Sabtu, 27 Februari 2016

Muara Pembangunan



PERBEDAAN – perbedaan memang sering terjadi antar masyarakat suatu bangsa (dan negara), antara lain karena faktor disiplin dan jati diri masyarakatnya. Seperti halnya pola pertanian masyarakat di Jepang. Mereka (masyarakat petani di Jepang) mampu menghasilkan hasil pertanian dengan stabilitas berkualitas yang mengagumkan. Apapun sumber yang ada dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan efisien dan bekerja secara efektif.
Stabilitas situasi dan kondisi masyarakat di Jepang sangat bagus, bukan hanya berkesinambungan, akan tetapu selalu meningkat. Khususnya masalah hasil panen pertaniannya. Di sisi lain, pola bertani mereka juga meningkat dari waktu ke waktu, tanpa menggangu ekosistem lingkungan (ekology). Siapapun yang pernah ke Jepang, pulangnya ke Indonesia akan berkata, “Wah, bicara soal kehidupan masyarakat di sana. Kita masih jauh ketinggalan.”
Di semua sektor bangsa Jepang sangat maju. Yang patut dibanggakan, kemajuan yang mereka capai, kemudian dipelihara untuk klesejahteraan bangsanya. Tidak mengganggu adat istiadat mereka, terutama etika pergaulan di tengah masyarakat antarwarga. Apalagi soal kualitas hasil pembangunan yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sementara itu, di Indonesia semakin pintar masyarakatnya, maka semakin rusak lingkungan dan adat istiadatnya. Sangat berbeda, kan? Sebagai contoh masyarakat suatu daerah dengan kemajuan pembangunan yang dicapai. Serta merta etika dan adat istiadatnya pasti ditinggalkan. Kalaupun ada, Cuma formalitas yang belum tentu sekali setahun dilakukan.
Jelasnya, sistem kemasyarakatan di Indonesia selalu terobsesi hal-hal yang pada akhirnya membuat mereka melupakan “jati diri” sendiri. Semakin besar manfaat imlu pengetahuan dan teknolog yang ada semakin jauh masyarakat Indonesia meninggalkan identitas mereka. Sedangkan identitas baru mereka dari pengaruh berbagai media di zaman global ini, belum mereka pahami betul.
Cerita kehidupan masyarakat Indonesia identik dengan cerita dunia pewayangan, tidak pernah ada awal dan tidak pernah ada akhirnya. Semua mengakui juara, semua ingin menjuarai kelompok lain. Sedangkan kelompok lain seperti itu juga. Kalau bulan ini ada masyarakat yang panen semangka dan mendapat keuntungan luar biasa, maka besok luisa dan bulan depannya. Semua menanam semangka. Pada gilirannya, buah semangka yang membanjiri pasar harganya semakin murah.
Seterusnya dan seterusnya. Bagaimana putaran sejarah setelah kejatuhan presiden Soeharto. Kebebasan yang diilhami gerakan reformasi 1998, kebebasan berbicara, berpendapat dan berbuat—membuat banyak orang menerbitkan surat kabar. Walau dengan modal karena proposal atau musim proyek. Kini, satu per satu media yang pernah terbit itu bergelimpangan. Sementara di Jepang, jati diri mereka sebagai masyarakat suatu bangsa yang keadaan alamnya tidak begitu sebaik Indonesia. Tekun, ulet, dan menghormati pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengandalkan adat istiadat dan keaslian alam lingkungan mereka. Tata kehidupan (etika, sopan santun pergaulan saling menghormati) masih tetap mereka pelihara dengan baik. Apapun pangkat, status dan kedudukan sosial mereka. Menghormati orang lain merupakan suatu kebutuhan yang mendasar. Sementara orang Indonesia, semakin status sosialnya baik (sudah punya harta kekayaan), maka, semakin sombong dan angkuh dan tidak peduli dengan lingkungan. Apalagi adat istiadatnya.

Pekerja Asing



KENAPA baru sekarang aparat penegak hukum (polisi) baru mencurigai ada tenaga kerja asing di PT  Drydock World, Tanjung Uncang, Batam, Kepulauan Riau. Karena adanya kerusuhan yang melanda perusahaan galangan kapal milik WNA keturunan India? Kenapa yang l;ain tidak pernah diucapkan, atau karena tidak terjadi kekacauan. Kalau hanya itu, maka betapa parahnya sistem penertiban dan keamanan di tengah masyarakat Indonesia selama ini.
Sebab, bukan hanya pekerja asing. Di Indonesia diduga banyak sekali “pendatang haram” (prohibited outsider) yang sudah mengantongi kartu tanpa penduduk (KTP) negara Indonesia. Terutama warga dari daratan Tiongkok, Hongkong, dan Taiwan. Namun, sedikit sekali kita mendengar atau membaca adanya operasi yustisia di rumah-rumah WNI keturunan asing—khususnya WNI keturunan Tiongkok (China).
Padahak, masyarakat sering berjumpa dengan warga masyarakat asing yang sudah memiliki KTP di suatu kelurahan atau kecamatan, tidak bisa sama sekali berbahasa Indonesia. Sangat memalukan sekali, Indonesia yang merupakan negara yang didasarkan kepada hukum, ternyata hukumnya seperti karet. Siapa yang berkuasa dan punya uang, maka ia mampu memainkan hukum sedemikian rupa.
Seperti diketahui, banyak perusahaan besar bergerak di beberapa sektor di Indonesia dimiliki (modalnya) oleh orang asing, termasuk susunan personalia pengelola perusahaan. Suatu hal yang tidak mustahil, para manejer asing yang mengelola perusahaan asing di Indonesia memasukkan warga mereka secara ilegal melalui perusahaannya.
Tapi, sejauhmana pihak terkait melakukan pengawasan maksimalnya untuk mendeteksi pendatang haram di Indonesia yang masuk melalui berbagai kegiatan, seperti industri dan perusahaan yang dimodali dan dimiliki oleh orang asing. Pascakerusuhan di galangan kapal milik PT Drydock World, Tanjung Uncang, Batam, pihak kepolisian masih melakukan pemeriksaan 36 Tenaga Kerja Asing (TKA). Polisi mengendus adanya TKA yang melabrak aturan keimigrasian.
Sebagaimana dijelaskan oleh Kapolda Riau, Brigjen Pudji Hartanto Iskandar beberapa waktu lalu, mengatakan, terkait 36 TKA di perusahaan itu, sampai kini masih dimintai keterangan di Poltabes Barelang. Dari hasil pemeriksaan, pihak kepolisian sudah menemui titik terang akar persoalan terjadinya bentrok di lokasi perusahaan. Namun sejauh ini pihak Polda Kepri belum bersedia menjelaskan secara rinci pemicu kerusuhan tersebut.
Secara umum kita memang menyayangkan kerusuhan di perusahaan galangan kapal tersebut, namun di balik itu semua ada kelalaian dan keteledoran pihak aparat penegakan dalam mengawasi perusahaan tersebut, sebelum terjadinya kerusuhan.
Kenapa harus terjadi kerusuhan lebih dulu, baru dideteksi adanya pekerja asing (warga India) di perusahaan tersebut. Selama ini, Dinas Tenaga Kerja Kepulauan Riau, apa saja yang dilakukannya terhadap aktrivitas-aktivitas pekerja di sana? Seharusnya secarta rutin, baik pemda setyempat, polisi, TNI atau melalui lembaga pengawasan lain yang terkait, sudah harus mendeteksi adanya pendatang haram di daerah itu, yang masuk melalui perusahaan-perusahaan asing. Sayang, semuanya sudah terlambat. Ada dugaan selama ini aparat polisi dan disnakersos Kepulauan Riau lebih peka terhadap materi, upeti atau uang masuk ketimbang mempedulikan kedaulatannya.

Pembuktian Terbalik



INDONESIA diyakini tidak akan mampu memberantas kasus-kasus korupsi atau KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) atau jenis lain yang terkait dan identik dengan tindak pidana korupsi. Kasus korupsi di Indonesia akan diproses secara momentum bukan secara completely and continue (secara tuntas dan berkesinambungan)
Persoaloannya pun mendasar. Sebab, tanpa melalui proses hukum pembuktian terbalik (verification upside down). Kasus korupsi sulit untuk diberantas tuntas atau maksimal dan kerkesinambungan. Modus penegakan hukum atas kasus-kasus korupsi di Indonesia hampir 100 persen karena pengaduan atau laporan. Padahal, kasus korupsi tidak harus menunggu pengaduan atau laporan (dari siapapun).
Bahkan, karena ingin mencapai target penanganan kasus korupsi yang ditetapkan oleh Jaksa Agung, bahwa setiap Kejari di seluruh Indonesia harus mampu menangani minimal 3 (tiga) kasus korupsi setiap tahunnya. Yang membuat aparat jaksa di Kejaksaan Negeri (Kejari) merekayasa laporan atau pengaduan, bahkan mengutip dan menindaklanjuti berita di koran. Kemudian, ada tidaknya tindak pidana pada dugaan kasus korupsi, banyak aparat penegak hukum hanya melihat Rp 100 juta dikurangi Rp 15 juta ada Rp 65 juta. Korupsi hanya dilihat dari angka-angka pengurangan atau kelebihan dari penggunaan anggaran. Secara umum demikian semakin membuat aparat penegak hukum tidak paham betul, bagaimana mencari unsur korupsi pada kasus penyalah-gunaan kewenangan, keuangan dan pembiayaan proyek dan sebagainya.
Korupsi, juga dilihat dari biaya pembuatan SIM, pembayaran pajak kendaraan bermotor—di mana angka yang tertulis di STNK tidak sama dengan angka rupiah yang dikeluarkan seorang pembayar pajak kendaraan. Bahwa, biaya pembuatan SIM yang tertera dan tertulis di UU atau peraturannya, tidak sama dengan apa yang diberikan si pencari SIM dan sebagainya. Demikian juga soal pajak, berapa banyak perusahaan di daerah atau di mana saja, jumlah pajak yang dibayarkan tidak sesuai dengan jumlah harta benda dan pemasukannya setiap hari atau setiap bulan. Padahal, seorang penulis opini atau artikel di media massa, setiap kali mengambil honorariumnya, sudah langsung dipotong pajak. Kendati, honornya hanya Rp 100 ribu.
Orang kecil—kebanyakan begita takut dan akhirnya taat pajak. Sedangkan pejabat dan pengusaha atau PNS golongan tertentu, sulit dilacak, berapa mereka bayar pajak setiap tahunnya. Apakah pajak penghasilan atau pajak pertambahan nilai atau pajak lainnya. Semua itu, karena kelemahan sistem hukum di Indonesia. Seandaikan sistem hukum di Indonesia menggunakan teori pembuktian terbalik. Maka, rakyat akan melongo melihat daftar orang yang melakukan korupsi melalui ‘rekayasa’ jumlah pajak yang harus mereka bayarkan. Akhirnya, seperti jaksa Poltak Manulang yang pernah melaporkan harta kekayaannya saat bertugas di bagian TU Kejati Bengkulu, 200. Ia hanya memiliki harta sebesar Rp 335 juta. Lalu tanah 2000 m2 dan 100 m2 di Kabupaten Bogor senilai Rp 150 juta. Tanah seluas 283 m2 di Jakarta Barat pada tahun 1999 senilai Rp 140 juta juga tercatat dalam laporannya. Ditambah tanah 1500 m2 di Kabupaten Kolaka, hasil sendiri tahun 1995 senilai Rp 45 juta.
Kenyataannya, tahun 2010 harta kekayaan Poltak Manulang yang menangangi kasus Gayus mendadak menjadi miliar rupiah. Belum kasus Gayus, Edmon dan mantan Kapolda Lampung dan sebagainya. Indonesia takkan bisa ke luar dari praktek korupsi.

Rentang Kendali Pemerintahan



SALAH satu alasan lahirnya UU Otonomi Daerah saat itu adalah untuk memperpendek rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dengan jarak dan waktu tempuh hubungan antara ibukota provinsi atau kabupaten ke pelosok daerah terpencilnya. Memungkinkan proses kendali pemerintah provinsi atau kabupaten lebih muda dan dapat dijalankan secara lancar, tidak banyak rintangan dan hambatan.
Namun, setelah UU Otonomi Daerah berjalan. Kekhawatiran awal otonomi daerah adalah munculnya raja-raja kecil, semakin menakutkan penegakan hukum. Karena kasus korupsi dengan ratusan modus, sulit dituntaskan. Akibatnya uang negara yang seharusnya untuk membiayai pelaksanaan pembangunan di berbagai sektor. Terpaksa dikurangi dan kualitas pembangunanpun pada akhirnya seperti karya anak-anak Taman Kanak-Kanak (TK).
Itu semua akibat modus korupsi yang beragam dan sudah mendarah daging di tubuh pemerintahan. Maka, tidak mengherankan ketika makelar kasus (markus) dibongkar, nilai rupiah negara yang dirugikan, luar biasa. Bagaimana markus-markus yang ada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Nyngkin secara riil, APBN untuk biaya pembangunan hanya 50 persen saja yang dipakai. Selebihnya, sudah dibagi-bagikan. Terutama setoran ketika tender proyek dilaksanakan. Siapakah yang menerima setoran proyek yang paling besar, tentunya mereka yang berada di leading sektor proyek yang dlincurkan setiap tahunnya. Kemudian secara pasti PAD kepala daerah harus dipikirkan dan merupakan masukan tetap. Kalau demikian, bagaimana dengan konsep awal “rentang kendali pemerintahan” yang mengawali proses lahirnya UU Otonomi Daerah?
Ternyata itu gagal dilakukan, bahkan rentangkendali para penjahat semakin tidak berjarak dan semakin besar menelan korban jiwa, harta benda dan kerusakan lainnya. Itulah sebabnya, kalau kita bandingkan kerugian atau kerusakan akibat teroris dengan penjahat seperti perampok, begal, perompak, pencopet dan maling. Maka, kerugian yang ditimbulkan oleh penjahat yang bukan teroris, akan lebih besar dibandingkan kejahatan yang ditimbulkan para teroris. Seharusnya, soal rentang kendali itu, pemerintah daerah khususnya harus mampu menertibkan wilayahnya dari tekanan-tekanan para penjahat. Baik penjahat berdasi maupun penjahat konvensional atau penjahat dari dunia ilmu hitam.
Yang lebih pokok lagi adalah bagaimana pemerintah provinsi, kabupaten/kota mampu mengawasi pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan yang dibiayai oleh APBN dan APBD. Bukan kangkalingkong dengan rekanan (pemborong), demi lembaran-lembaran uang yang jumlahnya cukup besar yang akhirnya anggaran pembangunan yang sudah ditenderkan dipotong dengan rekayasa berbagai dukumen dan rekayasa harga barang, kemudian mengajak konsultan dan pengawasn joint.
Moralitas itu semakin memburuk dengan semakin banyaknya daerah yang dimekarkan. Anggaran APBN sepertinya dilemparkan ke dasar laut dan sia-sia dianggar. Kasus korupsi yang dibuka oleh aparat penegak hukum hingga saat ini, belum sampai 10 persen dari jumlah kasus korupsi yang ada di Indonesia terbesar di semua provinsi, kabupaten.kota, dan di hampir semua sektor.
Sementara elite politik mengubah imij dengan debat soal politik dan partai, apalagi menjelang muktamar atau kongres. Tidak ada yang memikirkan bagaimana nasib bangsa ini dikemudian hari.

