Sabtu, 27 Februari 2016

Rentang Kendali Pemerintahan



SALAH satu alasan lahirnya UU Otonomi Daerah saat itu adalah untuk memperpendek rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dengan jarak dan waktu tempuh hubungan antara ibukota provinsi atau kabupaten ke pelosok daerah terpencilnya. Memungkinkan proses kendali pemerintah provinsi atau kabupaten lebih muda dan dapat dijalankan secara lancar, tidak banyak rintangan dan hambatan.
Namun, setelah UU Otonomi Daerah berjalan. Kekhawatiran awal otonomi daerah adalah munculnya raja-raja kecil, semakin menakutkan penegakan hukum. Karena kasus korupsi dengan ratusan modus, sulit dituntaskan. Akibatnya uang negara yang seharusnya untuk membiayai pelaksanaan pembangunan di berbagai sektor. Terpaksa dikurangi dan kualitas pembangunanpun pada akhirnya seperti karya anak-anak Taman Kanak-Kanak (TK).
Itu semua akibat modus korupsi yang beragam dan sudah mendarah daging di tubuh pemerintahan. Maka, tidak mengherankan ketika makelar kasus (markus) dibongkar, nilai rupiah negara yang dirugikan, luar biasa. Bagaimana markus-markus yang ada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Nyngkin secara riil, APBN untuk biaya pembangunan hanya 50 persen saja yang dipakai. Selebihnya, sudah dibagi-bagikan. Terutama setoran ketika tender proyek dilaksanakan. Siapakah yang menerima setoran proyek yang paling besar, tentunya mereka yang berada di leading sektor proyek yang dlincurkan setiap tahunnya. Kemudian secara pasti PAD kepala daerah harus dipikirkan dan merupakan masukan tetap. Kalau demikian, bagaimana dengan konsep awal “rentang kendali pemerintahan” yang mengawali proses lahirnya UU Otonomi Daerah?
Ternyata itu gagal dilakukan, bahkan rentangkendali para penjahat semakin tidak berjarak dan semakin besar menelan korban jiwa, harta benda dan kerusakan lainnya. Itulah sebabnya, kalau kita bandingkan kerugian atau kerusakan akibat teroris dengan penjahat seperti perampok, begal, perompak, pencopet dan maling. Maka, kerugian yang ditimbulkan oleh penjahat yang bukan teroris, akan lebih besar dibandingkan kejahatan yang ditimbulkan para teroris. Seharusnya, soal rentang kendali itu, pemerintah daerah khususnya harus mampu menertibkan wilayahnya dari tekanan-tekanan para penjahat. Baik penjahat berdasi maupun penjahat konvensional atau penjahat dari dunia ilmu hitam.
Yang lebih pokok lagi adalah bagaimana pemerintah provinsi, kabupaten/kota mampu mengawasi pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan yang dibiayai oleh APBN dan APBD. Bukan kangkalingkong dengan rekanan (pemborong), demi lembaran-lembaran uang yang jumlahnya cukup besar yang akhirnya anggaran pembangunan yang sudah ditenderkan dipotong dengan rekayasa berbagai dukumen dan rekayasa harga barang, kemudian mengajak konsultan dan pengawasn joint.
Moralitas itu semakin memburuk dengan semakin banyaknya daerah yang dimekarkan. Anggaran APBN sepertinya dilemparkan ke dasar laut dan sia-sia dianggar. Kasus korupsi yang dibuka oleh aparat penegak hukum hingga saat ini, belum sampai 10 persen dari jumlah kasus korupsi yang ada di Indonesia terbesar di semua provinsi, kabupaten.kota, dan di hampir semua sektor.
Sementara elite politik mengubah imij dengan debat soal politik dan partai, apalagi menjelang muktamar atau kongres. Tidak ada yang memikirkan bagaimana nasib bangsa ini dikemudian hari.

Kebelet Aset Daerah

SUDAH hampir tiga periode pemerintah Kota Metro dan Lampung Timur setelah berpisah dengan kabupaten induknya, Lampung Tengah tahun 1999. namun, hubungan ketiga daerah itu belum sepaham, sejalan dan belum harmonis. Akibat banyak oknum pejabat di tiga kabupaten/kota itu kebelet uang dari aset daerah atau negara yang ada di Kota Metro.
Padahal, dalam MoU selepas pemekaran daerah Lampung Tengah—yang saat itu Gubernur Lampung sijabat Drs Oemarsono, ditulis dan dijanjikan selambat-lambatnya 1 tahun setelah pemisahan (pemekaran) semua aset Lampung Tengah yang ada di Kota Metro, sudah diserahkan seluruhnya kepada pemerintak kota (pemkot) Metro. Aset yang jika diuangkan nilainya mencapai seratusan miliar itu, sampai detik ini banyak yang belum jelas status kepemilikannya, antara apakah Lampung Tengah, Lampung Timur atau Kota Metro.
Walau semua aset berupa tanah dan bangunan perkantoran itu berada di wilayah Kota Metro. Karena nama kabupaten induknya dulu adalah “Lampung Tengah”, yang selama dua periode pemerintahan daerah itu dan Kota Metro. Lampung Tengahlah yang paling ngotot, untuk tidak menyerahkan aset-aset daerah/negara yang ada di Kota Metro.
Yang paling menggelikan, ketika sejak 2000 aset itu dipersoalkan, ternyata yang ngotot tidak mau memberikan (mengembalikan) aset-aset itu, justru orang-orang Metro yang kebetulan menjadi anggota DPRD di Lampung Tengah dan Lampung Timur. Termasuk beberapa pejabat dua daerah itu yang statusnya adalah penduduk ber-KTP Metro. Ada apa sebenarnya persoalan yang mengganjal penyerahan aset tanpa syarat itu sebagaimana UU?
Setelah melewati 10 tahun pemerintahan Kota Metro, Lampung Timur dan Lampung Tengah sendiri. Dan, dibatalkannya MoU tentang tukar guling aset tersebut antara Kota Metro dan Lampung Tengah 2008 dihadapan Gubernur Lampung. Ternyata makin jelas persoalan, kenapa aset-aset itu tidak pernah diserahkan secara totalitas kepada Kota Metro.
“Biang keladinya” ternyata uang. Banyak di antara pejabat di Lampung Tengah dan Kota Metro khususnya kebelet dengan MoU tukar guling, karena akan mendapat uang dengan jumlah cukup besar. Beberapa aset berupa tanah yang harusnya milik negara dan dikelola oleh Pemkot Metro sudah dijualbelikan, di kavling-kavling oknum tertentu dan ditukar gulingkan.
Namun, tindakan pidana yang dilakukan menjual-belikan tanah negara dan diantaranya menukar-gulingkannya. Sampai detiknya tidak ada tanggapan dari aparat penegak hukum di tiga wilayah itu, termasuk dari provinsi sendiri. Dari semuanya persoalan yang telah terjadi dan mungkin akan terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Hanya ada satu kata, “merongrong” harta benda milik negara untuk satu tujuan; kepentingan pribadi dan keluarga.
Kemarin (Selasa, 20/4) diadakan pertemuan segi tiga di ruang Walikota Metro, antara Bupati Lampung Tengah, Lampung Timur dan walikota Metro membahas soal aset=aset negara di Kota Metro itu. Tidak diketahui persis, apa hasilnya. Mungkinkah ketika bupati/walikota itu akan bagi hasil. Hitunmg-hitung sesama kawan dan sesama dari satu induk kabupaten? Atau mungkinkah begitu saja mereka orang Metro yang di Lampung Tengah, Lampung Timur akan menyerahkan aset-aset itu? Berdoa saja, ‘iya’

Plagiarisme Di Kampus



DUNIA perguruan tinggi (PT), khususnya di Pulau Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Yogyakarta tahun 1983-an menjadi hangat akibat kasus plagiat karya ilmiah berupa skripsi dan tesis di kalangan mahasiswa akan menempuh ujian kesarjanaan sesuai dengan tingkatan kesarjanaannya.
Sampai tahun 1985 pihak PT (universitas) dengan tekunnya meneliti setiap usulan judul skripsi maha calon mahasiswa yang akan menempuh ujian sarjana. Dan, ketelitian pihak unversitas itu terus dilanjutkan sampai tahun 1990-an. Namun, kemudian tidak terdengar lagi. Dan, para mahasiswa begitu mudahnya menyelesaikan study jenjang S-1 mereka.
Sementara di daerah-daerah seperti di Lampung, boleh dikatakan secara umum skripsi para mahasiswanya banyak yang hanya dirubah judul saja. Isinya paling bantrer soal lokasi dan jumlah angka-angka yang harus ditulis, sedangkanb secara umum banyak kesamaan antara satu skripsi dengan skripsi yang lainnya. Terutama di kalangan calon mahasiswa bidang pendidikan.
Sejak 1990-an suara plagiator dari kampus sudah hilang, pertengah 1990-2000 terdengar ada seorang dosen dari universitas ternama di Yogyakarta diributkan. Diduga sang dosen melakukan plagiat karya ilmiahnya. Dan, awal 2010 terkuat lagi isu plagiator. Bukan dari kalangan mahasiswa yang akan membuat skripsi, akan tetapi dosen yang sudah bergelar doktor. Itulah kasus terbaru yang terkuat dari jagat pendidikan di Indonesia. Khususnya dari Bandung.
Tidak tanggung-tanggung, diduga empat doktor dari Institut Teknologi Bandung (ITB), terlibat kasus plagiarimse (plagiator). Dugaan plagiarisme itu, muncul ketika artikel ilmiah yang dipublikasikan di dunia internasional. Heboh plagiarisme doktor-doktor ITB itu muncul dalam situs ieeexplore.ieee.org. sebuah perpustakaan digital milik Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE), asosiasi dari para ilmuwan teknik elektro dan teknologi informasi.
Pada hal situs tersebut secara terbuka dan terang-terangan memuat pengumuman yang berjudul "Notice of Violation of IEEE Publication Principles.". pengumuman itu bicara soal pelanggaran prinsip-prinsip publikasi dari IEEE. Kemudian dalam pengumuman itu dicantumkan nama-nama doktor dari ITB Bandung yang dikemas dalam judul '3D Topological Relations for 3D Spatial Analysis' yang dibuat oleh 4 doktor ITB.
Nama-nama doktor dari ITB yang menulis itu antara lain, MZ, SHS, YP, dan CM. Yang ke 4-nya mempublikasikan makalah tentang Cybernetics and Intelligent Systems pada 2008, di Chengdu, China. Teliti punya teliti, ternyata makalah itu sebenarnya berjudul  'On 3D Topological Relationships' yang ditulis oleh Siyka Zlatanova, dan sudah dipublikasikan dalam 11th International Workshop on Database and Expert System Applications, terbitan tahun 2000 silam.
Kasus itu tak urung membuat Mendiknas M Nuh menjadi sangat perhatian. Dan, bagaimana dengan skirpsi para mahasiswa di PT, akademi atau universitas di Lampung selama ini. Adakah pihak PT/universitas melakukan check and recheck terhadap karya ilmiah para mahasiswanya yang sudah lulus tersebut? Hal itu menjadi tanggungjawa kita semua. Sebab, di lapangan kabar jual beli skripsi antara mahasiswa dan dosen yang mengajarkan mereka sudah sedemikian santer. Tidak akan ada asap kalau tidak ada api. 

Hakim Terima Uang ?



HAKIM Terima Uang, apakah kita kaget? Ah, tidak! Kalau hakim terima uang berkaitan perkara yang disidangkannya, di Indonesia sudah hal-hal yang sangat biasa. Tidak mengherankan, dan sepertinya hal itu akan terus berlanjut ke masa depan penegakan hukum di Indonesia.
Selama ini ada kecenderungan bahwa putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN), kemudian Putusan Pengadilan Tinggi (PT) sampai putusan Mahkamah Agung (MA) acapkali membuat kita terperangah. Seakan-akan tidak percaya, karena perkaranya secara hukum, realitas yang memiliki kekuatan kebenaran. Tiba-tiba kandas begitu saja di pengadilan yang mulia itu.
Seperti kasus markus pajak dari Gayus Tambunan sebesar Rp 28 miliar lebih. Ternyata PNS golongan IIIA itu mampu memenjarakan para petinggi Mabes Polri termasuk perwira menengah, para hakim dan para jaksa yang pernah menangani kasus pajak Gayus.
Sidang di PN Tangerang beberapa waktu sbeleum kasus Gayus menjadi bagian dari kasus multidimensional Bank Century. Majelis hakimnya dipimpin oleh Muktadi Asnun –yang kemudian menjatuhkan vonis bebas terhadap Gayus Tambunan. Ternyata, vonis bebas itu berasal dari uang Gayus Tambunan sebesar Rp 50 juta yang diberikan kepada Muktadi Asnum.
Gegerkah pembeberan Gayus di Mabes Polri itu, tidak. Sekarang banyak kalanbgan mengatakan, putusan terhadap Gayus oleh PN Tangerang, diyakini akan berubah di tingkat kasasi. Tentu, harus berubah, mengingat di tingkat PN keputusan yang dijatuhkan kepada Gayus (vonis bebas) akibat suap Rp 50 juta.
Secara ekstrim dapat dikatakan perbuatan hakim Mukhtadi Asnun itu merupakan bagian dari ikut serta melakukan penggelapan pajak. Andaikan tidak ada uang Rp 50 juta, sudah barang tentu vonis kepada Gayus pasti ada angka tahunnya (waktunya). Namun, karena Rp 50 juta, maka vonisnya bebas.
Dari satu kasus tersebut dapat dibaca, bagaimana peta penegakan hukum di Indonesia sebenarnya. Belum lagi kasus-kasus lain yang oleh PN dimenangkan. Akan tetapi, kenyataannya di lapangan dan payung hukum pihak yang dikalahkan, sudah jelas benar menurut hukum. Tapi, kenapa banyak kebenaran dikalahkan oleh uang?
Menurut kacamata masyarakat, atas perbuatan menerima suap saat menangani kasus Gayus, Muktadi Asnun harus dihukum lebih berat daripada Gayus. Jika perlu untuk memberikan efect jera terhadap hakim lainnya di negeri kaya akan korupsi ini. Muktadi Asnun harus dipecat dari kepegawaiannya. Harapan itu bukan tidak beralasan. Akan tetapi mempunyai alasan yang sangat kuat sekali.
Hakim bukanlah malaikat, hakim bukan sekelompok manusia super yang kebal hukum. Tetapi, hakim adal;ah sebuah jabatan yang disandang oleh seseorang karena kepercayaan dan keahliannya. Untuk itu, kesalahan seorang hakim atau secara berkelompok yang merugikan negara maupun rakyat. Harus mendapat sanksi hukum yang lebih berat dan lebih terakomodir rasa keadilan di tengah masyarakat.
Jika, tidak. Niscaya akan banyak timbul bentrokan antara pihak-pihak yang berperkara, khususnya yang dikalahkan oleh hakim yang akan melibatkan massa. Kalau sudah demikian. Maka, kerusakan yang ditimbulkan oleh kesalahan yang disengaja oleh hakim dalam mengambil keputusan, akan menjadi kekacauan secara umum.

Pers Menang



TUJUH media massa yang digugat oleh Raymond Tedy di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, pada persidangan terakhir (Selasa, 22/6) lalu. Ke 7 media massa terdiri dari   RCTI, Kompas dan Warta Kota dinyatakan tidak bersalah oleh majelis hakim PN Jakarta Barat dan menolak untuk seluruh gugatan penggugat. Bahkan, penggugat (Raymond Tedy) dipaksa untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp 1.061.000,-
Tentu saja, kabar kemenangan 7 media massa itu merupakan kemenangan supremasi hukum di Indonesia. Artinya, majelis hakim PN Jakarta Barat lebih jeli melihat. Bukan hanya sekedar menjalankan paket (pesanan) yang berasal dari penguasa yang menerima titipan dari penguasaha. Alhamdulillah, semoga putusan PN Jakarta Barat itu akan menjadi yurisprudensi dalam tatak laksana penegakan hukum di Indonesia, yang berkaitan dengan pers.
Dampak positif ditolaknya gugatan Raymond Tedy tersebut sangat terasa bagi insan pers—sebab selama ini ada kesan, jika seorang pengusaha berani menggugat pers, sudah dapat dipastikan Pengadilan akan mengabulkan gugatannya. Sebagai contoh kasus majalah Tempo atau di Lampung kasus Tabloid Koridor yang digugat oleh Alzier Dianist Thabrani dan masih banyak lagi kasus-kasus delik pers atau kasus pers yang kebanyakan insan pers dikalahkan di pengadilan.
Itu sebabnya, UU Pers memberikan hak kepada objek berita, jika merasa pemberitaan yang dipublikasikan, itu tidak benar untuk melakukan jalur “hak jawab”, jalur somasi. ji ka kedua jalur itu tidak ditemukan titik ‘kesepakatan’ dan ‘kesepahaman’. Maka, boleh jalur hukum ditempuh dan dibenarkan. Sayangnya, selama ini selalu jalur hukum dan jalur anarkis diperiotaskan para penggugat. Padahal, kebenarannya belum diuji secara hukum. Oleh karenanya, pers dengan insan persnya sering juga dilihat sebagai ‘penyebab’, bukan sebagai agen penyebaran informasi pembangunan secara luas. Akibat pemahaman itu, banyak sering pula terjadi penganiayaan atau kriminalisasi terhadap insan pers.
Di sisi lain, insan pers harus benar-benar menjalankan kode etik jurnalisnya. Mana sumber yang harus disembunyikan atau memang diminta untuk tidak disebut dan mana sumber yang harus disebut. Semuanya, harus berpulang kepada pemahaman insan pers itu sendiri.
Kalau sebuah berita dituding sebagai ‘penghakiman’ atau pembunuhan karakter seseorang, maka harus dilihat unsurnya yang lebih dominan yang dicocokkan dengan kenyataan dan aturan hukum dalam pelaksanaan profesi pers itu sendiri. Karena pers bebas mendapatkan informasi tentang apa saja, baik informasi secara resmi maupun tidak.
Tentunya, berita jangan dilihat secara deskriktif saja, melainkan harus ditelaah secara baik. Sebab, jarang seorang wartawan (insan pers) menyebutkan nara sumber fiktif. Hanya terkadang (lebih sering) terjadi, setelah berita dipublikasikan. Nara sumber yang semula memberikan keterangan, menolak keterangannya. Bahkan, dengan berbagai dalih.
Oleh karena itu, aparat penegak hukum harus jeli dalam memproses kasus-kasus delik pers, sehingga tidak merugikan pihak tertentu yang belum tentu tindakannya itu salah dan jangan menguntungkan pihask tertentu lainnya, karena status sosial atau kekuasaan materinya berlipat ganda. Selamat kemenangan untuk Republika, detikcom, Suara Pembaruan, Koran Sindo RCTI, Kompas, dan Warta Kota.

Suara Rakyat



HARI ini di kabupaten/kota; Bandarlampung, Metro, Lampung Tengah, Lampung Timur, Lampung Selatan, Way Kanan, Pesawaran akan melaksanakan pemilihan kepala daerah—pemilihan umum kepela daerah (pemilukada). Dengan pemilukada di beberapa kabupaten/kota tersebut, berarti selama kurun 2010 (6 bulan sejak Januari 2010 sampai Juni 2010 ini), ratusan miliar uang yang beredar di tengah masyarakat.
Uang itu beredar di tengah berbagai fasilitas umum yang rusak parah, seperti ruas jalan provinsi, kabupaten dan jalan kampung. Sepertinya memang tidak seimbang dengan banyaknya uang yang beredar. Andaikan setiap pasangan calon telah menghabiskan dana sekitar Rp 5 miliar. Dapat dihitung, berapa jumlah uang yang beredar selama enam bulkan terakhir ini.
Seandainya, uang yang ratusan miliar itu, digunakan untuk membiayai pembangunan untuk sebesar-besarnya meningkatkan kesejahteraan rakyat Lampung. Masyarakat Lampung akan makin mampu memberikan sumbangan yang besar kepada pendapatan asli daerah ini melalui PAD kabupaten/kota yang ada. Tapi, itu cerita ya cerita—walau nyata, namun dalam pola demokrasi di Indoensia ini, dana yang diperuntukkan kepada pembangunan memang jauh lebih kecil dibandingkan dengan anggaran belanja rutin, anggaran pribadi orang-orang kaya dan para pejabat.
Hari ini, hari peranan rakyat yang paling berdaulat dan paling berkuasa. Sebab, suara rakyat itulah yang menentukan seseorang jadi pemimpin daerah secara legal formal. Walaupun secara riil tidak dapat dijamin, bahwa pasangan calon kepala daerah yang terpilih dengan persentase suara, adalah pemimpin yang disukai masyarakat secara umum. Artinya, lebih dari 80%.
Begitu besarnya suara rakyat pada hari ini, memperjelaskan posisi rakyat yang bukan objek pembangunan, bukan objek hukum, bukan objek korupsi, bukan objek lainnya seperti kenyataan saat ini atau selama ini di Indonesia. Melihat sistem demokrasi ala pemilu, pemilukada dan pilpres di negeri ini. Seperti tidak ada habisnya permsoalan bangsa ini diselesaikan. Kenyataannya memang begitu.
Pergantian kepemimpinan bukan jaminan selesainya permasalahan yang sudah ada. Bahkan, akan menambah persoalan yang baru lagi. Sebab, setiap pemimpin yang dilahirkan melalui pemilu, pemilukada dan pilpres. Harus mengembalikan uang pinjaman pencalonannya selama ia menjadi pemimpin (presiden, anggota DPR, DPRD, gubernur, bupati dan walikota).
Setelah terpilih dan dilantik, kekuasaan rakyat—suara rakyat sudah hilang ditelan bumi. Tidak ada lagi kewenangan rakyat. Semua sudah diberikan dan selanjutnya adalah urusan seorang pemimpin dan kroninya. Itulah sebabnya, musim proyek (tender), selalu saja bermasalah. Sebab, persyaratan di balik pintu tender yang menyebutkan harus ada uang setoran. Membuat tender selalu berbau “kocok bekem”
Suara rakyat, suara yang selalu menderita, suara yang selalu kalah dengan penguasa, pengusaha dan orang kaya. Suara rakyat hanya ketika dibutuhkan. Hanya dibutuhkan ketika ada maunya. Selebihnya, suara rakyat hanyalah angin lalu. Oleh sebab itu, berbagai kasus anarkis selama ini merupakan akibat dari semua persoalan. Sebab, suara rakyat diabaikan, sebab suara rakyat dijadikan objek penderita belaka.
“Selamat mencoblos, pilihlah pemimpin yang baik dan benar!”

Bangsa Yang Sakit



BENAR adanya, chost-chost (penyiat) televisi swasta di Indonesia bilang “kalau kasusnya Ariel yang sebenarnya tidak seheboh itu perhatian Polri, akhirnya mampu mengalahkan persoalan besar yang dihadapi bangsa ini, seperti masalah kasus Bank Century, kasus Edy Tanzil, kasus lumpur Lapindo dan kasus besar lainnya”
Namun, kekuasaan memang mampu mempolitisir kasus-kasus ringan seperti Susno Duadji, Ariel—Luna Maya dan sebagainya. Sehingga kasus besar tertutupi, seperti kasus dualisme fungsi anggota KPU Pusat, kasus rekening gendut perwira Polri dan masih banyak lainnya. Bahkan, kini dicuatkan kasus Yusril Ihza Mahendra.
Ada apa dengan bangsa ini, sakit yang tak pernah sembuh-sembuh, malah menjadi berat penyakit yang diderita. Munculnya Nasional Demokrat bukan hanya persoalan kecewa dengan Partai Golkar dan Demokrat. Akan tetapi lebih dari ungkapan rasa prihatin, kenapa penyakit yang diderita bangsa Indonesia tidak kunjung sembuh. Persoalannya bukan tidak kunjung sembuh, akan tetapi karena penyakit lama ditutupi dengan pakaian yang rapih, maka tidak terlihat.
Kemudian, penyakit yang baru saja yang diungkapkan, karena belum sempat dibelikan baju baru yang pas, ideal untuk menutupinya. Tidak heran kalau Yusril Ihza Mahendar mengatakan, kapan Jaksa Agung itu diangkat, Keppresnya nomor berapa. Kok bisa main selidik, kok bisa main tuding dan kok bisa main tahan.
Dilemma, memang! Indonesia yang dikenal dengan bangsa yang ramah tamah, etika yang sopan santunnya, rasa hormatnya dan interaksi sosialnya yang sangat tinggi. Ternyata dalam perkembangannya, menjadi bangsa yang memakan saudaranya sendiri. Kenapa demikian, menurut hasil penelitian berbagai lembaga internasional tentang korupsi. Bahwa, Indonesia adalah dua negara terkorup nomor wahid di dunia.
Anehnya, negara yang korup, pejabat yang tersandung kasus Bank century (Sri Mulyani) malah mendapat penghargaan dan penghormatan, kemudian didudukkan di lembaga keuangan dunia (Bank Dunia). Itulah politik negara-negara Barat yang dikoordinir Amerika Serikat (USA). Negara-negara berkembang dijadikan boneka dalam banyak p;ola penerapan penjajahan di muka bumi zaman peradaban teknologi canggih ini.
Negara-negara berkembang seperti Indonesia, kebanyakan negara di Asia, kebanyakan negara di Afrika, diobok-obok, dipecah-belahkan, diadu-dombakan di dalam negerinya. Kemudian, salah satu tokohnya diangkat jadi Sekjen PBB.
Politik itu sudah berjalan lama pasca bubarnya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang dudulunya berkedudukan di Wina. Indonesia adalah negara berkembang yang menjadi korban kesekian puluh negara berkembang. Dan, politik devide et impera itu tidak dipahamai dan disadari oleh para pemimpin di Indonesia. 
Dari beberapa presiden Indonesia, presiden SBY merupakan presiden RI yang paling lemah, tidak mampu menunjukkan dirinya sebagai presiden dari suatu negara yang besar. Seperti halnya yang diperlihatkan Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid sampai ke Megawati Soekarnoputri.
Akan tetapi, SBY sangat berkuasa di dalam negerinya sendiri. Banyak jaringan yang dibuat, khususnya melalui koalisi Parpol pendukungnya. Dan, mata rantai itu semakin menyurutkan harapan kita, akan kesembuhan penyakit yang dialami oleh bangsa Indonesia. Kasus semacam visum (video mesum) Ariel—Luna Maya, bukan kasus nasional. Tapi, kasusnya biasa saja.

Pesta dan Massa



PESTA pemilihan beberapa kepala daerah Kabupaten/Kota di Lampung sudah selesai dalam tahap pelaksanaan. Namun, masih akan diadakan penghitungan final di Komisi Pemilihan Umum (KPU) masing-masing. Tahapan puncak pertama sudah berlalu, tinggal tahapan puncak kedua yang sedang berlangsung saat ini. Berbagai predisksi dilakukan berbagai lembaga survei, termasuk lembaga dadakan pemerintah Linmas/Kesbang yang menjadi lembaga survei pada saat penghitungan suara pemilukada.
Satu per satu pemilih, pendukung, anggota tim sukses mulai merenggangkan barisan. Kembali ke komunitasnya di tengah masyarakat biasa. Di sisi lain, masih banyak para petualang su’uzon dan pemitnah berkeliaran. Mereka tidak segan-segan mengatakan, baik langsung, maupun melalui sms, “mereka tahu, siapa pengkhianat! Tunggu sajalah, dan kamu baik-baik saja!”
Pulang kandang, ke luar klandang sudah menjadi pemandangan biasa di tengah masyarakat. Apalagi dalam suasana pemilihan seperti pemilukada.  Yang untuk sementara merasa unggul dari kajian dan lembaga survei, sudah mulai membusungkan dada, mulai melakukan manuver power (kekuatan) dan mengadakan pengumpulan-pengumpulan warga. Pemandangan di dalam demokrasi Indonesia pola pemilukada, tidak memberikan pendidikan politik yang baik bagia masyarakat umum. Bahkan, hanya menciptakan konflik dan meninggalkan “dendam, iri, benci dan permusuhan”. Hal itu dapat kita saksikan saat ini atau lima tahun sebelum ini. Tapi, kita tidak mampu membenahi pola kehidupan yang rusak demikian.
Pemilukada pola pembelian suara memang sudah tidak dapat dielakkan lagi dan, itu sudah berklangsung cukup lama. Termasuk pemilihan kepala daerah menggunakansistim perwakilan di DPR, DPRD peovinsi dan kabupaten. Demokrasi kita perlu dikembalikan ke basisnya, demikian pula pesta demokrasi pun harus diberi batasan-batasan yang untuk menghindari terjadinya konflik berkepanjangan.
Sebenarnya, demokrasi dalam pemilukada adalah untuk mensortir satu di antara banyaknya calon pemimpin yang memenuhi kriteria umum. Kalau di Indonesia harus ditambah dengan kriteriatrack record yang tidak korup, yang bermoral, bermental, bersosial dan beretika yang baik. Track record itu harus di kedepankan untuk menghasilkan seorang pemimpin yang ‘mumpuni’—seorang pemimpin yang betul-betul menjalankan amanat rakyatnya.
Sebab, bagaimanapun masyarakat (sosial) Indonesia dipenuhi oleh etika. Itu itu hidup terus menerus dalam sanubari dan dalam interaksi sosial mereka. Jika etika itu hilang, maka apapun besarnya jumlah suara yang diraih dalam pemilukada, akan akan merubah situasi dan kondisi sosial masyarakat Indonesia untuk lima tahun ke depannya. 
Mari kita tanamkan dalam diri masing-masing setiap anggota masyarakat, bahwa jangan lagi ada kalimat “biarlah yang sekarang menjadi pelajaran kita masa akan datang!” sebab, kalimat itu sudah banyak sekali diungkapkan dari setiap perseteruan dalam pemilukada. Apapun yang terjadi dalam pemilukada, terutama dalam pelanggaran yang juga kejahatan pemilukada. Harus dituntaskan, kendati harus mengorbankan pasangan calon yang menang.
Tegakkan demokrasi dan supremasi hukum untuk waktu dan tempat yang tidak terbatas, sehingga masyarakat kita benar-benar masyarakat yang mempunyai hati nurani kebenaran dan keadilan. Bukan hati nurani materi.

Golkar Oh Golkar



KALAU menyimak perjalanan partai politik (parpol) Golongan Karya, yang era kejayaannya, emoh dibilang partai politik. Apalagi dibilang organisasi sosial politik berbasis kader. Namun, dalam perjalanannya itu, Ketuam DPP Golkar (era Orde Baru), H Harmoko pernah menanamkan dan menegaskan filosofi kehidupan Golkar adalah ibarat binatang tawon dan kelapa. Semuanya berguna, tidak ada yang boleh dibuang.
Dalam perjalanannya, ketika dihabisi oleh kaum reformis 1997—1998, semua tokoh spektakuler dan maha hebat Golkar yang pernah menguasai Indonesia selama lebih kurang 32 tahun, pun tunggang-langgang, tiarap dan menyelamatkan diri masing-masing. Hanya, Akbar Tandjung-lah yang berani memasang dada, waktu, kehidupan dana nama baiknya. Ia pun menghimpun kembali kader-kader Golkar yang cerai berai, untuk membangkitkan parpol besar itu. Sayangnya, Akbar Tandjung yang diakui sebagai politikus dunia itu, disingkirkan dengan cara tidak terhormat oleh Aburizal Bakrie cs, yang juga akhirnya menyingkirkan Surya Paloh—yang pernah segenggam tangan sedekat hati.
Kini, Ical—panggilan populer Aburizal Bakri—pemilik Bakrie Barthers mempelajari sepak terjang Golkar masa orde baru. Tidak heran, manuver Ical banyak dipertanyakan kader Golkar. Ical type politikus yang tidak segan-segannya menghancurkan kadernya sendiri. Untuk kepentingan pribadinya dan perusahaannya yang tersebar di Indonesia. Langkah dan manuver Ical itu sudah terlihat ketika Munas Golkar di Pekanbaru, Riau dua tahun silam.
Ical yang semula terlihat sangat idealis memegang teguh back to basic Golkar, ternyata hanyalah kamuflase politik Ical untuk mendapat dukungan suara di Munas itu. Sebab, sebelum ke Munas, Ical mendatangi Cikeas, Bogor untuk bertemu SBY—dan sudah barang tentu ada deal-deal khususnya antara keduanya. Walaupun Ical membantah pertemuan itu dengan massa Golkar, akan tetapi pada akhirnya Ical sendiri mengakui.
Untuk mempertajam permainan politik Ical dalam politik Golkar di blantika politik dan kekuasaan Nasional, Ical memompa kadernya di DPR-RI, untuk membongkar habis kasus Bank Century. Memunculkan kasus itu, Golkar berhasil. Tetapi, akhirnya Golkar sendiri yang meredamnya dengan menjadi koordinator koalisi parpol pendukung SBY-Boediono. Hilangt sudah kasus Bank century, yang diganti alih perhatiankan dengan kasus perseteruan antara Ical dan Sri Mulyani.
Kini, Ical bersuara lantang, mengatakan “Kader-kader Golkar dalam berpolitik harus meniru gaya tikus. Tidak langsung menggigit, tapi mengendus terlebih dahulu.apa kata Ical, "Kita politisi bekerja keras, main taktis. Jangan kemudian kita dalam permainan itu menggigit terus. Golkar harus berprinsip seperti tikus, ngendus, baru gigit". Dan, Icalpun mulai melemparkan gagasan, agar parpol di Tanah Air diciutkan jumlahnya sedikit mungkin dengan alasan, bahwa parpol yang sedikit pemerintah berjalan baik.
Sebagai pimpinan parpol koalisi pendukung presiden SBY, Ical semakin berani menuntut, termasuk dana aspirasi rakyat yang jumlahnya sangat spektakuler. Golkar dan Ical terus memburu dana itu, yang berbagai alasan dikatakan sangat realitas dan itu harus dikucurkan oleh pemerintah, agar daerah-daerah dapat membangun dirinya sebaik mungkin. Ical—Golkar—masa lalu—masa sekarang—dan masa depan. Bangsa ini jangan hanya diatur dan hanya mendengar kata orang-orang Golkar, yang belum tentu merupakan suara riil rakyat

