KALAU menyimak
perjalanan partai politik (parpol) Golongan Karya, yang era kejayaannya, emoh
dibilang partai politik. Apalagi dibilang organisasi sosial politik berbasis
kader. Namun, dalam perjalanannya itu, Ketuam DPP Golkar (era Orde Baru), H
Harmoko pernah menanamkan dan menegaskan filosofi kehidupan Golkar adalah
ibarat binatang tawon dan kelapa. Semuanya berguna, tidak ada yang boleh
dibuang.
Dalam
perjalanannya, ketika dihabisi oleh kaum reformis 1997—1998,
semua tokoh spektakuler dan maha hebat Golkar yang pernah menguasai Indonesia
selama lebih kurang 32 tahun, pun tunggang-langgang, tiarap dan menyelamatkan
diri masing-masing. Hanya, Akbar Tandjung-lah yang berani memasang dada, waktu,
kehidupan dana nama baiknya. Ia pun menghimpun kembali kader-kader Golkar yang
cerai berai, untuk membangkitkan parpol besar itu. Sayangnya, Akbar Tandjung
yang diakui sebagai politikus dunia itu, disingkirkan dengan cara tidak
terhormat oleh Aburizal Bakrie cs, yang juga akhirnya menyingkirkan Surya Paloh—yang
pernah segenggam tangan sedekat hati.
Kini,
Ical—panggilan populer Aburizal Bakri—pemilik Bakrie Barthers mempelajari sepak
terjang Golkar masa orde baru. Tidak heran, manuver Ical banyak dipertanyakan
kader Golkar. Ical type politikus yang tidak segan-segannya menghancurkan
kadernya sendiri. Untuk kepentingan pribadinya dan perusahaannya yang tersebar
di Indonesia. Langkah dan manuver Ical itu sudah terlihat ketika Munas Golkar
di Pekanbaru, Riau dua tahun silam.
Ical
yang semula terlihat sangat idealis memegang teguh back to basic Golkar,
ternyata hanyalah kamuflase politik Ical untuk mendapat dukungan suara di Munas
itu. Sebab, sebelum ke Munas, Ical mendatangi Cikeas, Bogor untuk bertemu
SBY—dan sudah barang tentu ada deal-deal khususnya antara keduanya. Walaupun
Ical membantah pertemuan itu dengan massa Golkar, akan tetapi pada akhirnya
Ical sendiri mengakui.
Untuk
mempertajam permainan politik Ical dalam politik Golkar di blantika politik dan
kekuasaan Nasional, Ical memompa kadernya di DPR-RI, untuk membongkar habis
kasus Bank Century. Memunculkan kasus itu, Golkar berhasil. Tetapi, akhirnya
Golkar sendiri yang meredamnya dengan menjadi koordinator koalisi parpol
pendukung SBY-Boediono. Hilangt sudah kasus Bank century, yang diganti alih
perhatiankan dengan kasus perseteruan antara Ical dan Sri Mulyani.
Kini,
Ical bersuara lantang, mengatakan “Kader-kader Golkar dalam berpolitik harus
meniru gaya tikus. Tidak langsung menggigit, tapi
mengendus terlebih dahulu.apa kata Ical, "Kita politisi bekerja keras,
main taktis. Jangan kemudian kita dalam permainan itu menggigit terus. Golkar
harus berprinsip seperti tikus, ngendus, baru gigit". Dan, Icalpun mulai
melemparkan gagasan, agar parpol di Tanah Air diciutkan jumlahnya sedikit
mungkin dengan alasan, bahwa parpol yang sedikit pemerintah
berjalan baik.
Sebagai
pimpinan parpol koalisi pendukung presiden SBY, Ical semakin berani menuntut,
termasuk dana aspirasi rakyat yang jumlahnya sangat spektakuler. Golkar dan
Ical terus memburu dana itu, yang berbagai alasan dikatakan sangat realitas dan
itu harus dikucurkan oleh pemerintah, agar daerah-daerah dapat membangun
dirinya sebaik mungkin. Ical—Golkar—masa lalu—masa sekarang—dan masa depan.
Bangsa ini jangan hanya diatur dan hanya mendengar kata orang-orang Golkar,
yang belum tentu merupakan suara riil rakyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar