Sabtu, 27 Februari 2016

Pers Menang



TUJUH media massa yang digugat oleh Raymond Tedy di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, pada persidangan terakhir (Selasa, 22/6) lalu. Ke 7 media massa terdiri dari   RCTI, Kompas dan Warta Kota dinyatakan tidak bersalah oleh majelis hakim PN Jakarta Barat dan menolak untuk seluruh gugatan penggugat. Bahkan, penggugat (Raymond Tedy) dipaksa untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp 1.061.000,-
Tentu saja, kabar kemenangan 7 media massa itu merupakan kemenangan supremasi hukum di Indonesia. Artinya, majelis hakim PN Jakarta Barat lebih jeli melihat. Bukan hanya sekedar menjalankan paket (pesanan) yang berasal dari penguasa yang menerima titipan dari penguasaha. Alhamdulillah, semoga putusan PN Jakarta Barat itu akan menjadi yurisprudensi dalam tatak laksana penegakan hukum di Indonesia, yang berkaitan dengan pers.
Dampak positif ditolaknya gugatan Raymond Tedy tersebut sangat terasa bagi insan pers—sebab selama ini ada kesan, jika seorang pengusaha berani menggugat pers, sudah dapat dipastikan Pengadilan akan mengabulkan gugatannya. Sebagai contoh kasus majalah Tempo atau di Lampung kasus Tabloid Koridor yang digugat oleh Alzier Dianist Thabrani dan masih banyak lagi kasus-kasus delik pers atau kasus pers yang kebanyakan insan pers dikalahkan di pengadilan.
Itu sebabnya, UU Pers memberikan hak kepada objek berita, jika merasa pemberitaan yang dipublikasikan, itu tidak benar untuk melakukan jalur “hak jawab”, jalur somasi. ji ka kedua jalur itu tidak ditemukan titik ‘kesepakatan’ dan ‘kesepahaman’. Maka, boleh jalur hukum ditempuh dan dibenarkan. Sayangnya, selama ini selalu jalur hukum dan jalur anarkis diperiotaskan para penggugat. Padahal, kebenarannya belum diuji secara hukum. Oleh karenanya, pers dengan insan persnya sering juga dilihat sebagai ‘penyebab’, bukan sebagai agen penyebaran informasi pembangunan secara luas. Akibat pemahaman itu, banyak sering pula terjadi penganiayaan atau kriminalisasi terhadap insan pers.
Di sisi lain, insan pers harus benar-benar menjalankan kode etik jurnalisnya. Mana sumber yang harus disembunyikan atau memang diminta untuk tidak disebut dan mana sumber yang harus disebut. Semuanya, harus berpulang kepada pemahaman insan pers itu sendiri.
Kalau sebuah berita dituding sebagai ‘penghakiman’ atau pembunuhan karakter seseorang, maka harus dilihat unsurnya yang lebih dominan yang dicocokkan dengan kenyataan dan aturan hukum dalam pelaksanaan profesi pers itu sendiri. Karena pers bebas mendapatkan informasi tentang apa saja, baik informasi secara resmi maupun tidak.
Tentunya, berita jangan dilihat secara deskriktif saja, melainkan harus ditelaah secara baik. Sebab, jarang seorang wartawan (insan pers) menyebutkan nara sumber fiktif. Hanya terkadang (lebih sering) terjadi, setelah berita dipublikasikan. Nara sumber yang semula memberikan keterangan, menolak keterangannya. Bahkan, dengan berbagai dalih.
Oleh karena itu, aparat penegak hukum harus jeli dalam memproses kasus-kasus delik pers, sehingga tidak merugikan pihak tertentu yang belum tentu tindakannya itu salah dan jangan menguntungkan pihask tertentu lainnya, karena status sosial atau kekuasaan materinya berlipat ganda. Selamat kemenangan untuk Republika, detikcom, Suara Pembaruan, Koran Sindo RCTI, Kompas, dan Warta Kota.

Tidak ada komentar: