Selasa, 09 Februari 2016

TOPOS, Dari Peradaban Silam




DESA tua ini berabad-abad silam namanya dikenal sebagai Topos; Kutei Topos yang ( Tapus) merupakan salah satu desa tua di daerah Lebong provinsi Bengkulu. Letaknya dekat dengan hulu Air Ketahun (Sungai Ketahun). Karena geografisnya berada di celah Bukit Barisan, Topos memiliki tanah yang subur untuk bercocok tanam, lagi pula desa Topos merupakan desa bercuaca sejuk. Akibat desa ini dikelilingi oleh hutan Bukit Barisan yang masih perawan.

Suku Rejang Asli
Desa Topos, selain desa tua – termasuk di Indonesia itu penduduknya mereupakan sukubangsa Rejang. Diperkirakan desa Topos sudah berdiri jauh sebelum zaman Ajai-Ajai memimpin Lebong, dan terus berkembang sampai saat ini. Sebagai desa tua, Topos sering didatangi untuk keperluan ziarah dan atau mengadakan acara ‘bedu-o’ (berdoa) semacam acara tradisi, dengan tujuan seperti silaturrahmi dengan keluarga tua dan garis keturunannya, membayar nazar karena sesuatu sebab.
Desa Topos sampai tahun 1970-an masih terisolir. Karena, jalan penghubung dari desa Rimbo Pengadang atau dari desa Kotadonok belum dibangun secara permanent, kendati ruas jalannya sudah ada. Seperti menuju ke desa Rimbo Pengadang. Akses ke luar masuk ke desa Topos biasanya dilakukan dengan berjalan kaki. Namun, lambat laun desa Topos berkembang pesat mengejar ketertinggalannya.
Sejak pemekaran Kabupaten Rejang Lebong jadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Rejang (kabupaten Induk), Kabupaten Kepahiang dan Kabupaten Lebong. Desa Topos dan beberapa desa sekitarnya menjadi wilayah administrative Kecamatan Tapus atau Sukanegeri dengan ibukota kecamatannya adalah Tapus. Kecamatan Tapus sendiri dibentuk pada tahun 2008.

Mata Pencaharian
Sejak zaman dulu penduduk (masyarakat) desa Topos bermata pencaharian di bidang pertanian; sawah, lading dan kebun. Yang paling terkenal hasi dari desa Topos sejak zaman dahulu kala adalah odot (tembakau). Penduduk berprofesi sebagai pedagang atau pegawai negeri jumlahnya tidak banyak. Namun, sekarang penduduk – terutama generasi muda desa Topos sudah banyak berpendidikan tinggi, menjadi pegawai negeri sipil (PNS), seperti guru atau PNS di kantor-kantor pemerintah.
Desa Topos dan masyarakatnya adalah daerah yang erat kaitannya dengan sejarah sukubangsa Rejang dan potret peradaban masyarakat masa silam dan masa kini. Karena dikelilingi hutan Bukit Barisan dengan bentangan bukit-bukit yang memanjang dan berada di pinggiran Air Ketahun. Maka, tanah Topos adalah tanah yang sangat subur.

Hubungan Ke Luar
Dari desa terisolir, namun masyarakatnya sangat makmur sampai menjadi wilayah kecamatan baru. Hubungan ke luar saat ini sangat lancar dan ramai sekali. Hanya ada satu jalan menuju ke luar desa Topos, yaitu jalan poros Topos – Rimbo Pengadang. Jalan penghubung utama itu melewati beberapa desa, seperti Bandar Agung, Suka Negeri (dulu termasuk desa Topos), Talang Baru (Tlang Balau), Talang Donok (Tlang Donok), Tanjung dan desa Bajak.
Sampai tahun 1960-an akses ke luar dari Topos yang paling dekat, termasuk belanja dan berniaga adalah ke Kotadonok melalui tebo diding (nama hutan antara Topos dan Kotadonok) dengan berjalan kaki. Namun, sekarang akses hubunga ke luar sudah lancar, jalan aspal sudah dibangun oleh pemerintah. Sehingga hubungan ke luar masuk wilayah Topos sekarang tidak ada hambatan.

Kaya Objek Wisata
Desa tua Topos sebagai desa peninggalan peradaban masa silam banyak sekali menyimpan asset wisata, baik alam maupun benda-benda atau tempat bersejarah. Jika pemerintah Lebong lebih peduli terhadap potensi pariwisata di daerah Lebong. Seharusnya desa Topos dijadikan “desa budaya’. Di Topos dan sekitarnya terdapat beberapa objek wisata alam, seperti Air Terjun Ekor Kuda (di sungai Tik Semulen), Air Terjun Sapet, Batu Bahan Rumah Pahit Lidah, Batu Balimo. (berdasarkan cerita masyarakat Topos menyebutkan Batu Balimo merupakan tempat rapat para pendiri sukubangsa Rejang. Seperti rapat menetapkan normat-norma adapt (adapt istiadat), pengembangan wilayah, persoalan pertanian dans ebagainya). Diceritakan bahwa Adat Tiang Pat Lemo Ngen Rajo ditetapkan di Batu Balemo.
Kemudian rumah-rumah tua berdiri dan berdamingan serta berhadapan adalah bagian dari potensi wisata budaya di Topos. Kini, di Topos sudah berdiri sebuah masjid berukuran besar. Dan, itu menandakan seluruh penduduk Topos – kecamatan Tapus adalah beragama Islam.

Referensi:
-    blog Kutai Topos Jurukalang
-    tulisan-tulisan Erwin Basrin
-    catatan perjalanan penulis
-    cerita lisan  

Senin, 08 Februari 2016

Kampung Tua Kotadonok




Menciptakan Pembangunan Dan Memelihara Adat Istiadat
Oleh Naim Emel Prahana

MEMANG tidak semua kampung tua itu selalu terbengkalai. Namun, kenyataannya memang banyak kampung-kampung (desa) tua terbengkalai dan terjadi kemunduran di berbagai aspek kehidupan masyarakatnya. Tentu saja faktor ekonomi menjadi persoalan klasik yang sulit dipecahkan oleh masyarakat kampung itu sendiri.
Ekonomi masyarakat mempengaruhi aspek lainnya, seperti sosial, seni budaya – adat istiadat, pendidikan, pertanian dan akhirnya faktor pembangunan kampung menjadi terhambat akibat pola pikir yang berubah drastis sebagai akibat pengaruh global teknologi informasi dan lainnya.
Salah satu kampung tua di daerah legenda Lebong provinsi Bengkulu adalah Desa Kotadonok. Kampung ini semula bernama kutei Donok (bahasa Rejang berarti kampung/desa yang berada di tengah-tengah daerah lain). Kampung itu diperkirakan sudah berdiri pada abad 7 M ketika menyimak sejarah dan asal usul masyarakat Rejang di Lebong.
Pada zaman dahulu kala, kampung-kampung di daerah Lebong satu dengan kampung lainnya mempunyai jarak yang disebut dengan sawangan. ‘Sawangan’ itu diartikan sebagai kawasan/wilayah/daerah antara suatu tempat (kampung) dengan tempat lainnya yang ada penduduknya. Berbeda dengan kata sawang yang berarti berdekatan. Misalnya dalam obrolan masyarakat tercetus kata, “ sawah pak A itu sawang dengan sawahnya pak B” dan seterusnya.

Umeak Peken
Seperti kampung lainnya, pada awal berdiri Kotadonok dapat ditelusuri melalui jenis, bentuk dan ukuran rumah penduduknya. Rumah-rumah lama di Kotadonok berada di kawasan yang sampai sekarang masih disebut umeak peken. Nama umeak peken diambil karena di daerah kampung Kotadonok itu ada kegiatan pasar (pekan) seminggu sekali. Tepatnya pada hari Rabu setiap minggunya.   
Umeak Peken Kotadonok dulunya berdiri dua bangunan besar. Bangunan pertama membujur dari Timur – Barat yang panjang bangunannya sekitar 30 – 40 meter. Sementara bangunan kedua dengan bentuk dan ukuran yang sama membujur dari Selatan – Utara.
Dalam bangunan itu dibuat lapak-lapak (meja besar) berukuran antara lebar 2 meter dan panjang sekitar 3 meter. Kemudian dalam bangunan yang terbuka (umeak peken) itu ada gang – gang tempat lalulalang para pembeli setiap hari peken (pekan) untuk membeli kebutuhan sandang dan pangan.
 Gambar: rumah-rumah panggung berusia tua
di kawasan Umeak Peken Kotadonok
(FOTO: Naim EP)
Bangunan Umeak peken Kotadonok yang pertama membujur dari Timur ke Barat itu, dulu khusus untuk para pedagang bahan lauk pauk, barang pecah belah, tembakau, peralatan pertanian, peralatan pertukangan dan lainnya. Dalam perkembangannya, bangunan pertama tersebut, di dalamnya (bagian pinggir) dibuatlah beberapa warung (kios) permanen.
Warung yang terkenal saat itu adalah Warung Makan (WR) Sudi Mampir milik keluarga Yantut dan warung milik keluarga Naif. Kedua bangunan itu dibuat di pinggir sebelah timur (wr Sudi Mampir) dan sebelah Barat adalah warung milik Naif. Sedangkan bangunan umeak peken kedua, tidak ada bangunan warung. Semuanya terdiri dari lapak-lapak (kios) terbuka yang khusus menjual sandang; kebutuhan pakaian.
Gambar: Bangunan Umeak Peken yang berusia tua
kini sudah tidak ada karena dihancurkan kemudian
di bangun sebuah SD Negeri dan dua buah rumah
penduduk (FOTO: Naim EP)

Namun, dalam perkembangan berikutnya di ujung sebelah Utara bangunan umeak peken kedua dipinjam pakai oleh keluarga Ramli (eks TNI) untuk dibangunkan rumah tokoh. Walaupun ada perjanjian khususnya dengan pemerintahan desa (kampung). Namun, sampai saat ini keluarga (alm) Ramli tidak mau pindah dari lokasi umeak peken. Akibatnya menjadi buah bibir masyarakat.
Para pedagang yang menggelar dagangannya di umeak peken Kotadonok pada umumnya adalah pedagang berasal dari suku Padang (Minangkabau) dan orang-orang Bengkulu. Sementara itu, hasil perkebunan, pertanian, perikanan dan makan ringan dijajakan di sekitar kedua bangunan umeak peken tersebut. Terutama sepanjang jalan raya Kotadonok.
Bangunan umeak peken dan kawasannya dulunya jika malam hari atau siang adalah tempat bermainnya anak-anak kampung Kotadonok usai pulang sekolah atau usai dari mengaji di rumah Ninik Bulek (Haji Abdullah).

Bangunan Dihancurkan
Sekitar tahun 1975 bangunan kedua umeak peken sudah dirubuhkan dan diganti dengan bangunan rumah penduduk yang berdampingan dengan rumah keluarga alm Ramli. Sementara bangunan umeak peken pertama akan didirikan SDN Kotadonok. Praktis dengan keadaan demikian umeak peken di Kotadonok yang dulunya megah dan sangat ramai. Sudah tidak ada lagi.
Padahal peken Kotadonok adalah satu-satunya pasar mingguan yang ada di Bermani Jurukalang. Wajar kalau hari peken suasananya ramai sekali. Para pedagang dan pembeli berdatangan dari Topos, Tlang Blau, Tlang Donok, Plabuak (Talangratu), Tes, Taba Anyar sampai Turun Lalang. Semua ke peken Kotadonok.
Sebagai kampung (desa) tua di daerah Lebong, bahkan di Bengkulu, Kotadonok banyak menyimpan peninggalan yang ada kaitannya dengan pemerintah Sumatera Bagian Selatan dan zaman kolonial Hindia Belanda. Beberapa peninggalan sejarah berbentuk bangunan rumah, antara lain:
1.      Rumah Pangeran Kotadonok
Rumah besar Pangeran Kotadonok, kediaman keluarga besar Muhammad Husin (Husen) mantan Gubernur Sumatera Selatan diperkirakan dibangun pada abad ke 17 atau 18. Letaknya berada di tengah kampung Kotadonok. Rumah tersebut menghadap ke Utara, persis di depannya Jalan Raya Kotadonok ke Muara Aman.
 Gambar: Rumah Keluarga Pangeran Kotadonok
(FOTO: Naim EP)

Rumah bercat putih berarsitektur Rejang itu sudah lama sekali tidak dihuni. Bahkan cerita dari mulut ke mulut, rumah keluarga Pangeran Kotadonok itu banyak misterinya. Rumah bersejarah itu menyatu dengan sebuah rumah bagian Baratnya dan menyatu pula dengan rumah kediaman mantan pemberang (kepala Desa) M Yusuf.


Antara tahun 1968 – 1970 rumah yang berada di tengah antara rumah keluarga pangeran Kotadonok dan M Yusuf dijadikan tempat tinggal seorang guru bernama Thamrin yang menikahi gadis desa Kotadonok bernama Rusma. Dan, rumah itu dijadikan tempat mengaji anak-anak desa. Sebelum, akhirnya guru Thamrin membuat rumah di dekat Pacua Telai (pancuran besar). Dan, akhirnya karena tugas, guru Thamrin pindah ke Kota Curup.
Rumah pangeran Kotadonok memang tidak ada yang membukanya. Rumah tersebut terdiri banyak kamar, ruang pertemuan, ruang dapur dan berdiri di atas pondasi semen. Di belakang rumah sejarah itu, sekitar 5 – 8 meter terdapat danau baru yang disebut dengan nama Tawen Blau – yang menyatu dengan Danau Tes.

2.      Rumah M Husein
Rumah peninggalan sejarah ini dibuat saat gubernur Sumatera Bagian Selatan (Bengkulu, Lampung, Jambi dan Sumatera Selatan) dijabat oleh putra asli Kotadonok, M. Husein. Lokasi rumah mantan gubernur Sumbagsel itu berada di depan rumah keluarga pangeran Kotadonok. Namun, berada di lereng tebing di seberang rumah keluarga pangeran Kotadonok.
 Gambar: Rumah Gubernur Sumatera Bagian Selatan
, M Husein di Kotadonok, Lebong (FOTO: Naim EP)

Bangunan yang terbuat dari tembok itu sudah berarsitektur modern seperti rumah-rumah para pembesar zaman tempoe doeloe. Rumah itu menghadap ke arah Selatan ke sebagian kawasan danau Tes, Bukit Barisan dan di belakang bukit itu ada kampung tua bernama Topos.

3.      Kubua Lai
Kubua Lai atau bahasa Indonesianya Makam Besar terletak tidak jauh dari Pacua Telai sekitar 150 meter – berada di belakang rumah keluarga dr Juni. Makam Besar tersebut menurut cerita dari mulut ke mulut sejak dulu merupakan makam para tokoh kampung Kotadonok (Kuteidonok). Namun, tidak ada yang tahu persis, siapa yang dimakamkan di Makam besar itu. Karena, tidak ada batu nisan. Hanya berupa tanah gundukan berdiamter cukup besar.
Di makam Besar itu sering sekali orang berziarah – merekapun tidak tahu persis siapa yang dikuburkan dalam Makam Besar Kotadonok itu.

4.      Pacua Telai
Desa Kotadonok yang panjangnya sekitar 6 kilometer itu banyak sekali ditemukan air sungai kecil, yang disebut Bioa Tik (Air Kecil). Ada dua sungai besar, yaitu Bioa Tiket dan Bioa Tamang. Selebihnya hanya Bioa Tik, salah satunya adalah Bioa Tik yang berada di deket Umeak Peken Kotadonok.
Gambar: Pacua Telai (tidak nampak) tidak jauh
dari warung Amin (yang ada spanduknya itu)
(FOTO: Naim EP)
Konon cerita, di Bioa Tik itu sejak zaman pangeran Kotadonok sudah dibangun tempat permainan umum yang disebut Pacua Telai (Pancuran besar). Pacua Telai berupa tempat mandi yang dibuat dari semen terdiri dari dua ruang. Ruang mandi sebelah Barat untuk kaum pria dan ruang mandi sebelah Timur untuk kaum perempaun. Kedua ruang itu dibatasi oleh tembok setinggi 2 meter.
Setiap pagi dan sore jika kita berkunjung ke Desa Kotadonok dapat melihat warga setempat mendatangi Pacua Telai, untuk mandi dan mencuci pakaian. Airnya memang jernih karena berasal dari atas pegunungan.

5.      Meriam dan Peluru Besi di Tepat Taukem
Daerah kramat ini disebut oleh masyarakat Kotadonok, Lebong dengan nama Tepat Taukem (Kramat Taukem – Rukam). Letaknya di atas bukit jalan raya antara Kotadonok dan Tes. Posisi Tepat Taukem ini persis menghadap ke Danau Tes.
Hal itu, ada kemungkinan besar berkaitan dengan sejarah asal usul suku bangsa Rejang di Lebong. Di daerah itu berdasarkan sejarah adalah pusat kerajaan Bermani.
Sayangnya, lokasi Tepat Taukem tidak terurus. Termasuk peninggal meriam besi kuno dan pelurunya. Mungkin, perlu perhatian pemerintah Kabupaten Lebong untuk menganggarkan dalam APBD anggaran perawatan dan pemeliharaan peninggalan sejarah yang tersebar di daerah Lebong.
Konon ceritanya di Tepat Taukem itu, soal peluru meriam berbentuk besi bundar itu sangat misteri. Bagi anak yang dilahirkan karena hamil sebelum nikah atau bahasa Rejangnya anok haram. Peluru besi tak bisa diangkat. Tapi, bagi mereka yang bukan masuk anok haram, peluru besi itu tidaklah terlalu berat untuk digenggam dan diangkat.

6.      Tlapok Kramat
Tlapok Kramat (telapak sakti) itu berupa bekas telapak kaki berukuran besar di lereng Tebo Diding seberang Desa Kotadonok atau di jalan menuju ke Topos pada zaman dulu. (jalan kaki).
Bekas telapak kaki tersebut diduga adalah bekas telapak kaki seorang raja tempoe doeloe, apakah dari Juru Kalang atau dari Bermani atau dari daerah lainnya. Bekas telapak itu memang tidak ditumbuhi rumput. Disitulah keanehannya. Semua warga di Kotadonok dan sekitar desa Kotadonok percaya kalau bekas telapak kaki besar yang masih ada sekarang ini adalah bekas telapak kaki orang sakti zaman dulu.

Di samping peninggalan sejarah itu, di Kotadonok banyak sekali cerita misteri, seperti Dung Ulau Tujuak, Butau Gesea, Smat belkat, Siamang Bioa, Sebei Seblekeu, kan mas lai, buwai kotong dan sebagainya.

Desa (Kampung) Kotadonok perlu direhabilitasi dengan pembangunan infrastrukturnya dengan memelihara adat istiadatnya yang termasuk adat istiadat sukubangsa Rejang. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? (Naim Emel Prahana)

Minggu, 07 Februari 2016

Butau Gesea



Mitos Rakyat Rejang Di Lebong
Danau Tes dan sekitarnya serta masyarakat di Kotadonok, Lebong mempunyai cerita yang cukup banyak. Mulai dari legenda, mitologi, misteri dan peninggalan zaman purbakala, baik berupa megalitik maupun sisa-sisa sejarah masyarakat Rejang tempoe doeloe yang masih terbengkalai. Tapi, sangat diketahui oleh masyarakatnya. Salah satu adalah Butau Gesea (batu hampir atau nyaris, red). Kenapa dinamakan Butau Gesea?
Karena posisi batu yang permukaannya sekira lebar dan panjang satu meter kali dua meter itu sangat aneh. Batu yang besarnya (secara ukuran umum) mencapai sebesar mobil kijang kapsul lebih sedikit itu, kelihatannya hanya menempel sekian sentimeter saja bagiannya yang tertanam di tanah. Padahal, batu itu berada di lereng bukit yang terletak di Teluk Lem. Letak Butau Gesea berada beberapa meter di atas Srawung Dung Ulau Tujuak (gua ular kepala tujuh) yang terkenal itu. 
Letak persisnya bila di horizontalkan dari seberang Teluk Lem (Teluk Dalam) berada di seberang Pondok Lucuk (Rumah Runcing) tempat wisata di Kotadonok Kecamatan Lebong Selatan. Walaupun ukuran permukaan Butau Gesea itu tidak lebar dan normalnya hanya bisa muat sekitar maksimal enam orang duduk bersila. Tapi, kenyataannya permukaan batu itu mampu memuat lebih dari 20 orang di atasnya, tanpa berdesak-desakan. Itulah keanehan kalau tidak boleh kita menyebutkan suatu keajaiban. Biasanya, banyak orang berziarah ke Butau Gesea itu, terutama dari kalangan orang rejang yang tinggal di luar Lebong dan masyarakat dari etnis Tionghoa.
Cerita persisnya memang tidak ada. Tapi, semua masyarakat di sekitar Danau Tes, baik di Kotadonok, Tlang Ratau, Topos, Tlang Blau, Tanjung, Tabeak (Taba Anyar), Tran Tinging (Turan Tiging), Mubai, Tran Lalang (Turan Lalang) dan lainnya sangat mengenal cerita Butau Gesea. Masyarakat di Kotadonok mempercayai kalau Butau Gesea itu bukan batu sembarangan dan mempunyai nilai magisnya, apalagi di bawahnya di Teluk Lem di Danau Tes itu terdapat goa ular kepala tujuh yang cerita mitos maupun legendanya sangat tersohor ke berbagai pelosok. Selain itu, ada cerita lain di Teluk Lem itu, yaitu sering munculnya ikan mas besar berukuran sekitar lebar dan panjang tikea purun (tikar, red). 
Menurut ceritanya, jika ikan itu muncul dan terlihat oleh seseorang atau beberapa orang, dipercayai alamatnya adalah Danau Tes minta korban atau ada orang yang akan meninggal dalam waktu dekat di sekitar danau itu. Bahkan, sering berubah wujud menjadi sebatang kayu besar tanpa ujung ( sangat panjang ), ada pula yang mempercayainya sebagai perubahan wujud dari ular kepala tujuh itu sendiri. Jika Butau gesea itu dikelola oleh pemerintah dan dijadikan salah satu objek wisata, akan mendatangkan pendapatan daerah yang cukup besar, terutama mendatangkan pendapatan bagi masyarakat sekitarnya. Sampai saat ini, belum ada yang berani mengambil foto Butau Gesea itu. Sehingga dokumen fotonya masih kosong. Butau gesea itu nyata keberadaannya, bisa dilihat dengan mata dan bisa diraba. 
Di lokasi lain, di Tempat Taukem (Keramat Rukam) dulunya diyakini sebagai pusat salah satu kerajaan di Lebong terdapat pula benda purbakala berupa meriam besi dan peluru besinya berbentuk bundar sebesar kelapa. Masyarakat di Lebong sangat percaya kalau anak hasil zina yang datang ke sana dan mencoba mengangkat peluru besi itu. Pasti tidak akan bisa mengangkatnya. Tapi, kalau orang biasa (bukan anak hasil zina,red), besi peluru itu dengan gampang bisa diangkat. Peninggalan itu, saat ini masih ada dan berada di bukit sebelah kiri jalan menuju tes dari Kotadonok yang sekarang sudah ditumbuhi hutan pinus yang lebat. Bioa Tebet di dalam kamus lisan masyarakat Rejang, nama Danau Tes jarang dipergunakan, bahkan masih asing di telinga warga masyarakat khususnya masyarakat di Topos, Tlang Blau, Tanjung, Rimbo Pengadang, Bioa Sengok (Air Dingin), Tlang Ratau, Kotadonok, Tes, Taba Anyar, Turun Tiging, Mubai dan Turun Lalang.
Masyarakat Rejang di Lebong dan masyarakat Rejang di daerah lain hanya mengenal akrab nama Bioa Tebet. Nama Bioa Tebet (Bioa berarti air, sungai, kali dan tebet berarti dibendung, dam atau aliran sungai yang sengaja ditutup dengan maksud air aliran airnya bisa tergenang, kolam). Oleh karenanya, dalam bahasa Rejang mengenai ‘tebet’ ada tingkatannya. Misalnya tebet titik (bendungan atau kolam kecil), tebet lai (bendungan atau kolam besar). Tentang nama Bioa Tebet untuk Danau Tes dalam bahasa Indonesianya erat kaitannya cerita rakyat Rejang tentang Si Pahit Lidah (sering juga disebut dengan Si Lidah Pahit). 
Konon cerita, Bioa Tebet (Danau Tes) merupakan danau buatan secara sengaja dilakukan si Pahit Lidah dikarenakan kemarahannya atas tipu daya masyarakat Kota Donok terhadap dirinya. Sebenarnya masyarakat Kota Donok tidak menipu Si Pahit Lidah, melainkan untuk mencegah pekerjaan Si Pahit Lidah mencangkul kawasan di seberang Dusun Tes (dusun berarti desa dalam pemahaman orang Rejang). Kawasan yang dicangkul Si Pahit Lidah itu mulai dari Ujung Semapak pelabuhan perahu masyarakat Kotadonok dan kawasan wisata di Desa Kotadonok sampai Baten Daet seberang Tes, Taba Anyar dan Turun Tiging. Karena kekhawatiran masyarakat Kotadonok akan pekerjaan Si Pahit Lidah yang nantinya akan menenggelamkan desa mereka. Maka sepakatlah para anggota masyarakat dalam komunitas pengurus Kutei (Kutai, Desa) untuk bagaimana mencegah pekerjaan Si Pahit Lidah itu. Kalau dicegah dengan kasar, masyarakat takut akibatnya. Dicarilah solusi, sehingga Si Pahit Lidah mau menghentikan pekerjaannya itu. Solusi itu adalah dengan mengabarkan bahwa anak Si Pahit Lidah meninggal dunia.
Tentu saja kabar itu tidak dipercayai oleh Si Pahit Lidah. Akan tetapi, karena keuletan utusan dari masyarakat Kota Donok menyampaikan pesan kepada Si Pahit Lidah, akhirnya terucaplah kata dari mulutnya, “Anakku mati ya!”. Tentu saja, ucapan itu menjadi kenyataan dan sadar akan ucapannya yang pahit itu, Si Pahit Lidah marah kepada masyarakatnya. Kemarahannya itu ia lampiaskan dengan mengayunkan cangkulnya, lalu tanah yang ia cangkul dilemparkan ke aliran Bioa Tawen (Air Ketahun) di dekat Desa Tes. Tentu saja aliran sungai itu tertutup dan airnya tergenang. Itulah singkat cerita terjadinya Bioa Tebet (Danau Tes) yang merupakan danau terbesar di provinsi Bengkulu. 
Kawasan- Kawasan di Danau Tes Di Bioa Tebet itu, terdiri dari beberapa kawasan yang sangat dikenal oleh masyarakat Rejang. Kawasan- kawasan itu sebagai berikut: Pertama, Kawasan Teluk Lem Kawasan Teluk Lem oleh masyarakat dipercayai mempunyai cerita misteri yang angker. Karena, di situ ada gua yang konon dijadikan rumah Ular Kepala Tujuh. Letaknya berada di seberang areal wisata Pondok Lucuk. Di Teluk Lem, juga ada batu yang penuh keajaiban yang disebut dengan Butau Gesea (Batu hampir jatuh)
kedua, Jungut Benei Jungut Benei atau Tanjung Pasir merupakan pulau kecil dengan permukaannya hanya pasir. Pulau kecil itu tidak begitu besar dan letaknya berada di muara aliran Air Ketahun dengan Danau Tes (Bioa Tebet). Untuk mencapai Jungut Benei bisa dilakukan dengan naik perahu atau jalan kaki dari Tlang Macang terus ke Tanjung dan sampailah di Jungut Benei. 
Di Jungut Benei biasanya dimanfaatkan oleh satwa burung, seperti Blibis, dan burung sawah lainnya dan bagi masyarakat yang suka mencari ikan, Jungut Benei sering dijadikan tempat istirahat. Begitu pula bagi anak-anak atau remaja, dimanfaatkan untuk mencari ikan dan menjerat burung atau tempat bermain yang mengasyikkan. Apalagi di musim kemarau. Jungut Benei dikelilingi Bioa Tebet, Tawen Blau, dan Bioa Ketawen. Di daratannya ditumbuhi rumput selet (sejenis rumput yang tajam dan biasanya untuk makanan kerbau), pun dak (pohon dadak), peak (bambu air), bakung (enceng gondok) dan pun sagau (pohon rumbia). Dari Jungut Benei kita bisa memandang lepas ke arah Danau Tes sejauh mata memandang, dapat melihat bagaimana komposisi rumah- rumah penduduk di Desa Kotadonok dan Sukasari. Termasuk alam pegunungan di sekitarnya. Mengasyikkan sekali.
Gambar: Teluk Lem Daneu Tes

Ketiga, Bioa Tamang merupakan kawasan di muara Bioa Tamang yang berada di paling ujung rumah penduduk Desa Kotadonok (bukan ujung wilayah desa). Di kawasan ini, selain tempat masyarakat mencari ikan, ada jalan raya ke arah Tes yang mendaki. Seperti pendakian Tarahan di Lampung Selatan, Lampung. Daerah pendakian Bioa Tamang dulu terkenal angker, beberapa kejadian mobil yang terjun ke Danau Tes. Sekarang, nampaknya keangkeran daerah itu sudah jarang dibicarakan, karena, masyarakat di desa Kotadonok masih mempercayai bahwa kalau berada di sekitar Danau Tes jangan bicara Takabur. Keempat, Muara Bioa Putiak kawasan ini berada di wilayah Desa Tes yang terdiri dari hutan Peak (bambu air) dan rawa. Di daerah ini, juga sangat subur untuk lahan pertanian padi sawah. Jika melintasi kawasan ini, dapat dilihat areal persawahan penduduk Kotadonok dan Tes. Di muara Bioa Putiak itulah konon cerita adanya Siamang Bioa yang suka menganggu penduduk naik perahu di kawasan muara sungai tersebut.
Kelima, Jungut Mutung kawasan Jungut Mutung itu berada di seberang pulau pasit atau dikenal dengan Jungut Benei. Daerah itu masih menyatu dengan kawasan Teluk Buluak yang dianggap masih angker karena beberapa satwa liar yang berada di kawasan tersebut. 
Jungut Mutung merupakan pinggir Danau Tes yang sedikit menjorok ke tengah dan tanahnya terlihat merah. Pinggiran Jungut Mutung itu sering dimanfaatkan penduduk untuk mencari ikan, terutama di malam hari. Keenam, Tawen Blau Tawen Blau merupakan anak Danau Tes yang berada di kaki Desa Kotadonok. Air Tawen Blau selalu berwarna kuning, sekelilingnya dipenuhi tumbuhan rawa atau air seperti pohon peak, rumbia dan di Tawen Blau itu tempat bermuaranya beberapa anak sungai atau setidak-tidaknya empat anak Sungai, di antaranya Bioa Pacua Telai, Bioa Ujung Semapak dan lainnya (belum diketahui namanya, hanya orang menyebut bioa tik (air atau sungai kecil). Konon cerita di kawasan Tawen Blau ada seekor binatang yang menunggu, yaitu Buai Kotong (buaya yang ekornya putus). 
Buaya itu dipercayai bersarang di bawah pepohonan peak yang berada di kawasan kuburan umum desa Kotadonok. Ketujuh, Ujung Semapak Ujung Semapak boleh jadi sebagai kawasan pelabuhan (untuk perahu) masyarakat Kota Donok yang memanfaatkan potensi Danau Tes. Rumah-rumah penduduknya sebagian berada di atas permukaan air Danau Tes yang ada di pinggiran. Berupa rumah- rumah bertiang tinggi. Di Ujung Semapak itu setiap pagi atau sore dapat dilihat puluhan bahkan lebih perahu yang ditambatkan, juga jaring-jaring yang dijemur atau peralatan penagkapan ikan lainnya milik warga dijemur di pinggir air Danau Tes.

Y-Brigade



Opgericht            : 15-06-1946 te Leeuwarden
Vertrek Indië     : 20-02-1947 a/b "Kota Inten"
Aankomst Indië                : 26-03-1947 Batavia
Toegevoegd aan:T.T.C. Zuid-Sumatra
Ingedeeld bij     : Y-Brigade
Actiegebied(en):  Praboemoelih, Lahat, Pendoppo, Tebing-Tinggi, Benkoelen
Commandant    : Kapt. Kampman   15-06-1946/-11-194,  Kapt. K. de Boer -11-194/1948, Kapt.B.
Warner -1948/07-03-1950
Gerepatrieerd   : 06-02-1950 a/b "Atlantis", 07-03-1950 aankomst Amsterdam
Omgekomen     : 3 man
De AAT viel onder de Verpleging en Transportdienst (VTD). De centrale leiding berustte bij het directoraat van de VTD. De regionale leiding was in handen van de Territoriaal Verpleging en Transportofficier (TVTO). De leiding bij de eenheden berustte bij de verpleging en transportofficier (VTO) van de AAT. 16 AAT, gevormd uit OVW'ers, bestond uit vijf pelotons t.w. 1 stafpeloton, 1 werkplaatspeloton en 3 transportpelotons. In het stafpeloton waren o.a. ondergebracht, de fourier, betaalmeester, koks, motorordonnansen, administratie en het transpportbureau, waar de transportofficieren alle transporten regelden en de verantwoording hadden van de BOS Het werkplaatspeloton verzorgde alle reparaties en het onderhoud aan de voertuigen. De transportpelotons werden voornamelijk ingezet in het 2e lijntransport. Dit hield in, het transport van levensmiddelen, munitie, brandhout, bouwmaterialen, BOS-producten etc. van de Verbruiks en Levensmiddelen magazijnen (V.L.M.n.) naar de aanvullingplaatsen en voor het transport van de troep bij acties en andere verplaatsingen. Dit werk was beslist niet zonder gevaar. Voortdurend was er de dreiging van sluipschutters of voor mijnen en 'trekbommen'.
Na aankomst te Batavia werd 16 AAT gelegerd in het Transitcamp  bij Tandjong Priok. Op 3 en 6 april werd 16 AAT overgebracht naar Palembang op Zuid Sumatra. In Batavia bleven 120 man achter. Hiervan werden ongeveer 70 man ingedeeld bij 4 AAT (G-peloton). De overigen werden ingedeeld bij de 7 Dec.Divisie. In Palembang werd 16 AAT, dat bestond uit het stafpeloton, het werkplaatspeloton en het A-peloton, gelegerd te Charitas en de kampong Kebon Doekoe. Het in Palembang gelegerde 24 AAT, bestaande uit KL en KNIL, werd als B-peloton toegevoegd. Het materiaal van het A-peloton bestond uit enkele oude "Jappenwagens", een waterwagen en een 15cwt. De werkplaats beschikte over weinig middelen en gereedschappen. Geleidelijk kreeg 16 AAT meer en betere wagens en middelen tot haar beschikking.  Op 5 juni arriveerden de 50 man ex 7 Dec.Divisie te Palembang en vormden het C-peloton. Op 28 juni werd het C-peloton op voertuigen van de M.T.D in groepen gedetacheerd bij diverse onderdelen. Op 20 juli werd op de zuidoever van de Moesi te Bagoes Koening het B-depot AAT opgericht. Te Palembang werd het A-depot AAT opgericht.

Tijdens de 1e politionele actie, op 21 juli 1947, was 16 AAT ingedeeld bij de aanvalscolonnes naar o.a. Praboemoelih en Lahat. Na de 1e politionele actie hervatte 16 AAT weer haar normale werk. Op 22 augustus werd de spoorbrug op het traject van Praboemoelih naar Moeara Enim vernield, waarna 16 AAT de bevoorrading voor M. Enim verzorgde. Uit het A en B-depot AAT werden 35 man onttrokken en werd het C-depot opgericht te M. Enim. Tussen 23 en 25 september arriveerde het G-peloton te Palembang en loste het de voor het grootste deel bij het B-peloton verblijvende mannen van 24 AAT af. Het A, B en C-depot werden opgeheven. Het nieuw gevormde B-peloton werd gelegerd te Praboemoelih, Bagoes Koening en Palembang. Het A-peloton was geheel gelegerd in Palembang. Geregeld werden er secties tijdelijk gedetacheerd bij de infanterie zoals o.a. te Rasowan, Lahat, Sekajoe, Pendoppo en Karang Waroe. Tijdens de 2e politionele actie, op 30 december 1948, trok 16 AAT mee op naar Tebing Tinggi  en Benkoelen. Na de actie was 16 AAT o.a. gedetacheerd te Loeboek Linggau, Tjoeroep, Kepahiang en Pagaralam. In dit gebied bleef 16 AAT gelegerd tot aan de repatriëring.

Pidana Politik Dalam Sinetron Klasik Indonesia


Oleh Naim Emel Prahana

ANDAIKAN Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkejut mendengar putusan majelis hakim tentang vonis terhadap Gayus ’makelar’ Tambunan dengan pidana 7 tahun dan denda Rp 350 juta. Maka, hampir seluruh rakyat Indonesia tidak terkejut sama sekali. Sebab, sudah lama diduga akan berakhir seperti itu, walau masih banyak kasus Gayus lainnya menunggu giliran diputar di stasiun-stasiun televisi swasta di Indonesia bak serial sinetron.

Seagai pemeran utama dalam film drama hukum, Gayus Tambunan merupakan pemain kontroversial. Karena naskah drama yang ditulis sutradaranya atau penulis naskahnya banyak yang tidak sesuai dengan adegan-adegan yang diputar selama proses penyidikan dan proses persidangan kasus makelar pajak itu. Sebagai pemain utama, Gayus patut diacung jempol. Penampilannya yang dingin, ceria dan lincah memaksa banyak pemirsa mematikan chanel televisinya ketika sinetron Gayus Tambunan diputar.

Film sinetron Gayus mengandung item-item keuangan negara itu, mampu menghipnotiskan ratusan juta rakyat Indonesia dengan jumlah uang yang ia peroleh serta jumlah aset Gayus yang tersebar di banyak tempat dengan aneka ragam usahanya. Nilainya ratusan miliar rupiah. Bukankah nilai yang sangat fantastis untuk PNS golongan III seperti Gayus itu?

Namun, dalam sinetron atau film di Indonesia, tidak ada yang kontroversial, semua bisa dibuat sedemikian rupa. Walaupun tidak didukung oleh teknis pembuatan film yang memadai. Artinya masih kasar betul. Akan tetapi, cara melakukan perbuatan yang kasat mata itu pun tidak mampu dideteksi secara baik oleh sistem penegakan hukum Indonesia dan tidak mampu diterjemahkan ke dalam ranah hukum secara murni oleh aparat penegak hukum.

Film sinetron Gayus itu mempunyai durasi yang cukup panjang dan melelahkan bagi pemirsa yang menontonnya. Pasalnya, Gayus begitu hebat tampil di depan publik sebagai ciri-ciri orang yang mempunyai uang banyak. Kita dapat melihat sosok yang sama seperti yang ditampilkan oleh Anggodo Widjaya, Arthalina Suryani alias Ayin, Aulia Pohan (besan SBY) dan kasus hukum lainnya yang punya nilai tersendiri dalam kancah penegakan hukum di Indonesia.

Sangat beralasan jika banyak yang mengusulkan secara bercanda, agar Gayus Tambunan diangkat saja menjadi salah satu Menteri di Kabinet Indonesia Bersatu ke II atau ke III. Dengan diangkat Gayus sebagai Menteri, maka diproyeksikan Gayus mampu menggali potensi pajak. Baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dan, sinetron Gayus Tambunan pasti akan berakhir, sebgaimana kasus Bank Century—yang untuk diperbincangkan saja di tingkat Pansus DPR-RI sudah menelan biaya sekitar seratus miliar rupiah.

Prototype Gays di depan publik, lagi-lagi luar biasa. Dengan gagah dan tegar, sorot matanya tajam menatap para aparat penegak hukum dan siapa saja yang ditatapnya menunjukkan bahwa Gayus sudah mampu membaca proses penegakan hukum di Indonesia. Artinya ia mampu melihat, semua kasus akan bisa diakhir dengan uang dan politik ”adu domba”.

Tim juri lomba sinetron ketika menilai serial sinetron Gayus Tambunan masing-masing terpana melihat alur cerita sinetron Gayus itu. Apalagi ketika dihadapkan dengan Gayus Tambunan. Deretan bayangan uang miliaran rupiah di sekeling Gayus membuat tim juri (aparat penegak hukum) silau. Sulit mengeluarkan kata-kata hati hukumnya, sulit mengatakan kebenaran yang seadil-adilnya, sulit untuk memutuskan sanksi apa yang harus diberikan kepada pemeran utama sinetron Gayus Tambunan itu. ”Berharap, berharap, berharap dan banyak berharap!” kepada Gayus.

Gayus sudah pasti menjadi pahlawan bagi para koruptor di Indonesia, terutama yang belum tersentuh oleh sentilan hukum. Dan, Gayss pun mampu mengobok-obok ranah politik. Ia mampu memainkan peran sebagai gladiator politik dan kemampuannya untuk memasukkan kasus hukumnya ke dalam ranah politik. Bukankah itu luar biasa? Gayus sudah menjadi milyader baru di Indonesia, tanpa berusaha keras ternyata orang Indonesia mampu mengeruk keuntungan luar biasa. Itulah Gayus dan Gayus lainnya di Indonesia.

Mungkinkah sinetron hukum Gayus Tambunan akan memperoleh award diajang film Internasional? Yang mampu membuktikan bahwa Indonesia benar-benar negara terkorup di dunia dan hukumnya dapat diatur sedemikian rupa, yang penting ada uang. Maka, vonis 7 tahun bagi pemeran utama kasus ”makelar kasus” Gayus Tambunan tidak ada artinya jika dibandingkan harta kekayaan Gayus yang gemah ripah loh jinawi itu.

Jika ia ke luar dari pemnjara, maka Gayus tetap berleha-leha. Ia akan mencalonkan dirinya sebagai anggota legislatif tahun 2014, atau ia akan menjadi calon gubernur suatu daerah miskin di Indonesia atau belum ke luar dari penjara ia suah ditawari kedudukan sebagai staf akhli presiden SBY. Di Indonesia tidak ada yang tidak bisa diatur.

Aktor Sang Aktor GayusT



 Oleh Naim Emel Prahana*

SANG Aktor terpopuler sepanjang tahun 2010 sampai sekarang tidak ada pilihan lain, kecuali jatuh ke sosok Gayus Tambunan. PNS yang bekerja di Ditjen Pajak di Jakarta yang mampu menambah kemelut dan krisis perekonomian dan politik maupun penegakan hukum di Indonesia. Sejauhmana kehebatan Gayus Tambunan (GayusT) di antara 250 juta penduduk negeri ini?

Sebagai seorang aktor dalam film Markus. GayusT bukan hanya aktor berdarah dingin, tetapi ia juga mampu bertindak sebagai aktor yang memainkan peran politik di tengah kasus-kasus hukum yang melilitnya, bahkan melibatkan para tokoh untuk berdiri di belakangnya. Tidak banyak resep yang dipakai GayusT. Simple, sederhana dan psikologis.

Pengalaman GayusT ketika filmnya diputar di Pengadilan Negeri Tangerang (PN) membuatnya lebih pintar 100 X dari potensi dasar yang ada dalam diri GayusT. Ia memungsikan semua otaknya, kiri dan kanan berfungsi dengan baik. Semuanya terbangkit ketika ia mampu mengeruk keuntungan luar biasa dari statusnya sebagai mediator alias makelar kasus (Markus).

Kemudian, GayusT berupaya, berusaha dan nyatanya berhasil menyuap hakim di PN Tangerang dan ia lolos. Rangakaian penyuapannya, tidak hanya di majelis hakim PN Tangerang, akan tetapi ia meruntuhkan idealisme beberapa polisi di Mabes Polri Jakarta. Semuanya berhasil dengan baik. GayusT kembali beroperasi tanpa gangguan apapun. Sebab prinsip pemeliharaan orang miskin di Mabes Polri menjadikan ia lebih didominasi oleh karakter penjahat ’koruptor’ kelas megametropolis.

Sang aktor GayusT telah merubah perjalanan penegakan hukum di Indonesia. Kendati secara sepakat nasional pembuktian terbalik dalam penegakan hukum sudah mulai diterapkan. Namun, GayusT menjadi tokoh dalam sinetro berjudul ”Hukum Pidana Indonesia”. Siapa sutradaranya, siapa editornya, siapa pengisi suaranya, siapa dan siapa di balik melankolisnya penegakan hukum di Indonesia.

Memang berbeda antara aktor dengan figuran. Bukan hanya soal honor, tetapi pelayanan pun begitu berbeda, sampai-sampai penampilan karakter sang aktor dengan figuran. Jauh-jauh sekali berbeda. Perbedaan terakhir terjadi, manakala vonis majelis hakim terhadap sang aktor yang memiliki harta kekayaan mencapai ratusan miliar dengan figuran yang hanya memiliki gubuk reyot dengan susah payahnya mencari makan dan minum.

Itu suatu kewajaran. Di mana jika kita punya kedudukan atau harta benda yang melimpah, apapun bisa dilakukan. Apapun dapat dijungkir balikkan dengan polesan para pemburu harta kekayaan yang mungkin terdiri dari jaksa, hakim, pengacara atau siapa sih yang ada di belakang sang aktor. Apakah benar seorang sutradara kaliber kelas internasional? Semua bisa terjadi di sini, jangan heran. Seorang bupati saja yang jelas-jelas sudah ditetapkansebagai tersangka, kemudian dinaikkan grid statusnya menjadi terdakwa, kemudian dinonaktifkan oleh Mendagri dari jabatannya. Itu pun masih dapay merlolooskan diri dengan terbahak-bahak sambil menginjhak-injak KUHP dan hukum lainnya. Atau seorang tokoh swastawan yang memiliki harta kekayaan yang banyak, royal kepada siapapun, juga mampu menjungkir-balikkan ’korban’nya. Padahal, korbannya itu yang harus dimenangkan oleh pengadilan. Tapi, apa yang tidak bisa dijungkir-balikkan di Indoensia.

Sang aktor rupanya berkaitan dengan banyak pimpinan Nasional, sampai-sampai heboh vonis 7 tahun diupayakan untuk pengalihan perhatian publik dengan 7 tahun gaji presiden tidak naik-naik!!

Sayang memang, kenapa sistem penjajahan masih dianut di Indonesia. Media dunia maya yang telah mendongkrak populeritas teraniayai korban Rumah Sakit Internasional OMNI via facebook. Ternyata, kini sudah mampu dihadang oleh penguasa dan pengusaha. Sehingga teriakan-terikan seperti ”Kami Tidak Setuju Aset Negara Dijual Kepada Asing”, atau ’Raport SBY yang Selalu Merah” dan seterusnya itu, sekarang hanyalah ocehan belaka. Tidak ada makna, gaung atau perhatian dari sipapaun, selain jadi guyonan antar facebookers.

Populer dengan cara tidak populer belakangan ini sering menjadi acuan oknum-oknum yang tidak mempunyai jiwa nasionalisme yang kental. Tidak pernah menyanyikan lagu Indonesia Raya, kecuali menghitung uang dan harta kekayaan dengan para kroni, sindikat dan depcolectornya.

Jika sang aktor GayusT dengan timbunan pidana yang luar biasa hanya divonis 7 tahun. Niscaya Gayus-GayusT lainnya akan muncul dan akan menjadi berani lebih berani lagi. Sebab, mereka akan beralasan, bahwa GayusT yang kesalahannya mencakup Sabang sampai Merauke, kenapa kami tidak bolh melakukan hal yang sama? Itulah yang disebut dengan preseden buruk vonis terhadap sang aktor GayusT.

Hal itu akan berbeda dengan vonis pencuri sendal jepit yang rata-rata di atas 12 bulan. Padahal, harga sebuah sendal jepit, atau seekor ayam, sebuah semangka, satu tandan pisang atau satu langkah memasuki ruah pengusaha bagi rakyat kecil. Pasti dan pasti vonisnya akan lebih berat daripada sang aktor GayusT.

Aktor lainnya dalam dunia film atau sinetron, juga sama dengan sang aktor GayusT. Masalah narkoba, hukumannya hanya beberapa bulan. Paahal, jika seorang penganggur yang mengedarkan 1 butir ineks, hukumannya bisa 18 bulan. Astaqfirullahal adzim.

Hukum pidana untuk sang aktor ternyata lebih manusiawi dibandingkan dengan hukum pidana untuk para figuran (rakyat biasa). Di mana letak perbedaaannya? Ya, tentu ada pada banyak atau tidaknya harta kekayaan yang dimiliki para pemain sinetron itu. Sendiri. Jika kita tak punya harta benda yang bisa dibagi-bagikan pada saat terlilit kasus, maka janganlah membuat langkah-langkah yang menjadi jebakan untuk memasuki pintu penjara. Tapi, jangan takut penjara atau sekarang namanya Lembaga Pemasyarakatan (LP/Lapas), sudah bukan rumah yang menakutkan. Tetapi menjadi rumah yang menyenangkan. Kapan mau ke luar, berikan uang, kapan mau berdagang narkoba, banyak-banyaklah upeti dengan petugas LP atau kalau mau kabur, tinggal atur waktunya dengan penjaga LP. Lengkap kan peranan sang aktor dalam penegakan hukum di Indonesia? . (penulis penikmat masalah sosial dan budaya)

“Sumpah Timah dan Air Panas” Syirik Modern Terkutuk


Oleh Naim Emel Prahana

BILA dikatakan sekarang manusia semakin maju, berpikir dan berkehidupan. Ternyata benar! Tetapi, di balik kemajuan yang dicapai itu, ternyata manusia disaat ini semakin mundur pola pikirkannya tentang kehidupan itu sendiri. Sudah tahu tetapi pura-pura tidak tahu, sudah beragama tetapi msih berbuat dosa dan melanggar norma-norma agama. Yang terdekat yang sering dilakukan adalah perbuatan syirik, pengkianatan terhadap hati nurani, pengingkaran janji dan sumpah. Dan, melawan kodrat alam, termasuk merekayasa firman-firman Allah dan sunah-sunah Rasul-Nya.

Sebenarnya kita tidak bingung menghadapi fenomena demikian. Membaca dan mehamai Alquran telah memberikan petunjuk kepada kita tentang mbalelonya manusia, pengkhianatan, pengingkaran dan perekayasaan manusia terhadap perbuatan-perbuatannya. Boleh jadi hal itu terjadi setiap hari di lingkungan kehidupan kita saat ini. Seorang pejabat yang sudah bergelar haji, bahkan sudah beberapa kali naik haji menuntaskan pelaksanaan rukun Islam pada dirinya. Ternyata dengan wajah tanpa dosa, dengan kata-kata tanpa menyesal, masih sering melakukan sumpah atas nama Tuhan ketika ia membela perbuatan korupsinya, perbuatan penyelewengan tugasnya dan perbuatan amoral, asosial dan anti kejujurannya.

Kenap asih masih demikian, sedangkan predikat, status dan harta kekayaan sudah digenggam semua. Seperti halnya banyak insan pendidikan alias guru yang berbuat tidak senonoh. Pengertian, pemahaman dan penyadaran diri terhadap predikatnya sebagai guru, dibuang begitu saja, ketika nasfu birahainya memuncak. Selalu memerankan tokoh yang antigonis (berlawanan). Betapa banyaknya seorang guru pria menjalin hubungan gelap dengan guru perempuan yang diperoleh dengan cara-cara tidak normal, yaitu menggunakan—meanfaatkan jasa dukun, paranormal ata “orang pinter”.

Semua yang dilakukannya itu, hanya ingin mendapatkan seorang guru wanita yang sudah punya suami. Astaqfirullahalazim. Apa yang dikenal sepanjang masa tentang guru adalah orang yang patut—pantas ditiru, digugu, dirindukan perbuatannya di tengah kehidupan. Ternyata, sekarang sudah tidak pernah terlihat lagi. Bermain dengan handphone (HP), mengusik ketentraman keluarga orang lain dengan short mesage service (SMS) yang menggelar-glegar berisi kata-kata, “say, lagi apa yanng...!”, lalu si guru perempuan yang sudah punya suami, pada saat di dalam kamarnya, dan suami berada di ruang tamu. Si guru perempuan itupun menjawab, lagi tidur-tiduran. Maka si guru laki-laki tadi mengirim lagi sms dengan isinya, “ yo tak bobokin..” atau dengan bahasa dan kata-kata ABG lainnya.

Tanpa memikirkan akibat, tanpa merasa berdosa mengganggu isteri orang atau mengganggu suami orang. Kebanyakan insan pendidikan, khususnya di daerah (bahkan di kota), membuat inovasi baru tentang predikat guru. Dari yang digugu dan ditiru menjadi diburu dan dicumbu raya. Padahal, mereka telah mengikuti berbagai jenis pendidikan dan latihan (diklat), mengikuti berbagai pembekalan dan mengikuti berbagai training, termasuk masalah ESQ dan sebagainya. Pakaian ibadah sekarang ii bukan lagi merupakan lambang kesucian atau kejujuran dan kebaikan. Tetapi, sudah menjadi trend pakaian. Hanya trend. Moralitasnya tidak sebagus busana yang mereka kenakan setiap hari di sekolah atau di tengah masyarakatnya.

Termasuk juga para PNS, yang di kantor jika datang waktu sholat mereka sholat, bicaranya sopan dan santun. Tetapi ketika menghadapi musibah seperti pencurian di kantor. Lalu menggunakan pola pikir atheisme! Pola pikir yang menggunakan jasa dukun untuk menuduh, menentukan, menetapkan, dan memastikan kepuasan bathin terhadap pencuri di kantornya. Ketika dikasih saran, kalau benar merasa tidak bersalah dan memang benar terjadi pencurian. Kenapa tidak pakai sumpah dengan Alquran saja? Lalu ia menjawab, saya nggak mau, karena nggak pasti. Saya maunya sumpah menggunakan air panas dan timah panas yang direbus dalam kuali.

“Bagi siapa yang mencuri uang saya, ketika ia celupkan tangannya ke air panas dan di atas timah panas dalam wajan (kuali) maka tangannya akan melepuh. Bila itu terjadi, maka dialah si pencurinya!” katanya dengan yakin dan pasti ajaran dukun itulah yang pasti, bukan janji dan kekusaan Allah SWT. Astaqfiruyllahal azim!  Fenomena kekafiran, kesyirikan apa lagi yang dibuat oleh manusia modern, manusia berstatus pejabat, PNS ata guru dewasa ini?

Mereka semua lupa dan sangat lupa, bahwa dukun, paranoirmal atau orang pinter tidak akan mampu memberikan rezki kepadanya. Tidak akan mampu memberikan kehidupan setelah kematian. Tidak akan mampu melindunginya dari musibah, peristiwa alam dan atau menyembuh penyakit secara permanen. Seorang dukun tidak akan mampu menyelematankan seseorang dari kecelakaan pesawat terbang atau kecelakaan tabrakan kendaraan umum yang ditumpangi.

Kenapa? Kenapa karena ingin memuaskan hati, ketika kehilangan uang yang dia sendiri belum tahu hilangnya di mana, apakah di kantor tempat ia bekerja, apakah di rumah atau apakah memang ia lupa, bahwa uang yang dikatakan hilang itu sebenarnya tidak hilang, tetapi sudah dibelanjakan atau memang lupa disimpan dimana? Kenapa harus menuduh sekian puluh orang pegawai se kantornya—dengan tuduhan diantara mereka adalah pencuri. Oleh sebab itu, digunakanlah “sumpah air dan timah panas” sebagaimana diajarkan oleh seorang dukun.

Seharusnya, sebagai umat beragama, ketika kita mengalami suatu musibah; katakanlah kehilangan uang. Kita harus istiqfar, kita harus menyadari, mengevaluasi dan mengoreksi diri tentang apakah harta atau uang yang hilang itu kita dapat melalui jalur yang benar atau istilahnya kita dapat melalui jalur panas dan dingin! Sebelum menuduh orang lain, sebaiknya kita membersihkan dulu hati dan pikiran kita. Hal itu bukan berarti kita tidak percaya dengan hal-hal yang ghaib sebagaimana Rukun Iman. Percayakepada yang ghaib harus ada pada diri kita sebagai manusia yang hanya mengabdi kepada Sang Pencipta.

Artinya, kalau kita selalu syirik dalam kehidupan kita, sedikit-sedikit persoalan lari ke dukun, paranormal atau orang pinter. Tetapi, syirik pribadi kita itu jangan dibawa ke kantor atau ditularkan ke muka umum (masyarakat). Sebab, dosa kita tidak bisa dipindahkan ke orang lain, demikian pula sebaliknya, termasuk pahala kita. Hanya doalah yang dapat memberikan kekuatan lahir dan bathin dalam kehidupan. Doa itu ditujukan kepada Sang Fatharah.

Melakukan “sumpah timah dan air panas” di dalam wajan adalah perbuatan syirik, jika itu dilakukan, maka selama 40 hari amal ibadah kita menjadi blank—tidak diterima oleh Allah SWT. Percuma kita suntuk jungkir balik sholat, tapi masih melakukan perbuatan syirik!

Rabu, 03 Februari 2016

BERTETANGGA YANG BAIK



Catatan Kehidupan Sosial
Oleh Naim Emel Prahana

Kehidupan bertetangga yang kurang memahami satu sama lain, sering menimbulkan gejolak tertentu yang mengakibatkan putusnya hubungan silaturrahmi dan hubungan interaksi sosial lainnya. Walaupun saat ini bisa dipercayai bahwa setiap rumah penduduk, penghuninya memiliki alat komunikasi yang disebut dengan handphone (HP) atau telepon genggam. Dengan alat komunikasi itu setiap orang bebas melakukan kontak, walau tidak harus berhadapan fisik.
Namun, sampai pada kenyataannya alat komunikasi itu sangat berpengaruh terhadap tingkah laku sosial masyarakat. Salah satunya adalah mengakibatkan kehidupan bertetangga tidak harmonis, tidak nyaman, tidak tentram dan tidak tertib. Untuk mengatasi hal itu ada beberapa tip kehidupan bertetangga yang sederhana dan baik untuk dilakukan. Tips tersebut antara lain adalah:
1.      bertetangga itu harus ikhlas, sabar dan saling memahami;
2.      bertetangga itu harus saling menghormati satu dengan lainnya;
3.      bertetangga itu sangat dibutuhkan tegur sapa, sopan santun, beretika dalam pergaulan;
4.      hindari hidup bertetangga dengan selalu memamerkan harta kekayaan, status sosial dan kekuasaan;
5.      hindari hidup bertetangga harus saling berkomunikasi dan berinteraksi fisik secara langsung sesuai kesempatan waktu yang dimiliki;
6.      hindari dalam bertetangga itu memberikan informasi tentang tetangga lainnya yang kurang baik, kendati memang ada sesuatu peristiawa atau kejadian yang menimpa tetangga tersebut;
7.      jika memiliki kendaraan (mobil dan motor) ke luar masuk kampung harus dengan sopan santun, menghargai waktu tetangga yang sedang istirahat atau selalu menghargai tetangga yang ada di pinggir jalan ketika mengendarai keandaraannya ke luar masuk kampung.

INTERAKSI KEHIDUPAN SOSIAL



File Kehidupan
Catatan Naim Emel Prahana

Tradisi kehidupan masyarakat sehari-hari di suatu wilayah pemukiman, bisa di wilayah Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Lingkungan (LK) bagi seseorang atau sebuah keluarga anggota masyarakatnya dalam interaksi sosial sangat dibutuhkan ketenanan, kedamaian, kenyamanan dan ketertiban maupun keamanan. Semuanya merupakan rangkaian denyut rasa dalam berinteraksi sosial sehari-hari. Saat ini di tengah masyarakat telah terjadi perkembangan yang luar biasa tentang “arti kehidupan bertetangga”
Pertama—Sebagian warga di suatu tempat menganggap kehidupan bertetangga itu memegang prinsip “Kamu, kamu. Saya ya saya” kemudian mereka membuat pembatas-pembatas hubungan interaksi sosial secara kasat mata, seperti kebanyakan bangunan rumah di kota (yang sudah menjalar ke kampung dan desa) membangun tempat tinggal dengan memagar bangunan rumah dengan pagar tembok yang kokok sekeliling bangunan rumah.
Akibatnya, akses hubungan ke rumah tetangga sebelah kiri kanan, dengan belakang tertutup sama sekali. Kegiatan-kegiatan di dalam rumah yang dikelilingi tembok tinggi sulit diketahii, ada apa? Mereka berhubungan dengan warga atau keluarga tetangganya kebanyakan didasarkan kepada pola hidup materialisme yang berkembang begitu cepat di tengah masyarakat sekarang ini.

Kedua—Sebagian masyarakat yang tingkat kesejahteraan dan ekonomi keluarganya masuk dalam kategori warga menengah ke bawah melatar-belakangi hubungan interaksi sosial mereka dengan filosofi ‘keguyuban’. Kelompok masyarakat kebanyakan ini masih memiliki sifat karakter kehidupan mereka dengan saling menghormati, saling memberi dan menerima, saling membantu dalam semua aspek kehidupan dan akses informasi tentang kejadian, peristiwa atau kegiatan mudah diketahui oleh satu warga dengan warga lainnya. Mereka berhubungan tidak didasarkan sifat materialisme.

Dari dua komunitas sifat dan karakter masyarakat kita dewasa ini seperti di atas itu, dalam meresponnya perlu kebijakan-kebijakan yang normal dan untuk mencegah terkotak-kotaknya hubungan kehidupan dalam interaksi sosial selanjutnya. Informasi lisan dalam hubungan interaksi sosial masyarakat secara lisan sangat cepat berkembang dan menjalar sedemikian rupa antarwarga. Jika tidak ada filterisasi penerimaan informasi atau ‘isu’, sangat terbuka kemungkinan terjadinya misunderstanding sesama warga masyarakat tersebut dan jika salah informasi, maka akibatnya cukup fatal. Terutama akan semakin kokohnya hidup individualisme dan materialisme di tengah masyarakat kita. Bahkan, satu sama lain hidup ibarat segerombolan srigala yang senantiasa mengintai, memanfaatkan kesempatan dalam keadaan seperti itu, untuk menelan anggota masyarakat lainnya yang dianggap sombong, angkuh, sok, sewena-wena berkomunikasi edan lainnya. Bisa jadi, ada rencana tertentu untuk merusak tatanan hubungan masyarakat yang ada dengan penyelewengan-penyelewengan norma-norma agama, sosial, susila, adat istidat maupun tradisi guyub.