Sabtu, 27 Februari 2016

Golkar Oh Golkar



KALAU menyimak perjalanan partai politik (parpol) Golongan Karya, yang era kejayaannya, emoh dibilang partai politik. Apalagi dibilang organisasi sosial politik berbasis kader. Namun, dalam perjalanannya itu, Ketuam DPP Golkar (era Orde Baru), H Harmoko pernah menanamkan dan menegaskan filosofi kehidupan Golkar adalah ibarat binatang tawon dan kelapa. Semuanya berguna, tidak ada yang boleh dibuang.
Dalam perjalanannya, ketika dihabisi oleh kaum reformis 1997—1998, semua tokoh spektakuler dan maha hebat Golkar yang pernah menguasai Indonesia selama lebih kurang 32 tahun, pun tunggang-langgang, tiarap dan menyelamatkan diri masing-masing. Hanya, Akbar Tandjung-lah yang berani memasang dada, waktu, kehidupan dana nama baiknya. Ia pun menghimpun kembali kader-kader Golkar yang cerai berai, untuk membangkitkan parpol besar itu. Sayangnya, Akbar Tandjung yang diakui sebagai politikus dunia itu, disingkirkan dengan cara tidak terhormat oleh Aburizal Bakrie cs, yang juga akhirnya menyingkirkan Surya Paloh—yang pernah segenggam tangan sedekat hati.
Kini, Ical—panggilan populer Aburizal Bakri—pemilik Bakrie Barthers mempelajari sepak terjang Golkar masa orde baru. Tidak heran, manuver Ical banyak dipertanyakan kader Golkar. Ical type politikus yang tidak segan-segannya menghancurkan kadernya sendiri. Untuk kepentingan pribadinya dan perusahaannya yang tersebar di Indonesia. Langkah dan manuver Ical itu sudah terlihat ketika Munas Golkar di Pekanbaru, Riau dua tahun silam.
Ical yang semula terlihat sangat idealis memegang teguh back to basic Golkar, ternyata hanyalah kamuflase politik Ical untuk mendapat dukungan suara di Munas itu. Sebab, sebelum ke Munas, Ical mendatangi Cikeas, Bogor untuk bertemu SBY—dan sudah barang tentu ada deal-deal khususnya antara keduanya. Walaupun Ical membantah pertemuan itu dengan massa Golkar, akan tetapi pada akhirnya Ical sendiri mengakui.
Untuk mempertajam permainan politik Ical dalam politik Golkar di blantika politik dan kekuasaan Nasional, Ical memompa kadernya di DPR-RI, untuk membongkar habis kasus Bank Century. Memunculkan kasus itu, Golkar berhasil. Tetapi, akhirnya Golkar sendiri yang meredamnya dengan menjadi koordinator koalisi parpol pendukung SBY-Boediono. Hilangt sudah kasus Bank century, yang diganti alih perhatiankan dengan kasus perseteruan antara Ical dan Sri Mulyani.
Kini, Ical bersuara lantang, mengatakan “Kader-kader Golkar dalam berpolitik harus meniru gaya tikus. Tidak langsung menggigit, tapi mengendus terlebih dahulu.apa kata Ical, "Kita politisi bekerja keras, main taktis. Jangan kemudian kita dalam permainan itu menggigit terus. Golkar harus berprinsip seperti tikus, ngendus, baru gigit". Dan, Icalpun mulai melemparkan gagasan, agar parpol di Tanah Air diciutkan jumlahnya sedikit mungkin dengan alasan, bahwa parpol yang sedikit pemerintah berjalan baik.
Sebagai pimpinan parpol koalisi pendukung presiden SBY, Ical semakin berani menuntut, termasuk dana aspirasi rakyat yang jumlahnya sangat spektakuler. Golkar dan Ical terus memburu dana itu, yang berbagai alasan dikatakan sangat realitas dan itu harus dikucurkan oleh pemerintah, agar daerah-daerah dapat membangun dirinya sebaik mungkin. Ical—Golkar—masa lalu—masa sekarang—dan masa depan. Bangsa ini jangan hanya diatur dan hanya mendengar kata orang-orang Golkar, yang belum tentu merupakan suara riil rakyat

Tidak ada komentar: