Oleh Naim Emel Prahana
SEBAGAI negara berdasarkan hukum, maka wajarlah kalau hal-hal yang menyangkut negara harus jelas status hukumnya. Salah satunya adalah fasilitas negara. Akan tetapi, jika ada larangan menggunakan fasilitas negara kepada peruntukan yang bukan untuk negara dan dipakai oleh bukan pejabat negara atau pemerintah itu. Apakah sudah secara detail diatur dalam berbagai bentuk aturan.
Hal itu mengingatkan kita, betapa sulitnya memisahkan status milik negara dengan bukan milik negara pada barang atau benda yang sama. Karena, pasal alasan atau alibi lebih banyak dibandingkan pasal-pasal dalam aturan hukumnya. Kemudian, jika aturan hukumnya jelas dan ada sanksinya.
Perlu pula dijelaskan secara jelas lagi soal sanksi hukumnya, apakah termasuk kejahatan atau hanya pelanggaran yang sifatnya cukup ditegur saja—walau kerugian yang ditimbulkan cukup besar. Banyak kasus selama ini menyangkut penggunaan fasilitas negara; kendaraan (plat merah), rumah dinas, kantor, ( termasuk gedung sekolah, rumah ibadah), dan sebagainya sering digunakan dalam berkampanye. Lalu, batasan pelanggaran dan sanksinya bagaimana, seperti soal money politic. Atau seperti ketika isteri walikota Metro mendatangi Panwaslu setempat dalam rangka klarifikasi laporan adanya pelanggaran kampanye. Isteri walikota yang menjadi caleg dari PPP itu datang ke kantor Panwaslu menggunakan mobil dinas PKK Kota Metro.
Seyogyanya, kalau ia ingin mengklarifikasi pengaduan adanya pelanggaran yang dilakukannya, walaupun hanya mendatangi kantor Panwaslu Kota Metro, ia harus menggunakan mopbil pribadi. Jika ia masih menggunakan mobil dinas, maka apapun alasannya ia mengatakan tidak melanggar. Itu sudah suatu pelanggaran.
Bagaimana dengan PP No 10/2008? Oleh karenanya, gaya demokrasi Indonesia dalam potret pemilu selalu membingungkan. Pelanggaran aturan hukum pemilu selalu diselesaikan dengan kedip mata atau cukup dengan “kata maaf, tidak akan mengbulanginya lagi”. Sayangnya, ketika aturan itu berbenturan dengan keluarga pejabat, maka yang mengalah itu bukan si pelanggar atau pejabat tau keluarganya. Tetapi, malah aturan hukum yang dibuat ‘mengalah’ oleh lembaga yang terkait menangani permasalahan seperti itu. Barangkali memang bangsa ini senang betul membingungkan diri sendiri, apalagi menghadapi bingungnya dunia. Apa tidak makin bingung?
Banyak hal yang perlu diatur ulang soal pemilu di Indonesia, dengan banyak aturan yang harus dibatalkan. Cukup satu atau dua aturan saja, namun aturan itu lengkap, detail dan tidak membingungkan rakyat. Seperti soal kartu suara dalam pemilu 2009, sebagian besar rakyat bingung. Sebab, sosialisasi pencoblosan (pencontrengan) beraneka ragam, isu yang digulirkan tentang sah tidaknya contreng pun bersileweran entah bagaimana lagi rakyat untuk mengambil kesimpulannya.
Sementara KPU sendiri, cuma duduk di kantor hanya bermain surat, selebaran dan pernyataan di media massa. Sosialisasi dengan anggaran yang besarnya, ke mana dan bagaimana hasilnya? Dengan situasi dan kondisi demikian, apakah tidak membuka kemungkinan meningkatnya suara golput (golongan putih) yang disebabkan banyak faktor.
Bukan hanya tidak (sengaja) mau memilih, tetapi faktor waktu, hasil sosialisasi, banyaknya parpol dan caleg, lebarnya kertas suara dan sebagainya—bisa jadi sebagai faktor terbesar untuk besarnya jumlah golput. nep.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar