Kamis, 02 April 2009

Sinetron Bertajuk ‘Sinetron’

Oleh Naim Emel Prahana
BARANGKALI ingatan kita masih segar ketika serial film sinetron di televisi Indonesia menayangkan pertama kalinya trend film-film Amerika Latin yang diawali sinetron Maria Seleste beberapa tahun silam. Banyak suami di Lampung mencekik leher isterinya karena diajak sholat berjamaah, malah si isteri ngotot menonton film sinetron yang serinya banyak sekali itu.
Film sinetron Amerika Latin itu akhirnya menghilang dan oleh dinasti Punjabi dimade in-lah film-film dengan ide cerita dan adegan yang sama. Pada akhirnya hingga kemarin malam dan seterusnya (mungkin) film-film Punjabi itu akan terus menghiasi layar kaya televisi di Indonesia, terutama di Indosiar.
Punjabi sedikit lebih kreatif dengan memasukkan unsur magis, Indianisme dan agama sekuler diraman film-film sinetronnya. Alhasil Punjabi mampu menyedot jutaan pemirsa untuk betah setiap malamnya di depan pesawat televisi swasta kita. Film-film sinetron di televisi kita secara umum dan sisi sineasnya memang jauh dari kualitas. Hanya mengandalkan pangsa pasar dan trend kehidupan masyarakat (life style).
Tidak tahu persis kenapa film-film demikian lolos sensor. Padahal, dua tahun silam budayawan Naim Emel Prahana ketika bertemu dengan Yenny Rahman di Griya Kebun 38 milik Henry Yosodiningrat pernah serius bicara dengan ketua Parfi itu. Waktu itu, Naim minta kepada Parfi untuk berusaha mengevaluasi dan memberikan masukan berupa kritik, saran dan rekomendasi kepada Lembaga Sensor Film (LSF), agar mengkritisi film-film sinetron di televisi Indonesia. Sebab, kadar pendidikannya sangat rendah.
Yenny Rahman berjanji dan akan melakukan apa yang disarankan. Tapi, hingga saat ini film-film sinetron bergaya made in Punjabi masih tetap mendominasi layar kaya di rumah-rumah penduduk di negeri ini. Jika itu berlangsung lebih lama lagi, film-film sinetron itu sudah pasti menjadi salah satu faktor terbesar rusaknya keutuhan keluarga atau rumah tangga orang Indonesia.
Termasuk sinetron (film) legenda yang diproduksi dan ditayangkan dengan mengedepankan nilai magis. Sulit dibayangkan bagaimana dampak negatif yang ditimbulkan film-film seperti itu. Sebab, siapa yang akan memfilter penonton televisi di rumah?
Sangat disayangkan, kenapa film-film demikian justru yang menjadi juru penjelas dan penerangnya adalah ustad-ustad muda yang seharusnya lebih jeli, kritis dan agamis. Bukan malah memberikan warna bisnis kepada film-film tersebut. Sebagaimana film sinetron Muslimah dan Hareem.
Walaupun film (dua yang terakhir kita contohkan) adalah fiktif belaka. Tetapi, perlu diingatkan bahwa nilai fiktif dalam sebuah cerita film mempunyai pertalian dengan kenyataan di masyarakat luas. Tidak asal fiktif dan tidak asal difiktifkan. Bangsa ini masih berharap kepada stasiun-stasiun televisi, khususnya swasta di Indonesia, agar menayangkan film-film atau sinetron yang kadar pendidikan masyarakatnya lebih banyak dibandiongkan kadar bisnis ‘selera’.
Jangan menjadikan film sinetron hanya sebagai ‘sinetron’ yang artinya, yang penting ada film yang penting laris dan banyak pemirsanya yang kepincuit setiap malamnya menonton film bermoral rendahan tersebut. Masih banyak cerita di tengah masyarakat yang dapat dijadikan ide cerita film untuk televisi. Sebagai contoh acara Teropong, Jejak, Situs-Situs di TVRI dan sebagainya.nep.

Tidak ada komentar: