BENAR adanya,
chost-chost (penyiat) televisi swasta di Indonesia bilang “kalau kasusnya Ariel
yang sebenarnya tidak seheboh itu perhatian Polri, akhirnya mampu mengalahkan
persoalan besar yang dihadapi bangsa ini, seperti masalah kasus Bank Century,
kasus Edy Tanzil, kasus lumpur Lapindo dan kasus besar lainnya”
Namun, kekuasaan
memang mampu mempolitisir kasus-kasus ringan seperti Susno Duadji, Ariel—Luna
Maya dan sebagainya. Sehingga kasus besar tertutupi, seperti kasus dualisme
fungsi anggota KPU Pusat, kasus rekening gendut perwira Polri dan masih banyak
lainnya. Bahkan, kini dicuatkan kasus Yusril Ihza Mahendra.
Ada apa dengan
bangsa ini, sakit yang tak pernah sembuh-sembuh, malah menjadi berat penyakit
yang diderita. Munculnya Nasional Demokrat bukan hanya persoalan kecewa dengan
Partai Golkar dan Demokrat. Akan tetapi lebih dari ungkapan rasa prihatin,
kenapa penyakit yang diderita bangsa Indonesia tidak kunjung sembuh.
Persoalannya bukan tidak kunjung sembuh, akan tetapi karena penyakit lama
ditutupi dengan pakaian yang rapih, maka tidak terlihat.
Kemudian, penyakit
yang baru saja yang diungkapkan, karena belum sempat dibelikan baju baru yang
pas, ideal untuk menutupinya. Tidak heran kalau Yusril Ihza Mahendar mengatakan,
kapan Jaksa Agung itu diangkat, Keppresnya nomor berapa. Kok bisa main selidik,
kok bisa main tuding dan kok bisa main tahan.
Dilemma, memang!
Indonesia yang dikenal dengan bangsa yang ramah tamah, etika yang sopan
santunnya, rasa hormatnya dan interaksi sosialnya yang sangat tinggi. Ternyata
dalam perkembangannya, menjadi bangsa yang memakan saudaranya sendiri. Kenapa
demikian, menurut hasil penelitian berbagai lembaga internasional tentang
korupsi. Bahwa, Indonesia adalah dua negara terkorup nomor wahid di dunia.
Anehnya, negara
yang korup, pejabat yang tersandung kasus Bank century (Sri Mulyani) malah
mendapat penghargaan dan penghormatan, kemudian didudukkan di lembaga keuangan
dunia (Bank Dunia). Itulah politik negara-negara Barat yang dikoordinir Amerika
Serikat (USA). Negara-negara berkembang dijadikan boneka dalam banyak p;ola
penerapan penjajahan di muka bumi zaman peradaban teknologi canggih ini.
Negara-negara
berkembang seperti Indonesia, kebanyakan negara di Asia, kebanyakan negara di
Afrika, diobok-obok, dipecah-belahkan, diadu-dombakan di dalam negerinya.
Kemudian, salah satu tokohnya diangkat jadi Sekjen PBB.
Politik itu sudah
berjalan lama pasca bubarnya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang dudulunya
berkedudukan di Wina. Indonesia adalah negara berkembang yang menjadi korban
kesekian puluh negara berkembang. Dan, politik devide et impera itu tidak dipahamai dan disadari oleh para
pemimpin di Indonesia.
Dari beberapa
presiden Indonesia, presiden SBY merupakan presiden RI yang paling lemah, tidak
mampu menunjukkan dirinya sebagai presiden dari suatu negara yang besar.
Seperti halnya yang diperlihatkan Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, KH
Abdurrahman Wahid sampai ke Megawati Soekarnoputri.
Akan tetapi, SBY
sangat berkuasa di dalam negerinya sendiri. Banyak jaringan yang dibuat,
khususnya melalui koalisi Parpol pendukungnya. Dan, mata rantai itu semakin
menyurutkan harapan kita, akan kesembuhan penyakit yang dialami oleh bangsa
Indonesia. Kasus semacam visum (video mesum) Ariel—Luna Maya, bukan kasus
nasional. Tapi, kasusnya biasa saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar