SALAH satu alasan lahirnya UU Otonomi Daerah saat itu adalah untuk
memperpendek rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dengan
jarak dan waktu tempuh hubungan antara ibukota provinsi atau kabupaten ke
pelosok daerah terpencilnya. Memungkinkan proses kendali pemerintah provinsi
atau kabupaten lebih muda dan dapat dijalankan secara lancar, tidak banyak
rintangan dan hambatan.
Namun, setelah UU Otonomi Daerah berjalan. Kekhawatiran awal otonomi
daerah adalah munculnya raja-raja kecil, semakin menakutkan penegakan hukum.
Karena kasus korupsi dengan ratusan modus, sulit dituntaskan. Akibatnya uang
negara yang seharusnya untuk membiayai pelaksanaan pembangunan di berbagai
sektor. Terpaksa dikurangi dan kualitas pembangunanpun pada akhirnya seperti
karya anak-anak Taman Kanak-Kanak (TK).
Itu semua akibat modus korupsi yang beragam dan sudah mendarah daging
di tubuh pemerintahan. Maka, tidak mengherankan ketika makelar kasus (markus)
dibongkar, nilai rupiah negara yang dirugikan, luar biasa. Bagaimana
markus-markus yang ada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Nyngkin secara
riil, APBN untuk biaya pembangunan hanya 50 persen saja yang dipakai.
Selebihnya, sudah dibagi-bagikan. Terutama setoran ketika tender proyek
dilaksanakan. Siapakah yang menerima setoran proyek yang paling besar, tentunya
mereka yang berada di leading sektor proyek yang dlincurkan setiap tahunnya.
Kemudian secara pasti PAD kepala daerah harus dipikirkan dan merupakan masukan
tetap. Kalau demikian, bagaimana dengan konsep awal “rentang kendali
pemerintahan” yang mengawali proses lahirnya UU Otonomi Daerah?
Ternyata itu gagal dilakukan, bahkan rentangkendali para penjahat semakin
tidak berjarak dan semakin besar menelan korban jiwa, harta benda dan kerusakan
lainnya. Itulah sebabnya, kalau kita bandingkan kerugian atau kerusakan akibat
teroris dengan penjahat seperti perampok, begal, perompak, pencopet dan maling.
Maka, kerugian yang ditimbulkan oleh penjahat yang bukan teroris, akan lebih
besar dibandingkan kejahatan yang ditimbulkan para teroris. Seharusnya, soal
rentang kendali itu, pemerintah daerah khususnya harus mampu menertibkan
wilayahnya dari tekanan-tekanan para penjahat. Baik penjahat berdasi maupun
penjahat konvensional atau penjahat dari dunia ilmu hitam.
Yang lebih pokok lagi adalah bagaimana pemerintah provinsi,
kabupaten/kota mampu mengawasi pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan yang
dibiayai oleh APBN dan APBD. Bukan kangkalingkong dengan rekanan (pemborong),
demi lembaran-lembaran uang yang jumlahnya cukup besar yang akhirnya anggaran
pembangunan yang sudah ditenderkan dipotong dengan rekayasa berbagai dukumen
dan rekayasa harga barang, kemudian mengajak konsultan dan pengawasn joint.
Moralitas itu semakin memburuk dengan semakin banyaknya daerah yang
dimekarkan. Anggaran APBN sepertinya dilemparkan ke dasar laut dan sia-sia
dianggar. Kasus korupsi yang dibuka oleh aparat penegak hukum hingga saat ini,
belum sampai 10 persen dari jumlah kasus korupsi yang ada di Indonesia terbesar
di semua provinsi, kabupaten.kota, dan di hampir semua sektor.
Sementara elite politik mengubah imij dengan debat soal politik dan
partai, apalagi menjelang muktamar atau kongres. Tidak ada yang memikirkan
bagaimana nasib bangsa ini dikemudian hari.