HARI ini di kabupaten/kota;
Bandarlampung, Metro, Lampung Tengah, Lampung Timur, Lampung Selatan, Way
Kanan, Pesawaran akan melaksanakan pemilihan kepala daerah—pemilihan umum
kepela daerah (pemilukada). Dengan pemilukada di beberapa kabupaten/kota
tersebut, berarti selama kurun 2010 (6 bulan sejak Januari 2010 sampai Juni
2010 ini), ratusan miliar uang yang beredar di tengah masyarakat.
Uang itu beredar di
tengah berbagai fasilitas umum yang rusak parah, seperti ruas jalan provinsi,
kabupaten dan jalan kampung. Sepertinya memang tidak seimbang dengan banyaknya
uang yang beredar. Andaikan setiap pasangan calon telah menghabiskan dana
sekitar Rp 5 miliar. Dapat dihitung, berapa jumlah uang yang beredar selama enam
bulkan terakhir ini.
Seandainya, uang
yang ratusan miliar itu, digunakan untuk membiayai pembangunan untuk
sebesar-besarnya meningkatkan kesejahteraan rakyat Lampung. Masyarakat Lampung
akan makin mampu memberikan sumbangan yang besar kepada pendapatan asli daerah
ini melalui PAD kabupaten/kota yang ada. Tapi, itu cerita ya cerita—walau
nyata, namun dalam pola demokrasi di Indoensia ini, dana yang diperuntukkan
kepada pembangunan memang jauh lebih kecil dibandingkan dengan anggaran belanja
rutin, anggaran pribadi orang-orang kaya dan para pejabat.
Hari ini, hari
peranan rakyat yang paling berdaulat dan paling berkuasa. Sebab, suara rakyat
itulah yang menentukan seseorang jadi pemimpin daerah secara legal formal.
Walaupun secara riil tidak dapat dijamin, bahwa pasangan calon kepala daerah
yang terpilih dengan persentase suara, adalah pemimpin yang disukai masyarakat
secara umum. Artinya, lebih dari 80%.
Begitu besarnya
suara rakyat pada hari ini, memperjelaskan posisi rakyat yang bukan objek
pembangunan, bukan objek hukum, bukan objek korupsi, bukan objek lainnya
seperti kenyataan saat ini atau selama ini di Indonesia. Melihat sistem
demokrasi ala pemilu, pemilukada dan pilpres di negeri ini. Seperti tidak ada
habisnya permsoalan bangsa ini diselesaikan. Kenyataannya memang begitu.
Pergantian
kepemimpinan bukan jaminan selesainya permasalahan yang sudah ada. Bahkan, akan
menambah persoalan yang baru lagi. Sebab, setiap pemimpin yang dilahirkan
melalui pemilu, pemilukada dan pilpres. Harus mengembalikan uang pinjaman
pencalonannya selama ia menjadi pemimpin (presiden, anggota DPR, DPRD,
gubernur, bupati dan walikota).
Setelah terpilih
dan dilantik, kekuasaan rakyat—suara rakyat sudah hilang ditelan bumi. Tidak
ada lagi kewenangan rakyat. Semua sudah diberikan dan selanjutnya adalah urusan
seorang pemimpin dan kroninya. Itulah sebabnya, musim proyek (tender), selalu
saja bermasalah. Sebab, persyaratan di balik pintu tender yang menyebutkan
harus ada uang setoran. Membuat tender selalu berbau “kocok bekem”
Suara rakyat, suara
yang selalu menderita, suara yang selalu kalah dengan penguasa, pengusaha dan
orang kaya. Suara rakyat hanya ketika dibutuhkan. Hanya dibutuhkan ketika ada
maunya. Selebihnya, suara rakyat hanyalah angin lalu. Oleh sebab itu, berbagai
kasus anarkis selama ini merupakan akibat dari semua persoalan. Sebab, suara
rakyat diabaikan, sebab suara rakyat dijadikan objek penderita belaka.
“Selamat mencoblos,
pilihlah pemimpin yang baik dan benar!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar