Oleh Naim Emel Prahana
KITA acung jempol buat Metro Televisi yang membuat wawancara ekslusif dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK). Keduanya adalah satu paket sebagai presiden dan wakil presiden. Ketika diwancarai, SBY dalam jawaban yang bersuara pelan, pasti dan dalam. Lebih banyak bertindak sebagai presiden.
Sementara, Rabu (4/3), Jusuf Kalla—JK lebih banyak bicara soal dirinya sebagai ketua partai. Wawancara ekslusif Metro TV itu tidak ada istimewanya. Ini suatu pernyataan yang jujur dan transparan. Kenapa tidak menarik? Ketika SBY mengatakan, kita tidak perlu bicara masa lalu.
Tetapi, dalam banyak pernyataan (jawaban) yang sangat tajam, justru SBY terlihat memunculkan suatu claim, bahwa dirinya adalah yang pantas menjadi presiden, bahwa dirinyalah yang paling baik di antara para jendeeral TNI, bahwa dirinya menjadi presiden berangkat dari nol (bawa sekali). Itu, akibat dirinya seakan-akan teranianyai—terutama ketika ia menjadi Menpolkam masa presiden Megawati Soekarnoputri.
Apalagi ketika SBY bilang, Prabowo, Wiranto dan lainnya membuat buku biografi. “Tapi, saya kan tahu semuanya!” Itulah ungkapan yang sebenarnya sangat sombong dan angkuh di balik tatakrama dan sopan santunnya dalam bicara yang sederhana dan luar biasa baiknya.
Sementara JK dengan kemampuan bicaranya yang cenderung beretorika dengan rasa optimis yang dipaksakan dengan kata lain, sikap optimisnya “wait and see” hasil pemilu 2009. JK percaya survei jika survei itu berdasarkan hukum. Keraguan JK menjawab keyakinannya sendiri terlihat jelas. Apalagi ketika menjelaskan soal grid populeritasnya masih di bawah 3 persen.
Dengan retorika JK, ia mengtatakan, gridnya itu karena ia selalu diposisikan sebagai wakil presiden. Ia tidak bicara soal dirinya sebagai ketua parpol (Golkar).
SBY—JK jikalau pemilu 2009 merupakan hasil maksimal klecerdasan politik rakyat, maka keduanya akan kalah dengan bakal calon presiden lain. Hanya dari weawancarai ekslusif itu dapat ditangkap, bahwa keduanya sedang memasang jaring untuk berkoalisi dengan parpol lain atau sedang memancing bakal calon presiden lainnya.
Yang pasti pemerintah di bawah kepemimpinan SBY—JK gagal membawa Indonesia ke luar dari krisis multidimensional. Berbagai kegagalan tak mampu diselesaikan atau ditemukan solusinya. Seorang tokoh nasional sekelas SBY, dalam beberapa kali kesempatan pidatonya, langsung membahas masalah kelangkaan BBM, pupuk dan tidak turunnya tarif angkutan umum ketika BBM turun.
Itu berarti, para menteri sebagai pembantu presiden, tidak mampu menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Itulah kegagalan yang banyak ditengarai para pengamat dan rakyat Indonesia. Pemilu 2009 sudah diambang pintu, perubahan tentu pasti ada, tinggal berapa persenkah perubahan yang terjadi setelah pemilu 2009 dan menjelang pemilihan presiden (pilpres).
Mungkin, tidak ada parpol yang dominan menguasai parlemen (DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, DPR-RI). Atau ada parpol dengan kebangkitannya yang memperoleh suara yang signifikan. Semuanya kita menunggu, bagaimana peningkatan kecerdasan berpolitik rakyat. Kecerdasan politik rakyat sepertinya akan terhambat dengan lambannya kinerja KPU mensosialisasikan pemilu 2009.
Ada apa dengan Indonesia, apakah Indonesia ini hanya SBY dan JK? nep
Tidak ada komentar:
Posting Komentar