Sabtu, 27 Februari 2016

Bangsa Yang Sakit



BENAR adanya, chost-chost (penyiat) televisi swasta di Indonesia bilang “kalau kasusnya Ariel yang sebenarnya tidak seheboh itu perhatian Polri, akhirnya mampu mengalahkan persoalan besar yang dihadapi bangsa ini, seperti masalah kasus Bank Century, kasus Edy Tanzil, kasus lumpur Lapindo dan kasus besar lainnya”
Namun, kekuasaan memang mampu mempolitisir kasus-kasus ringan seperti Susno Duadji, Ariel—Luna Maya dan sebagainya. Sehingga kasus besar tertutupi, seperti kasus dualisme fungsi anggota KPU Pusat, kasus rekening gendut perwira Polri dan masih banyak lainnya. Bahkan, kini dicuatkan kasus Yusril Ihza Mahendra.
Ada apa dengan bangsa ini, sakit yang tak pernah sembuh-sembuh, malah menjadi berat penyakit yang diderita. Munculnya Nasional Demokrat bukan hanya persoalan kecewa dengan Partai Golkar dan Demokrat. Akan tetapi lebih dari ungkapan rasa prihatin, kenapa penyakit yang diderita bangsa Indonesia tidak kunjung sembuh. Persoalannya bukan tidak kunjung sembuh, akan tetapi karena penyakit lama ditutupi dengan pakaian yang rapih, maka tidak terlihat.
Kemudian, penyakit yang baru saja yang diungkapkan, karena belum sempat dibelikan baju baru yang pas, ideal untuk menutupinya. Tidak heran kalau Yusril Ihza Mahendar mengatakan, kapan Jaksa Agung itu diangkat, Keppresnya nomor berapa. Kok bisa main selidik, kok bisa main tuding dan kok bisa main tahan.
Dilemma, memang! Indonesia yang dikenal dengan bangsa yang ramah tamah, etika yang sopan santunnya, rasa hormatnya dan interaksi sosialnya yang sangat tinggi. Ternyata dalam perkembangannya, menjadi bangsa yang memakan saudaranya sendiri. Kenapa demikian, menurut hasil penelitian berbagai lembaga internasional tentang korupsi. Bahwa, Indonesia adalah dua negara terkorup nomor wahid di dunia.
Anehnya, negara yang korup, pejabat yang tersandung kasus Bank century (Sri Mulyani) malah mendapat penghargaan dan penghormatan, kemudian didudukkan di lembaga keuangan dunia (Bank Dunia). Itulah politik negara-negara Barat yang dikoordinir Amerika Serikat (USA). Negara-negara berkembang dijadikan boneka dalam banyak p;ola penerapan penjajahan di muka bumi zaman peradaban teknologi canggih ini.
Negara-negara berkembang seperti Indonesia, kebanyakan negara di Asia, kebanyakan negara di Afrika, diobok-obok, dipecah-belahkan, diadu-dombakan di dalam negerinya. Kemudian, salah satu tokohnya diangkat jadi Sekjen PBB.
Politik itu sudah berjalan lama pasca bubarnya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang dudulunya berkedudukan di Wina. Indonesia adalah negara berkembang yang menjadi korban kesekian puluh negara berkembang. Dan, politik devide et impera itu tidak dipahamai dan disadari oleh para pemimpin di Indonesia. 
Dari beberapa presiden Indonesia, presiden SBY merupakan presiden RI yang paling lemah, tidak mampu menunjukkan dirinya sebagai presiden dari suatu negara yang besar. Seperti halnya yang diperlihatkan Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid sampai ke Megawati Soekarnoputri.
Akan tetapi, SBY sangat berkuasa di dalam negerinya sendiri. Banyak jaringan yang dibuat, khususnya melalui koalisi Parpol pendukungnya. Dan, mata rantai itu semakin menyurutkan harapan kita, akan kesembuhan penyakit yang dialami oleh bangsa Indonesia. Kasus semacam visum (video mesum) Ariel—Luna Maya, bukan kasus nasional. Tapi, kasusnya biasa saja.

Tidak ada komentar: