Tampilkan postingan dengan label Penyair & Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penyair & Puisi. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 Juni 2016

Meja Makan


puisi Naim Emel Prahana

aku masih merindukan makan malam bersama
duduk mengitari meja makan kita
pesta kecil puluhan tahun silam
anak-anak berebut sayur
mengkerutkan kening
lalu kita tertawa bersama 

aku masih merindukan suasana itu
pulangkan harmoni seperti di desa
berselimut persahabatan embun, dingin
dan kenhangatan kebersamaan

kota telah melenyapkan cinta kita
antara acara televise, gadget handphone
dan karier-karier manipulasi suka

sunyi di hamparan ruang makan
senyap dilanda bencana teknologi
satu arti sudah pergi sebelum pagi
tanpa dermaga menambatkan hati.

2016

Selanjudnya




Hari ini
apakah yang sedang terjadi atau
sesudahnya
rindu bersebab cinta penuh karena pesona
gelisah pun menyeringai menyambut
lelah istirahat di punggung bumi
hari ini hidup akan mati karena kehidupan selanjudnya.

1 Januari 2016


Seyogyanya
(1)
Kita pernah berdiri di dekat pagar bambu
Tepian jalan debu bertemu penantian
Bulan bercakap di liku kata-kata itu

Pagi itu di depan aku duduk dibayangan pemburu
Jemarinya sibuk menyanyikan tarian pagi
Ingatkan penghuni soal bencana

Seorang tamu mengenakan baju serba bludru dan sutera
dari secarik kertas catatan kumal dan berdebu
Seluruhnya cuma satu di sisiku
Waktu itu sudah berlalu

(2)
Dari sini juga sungai mengalir jauh jalannya berliku
Sampai teras rumah keraguan masih membisu
Di antara kita

Kau masih lantang menuding pengelola kota
Penghancur cerita lama pada catatan itu penting
Sampai di dekat sini kalau cinta itu tidak teraba lagi
Rasa pertemuan malam hari dan sumpah terik mata hati
Menghujam jantungku tetap di sini berdiri
Menatapmu wahai sahabat hati

(3)



Minum Kopi di Matahari

hangat kopi pagi bersama matahari
hampir menebarkan senyum siangnya
kehidupan mulai merayapi sejengkal tanah
rumah-rumah penghuni bumi
dan kamar-kamar yang hilang
tempat bercinta berharmonika

catatannya ditulis lagi
sederetan hati gundah
mengalir di atas darah beku
raih mahligai tak sampai-sampai

menikmati kopi pagi ini
sebelum dingin sebelum habis
kusisakan di hamparan hari-hari
meninggalkan senda gurau

matahari terus berjalan
tak terhalang awan hitam
rumah-rumah dihimpit besi dan beton
lagi, penghuni lari sejak pagi
baru kembali di malam hari
menghidupkan kehidupan anak-anak
negeri ini sudah semakin tipis dan tajam

hanya karena sinetron keluarga berantakan
hanya karena handphone suami isteri bubaran
hanya karena gengsi anak-anak mencari sensasi
hanya karena rokok banyak nyawa melayang
wajah dan matahari saling menerkam.

Januari 2016


Semua Mati

kata langit di kaki bukit
diiringi waktu kamar-kamar berdebu
kata ditinggalkan di rupa rindu
pintu jendela berduka cita
jerit hati gemuruh halilintar
mencekam, diam dan mati
permainan sudah terlalu jauh
api sudah sulit dipadamkan
teduh selama waktu
tak berindu dan berumah
semua mati, mati rasa.

Januari 2016.

Sabtu, 27 Februari 2016

Memainkan diri Sendiri



Sajak Naim Emel Prahana

Kenapa aku?
Tidak selamanya kaya
Berjalan tanpa menoleh kiri kanan
Tidak selamanya status sosial
Bergelimang aroma hiruk pikuk kota
Kenapa kita, di sini?

Ceritanya dari kisah
Warga tidak peduli tetangga
Mengira punya harta sendiri
Bersembunyi di balik di dalam tembok
Rumahnya yang hebat
Kenapa ia tidak hadir
Lari dari undangan mengalir tetangga?

Kini, kenapa dia, kita keberadaan
Siklus kehidupan membuktikan
Ketika jaya jangan sombong
Arus zaman akan menerjang, ambruk
Jangan salahkan tetangga

+2010

Sayap-Sayap Merdeka

Bahasa apa lagi kawan
Mengucapkan salam pandang
Hutan pegunungan yang berlubang-lubang
Rumah-rumah tumpang tindih
Jelaskan batas si kaya si miskin
Yang dihapus dalam data base

Kebebasan itu cuma mereka, kawan?
yang hilang ditelan dunia baja
dan dibiaskan kaca jadi rumah
dingin berselimut alat pendingin
yang kedinginan disirami hot water
kompak, komplit
makin kompleks masalah kemerdekaan ini

keributan di media massa
melarang aku merokok
menangkap para pelacur murahan
yang hidupnya sudah hancur
zaman ini sudah merdeka
kebebasannya yang tidak pernah ada

katakanlah, di sini atau
di mana saja kaki berpijak
di ruang apa saja suara berteriak
siapa berani mengatakannya
benarkah negeri ini sudah merdeka
Katakanlah!
kemerdekaan seharusnya for all
mustikah dibedakan
kemerdekaan rakyat berbeda
kemerdekaan penguasaha, berbeda dengan
kemerdekaan penguasa
dan kemerdekaan bagi premanisme
penjajahan personal?

+2010

Rabu, 03 Februari 2016

KABAR MALAM INI



 --untuk seorang kekasih

Nafasku menghela nafas
Menggamit suasana malam
Di tengah peradaban gelap
Kucatat namamu berulang
Kupanggil

Engkau sudah tidur sayang
Engkau sudah melewati lelah
Yang melelah di sekujur tubuhmu
Aku bergurau dengan waktu
Malam yang sangat setia
Menunggu pergantian rindu waktu

Engkau sudah bermimpi manis
Ada sebuah telaga dan air terjun di dalamnya
Aku sendiri sering memimpikannya
Sejuk, sepoi dan penuh gairah

KABAR MALAM INI
--untuk para dukun

Kau racik order manusia dajjal
Meremas-remas kembang tujuh macam
Mulutmu yang tak pernah diam komat kamit
Kau tantang Tuhan semesta alam
Dengan mengguna-gunai orang diam
Hanya karena order binatang jalang
Berselimut di wajah mereka yang malang
Selalu membawa benci, dendam, geram
Selalu ingin membuat orang lain karam

Tidurlah wahai dukun malam
Kembalilah ke jalan yang benar
Jalan yang diridhoi oleh-Nya
Tinggalkan order manusia dajjal
Pergilah mandi di sungai tentram.
Sebab azab Tuhan akan lebih dahsyat
Jika kau tetap menjadi dukun.


KABAR MALAM INI
--untuk para iblis

Walau Tuhan mengizinkan kalian
menggoda anak Adam
aku tak takut, biar matamu merah
tubuhmu seberat gunung bebatuan
aku takkan memejamkan mata memandangmu
biarlah kalian tak enyah dari sisiku
aku enyahkan bisikan kalian

tidak ada persahabatan antara kita
apalagi penandatanganan MoU
atau kontrak kerja ke luar negeri
tidak, itu takkan aku lakukan

malam ini
malam beribu malam kalian ganggu aku
ganggu yang lainnya yang sedang lemah
malam yang penuh tantangan bagiku
engkau atau aku yang tersingkir

pikirkanlah karena doaku mengalir
karena wiridku selalu menuju dari kalbu
ke singgasana Tuhan sang pencipta alam semesta
tempat aku menaruh sauh rindu kehidupan ini.


KABAR MALAM INI
--dialog

Seperti malam sebelum ini
Kau selalu bertanya kepadaku
“apakah kamu belum tidur?” katamu
“belum,” jawabku
“Apakah kamu sudah makan?” tanyamu
“belum,” jawabku
“Apakah kamu lagi susah?” tanyamu
“tidak,” jawabku
“Apakah kamu dianaiyai orang?” tanyamu
“(aku terdiam.....aku diam....aku terpaku),”
“Kenapa engkau diam?” tanyamu
“................” aku tak menjawab
“Kenapa kau tak menjawab?” tanyamu
“..................” aku tak menjawab
“Kenapa kamu ini?” tanyamu
“aku?” aku balik bertanya
“Ya, kamu?” tanyamu
“aku?” kataku lagi dalam hati.
Lalu engkau berkata lagi
“Ya kalau begitu, berpikirlah selagi malam
  Pergilah ke suasana damaimu dalam hati,
  Berikanlan bingkisan kepada nuranimu,
  Dan berpikir di malam hari
  Adalah zikir yang mengalir,
  Juga doa-doa yang didengar Malaikat,
  Gunakanlah waktu kau tak tidur malam
  Untuk berdialoh dengan Sang Khaliq...!” katamu
Akhirnya...
Kuingat dosa-dosaku
Tergambar salah perbuatanku
Terlihat jelas kata-kataku yang ceroboh
Gambar-gambar kubuang waktu beribadah
Jelas dan bersih gambarnya

Ya Rabb aku dihadapan Mu
Jangan Kau jauhi aku
Jangan Kau biarkan aku kalah
Aku inginkan cinta Mu
Aku ingin kasih sayang Mu
Aku ingin rahmat dan karunia Mu
Bukalah jalan hidupku yang damai
Tentram sampai batasnya.


Tekad IX

Ya Rabb
Aku tak mau seperti penyiar
pandai berucap
di luar lupa apa yang telah diucapkan

Ya Rabb
aku tak mau pandai berbicara
tak pernah dilaksanakan
juga tak mau pandai menduga-duga
karena sesuatu keinginan

Ya Rabb
aku mau kekasih
dalam setiap helaan nafasku
berucap kata sama perbuatan
jadi yang paling sabar
di antara kebaikan dan kesabaran

hidup ini meniti gelombang malapetaka
kehidupan kekinian hidup tanpa roh

aku tak mau berandai-andai seperti
menulis sajak para penyair
yang tidak pernah satu dengan yang ditulis

(2011)


Sengaja Dilupakan

Ada yang tidak kau berikan
setelah sekian lama  bersama dan kutunggu
hanya diam kudapati datang

tapi, bisakah sejenak
kita bersandar di awan
menelusuri jejak dan
ucapan

apa itu emansipasi
apa itu film sinetron
apa itu sms dan
wajah di balik rupawanmu

yang ada
telah ditiadakan
yang tak terucap kata
dimunculkan di permukaan setiap kali
berbincang

(2011)



Di Meja Malam

Telah aku campakkan amarah
Dendam dan emosi
Kulemparka jauh di gelap waktu
Agar tidak ditemukan di lain rindu

Ya Shobur
Aku terus mendiamkan diri ini
Di tengah hura-hara kehidupan
Entah siapa saudara seiman
Di mana pula kucari tetangga ramah
Sopan dan bijak

Hanya pada Mu
Kuutarakan keinginan
Sabarnya Rasulullah Alaihissaam
Dalam hidupku

Di meja malam Mu
Kususun lagi salah
Kuramu lagi hiikmah
Sampai Kau kirimkan berkah

Aku belajar dan belajar terus
Tentanga rumah kesabaran dalam diriku
Menjadi tiang kehidupan


(2011)


Besok Lusa

sampai sore ini penerangan di rumah
hatiku ini belum menyala

(2011)


Pemilik Pagi Ini

(1)
bergegas disemuanya pelataran
melantunkan percakapan pagi
berangkat dan kembali pada waktunya
aku menunggu sambil berteduh
memelihara rindu yang belum terajut
segeraku dalam kalbu yang satu
di daerah cinta itu.

(2)
hutan sudah luka
betapa ragu kuucapkan cinta
ketika jiwa tidak sejalan dengan raga
pergi entah ke mana?

(3)
siapa di balik suaramu
bergetar menyampaikan bisikan
yang tertatih diucap terbata-bata
di sana jelas sosok ketakutan
menakutkan
apa yang sembunyikan siapa?

seperti gerimis tadi malam
menyirami permukaan menyirami
rerumputan yang tak sampai kerongkongan
sudah jalan terhalang
tak menawarkan dahaga

senyummu
tak memberikan apa-apa
seperti gumpalan tanah hitam
menjadi lumpur
menggantungkan tatapan

(4)
ada kata tak terbaca
maknanya belum tiba
apa yang harus kujawab
pagi ini dedaunan rontok
berhamburan diterpa angin
berserakan diterjang langkah
kotor dan berdebu

padahal rumah itu
halaman di sini
milik kita.

(5)
lemah lambaian tanganku
disaat berpapasan di perampatan jalan
kita berjanji seiiring sejalan
tapi engkau di jalan
kenapa aku ada di siring?

jangan terburu nafsu
impian kita sama
tanpa tanpa ragu dan kebimbangan
kegelisahan di jalan bersimpang-simpang.

September 2011

Raimundo Arrunda Sobrinho



Pengemis Brasil Ini Ternyata Sudah Membuat Ribuan Puisi Manis
Kisah ini sungguh luar biasa. Seorang pengemis di Brasil ternyata mampu menulis banyak puisi dan cerita pendek yang Indah. KEREN!
Bintang.com, Jakarta Jangan menilai orang dari kulit luarnya. Orang tua ini mungkin hanya pengemis berpakaian compang camping tapi di balik itu, dia memiliki kemampuan yang luar biasa. Raimundo Arruda Sobrinho asal Brasil bisa Menulis puisi yang sangat indah dan ini sudah ditekuninya selama 35 tahun.
Bakat menulis dan catatan puisinya mungkin masih di balik sampah jika saja tak ada gadis ini yang membagikannya di media sosial. Shalla Monteiro melintas di dekatnya pada 2011 dan melihat Raimundo menulis di atas kertas dengan pulpen lusuhnya. Dia melintas esoknya dan melihat Raimundo masih menulis. Shalla pun penasaran. Alangkah terkejutnya dia ternyata Raimundo jago membuat puisi dan cerita pendek.
"Saat saya melihat Raimundo dan dia membagikan puisi ciptaannya. Saat itulah saya langsung menjadikan dia bagian hidup saya," ujar Shalla yang dituangkan dalam film dokumenter pendek berjudul 'The Conditioned'.
Shalla sangat terpesona pada puisi-puisi milik Raimundo dan dia ingin menyebarkannya ke seluruh dunia. Dia memulai dari media sosial Facebook. Dan, secara cepat, banyak orang sudah terinspirasi dengan cara Raimundo menulis puisinya. Bahkan laman penggemar Raimundo di Facebook sudah disukai 100 ribu orang. Banyak dari mereka juga sengaja mengunjungi Raimundo hanya untuk berbagi cerita dan ngobrol akrab.
Berkah bertambah bagi Raimundo, selain memiliki penggemar di Facebook. Ternyata adik lelakinya mengenali dia. Raimundo sudah menghilang selama 7 tahun meski tak dijelaskan penyebabnya. Yang jelas, sang adik pun menyesal selama ini tak mencari kakaknya dan membuat Raimundo menderita hidup di jalanan.
Kini kakak dan adik itu berkumpul. Raimundo pun mendapat kesempatan untuk menerbitkan puisi-puisi miliknya. Kisahnya ini sungguh mampu memberikan inspirasi bagi orang banyak. (oleh

Ardini Maharani 11 Sep 2015)




Selasa, 26 Januari 2016

Sajak Akhir Upacara



Sajak Naim Emel Prahana

Akhir Upacara

Ini bait lagu
nyanyi hati
jauh di dalam
singgah bersumpah
kita bukan kata
cara-cara bersuka
panggung duka dan darah
saling berpelukan
satu raga
jiwa terbelah.

2015


Bukan di Padang Ilalang

Langit tak berpintu
terbentang ruang kita tak dating
saat lupa telentang mengambang
di atas roda-roda doa
pembawa pesan kaumku
rasa tak berumah cinta
waktu adalah lembaran
dulu terlupakan
tersimpan tanpa almari
di setiap tatapan
bersulang harap
bersatunya halaman jadi buku

: bukalah!

2015


Cahaya ya Cahaya
- untuk adinda almarhum Nizam Asri

kematian itu adalah haqNya tak seorangpun tahu
tak seorang jua temukan batas-batas dari janji Allah yang pasti yang datang
kepergian jiwa meninggalkan rindu tubuh kembali ke asal terbenam di dalam tanah
innalillahi wa innalillahi rojiun
doa takkan mengembalikan yang mati doa tak juga membuat yang pergi bersuka
doa hanyalah meringankan beban jangan menangis yang tinggal
perjalanan cahaya datang dan pergi di mata basah
hanya kepadanya kita berlindung dan bergantung dan kembali
dan meminta tolong, “selamat jalan adinda”
tinggalkan dunia fana ikutilah cahaya Malaikat yang selalu dekat
dan tersenyumlah.

2015

Selasa, 19 Mei 2009

Belum Berakhir Pada Akhirmya

Sajak Naim Emel Prahana

Masih adakah kata
Di antara kita seperti
Catatan masa
Yang berjalan sampai
Di sini?

Karena satu per satu tubuh
Terlalu lama dilukai
Bekasnya terlalu dalam
Untuk dihapus
Selalu muncul dan
Rasa itu mengerang
Terus menerus

Inikah kata akhir
Yang selama ini berpelukan
Inikah yang terakhir
Berkatalah jujur

Sebab, semua akan
Berjalan pada akhirnya
Hancur karena tidak
Jujur

Mei 2009.

Di bawah Rumpun Bambu

Sajak Naim Emel Prahana


Bagaikan kertas yang melayang-layang
tiada berdaya
jatuh di tanah tak bertuan
semak dan sampah
berserakan!

Helai demi helai
dedaunan jatuh
di bawah rumpun bambu
berserakan tumpang tindih
jadilah ia sampah

Rumpun bambu rindang
sindikat menyerang kebun-kebun
menikam lelaki tua
di rumah penyair abad 21
haru biru masanya
biru penanya

Di jagat internet
betapa enaknya membaca
seorang bocah baru lahir
ditulis dan dinobatkan
sebagai penyair tanah ini
siapa ya gurunya?

Tidak seperti keluarga bambu
tumbuh dan berkembang
saling bergenggam badan
meluaskan kekuasaan secara alami
amanat demi amanat
dijaga hingga kiamat

April 2009

Minggu, 10 Mei 2009

20 Surat Cinta

Sajak Naim Emel Prahana

(padamu Tuhan)

I
hujan terus menetes
di balik kata-kataku
tiap gelombang menyapa bumi
menelanjangi pelayaran di separuh siang
hari-hari sungai kian telanjang
diterik dada matahari
mimpiku mengalir, berguling-guling
di selangkangan desah kaki sesampainya
pada penguasa matahari dan cahaya
saat itu kita membaca guratan-guratan
jalan nafas dan dunia berteriak
mengaku bukan pencuri
menuduh semua pencuri
seperti tetangga berebut dendam dan iri
mengalungi kedengkian dikemudian hari
mengikuti jejak ambisi
jalanku jalan siapa saja
inginku di jalan-Nya
meraih akhir sekali
nafsu terus memburu

sambil menggenggam angin
mencabut ilalang yang takut
karena kalut,
wajah mengkerut,
hati berkeluh
kesah
pada catatan waktu yang tak disimak
jadilah ombak gelisah rindu tak berumah
melukis wajah, siapa rupanya
hati ini?

II
sapa tinggal seuntai
ketika ditanya kepada siapa
semua memandang dan memalingkan muka
batu yang hitam kelam
kudiami jua tanah ini
dari kelahiran dan
kemiskinan ada di mana-mana
itulah kandang kita sekarang

aku pernah mendengar orang berucap :
tangan berulang
- menggapai
- diam dalam
- tubuh,
- luluhkan teguh
- di rapuh aliran
- di sungai-sungai
- menuju muara pembawa
- kata-kataku.

III
Tuhan, jalan ciptaMu yang satu
ketika sampai bumi berakar banyak
bersatu diraut bulan bintang
duka di ombak laut dan pantai
tak selesai dieja tulisan alam
timbul tenggelam dalam hati
jalanMu sering dilewatkan
dibuang dan dilupakan

kulukai waktu
menimbang penawaran
sesaat datangnya kematian
yang menggugat hutan pribadi
benang kusut politik cinta pun buram
melingkar di kediaman kita
ini tanah siapa,
siapa yang merebutnya
yang selalu datang
yang kembali datang
yang sedang pulang
yang sudah bertandang
orang-orang papa
seperti aku dihempas ombak
dalam irama pembangunan?

IV
Sesekali aku berhasil merebut malam
Mencari dirimu dalam hiruk pikuk
lelah dan tersudut
rasa terbakar jiwa tak berdaya
menempatkan waktu
di hamparan status
kapal tak pernah singggah di pelataran kampung
anak-anak menunggu berkaki telanjang
selalu dalam catatan harian ini.

Mimpi adalah kekhawatiran
mencari diri mencari ilmu
sedang dari sudut-sudut hunian
mengatakan; aku mengorbankan diri
meninggalkan ketenangan kampung
membina kebinasaan di sini
menjadi perambah kaum kumuh
dalam kecamuk filosofi gneuthi setion
diri
pribadi
kepribadian
berselingkuh di sajadah
malam yang terus membuka pintunya
bergema suara di auditorium kampus
dengan membelah darat
yang meresahkan air samudera
meliarkan angin jadi puting beliung
yang telah terbuka
sulit dilewati
apalagi pintu yang tertutup
menjauhkan diri dariMu
di balik pandainya kami berkata-kata
memainkan ambisi
membiarkan diam
toh kita nikahi juga.

V
Hamba tak berdaya atas diri sendiri
sebelum Kau menyuruh kembali
kutulis puisi ini
dalam bait-bait panjang
menatap tempat pendaratan
Kau telah menyuruh menulis catatan
untuk ditempatkan di persinggahan
untuk dibaca semua yang lewat
tapi, apa yang kubawa kehadapanMu?
agar kelak mengental sepanjang langkah
jalan di jalan bijak

kepada siapa lagi
surat ini kukirim
di dalamnya bercerita tentang:
- abang becak
- pesta orang miskin
- keramaian kota
- ombak menampar pantai menenggelamkan perahu nelayan
- anak cucu berebut warisan sejengkal
- semua lengkap seperti FirmanMu
- lapangan kosong
- rumah tak berjendela
- halaman terbakar
rumah siapa
siapa di rumah kita
di luar sepi
(hiruk pikuk memutuskan silaturrahmi)
di gang kampung
lonceng berdentang
sampai ke pegunungan membentang
kumainkan bidak catur
rugi untung diatur
musik yang membentur
selendang penari malam
tak pernah menerima cinta
mata dan kata
waktu sudah banyak terbuang!

VI
Mataku menatap mobil-mobil mewah
pengemudi yang gagah, pemiliknya wah
menuju pemakaman umum
membangkitkan satu pertanyaan
bayangan yang berjalan
menggerakkan bibir dan selendang
penari malam tercecer
di antara ketakutan hilangnya kemiskinan
malam terus menyebarkan gelapnya
beradu tubuh di larangan parkir
Engkau saja dilupakan
apalagi kata-kata dalam tulisan ini

inikah bagian dari cinta di bumi
membuang hutan belantara
memasukkan virus-virus berbahaya?

VII
Hanya kepadamu
bukan kepada siapa-siapa
bagian terpenting dari cintaku
biarlah mengalir di hutan tanpa kamar
walau dilarang di barak-barak
tetap kurobek langit kemarahan
dengan perasaan melepas rindu
tanpa batas

kubiarkan langkah ini hanyut
di kedalaman laut terdalam
terluas di bumi

aku berdiri dan duduk sendiri
di ujung paling sepi, tak ada gambar apapun
dan lebel-lebel mufakat
semuanya sepi sunyi

VIII
Kita sering tidak rela
Menjalani rutinitas waktu
Tempat hamparan hati
kata berlawanan
langkah bertentangan
tumpuan yang rapuh
digenggaman gelap gulita

lai, aku melihat diriku sendiri
memaknai kekejian teknologi
menghamba materi
standar keberhasilankah?

di saat warna memburu diri
dimakan zaman
berpulang ke ruang tanpa penghuni
waktu adalah uang
rindu kehilangan cinta

IX
Dan 20 surat cintaku ini
melayang mencari teduhnya kata-kata
ditumpukan dokumentasi
catatan yang kubagikan
dibutuhkan atau diacuhkan
dibuang pun cintaku adalah cinta
datang ditujuannya.

X
Cinta adalah kesadaran
kenyamanan dan ketenangan
di kebahagiaan pelabuhan
diakhir penyatuan tubuh dan ruh
berumah tiada berbeban
berpikir tiada menyindir
biarlah penenggak bir
menguasai malam kelam

XI
Atas nama surat cinta ini
amanah sepanjang hari
kutitipkan jalan ke sajadah
pembuang rangkuman gelisah
dari untaian dzikir dan doa kukirimkan
semua ruh untuk siapa saja
yang mulai menjelma dibibir
agar menjadi langkah
diberkati.

XII
20 surat cinta
kutulis dengan darah
kutulis tangan di atas sajadah merah
untuk gadis yang belum tersenyum
untuk di kau penghuni kamar gelap
untuk di kau gadis cacat yang berharap
untuk janda muda yang digubuk melarat
ambillah cintaku di dalam 20 surat cinta ini
kuberikan kuikhlaskan kurelakan
sampaikan kepada tante-tante
om-om perlente
yang sedang menguliti tubuhnya
berikan selembar surat ini
jalinan cinta perdamaian
jembatan cinta keselamatan
cinta tempat menyadarkan binatang-bintang liar

XIII
Seluruh sejarah ruhku
kukembalikan padaMu
padaMu, dari sekalian ajaranMu
kemudian untuk siapa saja
di mana saja muaranya
ya, kuberikan
semua tanpa menunggu eksekusi
apapun penghalangnya
tetap kukembalikan seluruhnya

tak ada tirai di balik cinta
curahan satu-satunya
yang berbaris panjang di cakrawala
menyala dan membakar mimpi
yang akan kuteruskan
walau listrik sering padam

XIV
kata adalah anak diam ke diamnya
dipangkuan kau dalam lagu
di pundak gunung di dasar laut
di perut bumi di rumah sepi
di surga dinantikan
bila terseok-seok
api neraka siap menjalar

XV
Penyesalan tak berarti
menaburkan kepergian hitam dihati
pada Kau ya pada siapa lagi
surat kutulis setiap pagi
di setiap doa dan dzikir mengalir
para penyair yang hilang suaranya
menyendiri dalam perlombaan
pengagum cinta abadi
melepas jerat hidup melarat
yang tetap melarat.

XVI
20 surat cinta ini
kubagikan kepada malaikat
kubuat pagar batas dengan setan
yang selalu mengikuti jejak kita
kubingkiskan pada mimpi siang
kutasbihkan pada keyakinan
kutinggalkan untuk anak cucu
kutindih bayang-bayang
agar pohon jadi rindang
biar batu jadi batunya
akan tanah sang guru
kembali ke kau
cinta adalah rambu-rambu kehidupan


XVII
Kau dan aku selalu ada
dalam kalimat pada hakekatnya
aku bukanlah penguasa langit dan bumi
yang sekehendak hati berbohong

dalam surat puisiku ini
kusimpan satu surat darinya
agar terbuka dipagi hari esok
untuk mengenali kembali diri sendiri

baris kedua dalam suratku
adalah jawaban-jawaban nisbi
dari pertanyaan-pertanyaan sepi
menuju ke baris ketiga dalam suratku
berupa seruan kepada penguasa
kupesankan bahwa suatu saat kelak
yang tak ada diadakan akan sirna
korban-korban kebohongan bangkit kembali
menyatakan kebenaran atas kebenaran

baris keempat dalam suratku
kubisikkan suara hati
untuk siapakah diri ini?
di antara buramnya jawaban
walau berteriak, siapa pendengarnya
tapi keyakinan kuyakinkan benar
karena Engkaulah sumber kebenaran
yang sering dilanggar
dengan sumpah dan alibi
sedangkan Kau diam
menatap tingkah polah
hamba-hambaMu

XVIII
Telah kubuka setiap hari
lembar demi lembar surat
bertanya kepada mata
telinga, mulut, hidung, rambut
tangan dan semua isi perut
tentang siapakah diriku ini

XIX
setiap hari yang kubawa
melangkah dan bertanya
bertanyalah, bertanya dan bertanyalah
wahai diri
bahwa jawaban ada padaNya
(bukan kepada kecantikan wanita bukan pada kenikmatan mobil mewah bukan berhamburan uang dan ke luar negeri bukan semuanya bukanlah jawabannya. Atau ketampanan seorang lelaki, gedung menyeramkan merobek langit menindih rakyat melarat. Yah, bukan di situ jawabannya. Karena kita masih bernafas, gunakan hati, mata dan hati-hatilah melangkah!)

XX
20 surat cinta
Akhirnya terkirim jua
Setelah habis waktu persidangan komisi
yang akan menanti keputusan
( dan mereka juga )
dipangkuan gaya kehidupan
tunggulah!
jangan menunggu aku
yang tak berdaya
yang hanya mengikuti
siap menuruti panggilanNya
ya, dihadapanNya
politikku tak bertaji
tak dapat dimainkan
seperti arena politik di negeri ini

Metro, Maret 1987.

Minggu, 14 September 2008

sajak 20 Surat Cinta

Sajak Naim Emel Prahana
20 Surat Cinta
(padamu Tuhan)

I
Di balik tetes hujan
kusatukan kata
menuju gelombang menyapa bumi
dalam pelayaran di separuh bulan di siang hari sungai menelanjangi
dada diterik matahari
mimpi yang mengalir, berguling-guling
di antara desah kaki sesampai di tempatnya
seperti matahari dan cahayanya
saat mata kita membaca guratan
jalan nafas dan teriak
sesama pencuri
tetangga berebut dendam dan iri
mematai dengki
mengikuti jejak ambisi
di jalanku jalan siapa saja
inginku di jalan-Nya
meraih yang terakhir kalinya

sambil menggenggam angin
kucabut ilalang yang takut
melempar kalut,
kerut,
keluh,
kesah
pada catatan waktu tak disimak
lalu jadi ombak gelisah rindu tak berumah
terlukis di wajah, tapi rupa siapa
di balik ketinggian hati ini?

II
sapa tinggal seuntai
ditanya kepada siapa-siapa
semua yang memandang bergeser
batu yang hitam kelam
kudiami jua tanah
banyaknya kelahiran dan
kemiskinan ada di mana-mana
itulah kandang kita sekarang

aku pernah mendengar orang berucap :
tangan berulang
- menggapai
- diam dalam
- tubuh,
- luluhkan teguh
- di rapuh aliran
- di sungai-sungai
- menuju muara pembawa
- kata-kataku.

III
Tuhan, jalan ciptaMu yang satu
ketika sampai bumi berakar banyak
bersatu diraut bulan bintang
duka di ombak laut dan pantai
tak selesai dieja tulisan alam
timbul tenggelam di hati
jalanMu sering dilewatkan
waktu yang dibuang dan dilupakan

kulukai waktu dunia
menimbang penawaran
sebentar lagi kematian datang
menggugat hutan pribadi
benang kusut politik kusamnya cinta
melingkar di kediaman kita
ini tanah siapa,
siapa yang merebutnya
yang selalu datang
yang kembali datang
yang sedang pulang
yang sudah bertandang
orang-orang miskin
seperti aku dihempas ombak
dalam irama pembangunan?

IV
Sesekali kurebut malam
mencariMu dalam hiruk pikuk
lelah dan tersudut
rasa terbakar jiwa tak berdaya
menempatkan waktu
di hamparan status
dikemudi kapal di pelataran kampung
anak-anak berkaki telanjang
selalu dalam catatan harian ini.

Cita, cinta dan mimpi
mencari diri mencari ilmu
melankolis di sudut-sudut hunian
mengatakan; aku mengorbankan diri
meninggalkan ketenangan kampung
membina kebinasaan di sini
menjadi perambah kaum kumuh
dalam kecamuk filosofi gneuthi setion
diri
pribadi
kepribadian
berselingkuh di sajadah
malam yang terus membuka pintunya
bergema suara di auditorium kampus
dengan membelah darat
yang meresahkan air samudera
meliarkan angin jadi puting beliung
yang telah terbuka
sulit dilewati
apalagi pintu yang tertutup
menjauhkan diri dariMu
di balik kata ucap yang pandai
memainkan kata-kata
biarkan aku diam di waktu
walau lama kunikahi.

V
Hamba tak berdaya atas diri sendiri
sebelum Kau menyuruh kembali
kutulis puisi ini
dalam bait-bait panjang
desah menatap tempat titik pendaratan
Kau telah menyuruh menulis catatan ini
untuk ditempatkan di persinggahan
untuk dibaca semua yang lewat
tapi, apa yang kubawa kehadapanMu?
agar kelak mengental sepanjang langkah
jalan di jalan bijak

kepada siapa lagi
uraian kata surat ini dikirim
di dalamnya bercerita tentang:
- abang becak
- pesta orang miskin
- keramaian kota
- ombak menampar pantai menenggelamkan perahu nelayan
- anak cucu berebut warisan sejengkal
- semua lengkap seperti FirmanMu
- lapangan kosong
- rumah tak berjendela
- halaman terbakar
rumah siapa
siapa di rumah kita
di luar sepi
(hiruk pikuk memutuskan silaturrahmi)
di gang kampung
lonceng berdentang
sampai ke pegunungan membentang
kumainkan bidak catur
rugi untung diatur
musik yang membentur
selendang penari malam
tak pernah menerima cinta
mata dan kata
waktu sudah banyak terbuang!

VI
Mataku menatap mobil-mobil mewah
pengemudi yang gagah, pemiliknya wah
menuju pemakaman umum
membangkitkan satu pertanyaan
bayangan yang berjalan
menggerakkan bibir dan selendang
penari malam tercecer
di antara ketakutan hilangnya kemiskinan
malam terus menyebarkan gelapnya
beradu tubuh di larangan parkir
Engkau saja dilupakan
apalagi kata-kata dalam tulisan ini

inikah bagian dari cinta di bumi
membuang hutan belantara
memasukkan virus-virus berbahaya?

VII
Hanya kepadamu bukan kepada siapa-siapa
bagian terpenting dari cintaku
biar mengalir sesering dikurung di hutan kamar
dilarang di barak-barak
seringnya merobek langit menguras bumi dengan perasaan
dilepas tanpa batas

kubiarkan langkah ini hanyut di kedalaman lautan terdalam
terluas di atas jagat bumi

aku berdiri dan duduk sendiri di kamar paling sepi tanpa gambar
dan lebel-lebel mufakat sepi sunyi

VIII
Kita sering tidak rela Menjalani keseharian waktu
dibentangan hamparan hati
kata berlawanan langkah bertentangan sendiri
jadi tumpuan yang rapuh gelap gulita mencekam

aku di sini melihat diri sendiri memaknai kekejian teknologi
hamba menghamba materi standar keberhasilan

di saat warna memburamkan dirinya
dimakan usia zaman berpulang ke ruang tanpa penghuni
waktu adalah uang di rindu hilangnya cinta

IX
Dan 20 surat cintaku
melayang mencari teduhnya kata-kata
ditumpukan dokumentasi
catatan yang kubagikan
dibutuhkan atau diacuhkan
dibuang pun cintaku adalah cinta
datang ditujuannya.

X
Cinta adalah kesadaran, kenyamanan dan ketenangan
di kebahagiaan pelabuhan diakhir penyatuan tubuh dan ruh
berumah tiada berbeban berpikir tiada menyindir
biarlah penenggak bir menguasai malam
dan pojok-pojok kota
(sebagian dari puisi dalam antologi 20 Surat Cinta)