Kebelet Aset Daerah

SUDAH hampir tiga periode pemerintah Kota Metro dan Lampung Timur setelah berpisah dengan kabupaten induknya, Lampung Tengah tahun 1999. namun, hubungan ketiga daerah itu belum sepaham, sejalan dan belum harmonis. Akibat banyak oknum pejabat di tiga kabupaten/kota itu kebelet uang dari aset daerah atau negara yang ada di Kota Metro.
Padahal, dalam MoU selepas pemekaran daerah Lampung Tengah—yang saat itu Gubernur Lampung sijabat Drs Oemarsono, ditulis dan dijanjikan selambat-lambatnya 1 tahun setelah pemisahan (pemekaran) semua aset Lampung Tengah yang ada di Kota Metro, sudah diserahkan seluruhnya kepada pemerintak kota (pemkot) Metro. Aset yang jika diuangkan nilainya mencapai seratusan miliar itu, sampai detik ini banyak yang belum jelas status kepemilikannya, antara apakah Lampung Tengah, Lampung Timur atau Kota Metro.
Walau semua aset berupa tanah dan bangunan perkantoran itu berada di wilayah Kota Metro. Karena nama kabupaten induknya dulu adalah “Lampung Tengah”, yang selama dua periode pemerintahan daerah itu dan Kota Metro. Lampung Tengahlah yang paling ngotot, untuk tidak menyerahkan aset-aset daerah/negara yang ada di Kota Metro.
Yang paling menggelikan, ketika sejak 2000 aset itu dipersoalkan, ternyata yang ngotot tidak mau memberikan (mengembalikan) aset-aset itu, justru orang-orang Metro yang kebetulan menjadi anggota DPRD di Lampung Tengah dan Lampung Timur. Termasuk beberapa pejabat dua daerah itu yang statusnya adalah penduduk ber-KTP Metro. Ada apa sebenarnya persoalan yang mengganjal penyerahan aset tanpa syarat itu sebagaimana UU?
Setelah melewati 10 tahun pemerintahan Kota Metro, Lampung Timur dan Lampung Tengah sendiri. Dan, dibatalkannya MoU tentang tukar guling aset tersebut antara Kota Metro dan Lampung Tengah 2008 dihadapan Gubernur Lampung. Ternyata makin jelas persoalan, kenapa aset-aset itu tidak pernah diserahkan secara totalitas kepada Kota Metro.
“Biang keladinya” ternyata uang. Banyak di antara pejabat di Lampung Tengah dan Kota Metro khususnya kebelet dengan MoU tukar guling, karena akan mendapat uang dengan jumlah cukup besar. Beberapa aset berupa tanah yang harusnya milik negara dan dikelola oleh Pemkot Metro sudah dijualbelikan, di kavling-kavling oknum tertentu dan ditukar gulingkan.
Namun, tindakan pidana yang dilakukan menjual-belikan tanah negara dan diantaranya menukar-gulingkannya. Sampai detiknya tidak ada tanggapan dari aparat penegak hukum di tiga wilayah itu, termasuk dari provinsi sendiri. Dari semuanya persoalan yang telah terjadi dan mungkin akan terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Hanya ada satu kata, “merongrong” harta benda milik negara untuk satu tujuan; kepentingan pribadi dan keluarga.
Kemarin (Selasa, 20/4) diadakan pertemuan segi tiga di ruang Walikota Metro, antara Bupati Lampung Tengah, Lampung Timur dan walikota Metro membahas soal aset=aset negara di Kota Metro itu. Tidak diketahui persis, apa hasilnya. Mungkinkah ketika bupati/walikota itu akan bagi hasil. Hitunmg-hitung sesama kawan dan sesama dari satu induk kabupaten? Atau mungkinkah begitu saja mereka orang Metro yang di Lampung Tengah, Lampung Timur akan menyerahkan aset-aset itu? Berdoa saja, ‘iya’

Plagiarisme Di Kampus



DUNIA perguruan tinggi (PT), khususnya di Pulau Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Yogyakarta tahun 1983-an menjadi hangat akibat kasus plagiat karya ilmiah berupa skripsi dan tesis di kalangan mahasiswa akan menempuh ujian kesarjanaan sesuai dengan tingkatan kesarjanaannya.
Sampai tahun 1985 pihak PT (universitas) dengan tekunnya meneliti setiap usulan judul skripsi maha calon mahasiswa yang akan menempuh ujian sarjana. Dan, ketelitian pihak unversitas itu terus dilanjutkan sampai tahun 1990-an. Namun, kemudian tidak terdengar lagi. Dan, para mahasiswa begitu mudahnya menyelesaikan study jenjang S-1 mereka.
Sementara di daerah-daerah seperti di Lampung, boleh dikatakan secara umum skripsi para mahasiswanya banyak yang hanya dirubah judul saja. Isinya paling bantrer soal lokasi dan jumlah angka-angka yang harus ditulis, sedangkanb secara umum banyak kesamaan antara satu skripsi dengan skripsi yang lainnya. Terutama di kalangan calon mahasiswa bidang pendidikan.
Sejak 1990-an suara plagiator dari kampus sudah hilang, pertengah 1990-2000 terdengar ada seorang dosen dari universitas ternama di Yogyakarta diributkan. Diduga sang dosen melakukan plagiat karya ilmiahnya. Dan, awal 2010 terkuat lagi isu plagiator. Bukan dari kalangan mahasiswa yang akan membuat skripsi, akan tetapi dosen yang sudah bergelar doktor. Itulah kasus terbaru yang terkuat dari jagat pendidikan di Indonesia. Khususnya dari Bandung.
Tidak tanggung-tanggung, diduga empat doktor dari Institut Teknologi Bandung (ITB), terlibat kasus plagiarimse (plagiator). Dugaan plagiarisme itu, muncul ketika artikel ilmiah yang dipublikasikan di dunia internasional. Heboh plagiarisme doktor-doktor ITB itu muncul dalam situs ieeexplore.ieee.org. sebuah perpustakaan digital milik Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE), asosiasi dari para ilmuwan teknik elektro dan teknologi informasi.
Pada hal situs tersebut secara terbuka dan terang-terangan memuat pengumuman yang berjudul "Notice of Violation of IEEE Publication Principles.". pengumuman itu bicara soal pelanggaran prinsip-prinsip publikasi dari IEEE. Kemudian dalam pengumuman itu dicantumkan nama-nama doktor dari ITB Bandung yang dikemas dalam judul '3D Topological Relations for 3D Spatial Analysis' yang dibuat oleh 4 doktor ITB.
Nama-nama doktor dari ITB yang menulis itu antara lain, MZ, SHS, YP, dan CM. Yang ke 4-nya mempublikasikan makalah tentang Cybernetics and Intelligent Systems pada 2008, di Chengdu, China. Teliti punya teliti, ternyata makalah itu sebenarnya berjudul  'On 3D Topological Relationships' yang ditulis oleh Siyka Zlatanova, dan sudah dipublikasikan dalam 11th International Workshop on Database and Expert System Applications, terbitan tahun 2000 silam.
Kasus itu tak urung membuat Mendiknas M Nuh menjadi sangat perhatian. Dan, bagaimana dengan skirpsi para mahasiswa di PT, akademi atau universitas di Lampung selama ini. Adakah pihak PT/universitas melakukan check and recheck terhadap karya ilmiah para mahasiswanya yang sudah lulus tersebut? Hal itu menjadi tanggungjawa kita semua. Sebab, di lapangan kabar jual beli skripsi antara mahasiswa dan dosen yang mengajarkan mereka sudah sedemikian santer. Tidak akan ada asap kalau tidak ada api. 

Hakim Terima Uang ?



HAKIM Terima Uang, apakah kita kaget? Ah, tidak! Kalau hakim terima uang berkaitan perkara yang disidangkannya, di Indonesia sudah hal-hal yang sangat biasa. Tidak mengherankan, dan sepertinya hal itu akan terus berlanjut ke masa depan penegakan hukum di Indonesia.
Selama ini ada kecenderungan bahwa putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN), kemudian Putusan Pengadilan Tinggi (PT) sampai putusan Mahkamah Agung (MA) acapkali membuat kita terperangah. Seakan-akan tidak percaya, karena perkaranya secara hukum, realitas yang memiliki kekuatan kebenaran. Tiba-tiba kandas begitu saja di pengadilan yang mulia itu.
Seperti kasus markus pajak dari Gayus Tambunan sebesar Rp 28 miliar lebih. Ternyata PNS golongan IIIA itu mampu memenjarakan para petinggi Mabes Polri termasuk perwira menengah, para hakim dan para jaksa yang pernah menangani kasus pajak Gayus.
Sidang di PN Tangerang beberapa waktu sbeleum kasus Gayus menjadi bagian dari kasus multidimensional Bank Century. Majelis hakimnya dipimpin oleh Muktadi Asnun –yang kemudian menjatuhkan vonis bebas terhadap Gayus Tambunan. Ternyata, vonis bebas itu berasal dari uang Gayus Tambunan sebesar Rp 50 juta yang diberikan kepada Muktadi Asnum.
Gegerkah pembeberan Gayus di Mabes Polri itu, tidak. Sekarang banyak kalanbgan mengatakan, putusan terhadap Gayus oleh PN Tangerang, diyakini akan berubah di tingkat kasasi. Tentu, harus berubah, mengingat di tingkat PN keputusan yang dijatuhkan kepada Gayus (vonis bebas) akibat suap Rp 50 juta.
Secara ekstrim dapat dikatakan perbuatan hakim Mukhtadi Asnun itu merupakan bagian dari ikut serta melakukan penggelapan pajak. Andaikan tidak ada uang Rp 50 juta, sudah barang tentu vonis kepada Gayus pasti ada angka tahunnya (waktunya). Namun, karena Rp 50 juta, maka vonisnya bebas.
Dari satu kasus tersebut dapat dibaca, bagaimana peta penegakan hukum di Indonesia sebenarnya. Belum lagi kasus-kasus lain yang oleh PN dimenangkan. Akan tetapi, kenyataannya di lapangan dan payung hukum pihak yang dikalahkan, sudah jelas benar menurut hukum. Tapi, kenapa banyak kebenaran dikalahkan oleh uang?
Menurut kacamata masyarakat, atas perbuatan menerima suap saat menangani kasus Gayus, Muktadi Asnun harus dihukum lebih berat daripada Gayus. Jika perlu untuk memberikan efect jera terhadap hakim lainnya di negeri kaya akan korupsi ini. Muktadi Asnun harus dipecat dari kepegawaiannya. Harapan itu bukan tidak beralasan. Akan tetapi mempunyai alasan yang sangat kuat sekali.
Hakim bukanlah malaikat, hakim bukan sekelompok manusia super yang kebal hukum. Tetapi, hakim adal;ah sebuah jabatan yang disandang oleh seseorang karena kepercayaan dan keahliannya. Untuk itu, kesalahan seorang hakim atau secara berkelompok yang merugikan negara maupun rakyat. Harus mendapat sanksi hukum yang lebih berat dan lebih terakomodir rasa keadilan di tengah masyarakat.
Jika, tidak. Niscaya akan banyak timbul bentrokan antara pihak-pihak yang berperkara, khususnya yang dikalahkan oleh hakim yang akan melibatkan massa. Kalau sudah demikian. Maka, kerusakan yang ditimbulkan oleh kesalahan yang disengaja oleh hakim dalam mengambil keputusan, akan menjadi kekacauan secara umum.

Pers Menang



TUJUH media massa yang digugat oleh Raymond Tedy di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, pada persidangan terakhir (Selasa, 22/6) lalu. Ke 7 media massa terdiri dari   RCTI, Kompas dan Warta Kota dinyatakan tidak bersalah oleh majelis hakim PN Jakarta Barat dan menolak untuk seluruh gugatan penggugat. Bahkan, penggugat (Raymond Tedy) dipaksa untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp 1.061.000,-
Tentu saja, kabar kemenangan 7 media massa itu merupakan kemenangan supremasi hukum di Indonesia. Artinya, majelis hakim PN Jakarta Barat lebih jeli melihat. Bukan hanya sekedar menjalankan paket (pesanan) yang berasal dari penguasa yang menerima titipan dari penguasaha. Alhamdulillah, semoga putusan PN Jakarta Barat itu akan menjadi yurisprudensi dalam tatak laksana penegakan hukum di Indonesia, yang berkaitan dengan pers.
Dampak positif ditolaknya gugatan Raymond Tedy tersebut sangat terasa bagi insan pers—sebab selama ini ada kesan, jika seorang pengusaha berani menggugat pers, sudah dapat dipastikan Pengadilan akan mengabulkan gugatannya. Sebagai contoh kasus majalah Tempo atau di Lampung kasus Tabloid Koridor yang digugat oleh Alzier Dianist Thabrani dan masih banyak lagi kasus-kasus delik pers atau kasus pers yang kebanyakan insan pers dikalahkan di pengadilan.
Itu sebabnya, UU Pers memberikan hak kepada objek berita, jika merasa pemberitaan yang dipublikasikan, itu tidak benar untuk melakukan jalur “hak jawab”, jalur somasi. ji ka kedua jalur itu tidak ditemukan titik ‘kesepakatan’ dan ‘kesepahaman’. Maka, boleh jalur hukum ditempuh dan dibenarkan. Sayangnya, selama ini selalu jalur hukum dan jalur anarkis diperiotaskan para penggugat. Padahal, kebenarannya belum diuji secara hukum. Oleh karenanya, pers dengan insan persnya sering juga dilihat sebagai ‘penyebab’, bukan sebagai agen penyebaran informasi pembangunan secara luas. Akibat pemahaman itu, banyak sering pula terjadi penganiayaan atau kriminalisasi terhadap insan pers.
Di sisi lain, insan pers harus benar-benar menjalankan kode etik jurnalisnya. Mana sumber yang harus disembunyikan atau memang diminta untuk tidak disebut dan mana sumber yang harus disebut. Semuanya, harus berpulang kepada pemahaman insan pers itu sendiri.
Kalau sebuah berita dituding sebagai ‘penghakiman’ atau pembunuhan karakter seseorang, maka harus dilihat unsurnya yang lebih dominan yang dicocokkan dengan kenyataan dan aturan hukum dalam pelaksanaan profesi pers itu sendiri. Karena pers bebas mendapatkan informasi tentang apa saja, baik informasi secara resmi maupun tidak.
Tentunya, berita jangan dilihat secara deskriktif saja, melainkan harus ditelaah secara baik. Sebab, jarang seorang wartawan (insan pers) menyebutkan nara sumber fiktif. Hanya terkadang (lebih sering) terjadi, setelah berita dipublikasikan. Nara sumber yang semula memberikan keterangan, menolak keterangannya. Bahkan, dengan berbagai dalih.
Oleh karena itu, aparat penegak hukum harus jeli dalam memproses kasus-kasus delik pers, sehingga tidak merugikan pihak tertentu yang belum tentu tindakannya itu salah dan jangan menguntungkan pihask tertentu lainnya, karena status sosial atau kekuasaan materinya berlipat ganda. Selamat kemenangan untuk Republika, detikcom, Suara Pembaruan, Koran Sindo RCTI, Kompas, dan Warta Kota.

Suara Rakyat



HARI ini di kabupaten/kota; Bandarlampung, Metro, Lampung Tengah, Lampung Timur, Lampung Selatan, Way Kanan, Pesawaran akan melaksanakan pemilihan kepala daerah—pemilihan umum kepela daerah (pemilukada). Dengan pemilukada di beberapa kabupaten/kota tersebut, berarti selama kurun 2010 (6 bulan sejak Januari 2010 sampai Juni 2010 ini), ratusan miliar uang yang beredar di tengah masyarakat.
Uang itu beredar di tengah berbagai fasilitas umum yang rusak parah, seperti ruas jalan provinsi, kabupaten dan jalan kampung. Sepertinya memang tidak seimbang dengan banyaknya uang yang beredar. Andaikan setiap pasangan calon telah menghabiskan dana sekitar Rp 5 miliar. Dapat dihitung, berapa jumlah uang yang beredar selama enam bulkan terakhir ini.
Seandainya, uang yang ratusan miliar itu, digunakan untuk membiayai pembangunan untuk sebesar-besarnya meningkatkan kesejahteraan rakyat Lampung. Masyarakat Lampung akan makin mampu memberikan sumbangan yang besar kepada pendapatan asli daerah ini melalui PAD kabupaten/kota yang ada. Tapi, itu cerita ya cerita—walau nyata, namun dalam pola demokrasi di Indoensia ini, dana yang diperuntukkan kepada pembangunan memang jauh lebih kecil dibandingkan dengan anggaran belanja rutin, anggaran pribadi orang-orang kaya dan para pejabat.
Hari ini, hari peranan rakyat yang paling berdaulat dan paling berkuasa. Sebab, suara rakyat itulah yang menentukan seseorang jadi pemimpin daerah secara legal formal. Walaupun secara riil tidak dapat dijamin, bahwa pasangan calon kepala daerah yang terpilih dengan persentase suara, adalah pemimpin yang disukai masyarakat secara umum. Artinya, lebih dari 80%.
Begitu besarnya suara rakyat pada hari ini, memperjelaskan posisi rakyat yang bukan objek pembangunan, bukan objek hukum, bukan objek korupsi, bukan objek lainnya seperti kenyataan saat ini atau selama ini di Indonesia. Melihat sistem demokrasi ala pemilu, pemilukada dan pilpres di negeri ini. Seperti tidak ada habisnya permsoalan bangsa ini diselesaikan. Kenyataannya memang begitu.
Pergantian kepemimpinan bukan jaminan selesainya permasalahan yang sudah ada. Bahkan, akan menambah persoalan yang baru lagi. Sebab, setiap pemimpin yang dilahirkan melalui pemilu, pemilukada dan pilpres. Harus mengembalikan uang pinjaman pencalonannya selama ia menjadi pemimpin (presiden, anggota DPR, DPRD, gubernur, bupati dan walikota).
Setelah terpilih dan dilantik, kekuasaan rakyat—suara rakyat sudah hilang ditelan bumi. Tidak ada lagi kewenangan rakyat. Semua sudah diberikan dan selanjutnya adalah urusan seorang pemimpin dan kroninya. Itulah sebabnya, musim proyek (tender), selalu saja bermasalah. Sebab, persyaratan di balik pintu tender yang menyebutkan harus ada uang setoran. Membuat tender selalu berbau “kocok bekem”
Suara rakyat, suara yang selalu menderita, suara yang selalu kalah dengan penguasa, pengusaha dan orang kaya. Suara rakyat hanya ketika dibutuhkan. Hanya dibutuhkan ketika ada maunya. Selebihnya, suara rakyat hanyalah angin lalu. Oleh sebab itu, berbagai kasus anarkis selama ini merupakan akibat dari semua persoalan. Sebab, suara rakyat diabaikan, sebab suara rakyat dijadikan objek penderita belaka.
“Selamat mencoblos, pilihlah pemimpin yang baik dan benar!”

