Sabtu, 27 Februari 2016

Suara Rakyat



HARI ini di kabupaten/kota; Bandarlampung, Metro, Lampung Tengah, Lampung Timur, Lampung Selatan, Way Kanan, Pesawaran akan melaksanakan pemilihan kepala daerah—pemilihan umum kepela daerah (pemilukada). Dengan pemilukada di beberapa kabupaten/kota tersebut, berarti selama kurun 2010 (6 bulan sejak Januari 2010 sampai Juni 2010 ini), ratusan miliar uang yang beredar di tengah masyarakat.
Uang itu beredar di tengah berbagai fasilitas umum yang rusak parah, seperti ruas jalan provinsi, kabupaten dan jalan kampung. Sepertinya memang tidak seimbang dengan banyaknya uang yang beredar. Andaikan setiap pasangan calon telah menghabiskan dana sekitar Rp 5 miliar. Dapat dihitung, berapa jumlah uang yang beredar selama enam bulkan terakhir ini.
Seandainya, uang yang ratusan miliar itu, digunakan untuk membiayai pembangunan untuk sebesar-besarnya meningkatkan kesejahteraan rakyat Lampung. Masyarakat Lampung akan makin mampu memberikan sumbangan yang besar kepada pendapatan asli daerah ini melalui PAD kabupaten/kota yang ada. Tapi, itu cerita ya cerita—walau nyata, namun dalam pola demokrasi di Indoensia ini, dana yang diperuntukkan kepada pembangunan memang jauh lebih kecil dibandingkan dengan anggaran belanja rutin, anggaran pribadi orang-orang kaya dan para pejabat.
Hari ini, hari peranan rakyat yang paling berdaulat dan paling berkuasa. Sebab, suara rakyat itulah yang menentukan seseorang jadi pemimpin daerah secara legal formal. Walaupun secara riil tidak dapat dijamin, bahwa pasangan calon kepala daerah yang terpilih dengan persentase suara, adalah pemimpin yang disukai masyarakat secara umum. Artinya, lebih dari 80%.
Begitu besarnya suara rakyat pada hari ini, memperjelaskan posisi rakyat yang bukan objek pembangunan, bukan objek hukum, bukan objek korupsi, bukan objek lainnya seperti kenyataan saat ini atau selama ini di Indonesia. Melihat sistem demokrasi ala pemilu, pemilukada dan pilpres di negeri ini. Seperti tidak ada habisnya permsoalan bangsa ini diselesaikan. Kenyataannya memang begitu.
Pergantian kepemimpinan bukan jaminan selesainya permasalahan yang sudah ada. Bahkan, akan menambah persoalan yang baru lagi. Sebab, setiap pemimpin yang dilahirkan melalui pemilu, pemilukada dan pilpres. Harus mengembalikan uang pinjaman pencalonannya selama ia menjadi pemimpin (presiden, anggota DPR, DPRD, gubernur, bupati dan walikota).
Setelah terpilih dan dilantik, kekuasaan rakyat—suara rakyat sudah hilang ditelan bumi. Tidak ada lagi kewenangan rakyat. Semua sudah diberikan dan selanjutnya adalah urusan seorang pemimpin dan kroninya. Itulah sebabnya, musim proyek (tender), selalu saja bermasalah. Sebab, persyaratan di balik pintu tender yang menyebutkan harus ada uang setoran. Membuat tender selalu berbau “kocok bekem”
Suara rakyat, suara yang selalu menderita, suara yang selalu kalah dengan penguasa, pengusaha dan orang kaya. Suara rakyat hanya ketika dibutuhkan. Hanya dibutuhkan ketika ada maunya. Selebihnya, suara rakyat hanyalah angin lalu. Oleh sebab itu, berbagai kasus anarkis selama ini merupakan akibat dari semua persoalan. Sebab, suara rakyat diabaikan, sebab suara rakyat dijadikan objek penderita belaka.
“Selamat mencoblos, pilihlah pemimpin yang baik dan benar!”

Tidak ada komentar: