Sabtu, 27 Februari 2016

Muktamar Muhammadiyah



MUKTAMAR Muhammadiyah yang sedang berlangsung di Yogyakarta, boleh dibilang cukup strategis. Sebab, dilemma yang dihadapi bangsa ini—sebagian besar penduduknya beragama Islam terus berlanjut. Banyak ketentuan—masalah dan perkara yang jelas, menjadi tidak jelas. Sementara persoalan yang tidak jelas, tidak signifikan bagi umat Islam, terlihat ada upaya pihak-pihak tertentu untuk dimantapkan agar menjadi jelas dan menjadi aturan hukum.
Namun, harapan umat Islam yang menjadi basis pergerakan sosial Muhammadiyah nampaknya terlalu terlalu banyak pada Muktamar mereka itu. Alasannya, persoalan rokok dan judi—yang sebenarnya sudah jelas hukum dan aturannya. Masih menjadi perhatian utama peserta Muktamar dan panitia pelaksana hajat orang-orang Muhammadiyah itu.
Lontaran-lontaran gagasan, justru bukan masalah jlimetnya urusan bangsa ini,. Akan tetapi masih masalah rokok dan fatwanya, masalah judi dan fatwanya. Sebenarnya, forum besar seperti Muktamar itu, tidak lagi membahas masalah sepele tersebut. Jika masyarakatnya sejahtera, tingkat pendidikan bagus, kesejahteraan terus membaik. Maka, ajaran agama Islam akan membaik pula. Tetapi, sebaliknya akan terjadi kemerosotan di mana-mana, apabila hal-hal aspek kehidupan di atas tadi, tidak dipikirkan oleh organisasi besar seperti Muhammadiyah itu.
Kita akan mengevaluasi, organisasi masyarakat yang besar seperti Muhammadiyah itu, apa yang sudah dilakjukannya terhadap rakyat yang beragama Islam atau rakyat negara ini. Apa yang dinikmati umat Islam pada Muhammadiyah tidak lebih tidak kurang, sama halnya dengan apa yang dihadapi masyarakat terhadap negara dan pemerintah ini. Muhammadiyah punya sekolah banyak dengan tingkatan pendidikannya, punya rumah sakit, punya menteri dan fasilitas lainnya.
Tetapi, apakah bagi warga Muhammadiyah menggunakan jasa dan fasilitas yang dimiliki Muhammadiyah itu, akan diberi diskon (ala harga pasar) atau pengurangan biaya, seperti berobat di Rumah Sakit Muhammadiyah, belajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah dan sebagainya? Nampaknya warga Muhammadiyah itu hanya dibutuhkan ketika musim pemilu, musim pemelihan presiden atau musim pemilihan kepala daerah. Selain waktu di atas. Warga yang dianggap warga Muhammadiyah itu, tidak memiliki apa-apa dari kebesaran nama organisasi Muhammadiyah.
Yang kaya pengurus, yang kaya para guru dan dosen Muhammadiyah, yang kaya hanya pegawai di rumah sakit Muhammadiyah. Rakyat tetaplah rakyat Indonesia yang miskin. Kalau mau pakai fasilitas Muhammadiyah ya harus bayar, ikuti prosedure. Hal itu yang diberlakukan, sama dengan fasilitas yang diberikan oleh Pemerintah.
Oleh karena itu, kegiatan Muktamar yang menghadirkan semua wakil orang Muhammadiyah dari seluruh pelosok di Indonesia, seyogyanya tidak lagi bicara soal rokok, soal judi, soal perangkat Muhammadiyah di daerah, soal jabatan dan soal lazim lainnya. Tetapi, yang harus dipikirkan bagaimana menyelamatkan bangsa ini dari pengaruh-pengaruh global yang sangat merusak mental, moral, etika, susila, dan akhlak manusia di Indonesia yang kebanyakan penduduknya orang Islam.

Tidak ada komentar: