka, seperti petani, pedagang, supir angkutan umum. Pokoknya hari Jumat dijadikan hari libu dan bersih-bersih di sekitar rumah dan lahan milik mereka yang tidak dimanfaatkan.
Masyarakat Lampung, Bengkulu, Palembang dan Jambi yang penduduknya beragama Islam menjadikan hari Jumat itu benar-benar hari libur. Tidak ada aktivitas rutin yang berat dilakukan. Bagi para supir mobil, hari Jumat mereka tidak menjalankan mobilnya. Ada kandungan kepercayaan yang cenderung islaminisme. Tapi, sangat positif dan tidak menimbulkan kecenderungan kegiatan-kegiatan sesat.
Oleh karenanya, dusun-dusun di daerah Sumbagsel zaman dulu selalu rapih, tertata baik, asri dan bersih. Bagaimana sekarang, ketika pemerintah daerah menyadap rutinitas istirahat penduduk tersebut? Sekarang di dusun-dusun di daerah Sumbagsel ini, tidak ada hari istirahat. Banyak penduduk memang sudah banyak istirahat akibat makin meningkatnya jumlah orang yang menganggur.
Makin banyaknya usaha pertanian ditinggalkan akibat berbagai UU yang melarang menebang kayu, merusak hutan, membunuh harimau, membunuh kera, membunuh binatang yang dikatakan “dilindungi” tersebut. Sedangkan pekerjaan lain bagi penduduk di dusun-dusun tidak ada. Akhirnya, mereka selalu nongkrong di kampung, di warung, di prapatan dengan tingkat kebutuhan terus meningkat. Karena pekerjaan rutin ditinggalkan, ekonomi makin sempit dan akhirnya tingkat kriminalitas menjadi-jadi.
Apakah Jumat Bersih sebagai program pemerintah kabupaten dan kota maupun provinsi dapat menyadarkan masyarakat yang sudah hilang kepercayaannya kepada pemerintah untuk menjaga lingkungan tetap asri, bersih, tertata rapih dan indah dipandang mata?
Banyak harapan sebenarnya. Tetapi, harapan kita itu selalu dibenturkan kepada realitas, bahwa kegiatan Jumat bersih pejabat dan PNS itu tidak mempengaruhi kekumuhan lingkungan pemukiman, jalan raya, pasar, terminal dan tempat-tempat lainnya. Sampah tetap saja berserakan.
Apalagi kalau dibilang efektif kegiatan Jumat Bersih, masih sangat jauh mencapai sasaran atau hanya sekedar untuk refreshing sesama PNS? Bisa jadi. Tapi, kalau itu yang menjadi implisit dalam program tak tertulis itu, maka kebiasaan baik telah diluluhkan dengan sistimatika.
Sinerji para pejabat dan PNS makin mengendor. Tidak banyak yang dapat mereka perbuatan untuk memulihkan situasi dan kondisi sosial dan linbgkungan kehidupan. Baik di kota maupoun di desa.nep.