Muktamar Muhammadiyah



MUKTAMAR Muhammadiyah yang sedang berlangsung di Yogyakarta, boleh dibilang cukup strategis. Sebab, dilemma yang dihadapi bangsa ini—sebagian besar penduduknya beragama Islam terus berlanjut. Banyak ketentuan—masalah dan perkara yang jelas, menjadi tidak jelas. Sementara persoalan yang tidak jelas, tidak signifikan bagi umat Islam, terlihat ada upaya pihak-pihak tertentu untuk dimantapkan agar menjadi jelas dan menjadi aturan hukum.
Namun, harapan umat Islam yang menjadi basis pergerakan sosial Muhammadiyah nampaknya terlalu terlalu banyak pada Muktamar mereka itu. Alasannya, persoalan rokok dan judi—yang sebenarnya sudah jelas hukum dan aturannya. Masih menjadi perhatian utama peserta Muktamar dan panitia pelaksana hajat orang-orang Muhammadiyah itu.
Lontaran-lontaran gagasan, justru bukan masalah jlimetnya urusan bangsa ini,. Akan tetapi masih masalah rokok dan fatwanya, masalah judi dan fatwanya. Sebenarnya, forum besar seperti Muktamar itu, tidak lagi membahas masalah sepele tersebut. Jika masyarakatnya sejahtera, tingkat pendidikan bagus, kesejahteraan terus membaik. Maka, ajaran agama Islam akan membaik pula. Tetapi, sebaliknya akan terjadi kemerosotan di mana-mana, apabila hal-hal aspek kehidupan di atas tadi, tidak dipikirkan oleh organisasi besar seperti Muhammadiyah itu.
Kita akan mengevaluasi, organisasi masyarakat yang besar seperti Muhammadiyah itu, apa yang sudah dilakjukannya terhadap rakyat yang beragama Islam atau rakyat negara ini. Apa yang dinikmati umat Islam pada Muhammadiyah tidak lebih tidak kurang, sama halnya dengan apa yang dihadapi masyarakat terhadap negara dan pemerintah ini. Muhammadiyah punya sekolah banyak dengan tingkatan pendidikannya, punya rumah sakit, punya menteri dan fasilitas lainnya.
Tetapi, apakah bagi warga Muhammadiyah menggunakan jasa dan fasilitas yang dimiliki Muhammadiyah itu, akan diberi diskon (ala harga pasar) atau pengurangan biaya, seperti berobat di Rumah Sakit Muhammadiyah, belajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah dan sebagainya? Nampaknya warga Muhammadiyah itu hanya dibutuhkan ketika musim pemilu, musim pemelihan presiden atau musim pemilihan kepala daerah. Selain waktu di atas. Warga yang dianggap warga Muhammadiyah itu, tidak memiliki apa-apa dari kebesaran nama organisasi Muhammadiyah.
Yang kaya pengurus, yang kaya para guru dan dosen Muhammadiyah, yang kaya hanya pegawai di rumah sakit Muhammadiyah. Rakyat tetaplah rakyat Indonesia yang miskin. Kalau mau pakai fasilitas Muhammadiyah ya harus bayar, ikuti prosedure. Hal itu yang diberlakukan, sama dengan fasilitas yang diberikan oleh Pemerintah.
Oleh karena itu, kegiatan Muktamar yang menghadirkan semua wakil orang Muhammadiyah dari seluruh pelosok di Indonesia, seyogyanya tidak lagi bicara soal rokok, soal judi, soal perangkat Muhammadiyah di daerah, soal jabatan dan soal lazim lainnya. Tetapi, yang harus dipikirkan bagaimana menyelamatkan bangsa ini dari pengaruh-pengaruh global yang sangat merusak mental, moral, etika, susila, dan akhlak manusia di Indonesia yang kebanyakan penduduknya orang Islam.