Bangsa Yang Sakit



BENAR adanya, chost-chost (penyiat) televisi swasta di Indonesia bilang “kalau kasusnya Ariel yang sebenarnya tidak seheboh itu perhatian Polri, akhirnya mampu mengalahkan persoalan besar yang dihadapi bangsa ini, seperti masalah kasus Bank Century, kasus Edy Tanzil, kasus lumpur Lapindo dan kasus besar lainnya”
Namun, kekuasaan memang mampu mempolitisir kasus-kasus ringan seperti Susno Duadji, Ariel—Luna Maya dan sebagainya. Sehingga kasus besar tertutupi, seperti kasus dualisme fungsi anggota KPU Pusat, kasus rekening gendut perwira Polri dan masih banyak lainnya. Bahkan, kini dicuatkan kasus Yusril Ihza Mahendra.
Ada apa dengan bangsa ini, sakit yang tak pernah sembuh-sembuh, malah menjadi berat penyakit yang diderita. Munculnya Nasional Demokrat bukan hanya persoalan kecewa dengan Partai Golkar dan Demokrat. Akan tetapi lebih dari ungkapan rasa prihatin, kenapa penyakit yang diderita bangsa Indonesia tidak kunjung sembuh. Persoalannya bukan tidak kunjung sembuh, akan tetapi karena penyakit lama ditutupi dengan pakaian yang rapih, maka tidak terlihat.
Kemudian, penyakit yang baru saja yang diungkapkan, karena belum sempat dibelikan baju baru yang pas, ideal untuk menutupinya. Tidak heran kalau Yusril Ihza Mahendar mengatakan, kapan Jaksa Agung itu diangkat, Keppresnya nomor berapa. Kok bisa main selidik, kok bisa main tuding dan kok bisa main tahan.
Dilemma, memang! Indonesia yang dikenal dengan bangsa yang ramah tamah, etika yang sopan santunnya, rasa hormatnya dan interaksi sosialnya yang sangat tinggi. Ternyata dalam perkembangannya, menjadi bangsa yang memakan saudaranya sendiri. Kenapa demikian, menurut hasil penelitian berbagai lembaga internasional tentang korupsi. Bahwa, Indonesia adalah dua negara terkorup nomor wahid di dunia.
Anehnya, negara yang korup, pejabat yang tersandung kasus Bank century (Sri Mulyani) malah mendapat penghargaan dan penghormatan, kemudian didudukkan di lembaga keuangan dunia (Bank Dunia). Itulah politik negara-negara Barat yang dikoordinir Amerika Serikat (USA). Negara-negara berkembang dijadikan boneka dalam banyak p;ola penerapan penjajahan di muka bumi zaman peradaban teknologi canggih ini.
Negara-negara berkembang seperti Indonesia, kebanyakan negara di Asia, kebanyakan negara di Afrika, diobok-obok, dipecah-belahkan, diadu-dombakan di dalam negerinya. Kemudian, salah satu tokohnya diangkat jadi Sekjen PBB.
Politik itu sudah berjalan lama pasca bubarnya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang dudulunya berkedudukan di Wina. Indonesia adalah negara berkembang yang menjadi korban kesekian puluh negara berkembang. Dan, politik devide et impera itu tidak dipahamai dan disadari oleh para pemimpin di Indonesia. 
Dari beberapa presiden Indonesia, presiden SBY merupakan presiden RI yang paling lemah, tidak mampu menunjukkan dirinya sebagai presiden dari suatu negara yang besar. Seperti halnya yang diperlihatkan Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid sampai ke Megawati Soekarnoputri.
Akan tetapi, SBY sangat berkuasa di dalam negerinya sendiri. Banyak jaringan yang dibuat, khususnya melalui koalisi Parpol pendukungnya. Dan, mata rantai itu semakin menyurutkan harapan kita, akan kesembuhan penyakit yang dialami oleh bangsa Indonesia. Kasus semacam visum (video mesum) Ariel—Luna Maya, bukan kasus nasional. Tapi, kasusnya biasa saja.