TUJUH media massa yang digugat oleh Raymond Tedy di Pengadilan Negeri
Jakarta Barat, pada persidangan terakhir (Selasa, 22/6) lalu. Ke 7 media massa
terdiri dari RCTI, Kompas dan Warta Kota dinyatakan tidak bersalah oleh majelis
hakim PN Jakarta Barat dan menolak untuk seluruh gugatan penggugat. Bahkan,
penggugat (Raymond Tedy) dipaksa untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp
1.061.000,-
Tentu saja, kabar
kemenangan 7 media massa itu merupakan kemenangan supremasi hukum di Indonesia.
Artinya, majelis hakim PN Jakarta Barat lebih jeli melihat. Bukan hanya sekedar
menjalankan paket (pesanan) yang berasal dari penguasa yang menerima titipan
dari penguasaha. Alhamdulillah, semoga putusan PN Jakarta Barat itu akan
menjadi yurisprudensi dalam tatak laksana penegakan hukum di Indonesia, yang
berkaitan dengan pers.
Dampak positif
ditolaknya gugatan Raymond Tedy tersebut sangat terasa bagi insan pers—sebab
selama ini ada kesan, jika seorang pengusaha berani menggugat pers, sudah dapat
dipastikan Pengadilan akan mengabulkan gugatannya. Sebagai contoh kasus majalah
Tempo atau di Lampung kasus Tabloid Koridor yang digugat oleh Alzier Dianist
Thabrani dan masih banyak lagi kasus-kasus delik pers atau kasus pers yang
kebanyakan insan pers dikalahkan di pengadilan.
Itu sebabnya, UU
Pers memberikan hak kepada objek berita, jika merasa pemberitaan yang
dipublikasikan, itu tidak benar untuk melakukan jalur “hak jawab”, jalur
somasi. ji ka kedua jalur itu tidak ditemukan titik ‘kesepakatan’ dan
‘kesepahaman’. Maka, boleh jalur hukum ditempuh dan dibenarkan. Sayangnya,
selama ini selalu jalur hukum dan jalur anarkis diperiotaskan para penggugat.
Padahal, kebenarannya belum diuji secara hukum. Oleh karenanya, pers dengan
insan persnya sering juga dilihat sebagai ‘penyebab’, bukan sebagai agen
penyebaran informasi pembangunan secara luas. Akibat pemahaman itu, banyak
sering pula terjadi penganiayaan atau kriminalisasi terhadap insan pers.
Di sisi lain, insan
pers harus benar-benar menjalankan kode etik jurnalisnya. Mana sumber yang
harus disembunyikan atau memang diminta untuk tidak disebut dan mana sumber
yang harus disebut. Semuanya, harus berpulang kepada pemahaman insan pers itu
sendiri.
Kalau sebuah berita
dituding sebagai ‘penghakiman’ atau pembunuhan karakter seseorang, maka harus
dilihat unsurnya yang lebih dominan yang dicocokkan dengan kenyataan dan aturan
hukum dalam pelaksanaan profesi pers itu sendiri. Karena pers bebas mendapatkan
informasi tentang apa saja, baik informasi secara resmi maupun tidak.
Tentunya, berita
jangan dilihat secara deskriktif saja, melainkan harus ditelaah secara baik.
Sebab, jarang seorang wartawan (insan pers) menyebutkan nara sumber fiktif.
Hanya terkadang (lebih sering) terjadi, setelah berita dipublikasikan. Nara
sumber yang semula memberikan keterangan, menolak keterangannya. Bahkan, dengan
berbagai dalih.
Oleh karena itu,
aparat penegak hukum harus jeli dalam memproses kasus-kasus delik pers,
sehingga tidak merugikan pihak tertentu yang belum tentu tindakannya itu salah
dan jangan menguntungkan pihask tertentu lainnya, karena status sosial atau
kekuasaan materinya berlipat ganda. Selamat kemenangan untuk Republika, detikcom,
Suara Pembaruan, Koran Sindo RCTI, Kompas, dan Warta Kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar