PESTA pemilihan beberapa kepala
daerah Kabupaten/Kota di Lampung sudah selesai dalam tahap pelaksanaan. Namun,
masih akan diadakan penghitungan final di Komisi Pemilihan Umum (KPU) masing-masing.
Tahapan puncak pertama sudah berlalu, tinggal tahapan puncak kedua yang sedang
berlangsung saat ini. Berbagai predisksi dilakukan berbagai lembaga survei,
termasuk lembaga dadakan pemerintah Linmas/Kesbang yang menjadi lembaga survei
pada saat penghitungan suara pemilukada.
Satu per satu
pemilih, pendukung, anggota tim sukses mulai merenggangkan barisan. Kembali ke
komunitasnya di tengah masyarakat biasa. Di sisi lain, masih banyak para
petualang su’uzon dan pemitnah berkeliaran. Mereka tidak segan-segan
mengatakan, baik langsung, maupun melalui sms, “mereka tahu, siapa pengkhianat!
Tunggu sajalah, dan kamu baik-baik saja!”
Pulang kandang, ke
luar klandang sudah menjadi pemandangan biasa di tengah masyarakat. Apalagi
dalam suasana pemilihan seperti pemilukada.
Yang untuk sementara merasa unggul dari kajian dan lembaga survei, sudah
mulai membusungkan dada, mulai melakukan manuver power (kekuatan) dan mengadakan pengumpulan-pengumpulan warga.
Pemandangan di dalam demokrasi Indonesia pola pemilukada, tidak memberikan
pendidikan politik yang baik bagia masyarakat umum. Bahkan, hanya menciptakan
konflik dan meninggalkan “dendam, iri, benci dan permusuhan”. Hal itu dapat
kita saksikan saat ini atau lima tahun sebelum ini. Tapi, kita tidak mampu
membenahi pola kehidupan yang rusak demikian.
Pemilukada pola
pembelian suara memang sudah tidak dapat dielakkan lagi dan, itu sudah
berklangsung cukup lama. Termasuk pemilihan kepala daerah menggunakansistim
perwakilan di DPR, DPRD peovinsi dan kabupaten. Demokrasi kita perlu
dikembalikan ke basisnya, demikian pula pesta demokrasi pun harus diberi
batasan-batasan yang untuk menghindari terjadinya konflik berkepanjangan.
Sebenarnya,
demokrasi dalam pemilukada adalah untuk mensortir satu di antara banyaknya
calon pemimpin yang memenuhi kriteria umum. Kalau di Indonesia harus ditambah
dengan kriteriatrack record yang tidak korup, yang bermoral, bermental,
bersosial dan beretika yang baik. Track
record itu harus di kedepankan untuk menghasilkan seorang pemimpin yang ‘mumpuni’—seorang
pemimpin yang betul-betul menjalankan amanat rakyatnya.
Sebab, bagaimanapun
masyarakat (sosial) Indonesia dipenuhi oleh etika. Itu itu hidup terus menerus
dalam sanubari dan dalam interaksi sosial mereka. Jika etika itu hilang, maka
apapun besarnya jumlah suara yang diraih dalam pemilukada, akan akan merubah
situasi dan kondisi sosial masyarakat Indonesia untuk lima tahun ke
depannya.
Mari kita tanamkan
dalam diri masing-masing setiap anggota masyarakat, bahwa jangan lagi ada
kalimat “biarlah yang sekarang menjadi pelajaran kita masa akan datang!” sebab,
kalimat itu sudah banyak sekali diungkapkan dari setiap perseteruan dalam
pemilukada. Apapun yang terjadi dalam pemilukada, terutama dalam pelanggaran
yang juga kejahatan pemilukada. Harus dituntaskan, kendati harus mengorbankan
pasangan calon yang menang.
Tegakkan demokrasi
dan supremasi hukum untuk waktu dan tempat yang tidak terbatas, sehingga
masyarakat kita benar-benar masyarakat yang mempunyai hati nurani kebenaran dan
keadilan. Bukan hati nurani materi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar