Sabtu, 27 Februari 2016

Pesta dan Massa



PESTA pemilihan beberapa kepala daerah Kabupaten/Kota di Lampung sudah selesai dalam tahap pelaksanaan. Namun, masih akan diadakan penghitungan final di Komisi Pemilihan Umum (KPU) masing-masing. Tahapan puncak pertama sudah berlalu, tinggal tahapan puncak kedua yang sedang berlangsung saat ini. Berbagai predisksi dilakukan berbagai lembaga survei, termasuk lembaga dadakan pemerintah Linmas/Kesbang yang menjadi lembaga survei pada saat penghitungan suara pemilukada.
Satu per satu pemilih, pendukung, anggota tim sukses mulai merenggangkan barisan. Kembali ke komunitasnya di tengah masyarakat biasa. Di sisi lain, masih banyak para petualang su’uzon dan pemitnah berkeliaran. Mereka tidak segan-segan mengatakan, baik langsung, maupun melalui sms, “mereka tahu, siapa pengkhianat! Tunggu sajalah, dan kamu baik-baik saja!”
Pulang kandang, ke luar klandang sudah menjadi pemandangan biasa di tengah masyarakat. Apalagi dalam suasana pemilihan seperti pemilukada.  Yang untuk sementara merasa unggul dari kajian dan lembaga survei, sudah mulai membusungkan dada, mulai melakukan manuver power (kekuatan) dan mengadakan pengumpulan-pengumpulan warga. Pemandangan di dalam demokrasi Indonesia pola pemilukada, tidak memberikan pendidikan politik yang baik bagia masyarakat umum. Bahkan, hanya menciptakan konflik dan meninggalkan “dendam, iri, benci dan permusuhan”. Hal itu dapat kita saksikan saat ini atau lima tahun sebelum ini. Tapi, kita tidak mampu membenahi pola kehidupan yang rusak demikian.
Pemilukada pola pembelian suara memang sudah tidak dapat dielakkan lagi dan, itu sudah berklangsung cukup lama. Termasuk pemilihan kepala daerah menggunakansistim perwakilan di DPR, DPRD peovinsi dan kabupaten. Demokrasi kita perlu dikembalikan ke basisnya, demikian pula pesta demokrasi pun harus diberi batasan-batasan yang untuk menghindari terjadinya konflik berkepanjangan.
Sebenarnya, demokrasi dalam pemilukada adalah untuk mensortir satu di antara banyaknya calon pemimpin yang memenuhi kriteria umum. Kalau di Indonesia harus ditambah dengan kriteriatrack record yang tidak korup, yang bermoral, bermental, bersosial dan beretika yang baik. Track record itu harus di kedepankan untuk menghasilkan seorang pemimpin yang ‘mumpuni’—seorang pemimpin yang betul-betul menjalankan amanat rakyatnya.
Sebab, bagaimanapun masyarakat (sosial) Indonesia dipenuhi oleh etika. Itu itu hidup terus menerus dalam sanubari dan dalam interaksi sosial mereka. Jika etika itu hilang, maka apapun besarnya jumlah suara yang diraih dalam pemilukada, akan akan merubah situasi dan kondisi sosial masyarakat Indonesia untuk lima tahun ke depannya. 
Mari kita tanamkan dalam diri masing-masing setiap anggota masyarakat, bahwa jangan lagi ada kalimat “biarlah yang sekarang menjadi pelajaran kita masa akan datang!” sebab, kalimat itu sudah banyak sekali diungkapkan dari setiap perseteruan dalam pemilukada. Apapun yang terjadi dalam pemilukada, terutama dalam pelanggaran yang juga kejahatan pemilukada. Harus dituntaskan, kendati harus mengorbankan pasangan calon yang menang.
Tegakkan demokrasi dan supremasi hukum untuk waktu dan tempat yang tidak terbatas, sehingga masyarakat kita benar-benar masyarakat yang mempunyai hati nurani kebenaran dan keadilan. Bukan hati nurani materi.

Tidak ada komentar: